Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Di Balik Jendela yang Tak Pernah Dibuka
0
Suka
17
Dibaca

Sudah hampir tiga minggu sejak Nadia menulis kalimat itu di buku catatannya:

"Mungkin esok, aku akan membuka jendela."

Tapi "esok" itu tak pernah datang.

Setiap pagi, ia duduk di kursi dekat jendela apartemen lantai empat . Mengamati kota dari balik kaca yang sedikit berdebu. Kamera tergantung di lehernya, tapi jarang digunakan. Ia lebih sering memotret dari balik tirai, wajah-wajah yang tak tahu sedang dipotret, bayangan di trotoar, atau pantulan cahaya di jendela toko seberang.

Nadia menyukai ketenangan dari mengamati tanpa terlihat. Mungkin karena pernah terlalu terlihat... difoto, disorot, dihakimi. Sejak sebuah pameran kecil dua tahun lalu, di mana seseorang memotret dirinya diam-diam dan menjadikan wajahnya “simbol keterasingan,” ia tak lagi nyaman di depan lensa, bahkan lensanya sendiri.

Hari itu, langit mendung. Ia memutar radio kecil di meja kerjanya. Suara lembut Rani mengisi ruangan.

"Ada saatnya kita perlu berhenti bersembunyi di balik suara orang lain, dan mulai bicara dengan suara kita sendiri."

Nadia menatap kaca jendela. Bayangannya sendiri terlihat samar, menyatu dengan pantulan langit abu-abu. Ia menyalakan kamera, mengambil satu jepretan. Bukan ke luar, tapi ke dalam. Wajahnya sendiri di pantulan jendela, Buram, tapi nyata.

Di sore yang sama, hujan turun tiba-tiba. Ia menutup kamera, bersiap menyalakan air panas untuk teh. Tapi pandangannya tertarik pada sesuatu di bawah, di seberang jalan. Sebuah toko kecil dengan papan kayu bertuliskan "Jalan Melati Record Store."

Toko tua itu tampak hangat dari luar, cahaya kuningnya menembus hujan. Di etalasenya, terpajang piringan hitam poster lawas, dan... satu foto. Foto yang membuat napas Nadia terhenti.

Dirinya sendiri.

Foto itu jelas miliknya. Hasil jepretan lama, yang diambil dari apartemen ini. Ia tahu karena di ujung kanan frame tampak bayangan tirai jendela kamarnya sendiri.

Bagaimana bisa?

Nadia berdiri lama di balik kaca, menatap foto itu di bawah sana. Hujan menetes di kaca seperti garis-garis samar di wajahnya sendiri. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia merasa dilihat. Tapi bukan dengan cara yang ia pilih.

Hujan belum berhenti ketika Nadia memutuskan untuk turun. Langkahnya pelan, menyusuri trotoar yang licin, jantungnya berdetak seperti kamera tua yang mulai bergetar setelah lama tak digunakan.

Toko itu tampak lebih kecil dari yang terlihat dari atas. Pintu kayu dengan lonceng kecil di atasnya berdenting pelan saat ia mendorongnya masuk. Aroma debu, piringan hitam, dan kayu tua menyambutnya.

Di dalam, seorang pria paruh baya sedang menata rak piringan. Rambutnya sedikit beruban, dan di wajahnya ada ketenangan yang jarang dimiliki orang kota. Ia menoleh saat mendengar langkah kaki itu. Senyumnya ramah, tanpa tanda heran.

"Selamat sore. Mau cari lagu tertentu?"

Nadia menggeleng. Suaranya kecil ketika ia menunjuk ke etalase kaca di dekat pintu.

"Foto itu... siapa yang menaruhnya di sana?"

Pria itu. Rafi. Menatap arah yang ditunjuk. Ia berjalan mendekat, lalu tersenyum samar.

"Ah, itu. Aku menemukannya di gulungan film lama yang kutemukan di pasar loak. Filmnya rusak d beberapa bagian, tapi yang ini masih utuh. Cantik, ya?"

Nadia terdiam. Ia tidak tahu harus tersinggung atau tersentuh.

"Kamu tahu siapa di foto itu?"

Rafi menggeleng.

"Tidak. Tapi aku suka cara cahaya jatuh di wajahnya. Ada rasa sepi yang hangat. Aku kira, foto ini pantas diselamatkan."

Hening. Suara hujan di luar seperti jeda yang memberi ruang untuk bernapas. Nadia menatap foto itu lagi — dirinya sendiri, tapi bukan yang sekarang. Wajah itu terlihat berani, terbuka, penuh cahaya. Seolah versi dirinya yang dulu sedang menatap balik, menanyakan:

“Masihkah kamu sembunyi?”

"Kalau kamu mau, aku bisa menurunkannya," kata Rafi hati-hati.

"Kadang, orang tak siap melihat dirinya sendiri di tempat yang tak terduga."

Nadia menggeleng pelan.

"Tidak. Biarkan saja di sana. Mungkin... foto itu memang sedang mencari jalan pulang."

Rafi mengangguk, seolah mengerti makna di balik kalima itu. Ia menatap foto itu lama, lalu menambahkan pelan:

"Aku punya teori. Foto yang bagus bukan yang menunjukkan siapa kita, tapi yang membuat kita ingin jadi seseorang yang terlihat di dalamnya."

Kata-katanya mengendap. Nadia memejamkan mata sejenak. Untuk pertama kali dalam waktu lama, ia tidak merasa takut terlihat. Ia hanya merasa... dilihat, tanpa dihakimi.

Diluar, hujan mulai reda. Dari arah jalan terdengar suara sama. Seseorang memainkan gitar, menyanyikan lagu yang belum pernah ia dengar sebelumnya. Nada-nadanya lembut sedikit melankolis. Rafi tersenyum.

"Itu Laras. Musisi yang sering main di depan toko ini. Suaranya kadang lebih jujur dari yang bisa diucapkan manusia."

Nadia menatap ke luar. Laras berdiri di bawah lampu jalan yang baru menyala, rambutnya sedikit basah, matanya tertutup saat bernyanyi. Nadia mengangkat kameranya. Kali ini, ia memotret tanpa takut.

Klik.

Dan di detik itu, hujan benar-benar berhenti.

Malam turun pelan di kota. Lampu-lampu jalan menyala satu per satu, seperti bintang yang ragu muncul di langit abu-abu. Nadia berjalan pulang dari toko itu dengan langkah ringan, membawa sesuatu yang tidak terlihat. Keberanian yang kecil tapi nyata.

Begitu sampai di apartemen, ia langsung menuju jendela. Hujan sudah berhenti. Tirai masih tertutup seperti biasa, tapi di baliknya ada dunia yang menunggu. Ia ragu sejenak. Tangannya hampir menarik tirai itu, lalu berhenti. Selalu ada alasan untuk menunda. Tapi malam ini terasa berbeda.

Perlahan, ia menarik kain itu ke samping. Udara malam menyelinap masuk, dingin tapi jujur. Kota tampak hidup dari balik kaca: cahaya toko, langkah orang pulang, dan dari kejauhan… suara gitar yang familiar.

Laras. Musisi jalanan dari depan toko Rafi. Suara itu naik menembus udara, mengisi ruang apartemennya dengan nada lembut. Liriknya sederhana, tapi menghantam sesuatu di dalam dada Nadia:

“Tak semua jendela butuh cahaya, kadang, cukup suara untuk tahu kita masih di sini.”

Ia membuka jendela itu sepenuhnya. Udara malam masuk bersama gema lagu. Untuk pertama kalinya, ruangan itu terasa lebih luas. Bukan karena ukurannya berubah, tapi karena ia tidak lagi menahan diri di dalamnya.

Nadia mengangkat kameranya. Tapi kali ini, lensanya menghadap keluar, bukan ke dalam. Ia memotret jalan, lampu, bayangan Laras di bawah, dan refleksi samar wajahnya sendiri di kaca. Dalam satu frame, semuanya menyatu. Dirinya, kota, dan lagu yang menyertainya.

Klik.

Satu jepretan yang akhirnya membuatnya menangis, bukan karena takur, tapi karena lega.

Di meja kerjanya, buku catatan kecil masih terbuka di halaman terakhir. Tulisan yang dulu ia buat kini tampak seperti ramalan kecil yang akhirnya jadi nyata:

“Mungkin esok, aku akan membuka jendela.”

Malam itu, “esok” akhirnya datang. Dan di radio yang menyala di pojok ruangan, suara Rani terdengar lembut:

“Untuk kamu yang akhirnya berani melihat ke luar. Terima kasih sudah memilih jujur.”

Nadia tersenyum.

Ia menatap jenela yang kini terbuka penuh, lalu membiarkan angin malam menyentuh wajahnya. Suara gitar Laras mengalun semakin jauh, membawa ceritanya menuju seseorang yang akan mendengarnya di kisah berikutnya.

***

Ada bentuk keberanian yang tidak berisik. Ia tidak datang dalam wujud teriakan, perubahan besar, atau langkah dramatis. Kadang ia hanya berupa tangan yang akhirnya berani membuka jendela, setelah lama menutup diri dari cahaya dan pandangan orang lain.

Nadia mewakili sisi diri kita yang takut untuk terlihat. Takus disalahpahami, takut dihakimi, atau sekedar takur terlihat rapuh. Tapi melalui pertemuannya dengan Rafi, ia belajar satu hal sederhana: dilihat tidak selalu berarti kehilangan kendali. Kadang, itu justru cara dunia mengingatkan bahwa kita masih ada.

Rafi, dengan ketenangannya, menjadi cermin lembut bagi ketakutan itu. Ia tidak menyelamatkan, tidak menasihati. Ia hanya melihat. Dan mungkin, dalam dunia yang sibuk menilai, dilihat tanpa penilaian adalah bentuk kasih paling jujur.

Dan ketika Laras menyanyi di bawah sana, ia tak hanya menghubungkan kisah ini dengan cerita berikutnya. Ia juga menjadi simbol bahwa kejujuran punya gema. Suara kecil yang, entah bagaimana, bisa sampai ke telinga orang yang paling membutuhkannya.

Karena pada akhirnya, membuka jendela bukan soal mengundang cahaya masuk. Tapi tentang mengizinkan diri kita sendiri untuk tampak hidup lagi.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Komik
Depo via QRIS hanya 1 detik
Juwita Triyani
Skrip Film
LUBANG HILUM: TANDA LAHIR (SEASON 2)
Priy Ant
Cerpen
Di Balik Jendela yang Tak Pernah Dibuka
A. R. Tawira
Novel
KONFESI
Afra Ulfatihah N.E
Flash
Serial Killer? : Hai, ini aku!
Rumpang Tanya
Cerpen
Nada yang Tersisa di Jalan Melati
A. R. Tawira
Cerpen
Di Antara Kita, Kota Diam
A. R. Tawira
Novel
A Piece of Puzzle
Yovi Eviani Chandra
Novel
Hasrat Abu
Tiara Khapsari Puspa Negara
Novel
Sanggupkah untuk berbagi?
Halimah
Flash
Love Yourself
Rahma Pangestuti
Flash
Forgetting
Fani Fujisaki
Skrip Film
It's Not Easy to be A Single Dad
Amalina septiani
Flash
The Secret Box
Gadhinia Devi Widiyanti
Flash
Bronze
Orderan Terakhir Ardiansyah
Nuel Lubis
Rekomendasi
Cerpen
Di Balik Jendela yang Tak Pernah Dibuka
A. R. Tawira
Cerpen
Nada yang Tersisa di Jalan Melati
A. R. Tawira
Cerpen
Di Antara Kita, Kota Diam
A. R. Tawira
Flash
Amarah
A. R. Tawira
Flash
Sunyi
A. R. Tawira
Flash
Bising
A. R. Tawira
Cerpen
Sisa Kopi di Meja Tengah
A. R. Tawira
Cerpen
Suara di Kamar 304
A. R. Tawira
Flash
Abu
A. R. Tawira