Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Di Balik Jendela Rapuh
0
Suka
36
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Di Balik Jendela Rapuh

Jendela tua itu berdiri bisu, menjadi saksi dari waktu yang terus berlalu. Debu dan retakan kecil di kaca seakan menyimpan kisah-kisah lama yang tak terucapkan. Dari baliknya, seorang gadis bersandar, menatap dunia di luar dengan pandangan kosong. Dunia terus berputar, namun ia tetap di sini—terjebak dalam ruang yang sunyi.

Namanya Lia. Setiap sore, ia duduk di tepi jendela itu, menyandarkan kepalanya pada kaca dingin, membiarkan pikirannya melayang. Di luar, orang-orang melukis kebahagiaan mereka sendiri. Pasangan-pasangan tertawa bersama, berbagi kebersamaan yang sederhana namun hangat. Sementara Lia, hanya memiliki keheningan yang menemaninya.

Namun, di antara bayangan senja yang mulai merayapi kota, ada satu sosok yang selalu menarik perhatiannya. Seorang pria yang berjalan melewati rumahnya setiap sore. Wajahnya tak terlalu Lia kenali dengan jelas, tetapi sorot matanya tajam, seolah mampu menembus dinding hati yang telah lama membeku.

Pria itu sering berhenti sejenak di seberang jalan, menyesap kopi dari cangkir kertasnya, sebelum melanjutkan langkah. Entah mengapa, kehadirannya memberi Lia sedikit harapan yang tak berani diungkapkan. Ada sesuatu dalam caranya melangkah—tenang, namun penuh keyakinan.

Lia tahu, ini hanya perasaan sepihak. Ia hanyalah burung camar yang terjebak di geladak kapal, hanya bisa mengagumi laut luas tanpa berani terjun ke dalamnya. Apa yang bisa ia lakukan? Sekadar menatap dari balik jendela, mengukir angan-angan yang tak pernah berani ia wujudkan.

Suatu hari, hujan turun deras. Lia tetap duduk di sana, menanti. Namun, pria itu tak kunjung muncul. Hatinya gelisah, seolah kehilangan sesuatu yang sudah menjadi bagian dari rutinitasnya. Ia menggigit bibir, berusaha menepis kekhawatiran yang tak beralasan.

Saat ia hendak beranjak, suara ketukan pelan terdengar dari luar. Lia menoleh. Jantungnya berdebar ketika melihat sosok yang selama ini hanya berani ia pandang dari kejauhan berdiri di sana, di bawah derasnya hujan.

Dengan tangan gemetar, Lia membuka jendela.

"Kenapa kau selalu menatap dari balik sana?" Suara pria itu terdengar dalam, namun lembut.

Lia terdiam. Dadanya sesak oleh pertanyaan yang sederhana, namun begitu menohok.

"Aku..." kata-kata tertahan di tenggorokannya.

Pria itu tersenyum, senyum yang selama ini Lia kagumi dalam diam. "Mungkin sudah waktunya kau melangkah keluar."

Lia menatap jendela tua yang selama ini menjadi batas antara dirinya dan dunia luar. Mungkin benar, sudah saatnya ia berhenti bersembunyi di balik kaca yang rapuh.

Dengan langkah ragu, ia meraih payung dan berjalan keluar, menuju dunia yang selama ini hanya ia lihat dari balik jendela.

Lia berdiri di ambang pintu, ragu sejenak sebelum akhirnya melangkah ke luar. Hujan masih turun, butiran air membasahi tanah dan membentuk genangan kecil di jalanan. Pria itu masih berdiri di sana, menatapnya dengan sorot mata yang penuh ketenangan.

Angin dingin menerpa kulitnya, membawa aroma tanah basah yang asing namun menenangkan. Lia mengeratkan pegangan pada payungnya, tapi langkahnya tetap ia teruskan. Setiap detik terasa seperti melawan sesuatu yang telah mengurungnya selama ini—rasa takut, keraguan, dan kesepian yang telah menjadi bagian dari hidupnya.

Ketika akhirnya ia berdiri tepat di hadapan pria itu, jantungnya berdegup kencang. Ia tak pernah membayangkan akan berada sedekat ini dengan sosok yang selama ini hanya ia kagumi dari balik jendela.

"Kau akhirnya keluar," ujar pria itu, senyum tipis masih menghiasi wajahnya.

Lia menelan ludah, mengangguk pelan. "Aku... tidak tahu harus berkata apa," gumamnya jujur.

Pria itu tertawa kecil. "Tak perlu berkata apa-apa. Terkadang, keluar dari tempat persembunyian saja sudah cukup."

Mereka berdiri di sana, di bawah rintik hujan yang mulai mereda. Lia merasakan sesuatu yang hangat tumbuh di dalam dirinya—sebuah keberanian kecil yang selama ini ia pikir tidak pernah ia miliki.

"Aku Ares," ujar pria itu, mengulurkan tangan.

Lia menatapnya sejenak sebelum akhirnya menyambut uluran itu. "Lia," jawabnya.

Lia menggenggam tangan Ares dengan ragu, merasakan kehangatan yang anehnya menenangkan. Ia menatap wajah pria itu lebih dekat—sorot matanya yang tajam, garis-garis lembut di sekitar bibirnya yang tampak sering tersenyum. Lia bertanya-tanya, mengapa orang ini begitu familiar, seolah-olah mereka pernah bertemu di suatu tempat yang tak bisa ia ingat.

Hujan semakin mereda, hanya menyisakan titik-titik air yang jatuh perlahan dari langit. Jalanan tampak sepi, hanya ada mereka berdua di bawah cahaya lampu jalan yang temaram.

"Aku sering melihatmu di sini," kata Ares pelan. "Selalu menatap keluar, tapi tak pernah benar-benar melangkah."

Lia mengalihkan pandangannya, merasa malu karena ketahuan. "Aku... aku hanya merasa lebih nyaman di dalam," jawabnya jujur.

Ares tersenyum tipis. "Atau mungkin kau hanya takut?"

Lia terdiam. Kata-kata itu menusuknya lebih dalam dari yang ia kira. Ia ingin membantah, mengatakan bahwa ia baik-baik saja di balik jendela rapuh itu. Namun, bukankah ini yang selama ini ia pertanyakan dalam hatinya?

"Apa yang kau takutkan, Lia?" Ares melanjutkan, suaranya lembut namun penuh rasa ingin tahu.

Lia menarik napas dalam-dalam. "Aku... aku tidak tahu. Mungkin karena di dalam, aku merasa aman. Tidak ada yang bisa menyakiti atau mengecewakanku," ucapnya lirih.

Ares menatapnya dengan penuh pemahaman. "Tapi juga tidak ada yang bisa membuatmu benar-benar hidup, bukan?"

Kata-kata itu mengalir begitu saja, namun terasa seperti kebenaran yang tak bisa Lia tolak. Dunia di luar penuh dengan risiko, dengan ketidakpastian, dengan kemungkinan terluka. Tapi di saat yang sama, dunia di luar juga penuh dengan peluang untuk merasa bahagia, untuk mengenal sesuatu yang baru, untuk menemukan makna dalam kehidupan.

Ares mengulurkan tangannya lagi, kali ini bukan sekadar untuk berjabat tangan, melainkan untuk mengajaknya pergi. "Maukah kau berjalan denganku?"

Lia menatap tangan itu, ragu sejenak. Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa ini adalah kesempatan yang tidak boleh ia sia-siakan.

Dengan langkah pelan, Lia menganggukkan kepalanya dan menggenggam tangan Ares.

Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa bahwa dunia di luar tidak lagi terasa menakutkan.Mereka mulai melangkah perlahan menyusuri jalanan yang masih basah oleh sisa hujan. Sepanjang trotoar, genangan air memantulkan cahaya lampu jalan, menciptakan kilauan yang menenangkan. Lia menggenggam payungnya erat, sementara Ares berjalan di sampingnya, tampak santai seolah mereka sudah sering berjalan bersama seperti ini.

"Apa yang biasa kau lakukan setiap hari?" tanya Ares, memecah kesunyian.

Lia berpikir sejenak sebelum menjawab. "Tidak banyak. Aku lebih sering berada di rumah, membaca, menulis… atau sekadar menatap keluar jendela."

Ares meliriknya sekilas. "Menunggu sesuatu?"

Lia terkesiap. Ia tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya, tapi… mungkin ada benarnya. Mungkin ia memang menunggu sesuatu. Atau seseorang.

"Aku tidak tahu," jawabnya jujur. "Mungkin aku hanya terbiasa merasa aman dengan rutinitasku."

Ares mengangguk paham. "Aku mengerti. Kadang, kita terjebak dalam zona nyaman karena takut mengambil risiko."

Lia menatapnya dengan rasa penasaran. "Kau sendiri? Apa yang membuatmu selalu berjalan di jalur yang sama setiap sore?"

Ares tersenyum samar, tapi ada kilatan misterius di matanya. "Mungkin aku juga sedang menunggu sesuatu."

Jawaban itu membuat Lia semakin penasaran, tapi ia tidak bertanya lebih lanjut. Mereka terus berjalan, melewati gang kecil yang mengarah ke taman kota. Udara malam terasa lebih segar setelah hujan, membawa aroma dedaunan basah dan tanah yang menghangat.

"Ini tempat favoritku," kata Ares ketika mereka sampai di taman. Ia menunjuk sebuah bangku kayu di bawah pohon besar, yang daunnya masih meneteskan sisa hujan. "Dulu, aku sering duduk di sini sendirian."

Lia ikut duduk di sampingnya, merasakan ketenangan yang tidak biasa. "Kenapa sendirian?" tanyanya pelan.

Ares menghela napas sebelum menjawab. "Karena dulu, aku juga seseorang yang lebih memilih mengamati dunia daripada menjadi bagiannya."

Lia terdiam, merasa seperti sedang melihat cerminan dirinya sendiri.

"Tapi suatu hari," lanjut Ares, "aku sadar bahwa dunia tidak akan menunggu kita. Jika kita hanya berdiri di balik jendela, kita akan kehilangan banyak hal yang seharusnya bisa kita rasakan."

Lia menatapnya, mencoba memahami maksud di balik kata-katanya.

"Apa kau menyesal?" tanyanya akhirnya.

Ares menggeleng. "Tidak. Karena akhirnya, aku memilih untuk keluar dan merasakan hidup. Sama seperti yang sedang kau lakukan sekarang."

Lia tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa melangkah keluar dari keheningan yang biasa ia genggam bukanlah hal yang menakutkan.

Namun, satu pertanyaan masih mengganjal di benaknya.

"Kenapa kau selalu berhenti di depan rumahku setiap sore?"

Ares tersenyum, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda di sorot matanya. "Karena aku penasaran dengan gadis di balik jendela itu."

Jantung Lia berdegup lebih kencang.Lia menundukkan kepala, menyembunyikan rona merah di wajahnya. Kata-kata Ares masih berputar di pikirannya—"Karena aku penasaran dengan gadis di balik jendela itu."

"Aku?" tanyanya pelan, seolah memastikan dirinya tidak salah dengar.

Ares mengangguk sambil tersenyum kecil. "Ya. Aku sering melihatmu di balik jendela itu, menatap keluar seakan ada sesuatu yang kau cari. Tapi kau tidak pernah melangkah keluar. Aku bertanya-tanya, apa yang membuatmu terjebak di sana?"

Lia menggigit bibirnya, merasa seolah Ares telah membaca semua isi hatinya.

"Aku tidak tahu…" jawabnya lirih. "Mungkin aku memang takut, atau mungkin aku hanya terbiasa sendiri."

Ares tidak langsung menanggapi. Ia hanya menatap ke langit malam yang mulai dipenuhi bintang. Hening sejenak sebelum ia akhirnya berkata, "Aku juga pernah merasa seperti itu. Terjebak dalam dunia yang kubangun sendiri. Aku takut keluar, takut berinteraksi, takut kecewa."

Lia menoleh, terkejut mendengar pengakuannya. "Lalu apa yang mengubahmu?"

Ares tersenyum, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang dalam. "Aku kehilangan seseorang yang berharga karena aku terlalu lama ragu. Aku tidak ingin mengulang kesalahan yang sama."

Lia merasakan dadanya menghangat. Ada kesedihan yang tersembunyi dalam suara Ares, sesuatu yang belum ia ceritakan sepenuhnya. Namun, sebelum ia sempat bertanya lebih lanjut, Ares bangkit dari bangku taman dan mengulurkan tangannya.

"Ayo."

Lia menatap tangannya yang terulur, ragu sejenak sebelum akhirnya menggenggamnya. Hangat. Kuat. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa mungkin, melangkah keluar dari jendela rapuh itu adalah keputusan yang tepat.

Mereka berjalan menyusuri taman, membiarkan malam menjadi saksi awal dari kisah yang baru.

Lia dan Ares terus berjalan menyusuri taman, menikmati keheningan yang nyaman di antara mereka. Langkah-langkah mereka beriringan, seolah mengikuti irama yang sama—ritme yang perlahan membentuk sesuatu yang lebih dari sekadar pertemuan kebetulan.

"Ares," panggil Lia pelan.

"Hm?" Ares menoleh, menatapnya dengan sorot mata yang hangat.

"Kau bilang… kau kehilangan seseorang karena terlalu lama ragu. Apa maksudmu?"

Ares terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. "Dulu, ada seseorang yang sangat berarti bagiku. Seseorang yang selalu ada, tapi aku terlalu takut untuk melangkah mendekatinya. Aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri, sampai akhirnya dia pergi… dan aku tidak pernah mendapat kesempatan untuk mengungkapkan apa yang kurasakan."

Lia merasakan sesuatu mencengkeram hatinya. Ia mengerti perasaan itu—perasaan ingin berbicara, tapi tertahan oleh ketakutan yang diciptakan sendiri.

"Aku tidak ingin itu terjadi lagi," lanjut Ares, suaranya lebih pelan. "Itulah sebabnya aku berhenti di depan rumahmu setiap sore. Aku ingin memastikan kau baik-baik saja, meskipun aku tidak tahu apakah aku punya keberanian untuk berbicara denganmu."

Lia tersenyum kecil, menatap Ares dengan mata yang lebih lembut. "Jadi… kita sama?"

Ares tertawa kecil. "Mungkin saja."

Malam semakin larut. Angin berhembus lembut, membawa kehangatan yang aneh bagi Lia—sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

"Ares," panggilnya lagi, kali ini dengan nada yang lebih mantap.

"Ya?"

Lia menatapnya dalam-dalam. "Aku ingin belajar melangkah. Aku tidak mau lagi hanya bersembunyi di balik jendela rapuh itu."

Senyum Ares semakin lebar. Ia meraih tangan Lia, menggenggamnya erat. "Kau tidak perlu berjalan sendirian. Aku akan menemanimu."

Malam itu, untuk pertama kalinya, Lia merasa bebas.

Jendela tua itu masih ada, berdiri sebagai saksi bisu. Tapi kali ini, ia tidak lagi menjadi batasan. Ia hanyalah bagian dari masa lalu yang pernah ada—masa lalu yang kini telah ditinggalkan.

Lia telah melangkah keluar.

Dan di luar sana, dunia terbentang luas, menunggu untuk ia jelajahi bersama seseorang yang kini berjalan di sisinya.

TAMAT.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Di Balik Jendela Rapuh
Pikat De Wangi
Cerpen
Perhatikan Rani
Cassandra Reina
Cerpen
Bronze
Apakah yang Kita Harapkan dari Hujan?
Habel Rajavani
Cerpen
Bronze
Demi Mama Aku Akan Sukses
afandiya
Cerpen
Bronze
Menyesal Setelah Kehilangan
Ardelia Rafilah Basya
Cerpen
Bronze
Cinta Tanpa Batas
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Bronze
Solitary
Ravistara
Cerpen
Mimpi Setinggi Menara
Muhammad Nur Syafi'i
Cerpen
Bronze
Pelukis Jalanan
AnotherDmension
Cerpen
Obrolan Burung
zain zuha
Cerpen
Mrs. & Mr. Lion
Hafizah
Cerpen
Perspektif
Nidaul Ainiyah
Cerpen
Titik Balik di Halte Bus
Niam Muhammad
Cerpen
Di Mana Hasil Panen?
Putri Rafi
Cerpen
Bronze
Serupa Daun-daun
Galang Gelar Taqwa
Rekomendasi
Cerpen
Di Balik Jendela Rapuh
Pikat De Wangi