Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Misteri
Di Balik Kacamata Hitam
0
Suka
6
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Aku baru saja keluar dari toko sembako ketika kulihat tukang jual koran berkeliling sedang menjajakan dagangannya pada beberapa orang di seberang jalan sana. Sudah cukup lama aku tak baca koran, setidaknya selama lima hari aku di Bali dan baru dua hari yang lalu tiba di Banyuwangi. Aku tidak berlangganan koran apapun, aku hanya beli dimana pun aku melihat orang yang menjajakan korannya. Aku panggil bapak itu sebab mau beli korannya. Ia menyebrang jalan dan memberikannya satu. “Anak kecil laki-laki umur empat tahun jatuh dari kapal, dia tenggelam dan meninggal, tersangkut di baling-baling bawah kapal. Orang tuanya lalai, kebanyakan main hape,” ujarnya sembari sibuk memberikan kembalian uangku.

“Oh, ya?” Aku memerhatikan judul berita yang dibicarakan bapak itu. Besar-besar ditulis di sana: ANAK LELAKI BERUMUR EMPAT TAHUN TEWAS AKIBAT JATUH DARI KAPAL, PENYEBABNYA AKIBAT ORANG TUA YANG LALAI.

“Orang tua zaman sekarang kebanyakan main hape, Mas. Heran saya. Sudah tahu naik kapal, kok anaknya malah ndak diawasi. Makasih ya, Mas. Dari pagi saya belum dapat pembeli.”

AKu mengangguk dan membiarkan bapak itu pergi.

Sampai di rumah, setelah membawa belanjaanku ke meja makan di dapur, aku duduk sejenak di ruang tamu, membuka koran dan membaca berita tentang seorang anak umur empat tahun yang tenggelam. Bermaksud memastikan apakah benar ia tersangkut baling-baling bawah kapal yang menggerakkan kapal supaya bisa melaju di air. Setelah selesai kubaca, hasil penyelidikan sementara mengatakan bahwa hal itu benar. Dasar orang tua tolol, kataku dalam hati.

Kapal yang aku tumpangi dari pelabuhan Gilimanuk Bali, siang ini lumayan padat penumpang, sampai kursi yang disediakan di ruang outdoor dan indoor di geladak kapal lantai dua tidak bisa menampung penumpang yang ingin duduk. Akibatnya, kami menggunakan sistem “siapa cepat dia dapat”. Hanya segelintir orang waras dengan empati tinggi yang mau menyerahkan kursinya untuk seorang ibu yang tengah menyusui anaknya, untuk seorang nenek renta yang kebingungan mencari tempat duduk, dan seorang anak kecil berusia dua tahun yang dipangku oleh ayahnya. Karena tak dapat tempat duduk, aku bergabung bersama beberapa penumpang lain untuk duduk lesehan di geladak kapal, punggung kami bersandar pada pagar besi pembatas geladak kapal, yang sebenarnya tak boleh dijadikan sandaran entah saat berdiri menikmati pemandangan atau saat duduk begini, tapi duduk di kapal yang bergoyang tanpa bersandar pada apapun hanya akan membuat kami terserang mabuk laut, sehingga kami hanya menyerahkan pada keyakinan masing-masing—berharap pembatas besi yang sudah karatan itu masih mampu menopang berat tubuh kami.

Aku mengenakan kacamata hitam hari ini karena cuaca lumayan terik dan kedua mataku sedang sakit ketika berkedip dan memerah entah karena apa—mungkin debu, mungkin juga karena lelah mata mengingat aku bisa menghabiskan waktu empat jam lebih dalam sehari untuk menatap layar laptop untuk menyelesaikan pekerjaanku sebagai freelancer. Apa saja aku kerjakan, selama tak dituntut untuk ke kantor dan menghadapi banyak orang. Aku mengambil beberapa projek yang berkaitan dengan menulis dan desain produk sebab hanya dua hal itu yang aku kuasai dengan cukup baik. Lain kali kalau pendapatanku masih kurang, aku mengambil kerja part time entah di rumah makan atau kafe—sebagai pelayan, kasir, atau pencuci piring.

Tempatku duduk bersama tujuh orang lain—di sisi kananku duduk empat orang, sementara di sisi kiriku duduk tiga orang, berhadapan dengan deretan kursi-kursi plastik yang ditancapkan kuat di ruang geladak outdoor, sehingga hanya orang-orang yang duduk di paling kiri saja yang bisa melihat dengan cukup leluasa tanpa terhalang oleh kursi, termasuk aku dan tiga orang di sebelah kiriku. Kami bisa melihat meja, lalu lalang orang di geladak, termasuk bagian samping kapal. Toilet perempuan dan lelaki ada persis di sebelah kiri kami, bersebelahan dengan ruangan indoor yang dipasang AC dan kursi dengan sandarannya bisa dimundurkan sehingga bisa berfungsi sebagai kursi tidur. Keluar dari ruangan indoor ber-AC, kau akan menemukan kantin kecil yang hanya berisi meja—menjajakan cemilan dan mi dalam cup styrofoam, juga beberapa kopi sachet. Beberapa orang mengantre di sana, lalu kembali ke tempat duduk atau tempat berdiri mereka dengan mi cup atau kopi dalam kemasan gelas plastik yang aku yakin hanya dibuat dengan air termos sehingga rasanya tidak terlalu mantap—tidak ampuh membuat mata melek dan kepala yang pusing mereda. Sebagai orang yang tak bisa hidup tanpa kopi, aku tak menyukai kopi yang tak diseduh dengan air termos. Di depan toilet perempuan dan laki-laki yang bersisian, terdapat sebuah tangga menuju ke lantai bawah kapal—tempat dimana kendaraan di parkir.

Di geladak lantai dua, masih di hadapan toilet, ada juga tangga yang menghubungkan ke geladak lantai tiga, dilengkapi dengan beberapa tempat duduk yang jumlahnya juga tidak memadai beserta ruangan untuk kru kapal dan nahkodanya. Musik dangdut dengan lirik cabul diputar, bersahutan dengan suara seorang anak umur dua tahun yang rewel entah karena apa dan orang tuanya yang mulai hilang kesabaran untuk membuatnya diam—sebab diberi ASI ia tak mau, diberi mainan ia tak diam juga, diberi jajanan juga sama, bahkan saat bapaknya menggendongnya keliling geladak kapal lantai dua, ia juga tak kunjung diam. Aroma mi cup rebus yang sedap bercampur dengan aroma air laut yang asin dan ami seperti bau truk ikan, bercampur dengan asap yang dikeluarkan dari cerobong asap kapal, bercampur pula dengan keringat apek orang-orang, asap rokok, dan sedikit bau pesing dari toilet yang silih berganti didatangi pengunjung.

Aku mencoba tidur, tapi tidak bisa. Walaupun aku bisa tidur dalam segala keadaan dan di tempat mana saja, akibat segelas kopi yang aku minum sebelum naik kapal tadi membuat kantukku menghilang, jadi aku putuskan untuk memasang earphone dan mendengarkan musik apa saja yang aku download di playlistku. Hanya ada 55 lagu di sana. Tak ada sinyal di tengah laut begini, sehingga tak bisa aku mendengarkan lagu dari playlist spotify atau youtube.

Mataku memerhatikan sekitar dari balik kacamata hitam yang kukenakan. Tiga bocah perempuan yang aku perkirakan masih belasan tahun sedang mencari spot foto terbaik di geladak kapal ini—kebanyakan dari mereka senang berfoto bersandar ke pembatas kapal yang sudah berkarat, sambil mengacungkan dua jari sebagai gaya andalan, menjadikan laut yang terhampar sebagai backgroundnya. Mereka bergantian berfoto, lalu cari spot foto lagi, kali ini duduk di anak tangga untuk menuju geladak kapal di lantai tiga, lalu naik ke lantai tiga dan tampaknya mereka berfoto di sana lama sekali. Mungkin di lantai tiga yang lebih sempit itu mereka menemukan spot foto yang bagus. Mereka lalu turun berduyun-duyun, lalu mampir ke kantin. Dua orang beli mi cup rasa bakso dan ayam bawang, yang satu hanya beli cemilan dan susu kotak karena tak terlalu lapar, kemudian mereka duduk di kursi mereka masing-masing, di belakang orang tua mereka yang sibuk dengan ponsel masing-masing.

Seorang anak perempuan berusia kisaran tujuh tahun kini sedang muntah di bangkunya tepat di depanku, walau jaraknya terpaut lima bangku, untung ibunya sigap menyediakan kantong kresek. Beberapa orang menatap ke arahnya dengan tatapan jijik, mengernyit, tapi ada juga yang tertawa. Muntahan anak itu dilemparkan begitu saja ke laut dalam keadaan sudah diikat paten, wajahnya diusap dengan tisu basah dan tisu kering, lalu diolesi dengan minyak kayu putih. Ia masih merengek karena muntah, tapi ibunya memarahi ia—kalau ia nangis ia akan ditinggal di kapal, maka anak itu berusaha sekuat mungkin tak mengeluarkan isakan macam apapun—dan menurut saja ketika ibunya memangku ia dan menyuruhnya tidur.

Bola mataku bergerak untuk memerhatikan tiga bocah perempuan tadi yang setelah makan memutuskan untuk membawa tripod mereka menuju lantai tiga geladak kapal. Sekilas aku dengar percakapan mereka yang semangat membahas tren video TikTok apa saja yang akan mereka buat di sana. Mereka hanya mengacungkan jempol ketika ayah mereka menyuruh untuk berhati-hati. Lima menit setelah kepergian tiga putrinya yang tampak hanya terpaut setahun-dua tahun, ayahnya menyusul atas izin istrinya untuk mengawasi tiga putri mereka. Ia naik bersamaan dengan turunnya seorang lelaki dan perempuan kulit putih mata sipit—yang dari bahasa mereka aku yakin mereka dari Korea sebab aku sudah akrab dengan musik dan drama mereka sejak genap berumur 12 tahun. Mereka memesan mi cup dalam kemasan, lalu duduk di dua bangku di ruangan outdoor yang kosong, makan di sana.

Aku melirik ke sebelah kanan, ke arah seorang lelaki yang tampak berusia akhir 20 tahunan yang menggendong seorang anak perempuan dengan bola mata besar seperti kelereng, kulit kuning langsat, dan rambut lurus sebatas dagu yang membuatnya tampak seperti boneka Jepang. Yang membuatku menggeleng kecil adalah saat tahu lelaki itu menggendong anaknya yang kuperkirakan berusia 1,5 tahun terlalu dekat dengan pagar pembatas kapal. Ia malah mendudukkan anaknya di atas pembatas itu, sambil memegang tubuhnya erat-erat. Dasar orang tua tolol, kataku dalam hati.

Di sebelah lelaki tolol itu ada seorang perempuan yang tampaknya berusia sepantaran dengan si lelaki, memaggilnya “sayang” sambil mengarahkan ponselnya untuk merekam video mereka sedang naik kapal. Si suami menoleh dan tersenyum singkat, sementara si istri tampak membetulkan letak kacamata kuda dan poninya yang awut-awutan diterpa angin laut “sedang naik kapal menuju Banyuwangi, guys, ombaknya nggak terlalu tinggi kayak beberapa hari yang lalu waktu aku berangkat ke Bali. Agak mendung, tapi cuaca yang seperti enak karena nggak terlalu panas, yang naik kapal ini juga lumayan banyak sampai tempat duduknya nggak muat, kita aja berdiri nih, tuh” ia lalu mengarahkan kamera ponselnya yang tampak mahal untuk merekam keadaan sekitar. Ia tampak melambaikan tangan di depan kamera, mengakhiri videonya dengan ucapan andalan “jangan lupa follow TikTok aku untuk konten-konten menarik lainnya ya, nanti kalau kita udah sampai hotel, aku bakalan kasih tahu kalian kegiatan kami selama liburan di Banyuwangi apa aja.” Ia lalu menoleh ke sekeliling, wajahnya licin dan glowing—tampak terawat. Pakaian dan tasnya tampak mahal. Jam tangan dan anting-antingnya juga.

Ia lalu duduk di salah satu bangku kosong, sekilas melirik anak lelakinya yang kuperkirakan masih berusia empat tahun—anak itu sedang duduk di sebelah neneknya yang sedang main ponsel, ia sedang makan es krim, lalu si ibu muda kembali fokus dengan ponselnya, entah mengedit videonya yang tadi atau hanya menggulir layar TikTok atau instagram, aku tidak tahu sebab pandanganku terhalang seseorang yang duduk di sebelahnya.

Anak lelaki itu meninggalkan tempat duduknya setelah es krim yang ia makan habis. Mulut dan pipinya belepotan penuh cokelat. Ia mengusapnya dengan lengan mungilnya, lalu mengusap lengan itu dengan ujung bajunya yang berwarna tosca cerah. Ia mengenakan sepasang sandal spiderman yang di belakangnya terdapat semacam peluit kecil yang seharusnya berbunyi, tapi karena sandal itu tampak sudah lama dan berulang kali digunakan, peluit kecil itu tak berfungsi sehingga ketika diinjak berulang kali, sandalnya tak lagi mengeluarkan bunyi. Kuperhatikan sekelilingku, semua orang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Sebagian besar dari mereka tidur, main hape, makan sambil main hape, merokok sambil main hape, video call bersama orang-orang terdekatnya. Tak ada yang memerhatikan anak lelaki itu, yang sedang jalan-jalan di sekitar geladak kapal seorang diri.

Ia sempat menoleh ke arahku, seolah tahu aku sedang memerhatikannya. Matanya sayu, seperti anak yang kurang tidur, tapi kemudian ia mengalihkan pandang ke arah lain, dan berjalan-jalan lagi. Ayahnya masih sibuk dengan anak perempuan yang ia gendong di tepian pembatas kapal, ibunya masih merunduk main ponsel, begitu pula dengan neneknya. Sudah setengah perjalanan. Kami benar-benar ada di tengah Selat Bali. Ombak mulai agak tinggi, mengayun-ayunkan kapal yang bergoyang ke kanan dan kiri. Anak kecil itu terus melangkah dan melangkah, dan akhirnya ia sampai di pembatas kapal yang besinya telah karatan. Aku menoleh ke sekitar, tak ada yang melihat anak itu, apalagi mencegahnya. Kencing yang sudah aku tahan sejak setengah jam yang lalu kini tak bisa aku tahan lebih lama. Ia sudah berada di ujung dan kalau tak dikeluarkan, maka aku akan ngompol. Aku lihat di kanan-kiriku. Tak ada yang memerhatikan anak kecil berusia kisaran empat tahun itu. Kini ia jongkok, melongok ke arah laut. Aku melihat ibu, ayah, dan neneknya. Orang tua tolol, kataku. Mereka seolah telah merekatkan mata dan perhatiannya pada ponsel sepenuhnya.

Kulihat anak itu semakin melongok ke depan, sepertinya ia penasaran seperti apa laut itu. Ia semakin memajukan diri dan tak ada yang melihatnya. Aku membuang napas pelan dan memejamkan mata, menghitung mundur tanpa suara. Tiga, dua, satu. Suara seseorang tercebur ke laut terdengar bersamaan dengan setitik air kencing yang sudah merembes ke celana jins yang aku kenakan. Orang-orang gaduh, beberapa berteriak, beberapa lagi langsung lari ke arah pembatas kapal sebelah kanan, di seberang tempat dudukku, sementara pembatas yang aku jadikan sandaran ada di sebelah kiri. Ketika mereka mengerubungi anak kecil yang aku yakin sudah tercebur ke laut, aku berlari melawan arus menuju toilet untuk kencing. Kehebohan orang-orang di luar sana bisa aku dengar dengan jelas. Air kencingku deras mengucur memasuki jamban. Aku menunduk, melihat air kencingku yang warna putih dan beraroma kopi luwak. Aku tersenyum kecil. Ah, lega, kataku. Setelah selesai dengan kegiatan kencingku, aku melangkah keluar, dan mereka masih heboh. Dari balik kacamata hitamku, aku melihat ayah, ibu, dan nenek si anak lelaki itu kini terduduk lemas di lantai sambil meraung-raung meminta siapapun untuk menolong anaknya. Kini tempat duduk yang tadinya penuh menjadi lengang, aku bisa memilih untuk duduk di kursi mana saja yang aku inginkan, tapi aku masih bergeming memerhatikan mereka. Membuang napas pelan, aku memutuskan untuk tidur di ruang indoor yang kursinya juga banyak yang kosong karena kejadian barusan. Aku harus tidur guna meredakan keinginan untuk muntah akibat mabuk laut. Dasar orang tua tolol, kataku lagi.

Pada akhirnya, anak itu tidak bisa diselamatkan karena tubuh mungilnya yang ringan dengan mudah tersedot oleh baling-baling bagian bawah kapal laut yang berputar untuk membuatnya bisa mengarungi lautan. Tubuhnya tersangkut di baling-baling kapal. Ada yang bilang bahwa tubuhnya terpotong-potong karena terkena baling-baling bawah kapal, ada yang bilang tubuhnya masih utuh, belakangan dari koran dan artikel yang banyak aku baca, orang tuanya membantah bahwa tubuhanaknya terpotong-potong karena kecelakaan itu—aku tidak tahu yang mana yang benar karena orang tuanya juga langsung membawa si anak ke rumah duka untuk dimakamkan tanpa memperbolehkan polisi melakukan autopsi.

Berita itu sontak dibicarakan banyak orang di beberapa kota sampai akhirnya jadi berita nasional sebelum akhirnya diliput oleh beberapa media asing dan banyak yang mengecam orang tua yang lalai itu. Di sosial media mana pun yang aku buka, selalu terselip berita tentang anak itu, selama empat hari penuh ia trending di twitter, seolah anak itu mau menghantuiku karena aku tidak menolongnya ketika sebenarnya aku bisa, tapi aku tidak merasa bersalah. Apa yang terjadi pada anak itu adalah konsekuensi dan pelajaran yang harus diterima oleh orang tuanya, dan harus jadi pelajaran juga bagi orang tua yang lain supaya jangan jadi sekumpulan orang tolol yang cuma bisa membuat anak tanpa mau merawat, mendidik, dan menjaganya.

Karena dikecam oleh dunia internasional, negara ini harus berbenah besar-besaran mengenai keamanan transportasi laut, termasuk menyediakan CCTV yang cukup dan melakukan patroli setiap kapal yang membawa penumpang berlayar guna memerhatikan orang tua yang lalai dan menegurnya, bahkan di beberapa kapal kudengar sudah dilengkapi dengan ruangan khusus untuk istirahat bagi orang tua dan anak, bahkan hal ini menjadi semacam tren atau kompetisi antar perusahaan perkapalan untuk berlomba-lomba merenovasi kapal mereka dengan fasilitas yang aman untuk para anak kecil, supaya para calon penumpang tertarik naik kapalnya. Walaupun mahal, masyarakat tidak akan masalah, yang penting anak-anak mereka aman selama perjalanan. Kecaman internasional juga membuat para detektif kepolisian bekerja sungguh-sungguh. Lebih sungguh-sungguh daripada biasanya. Mereka mengadakan interogasi besar-besaran pada semua penumpang karena mereka menyampaikan di depan wartawan bahwa mereka skeptis—apa benar dari sekian puluh penumpang yang satu lantai dengan korban, tak ada sama sekali yang melihatnya dan mencegahnya atau minimal memberitahu orang tuanya kalau anaknya jalan-jalan sendirian di geladak kapal? Pada akhirnya, semuanya diinterogasi, termasuk aku.

Kapal itu hanya punya sedikit CCTV, satu CCTV di rooftop mati, yang menyala hanyalah di geladak lantai dua dan lantai satu tempat dimana kendaraan diparkirkan. Dari CCTV itu memang terlihat jelas bahwa para penumpang yang ada di ruangan outdoor sedang sibuk dengan kegiatan masing-masing, sebagian besar dari mereka tertidur di bangkunya, yang tidak dapat bangku sepertiku tidur dengan menyandar pada besi pembatas kapal yang sudah karatan. Angin sepoi-sepoi bercampur dengan aroma bahan bakar dan aroma amis lautan juga pesing dari toilet yang pintunya dibiarkan terbuka jika tak ada yang menggunakannya—aku masih ingat aroma itu, aroma yang akan membungkus si anak lelaki itu dalam kematian. Anak itu sempat menatapku, dan kata salah satu detektif, walau aku mengenakan kacamata hitam, ia yakin aku tidak tidur sebab dari pancaran sinar matahari yang mengenai wajahku, terlihat bahwa mataku dalam keadaan terbuka, yang artinya di balik kacamata hitam itu, aku bertatapan dengan si korban, dan tatapanku tidak pernah berubah—terus menatap ke mana langkah kecil itu membawa dirinya sampai menuju ke lubang kematian.

Mereka semakin curiga padaku karena aku sama sekali tidak bangkit dari posisiku ketika para penumpang panik berusaha menyelamatkan anak itu, yang sudah terjatuh ke laut. Bukannya menghampiri gerombolan itu, aku malah melawan arus ke toilet. Kubilang: aku sungguhan buang air waktu kecelakaan itu terjadi.

“Dan setelah kau selesai kencing, kau tetap tak melakukan apapun. Kau satu-satunya yang diam memerhatikan mereka. Tak terusik sama sekali.” kata salah satu detektif. “kau sengaja melakukannya.” katanya final.

“Ya, aku tak akan menyangkal. Aku memang sengaja membiarkan anak itu jatuh dan tenggelam.”

Giginya nampak bergemelatuk. Urat-urat di leher dan pelipisnya terlihat menonjol. Matanya sedikit berkaca-kaca dan memerah. Dengan suara yang hampir terdengar seperti seekor macan jantan yang menggeram, ia berkata, “Kenapa?” katanya. “Kenapa kau membiarkannya mati padahal kau salah satu orang yang melihatnya, bangsat!!” Detik selanjutnya, suara geraman itu berubah seperti suara petir di langit, bergemuruh dan menggelegar. Kurasakan ruangan ini bergetar karena suaranya.

“Aku hanya ingin memberi orang tuanya pelajaran. Orang tuanya yang salah karena sudah lalai mengawasi anak itu. Neneknya juga. Kenapa aku terlihat seperti orang yang paling bersalah di sini? Kalau anak itu tidak mati, orang tua itu tidak akan diadili dan mereka tidak akan belajar. Bisa jadi, yang akan jadi korban selanjutnya atas kelalaian mereka adalah si adik korban.”

Setelah mengatakan itu, aku dapat bogeman darinya hingga terjungkal ke belakang. Ia menindihku, menghujam wajahku dengan bogeman sampai keluar darah dari hidung dan mulutku, baru ruangan interogasi itu terbuka dan ia diamankan oleh teman-temannya yang lain. Sebelum hilang kesadaran, aku masih bisa melihatnya menendang-nendang udara, mengatakan aku harus dikirim ke penjara, sementara aku hanya tersenyum miring. Ia terus meneriakkan kata-kata makian. Ia bahkan berulang kali mengatakan bahwa aku ini psikopat. Benarkah? Benarkah bahwa aku ini psikopat? Lalu, orang tua anak itu kau sebut apa?

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Misteri
Cerpen
Di Balik Kacamata Hitam
Ida Ayu Saraswati
Cerpen
Bronze
Saksofonis Buruh Tani
Silvarani
Cerpen
Bronze
Samir Cemeng
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Musik dan Teror Mimpiku Menertawakanmu
Ryan Esa
Cerpen
Bronze
Rawa Bakau dan Misteri Pemburu Biawak
Habel Rajavani
Skrip Film
Petualangan di Agartha
Awang Nurhakim
Novel
Curtain of Fate
Vsiliya Rahma
Novel
Bronze
The Motive
IyoniAe
Novel
Superpower - Your Life Is The Price
Alexander Blue
Skrip Film
Binatang-Binatang Merayap di Bawah Tempat Tidurnya
Maria Wiedyaningsih
Flash
Bronze
Judulnya Nanti, Ya!
Rere Valencia
Skrip Film
Dendam kesumat(Skrip Film)
winda nurdiana
Flash
Bronze
Someone in the corner
Elz
Skrip Film
SKETCH
Gemi
Novel
Bronze
Sabtu Malam Lisa
Listian Nova
Rekomendasi
Cerpen
Di Balik Kacamata Hitam
Ida Ayu Saraswati
Cerpen
Smoke
Ida Ayu Saraswati
Cerpen
Love at Second Sight
Ida Ayu Saraswati
Cerpen
Guess The Next
Ida Ayu Saraswati
Cerpen
The Sketch
Ida Ayu Saraswati
Cerpen
Riak Berjarak
Ida Ayu Saraswati
Cerpen
Tamu yang Tak Pernah Datang
Ida Ayu Saraswati