Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Di Antara Kita, Kota Diam
0
Suka
14
Dibaca

Laras selalu memilih tempat yang sama: di bawah lampu jalan dekat tikungan kecil Jalan Melati, di mana bayangan pohon membentuk pola tak teratur di trotoar. Setiap malam, setelah suara kendaraan mulai jarang terdengar, ia akan membuka kotak gitarnya, menatap langit, dan berkata pelan pada dirinya sendiri:

“Untuk siapa pun yang masih terjaga.”

Lalu ia mulai bernyanyi.

Suara Laras tidak keras, tapi hangat — seperti bisikan yang tahu di mana harus berhenti. Orang-orang yang lewat jarang berhenti, namun beberapa di antara mereka melambat tanpa sadar. Entah karena nadanya, atau karena ada sesuatu di suaranya yang terasa akrab — seolah mereka pernah mendengar lagu itu di suatu tempat, suatu waktu yang samar.

Malam itu, ia menyanyikan lagu baru. Lagu yang ditulis dari potongan-potongan yang ia temukan: catatan dari Aldo yang tertinggal di meja kafe, foto yang dipajang di toko Rafi, suara dari radio Rani yang pernah menemaninya saat hujan, dan tentu, surat tanpa alamat yang ia temukan di gitar toko piringan hitam itu.

Ia memberi judulnya: “The Quiet Storyteller.”

“Dan bila kota ini diam,

biarlah kita berbicara lewat nada,

agar setiap sunyi punya arti,

dan setiap arti punya arah pulang.”

Suaranya melayang pelan, menembus jendela, memasuki ruang-ruang kecil tempat orang-orang sedang mencoba berdamai dengan dirinya sendiri.

Di apartemen lantai tiga, Rani duduk di depan mikrofon radionya. Ia berhenti sejenak, mendengarkan dari jendela yang terbuka. Nada itu terasa seperti sesuatu yang dulu pernah ia tulis, tapi lupa ia simpan.

Ia tersenyum, lalu berkata pelan ke udara:

“Kau tahu, kadang yang kita cari bukan suara, tapi keberanian untuk mendengarkan.”

Di kafe kecil dua blok dari sana, Aldo menatap dua cangkir kopi di mejanya, kali ini tak lagi kosong. Seorang pelanggan baru menulis sesuatu di kertas kecil dan meninggalkannya begitu saja. Ia membaca cepat: “Beberapa lagu tak perlu selesai untuk jadi indah.” Ia tersenyum, menatap keluar jendela, ke arah jalan tempat suara musik datang.

Di sudut yang lebih gelap, Nadia berhenti memotret. Kamera tergantung di leher, tapi kali ini ia memilih hanya melihat. Ia menatap Laras dari jauh, lalu menurunkan kameranya perlahan.

“Tak semua yang indah harus disimpan,” gumamnya.

Dan di balik kaca toko piringan hitam, Rafi menutup matanya, mendengarkan setiap bait lagu itu. Ia tahu dari mana melodi itu berasal. Tapi kini ia tak ingin mengklaimnya lagi.

“Akhirnya, lagu ini menemukan rumahnya,” katanya pelan.

Laras tak tahu siapa saja yang mendengarnya malam itu. Ia hanya tahu, untuk pertama kalinya sejak lama, ia tidak merasa sendirian.

Lagu Laras tak berhenti di trotoar. Malam itu, seseorang merekamnya lewat ponsel. Suara samar gitar, desis angin, dan nada yang seolah menyatu dengan detak lampu jalan. Rekaman itu dikirim ke stasiun radio lokal oleh pendengar anonim.

Keesokan malamnya, Rani membuka siarannya seperti biasa. Ia menerima pesan singkat dari produser:

“Coba dengarkan rekaman ini. Katanya, ini lagu dari jalanan.”

Rani memasang headphone, menekan tombol “Play,” dan sunyi pun berubah menjadi sesuatu yang hidup. Begitu nada pertama terdengar, ia menutup mata. Suara itu tidak sempurna, ada kebisingan lalu lintas, ada dengung mikrofon, ada napas yang tertahan. Tapi justru di situlah keindahannya.

“Untuk siapa pun yang masih terjaga…” suara Laras berkata lembut sebelum mulai bernyanyi.

Rani tak menahan senyum. Ia tahu, lagu ini bukan sekadar lagu. Ini adalah surat balasan, gema dari cerita-cerita yang pernah ia siarkan, yang pernah ia tulis.

Ketika lagu itu mulai diputar di udara, kota pun mendengarkan.

Di jendela apartemennya, Nadia menatap ke luar, memotret cahaya yang memantul di kaca bangunan seberang. Ia tak tahu kenapa lagu itu membuatnya ingin membuka jendela, tapi ia melakukannya juga. Udara malam masuk perlahan, membawa bau aspal dan suara gitar jauh di bawah sana.

Di kafe tempat Aldo biasa duduk, barista memutar siaran radio itu lewat speaker kecil di pojok ruangan. Beberapa pengunjung berhenti berbicara. Aldo meletakkan pensil arsitekturnya, menatap garis-garis sketsa gedung yang belum selesai di depannya. Ia menambahkan satu garis kecil — lengkung seperti gelombang suara. Mungkin, pikirnya, kota ini pun bisa bernapas seperti manusia.

Dan di toko piringan hitam, Rafi menulis sesuatu di buku catatannya:

“Musik berpindah, tapi jiwanya tetap di sini.” Ia menatap rak vinil yang berderet rapi, lalu menyalakan radio kecil di sudut meja. Suara Laras memenuhi ruang itu, bercampur dengan suara gemerisik jarum piringan yang berputar, seolah masa lalu dan masa kini sedang menari bersama.

Di luar, Laras duduk di trotoar yang sama, tidak tahu kalau suaranya kini mengalir lewat udara, menembus tembok, jendela, dan hati orang-orang yang tanpa sadar saling terhubung oleh lagu yang sama.

Beberapa orang yang lewat berhenti sejenak. Ada yang merekam, ada yang hanya mendengarkan. Ada yang menunduk, lalu tersenyum kecil sebelum berjalan lagi.

Dan untuk sesaat, kota benar-benar diam. Bukan diam yang kosong — tapi diam yang mendengarkan.

Laras membuka matanya, melihat langit.

“Mungkin beginilah caranya kota berbicara,” katanya pelan.

Beberapa minggu berlalu sejak malam lagu itu pertama kali disiarkan. Kini, hampir setiap sudut kota pernah mendengar potongan nadanya, dari radio kecil penjaga parkir, dari toko roti yang buka dini hari, dari headphone anak muda di halte bus. Tidak ada yang tahu siapa penyanyinya. Tapi semua orang sepakat: lagu itu membuat malam terasa sedikit lebih tenang.

Laras tetap bermain di tempat yang sama. Namun ada sesuatu yang berbeda. Ia tidak lagi merasa sedang menyanyi untuk seseorang, ia sedang menyanyi bersama kota itu.

Setiap kali memetik gitar, ia membayangkan suara-suara lain yang pernah bersinggungan dengan nadanya: suara Rani di radio, tawa Aldo di kafe, klik kamera Nadia di jendela, desis piringan Rafi di toko tua. Semua bergema samar dalam pikirannya, seperti harmoni yang pelan tapi utuh.

Malam itu, setelah menyelesaikan lagu, Laras menutup matanya dan menulis sesuatu di buku kecilnya. Judulnya sederhana: “The Quiet Storyteller.” Di bawahnya, ia menulis:

"Untuk mereka yang tidak pernah bersuara, tapi membuat dunia terasa hidup."

Ia tidak tahu akan menulis lagu baru setelah ini atau tidak. Tapi untuk pertama kalinya, ia merasa cukup. Seolah seluruh perjalanan sunyi selama ini memang mengarah ke satu titik ini saja.

Angin malam berhembus lembut, membawa aroma tanah, kopi, dan cahaya lampu jalan yang menua di antara bangunan. Dari radio di toko Rafi terdengar suara Rani. Suaranya masih lembut seperti biasa:

“Malam ini, aku ingin menutup siaran dengan satu pesan. Jika kau merasa sendirian, dengarkan baik-baik. Kadang, di balik sunyi, ada seseorang yang sedang bercerita, dengan caranya sendiri.”

Laras tersenyum. Ia menatap ke arah toko itu, lalu ke langit. Di jendela apartemen, cahaya kecil berkedip. Mungkin dari Nadia. Di kafe seberang, seseorang mengetuk gelas pelan. Mungkin Aldo. Dan di udara, gema lembut suara radio menjawabnya. Pasti Rani.

Untuk sesaat, kota terasa berhenti bernapas. Lalu, perlahan, ia hidup lagi. Bukan lewat suara, tapi lewat kehadiran yang saling mengenali.

Laras memetik senar gitar sekali lagi. Nada terakhirnya melayang, bergabung dengan dengung malam. Bukan sebagai akhir, tapi sebagai kesadaran bahwa setiap cerita, sekecil apa pun, akan selalu menemukan telinga yang mau mendengarkan.

Dan di udara yang hening itu, terdengar satu kalimat terakhir, entah dari siapa, entah dari mana, tapi seolah diucapkan oleh kota itu sendiri:

“Terima kasih sudah mendengarkan.”

***

Setiap kota punya caranya sendiri untuk berbicara. Kadang lewat deru kendaraan, kadang lewat langkah kaki di trotoar, kadang lewat suara seorang musisi yang menyanyi sendirian di bawah lampu jalan. Namun yang paling jujur dari semuanya, adalah diamnya.

Diam yang tidak kosong.

Diam yang mengandung semua cerita kecil yang tak sempat diucapkan.

Laras, dengan gitarnya yang sederhana, menjadi cerminan dari itu semua: bahwa tidak semua hal butuh panggung besar untuk berarti. Kadang, yang kita butuhkan hanya keberanian untuk membiarkan suara kita mengalir, meski tak ada yang menoleh, meski tak ada yang bertepuk tangan.

Dalam diam kota itu, ada Rani yang terus berbicara lewat udara, Aldo yang masih menunggu dengan tenang, Nadia yang akhirnya berani melihat, Rafi yang telah berdamai dengan gema masa lalu, dan Laras yang menyatukan semuanya tanpa sengaja, hanya dengan sebuah lagu.

Mereka tidak pernah benar-benar saling mengenal. Tapi benang-benang tak kasatmata itu menghubungkan mereka dalam cara yang paling manusiawi: melalui perasaan yang tulus.

Dan mungkin, itulah inti dari seluruh kisah ini. Bahwa kadang, yang membuat kita terhubung bukanlah kata-kata, melainkan kesediaan untuk saling mendengarkan.

“The Quiet Storyteller” bukan sekadar lagu, melainkan napas dari orang-orang yang memilih bertahan dalam kelembutan. Ia adalah pengingat bahwa bahkan di tengah kebisingan, selalu ada ruang kecil untuk sunyi yang menyembuhkan.

Jadi, bila suatu hari kau berjalan sendirian di kota, dan mendengar seseorang bernyanyi tanpa nama, berhentilah sejenak. Mungkin ia sedang bercerita. Tentangmu, tentangku, atau tentang kita semua, yang pernah belajar menemukan diri dalam diam.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
KONFESI
Afra Ulfatihah N.E
Flash
Serial Killer? : Hai, ini aku!
Rumpang Tanya
Cerpen
Di Antara Kita, Kota Diam
A. R. Tawira
Novel
A Piece of Puzzle
Yovi Eviani Chandra
Novel
Hasrat Abu
Tiara Khapsari Puspa Negara
Novel
Sanggupkah untuk berbagi?
Halimah
Flash
Love Yourself
Rahma Pangestuti
Flash
Forgetting
Fani Fujisaki
Skrip Film
It's Not Easy to be A Single Dad
Amalina septiani
Flash
The Secret Box
Gadhinia Devi Widiyanti
Flash
Bronze
Orderan Terakhir Ardiansyah
Nuel Lubis
Novel
End to Start
Flaminstalized
Novel
NODA PERNIKAHAN
Roslina
Flash
Bronze
VESPA UNTUK AYAH
Emma Kulzum
Flash
Bronze
Pacaran Sabtu Minggu
Nuel Lubis
Rekomendasi
Cerpen
Di Antara Kita, Kota Diam
A. R. Tawira
Flash
Amarah
A. R. Tawira
Cerpen
Nada yang Tersisa di Jalan Melati
A. R. Tawira
Flash
Sunyi
A. R. Tawira
Flash
Bising
A. R. Tawira
Cerpen
Di Balik Jendela yang Tak Pernah Dibuka
A. R. Tawira
Cerpen
Sisa Kopi di Meja Tengah
A. R. Tawira
Cerpen
Suara di Kamar 304
A. R. Tawira
Flash
Abu
A. R. Tawira