Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku selalu percaya bahwa cinta paling murni adalah yang tidak bersuara, ia hadir dalam bentuk waktu, langkah yang diam-diam mengikuti dari jauh, atau senyap yang tak pernah menuntut apa-apa.
Aku hidup di antara dua sunyi.
Lucien Arsenault adalah teman kecilku. Ia selalu ada, bahkan saat aku tidak memintanya. Ketika aku didiagnosis mengidap penyakit yang nyaris merenggut hidupku, ia yang paling pertama muncul di ruang tunggu rumah sakit, tanpa kabar, tanpa alasan. Ia mengantar, menunggu, mendengarkan, dan tertawa di waktu aku sudah lupa caranya tertawa. Ia membatalkan pekerjaannya, menunda segala rencananya, bahkan katanya menolak beasiswa ke luar negeri, Lucien melalukan semua itu tanpa pernah bilang bahwa itu karena aku. Dan aku terlalu sibuk bertahan hidup untuk bertanya.
Lalu ada Tristan Valerio.
Sosok yang kutemui di kampus dulu, pendiam dan terkesan dingin. Tapi entah kenapa, ia selalu muncul di waktu yang paling penting, membawakan perlengkapan medis saat aku kehabisan, membayar diam-diam tagihan pengobatan yang bahkan tak sempat kukeluhkan. Aku tahu dari suster, ada “donatur anonim” yang membiayai sebagian besar operasiku. Lucien bilang itu bukan dia. Aku percaya. Tapi Tristan pun tak pernah mengaku.
Aku mungkin sembuh. Secara fisik untuk saat ini. Tapi hatiku tetap berada di persimpangan yang ambigu: antara seseorang yang memberikan waktunya sepenuh hidup, dan seseorang yang menyerahkan sesuatu yang bahkan tak bisa kuhitung nilainya.
Suatu hari aku melihat katalog lelang. Ada lukisan milik Tristan. Lukisan yang ia simpan selama bertahun-tahun, katanya itu “satu-satunya bagian dari ibunya yang masih ia punya.” Lukisan itu dijual. Dan hasilnya kuperiksa rekening donasi rumah sakit, angka itu cocok. Aku hanya bisa menatap kosong.
Beberapa minggu kemudian, aku memberanikan diri masuk ke kamar Lucien yang selalu rapi. Di dalam laci mejanya, ada surat penerimaan beasiswa ke Prancis. Surat yang ditandatangani tiga bulan sebelum aku mulai dirawat dan di sudutnya, satu kata tertulis: “Batal.”
Hatiku remuk dalam diam.
Tak satu pun dari mereka pernah bilang bahwa mereka mencintaiku. Tak satu pun dari mereka meminta aku membalas. Mereka hanya… ada. Dan memberi. Dengan cara yang paling sunyi.
Hari ini, aku berdiri di depan rumah sakit tempat aku pernah menggantung antara hidup dan mati. Di tanganku, dua amplop. Satu untuk Lucien. Satu untuk Tristan. Isinya sama: surat yang kutulis dengan air mata yang tumpah tanpa suara.
Di akhir surat untuk Lucien, kutulis:
“Jika waktu adalah bentuk cintamu, maka kau telah memberiku kehidupan kedua.”
Di akhir surat untuk Tristan, kutulis:
“Jika diam-diammu adalah perlindungan, maka kau telah membuatku merasa aman, bahkan saat aku tidak tahu dari siapa.”
Aku tak tahu apakah ini keputusan, atau hanya bentuk melepaskan rasa bersalahku.
Tapi mungkin memang tidak semua cinta harus dimiliki. Ada cinta yang cukup untuk dikenang sebagai alasan mengapa aku bisa hidup sampai hari ini.
Tanpa pernah diminta. Tanpa pernah dimiliki.
Tapi akan selalu kuingat.
**
Hari itu langit mendung, seolah tahu ada yang berbeda. Di sebuah rumah sederhana di ujung selatan kota, Lucien memandangi bingkai foto kecil yang masih terpajang di rak ruang tamunya, foto yang diambil delapan tahun lalu, ketika mereka masih SMA, dan Amara Lysandra tertawa begitu lepas di foto.
Rambutnya dikepang dua, matanya sipit saat tertawa, dan Lucien berdiri setengah canggung di sampingnya, dengan wajah yang mencoba menyembunyikan rasa suka yang tidak pernah berhasil ia ucapkan.
Hari ini, ia menerima sebuah amplop. Tidak ada pengirim, hanya inisial A.L. di pojoknya. Tapi Lucien tahu, isi amplop itu akan mengubah segalanya.
Di sisi lain kota, Tristan duduk diam di balkon apartemennya yang dingin. Tangannya menggenggam surat yang serupa, amplop dengan inisial yang sama, dan tulisan tangan yang begitu ia kenal: sedikit miring ke kanan, tegas, dan lembut. Surat itu ditemukan di antara barang-barang pribadi Amara oleh adik perempuannya, lalu dikirimkan ke dua alamat yang tertera dengan tinta yang sudah memudar.
Amara telah meninggal tiga minggu lalu. Tanpa peringatan, tanpa tanda yang bisa dibaca. Kepergiannya begitu sunyi, sebagaimana ia hidup.
**
Lucien membuka surat itu perlahan. Setiap lipatannya seperti menahan napas yang tak pernah sempat dihembuskan.
“Lucien…”
“Maaf jika surat ini baru sampai padamu. Maaf karena aku tidak cukup kuat untuk menunggu lebih lama lagi. Tapi mungkin memang begini caraku menyampaikan sesuatu yang tidak pernah berani kuucapkan. Terima kasih karena kau selalu ada bukan sebagai kewajiban, tapi karena kau memilih untuk ada.”
“Kau adalah bentuk cinta yang paling aku pahami: hadir tanpa perlu diminta. Kau tidak pernah mengatakan ‘aku mencintaimu’, tapi aku merasakannya di setiap langkah yang kau batalkan hanya untuk menemaniku, di setiap rencana yang kau korbankan agar aku tidak merasa sendiri.”
“Surat beasiswa ke Prancis itu… aku tahu kau menyimpannya. Aku tahu kau membatalkannya bukan karena alasan akademis, tapi karena aku sakit. Dan aku menyesal, karena aku terlalu lemah untuk bertanya, apalagi untuk melarangmu tetap tinggal.”
“Jika waktu adalah bentuk cintamu, maka kau telah memberiku kehidupan kedua.”
“Dan meskipun aku tidak tahu bagaimana caraku membalas semua itu, aku ingin kau tahu: aku bertahan sejauh ini karena kamu. Kamu memberiku keberanian untuk tidak menyerah.”
Lucien menunduk, matanya mulai berkaca-kaca. Ia mengusap bagian surat yang terkena tetes air mata, entah dari mata atau dari hujan yang mulai turun di luar jendela. Ia menahan tangis, menggenggam surat itu seolah bisa memeluk Amara untuk terakhir kalinya. Sakit yang dulu ia tekan, kini meledak begitu saja, membanjiri ruang yang selama ini hanya berisi harapan-harapan diam.
**
Sementara itu, Tristan duduk dengan punggung menyandar pada dinding balkon. Langit di atasnya kelabu, dan angin sore menggigit ujung jarinya yang masih menggenggam amplop.
Ia menarik napas panjang dan membuka suratnya. Tulisan itu seperti suara Amara yang datang dari antara kabut kenangan.
“Tristan…”
“Aku tidak pernah tahu bagaimana cara memandangmu tanpa merasa seperti menebak teka-teki. Kau begitu tenang, bahkan saat aku sedang hancur. Kau tidak pernah bertanya, tidak pernah mendesak, tapi selalu tahu apa yang kubutuhkan.”
“Aku tahu, soal tagihan rumah sakit itu… Itu kamu, kan? Kamu tidak pernah mengaku, tapi suster memberitahuku. Dan ketika aku melihat lukisan ibumu dilelang, aku tahu pasti… kamu memilih untuk kehilangan satu-satunya kenangan yang tersisa, hanya agar aku bisa hidup.”
“Jika diam-diammu adalah perlindungan, maka kau telah membuatku merasa aman, bahkan saat aku tidak tahu dari siapa.”
“Aku ingin kamu tahu bahwa keberadaanmu meskipun jauh, meskipun sering tak terlihat adalah nafas yang membuatku bertahan. Kamu mencintai dengan cara yang tidak biasa, tapi aku bisa merasakannya setiap kali kamu berdiri diam di lorong rumah sakit, berpura-pura membaca laporan hanya agar tetap dekat.”
Tristan menutup mata. Seluruh tubuhnya terasa berat. Ia tidak pernah butuh pengakuan, tidak pernah berharap akan dikenali. Tapi kini, saat semuanya telah terlambat, saat Amara sudah tiada, ia merasakan kekosongan yang tak bisa diisi oleh apapun.
Surat itu jatuh perlahan ke pangkuannya. Ia menengadah ke langit yang mendung, membiarkan gerimis membasahi wajahnya yang tak lagi sanggup menahan air mata.
**
Di hari pemakaman Amara, tak satu pun dari mereka sempat membaca surat itu. Surat itu baru dikirimkan setelah prosesi selesai, setelah tubuh itu dikembalikan ke tanah, setelah bunga-bunga layu di bawah matahari yang tak mau bersinar. Dan sekarang, mereka masing-masing membaca isi hati yang terlambat. Terlambat untuk dijawab, terlambat untuk digenggam.
Namun di balik semua penyesalan itu, ada penghiburan yang pelan-pelan menyusup ke relung hati mereka: Amara tahu. Amara mengerti. Dan Amara mencintai dengan cara yang tidak memilih siapa yang lebih pantas, tetapi merangkul keduanya sebagai bagian yang tak tergantikan.
**
Beberapa minggu kemudian, Lucien dan Tristan berdiri dalam diam di depan nisan yang sama.
Mereka tidak berbicara. Hanya berdiri, masing-masing dengan pikirannya sendiri. Angin membawa aroma tanah basah dan bunga melati yang ditaburkan pagi tadi. Di antara mereka, ada dua surat yang kini telah menjadi saksi dari cinta yang tidak pernah dimiliki, tapi selalu ada.
Lucien meletakkan bunga matahari di sisi kiri nisan. Tristan meletakkan lukisan kecil replika di sisi kanan, salinan lukisan ibunya yang dulu ia lelang. Mereka tak saling pandang, tapi tahu mereka tidak sendiri.
Dan entah siapa yang mulai bicara lebih dulu, tapi sebuah kalimat akhirnya keluar, lirih.
“Dia tahu kita mencintainya.”
Yang lain menjawab, sama pelannya.
“Dia tahu, meski tak pernah kita katakan.”
Angin berhembus lebih tenang sore itu. Langit masih mendung, tapi tak lagi tampak muram.
Cinta yang tak pernah diminta.
Cinta yang tak pernah dimiliki.
Tapi akan selalu dikenang.