Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di dalam ruangan segi empat yang cukup luas di kawasan ibu kota, nampak Seorang dosen di sebuah universitas ternama sedang memberikan ceramah di depan murid-murid nya. Tentang sebuah masjid yang terletak di timur tengah yang sudah berumur 1000 tahun.
"Nama bangunan itu adalah masjid Al-Azhar yang terletak di kairo, Mesir." Pak Edwin menjelaskan.
Tangan nya memencet sebuah tombol. Seketika layar yang ada di hadapan ku menampilkan slide power point. Terpampang jelas sebuah tulisan "Siapa yang pertama kali membangun masjid Al-Azhar?"
"Kalian ada yang tau siapa yang membangun masjid ini?"
Aku yang duduk di baris kedua mengacungkan tangan. Bukan karena sok tau atau cari perhatian, tapi emang wawasan sejarah ku cukup luas dibandingkan mahasiswa yang lain.
"Jauhar Al-siqilly pak, bangunan ini di bangun tahun..."
"Tsutt.... Randy bapak tau kamu punya wawasan luas tentang sejarah, tapi kamu harus cerdas memahami sebuah pertanyaan." Potong dosen ku.
Aku tidak terima dengan ucapan pak Edwin.
"Emang letak salah saya di mana pak?"
Pak Edwin yang berumur hampir 50 tahun itu hanya bisa menghela nafas panjang.
"Coba kamu perhatikan lagi pertanyaan nya!" Dia menunjuk layar yang ada di depan ku.
Aku mengeja tulisan yang ada di layar itu "Siapakah yang pertama kali membangun nya?" aku menggaruk kepala yang tidak gatal. bingung dengan apa yang di maksud oleh pak Edwin, karena jawaban yang aku sampaikan tadi, menurut ku seratus persen benar.
"Kamu sudah tau letak kesalahan mu di mana?" Tanya orang tua itu sekali lagi.
Aku sontak menggeleng.
"Oke. biar bapak jelaskan, pertanyaan nya adalah siapa yang membangun nya, gak ada pertanyaan tentang kapan bangunan nya di bangun. sampai sini paham?" Dia menatapku.
Aku mengangguk pelan.
"Nah sedangkan kamu tadi menjawab sesuatu yang tidak di tanyakan, karena itu lah kamu tadi bapak anggap salah, karena kamu tidak memahami pertanyaan dengan baik." Ucap pak Edwin.
Akhir nya aku mengerti maksud nya, tapi yang bikin aku kesal, teman-teman ku yang duduk di barisan belakang seketika menertawakan ku.
"Tsutttt!!" Pak Edwin menghentikan tawa mereka.
"Karena kalian menertawakan Ran, kalian semua harus menulis esai atau persentase tentang bangunan bersejarah ini. Waktu kalian satu minggu."
Seketika mahasiswa yang duduk di barisan belakang menghela nafas panjang.
"Kok jadi kami yang dapat tugas pak?" Tanya salah satu dari mereka.
"Kalau kalian ingin dapat nilai tinggi di mata pelajaran saya, kalian harus mengerjakannya, tapi kalau kalian tidak mengerjakan nya, jangan salahkan saya kalau nilai kalian rendah." Tegas pak Edwin.
Aku sangat mengenal temperamen nya pak Edwin yang suka ngasih tugas dadakan, sehingga membuat dia tidak di sukai oleh sebagian mahasiswa yang pemalas. Tapi aku menyukai nya.
Pak Edwin seketika langsung menutup pelajaran nya dan meninggalkan kelas . Sementara mahasiswa yang ada di belakang masih sibuk mengeluh. Aku hanya tersenyum melihat pemandangan itu, karena sudah biasa terjadi.
Aku memasukan laptop ke dalam tas karena kuliah hari ini sudah selesai. Aku masih stay di tempat duduk ku sambil memperhatikan beberapa mahasiswa mulai meninggalkan kelas. Sebagian lain sibuk bercengkrama dengan teman satu geng mereka.
Aku mengalihkan pandangan ku ke pojok belakang, nampak seorang perempuan yang sedang duduk dengan senyum tipis di wajah menatap smartphone entah apa yang bikin dia senyum-senyum sendiri hari itu. mungkin itu meme kocak yang lagi trend hari itu, aku tidak tau.
Perempuan itu beranjak berdiri dan memasukan hape nya ke dalam kantong, dia menghampiri ku. lalu menyodorkan sebuah amplop berwarna pink yang dihias pita di atas nya dengan sedemikian rupa.
"Ini Ran buat kamu." Ucap nya.
Aku menatap wanita itu. Dia menggunakan hijab berwarna hitam dengan kemeja putih dan celana jeans warna biru muda serta di lengkapi dengan sepatu sneakers yang berwarna putih di kaki nya. Mata nya berbinar-binar menatapku, seakan kebahagiaanya sudah ada di depan mata. kulit nya berwarna kuning langsat. Senyum yang manis di wajah nya adalah daya tarik dia yang sebenarnya.
”Ini apa Sal?”
Perempuan itu menyeringai sambil mengangkat bahu. Dia sengaja bikin aku penasaran. Karena emang hal itu sudah jadi favorit nya.
Aku melepas ikatan pita pelan-pelan dan membuka amplop itu. Seketika aku ternganga.
”Ini seriusan Sal?”
”Iya Ran, aku akan menikah minggu depan.”
Aku kembali menatap amplop yang bertulisan “Salwa & Rio.” Di dalam nya dengan latar belakang foto prewedding mereka. Aku tidak terlalu kenal sama Rio karena dia adalah kaka kelas ku ketika di sma, namun aku tahu Sekarang dia sedang bekerja di sebuah bank konvensional karena kita pernah ketemu.
”Sekarang gue udah gak jomblo kaya lo lagi.” Anak itu mengolok ku.
”Maybe, tapi kok kamu gak pernah cerita ke aku sih bahwa kamu sudah lama dekat sama Rio?”
”Karena kami sepakat untuk merahasiakan nya.” Ucap Salwa dengan santai nya.
”Datang ya Ran, entar lihat betapa cantik nya gue ketika berjalan di altar pernikahan nanti.” Cerocos nya.
”Iya, iya gue bakal datang kok.”
”Oke, thank you Ran.” Dia mengacungkan jempol kepada ku.
“Aku duluan ya, soal nya hari ini ada urusan. Dah" Ucap Salwa.
Aku belum sempat menjawab ucapan nya, anak itu sudah menghilang dari hadapan ku. Sekali lagi aku menatap kertas undangan itu dan memasukan nya ke dalam tas.
Satu minggu kemudian.
Aku menghadiri acara pernikahan Salwa yang dilaksanakan di balllroom sebuah hotel yang cukup terkenal di kawasan ibu kota. Aku menggunakan celana hitam serta baju kemeja yang dilapisi jas standar orang kondangan.
Aku memperhatikan nya dari jauh, Sahabatku hari itu tampil dengan sangat cantik menggunakan gaun putih yang sangat indah. Sementara mempelai laki-laki nya si Rio tampil dengan sangat menawan dengan kemeja putih dan di lapisi jas hitam yang mengkilap. Dia mengucapkan ijab kabul pada hari itu dengan sangat lancar. Mata ku berkaca-kaca menyaksikan pemandangan yang sangat mengharukan di depan mata ku.
Perasaan ku pada saat itu entah bahagia atau sedih, aku juga gak tau. Separuh hati ku bahagia. Sebagian yang lain nya lagi sedih.
Di perjalanan pulang tak terasa air mata ku menetes karena ada hal yang baru saja ku sesali yaitu aku tidak pernah sekalipun mengucapkan "Aku menyukai mu Sal."
Setelah hari yang menyesakan itu berlalu, aku menjalani hari-hari seperti biasa. Tidur, kuliah dan hangout seperti anak muda pada umum nya. Sesekali aku kencan untuk mencari pasangan hidup.
Hari terus bergulir, tak terasa sudah delapan bulan berlalu sejak Salwa menikah dengan laki-laki pilihan nya.
Namun malam itu, aku sedang kencan pertama dengan seorang perempuan, nama nya "Alya" di sebuah cafe dengan interior klasik di kawasan Jakarta. Tiba-tiba telepon ku berbunyi, itu notif yang hanya di khususkan untuk satu orang saja yaitu"Salwa".
Aku bertanya-tanya dalam hati"Kenapa dia menghubungi ku?"
"Sebentar ya." Aku minta izin untuk mengangkat telepon.
"Siapa itu?"
"Teman lama."
Aku berdiri dan menuju ke depan cafe.
"Halo Sal!"
Tidak ada jawaban dari seberang sana hanya ada suara isak tangis banyak orang.
"Halo Sal!"
"Sal!"
Aku bingung dengan situasi ini. Apa yang sedang terjadi di seberang sana? Aku terus mondar-mandir menunggu jawaban.
"Halo Sal!"
"Ran!" Suara Salwa terdengar sangat lemah. Dia masih sesegukan.
"Iya Sal, hei kamu kenapa? Are you okay?" Tanya ku cemas.
"Rio meninggal Ran."
Seketika aku terdiam. Sementara suara Salwa tidak kuasa menahan tangis. Aku mendengarnya.
"Aku ke rumah mu sekarang Sal."
Aku langsung menutup telepon dan masuk ke dalam cafe untuk mengambil kunci motor yang ku letakan di atas meja.
"Ya sorry banget, aku harus pulang sekarang."
"Hei,kenapa? Ini kencan pertama kita Ran!!"
"Teman aku meninggal Ya, kamu habisin aja makanan nya, entar aku yang bayar."
Aku sudah siap pergi meninggalkan cafe.
"Aku ikut Ran." Ucap Alya.
"Okey."
Aku menuju kasir dan langsung menyerahkan kartu atm. Untungnya penjaga kasir itu memproses nya cepat.
Aku menuju parkiran motor sementara Alya mengikuti ku dari belakang. Aku menyerahkan helm nya dan dia duduk di belakangku.
"Pegangan ya!"
Alya berpegangan dengan baju ku. Namun aku segera melingkarkan tangan nya di perut ku dan ternyata dia mengencangkan pelukan nya. Seketika hati ku berdegup kencang tapi aku tidak punya waktu untuk menikmati itu. Aku tergesa-gesa.
Aku menancap gas motor vespa ku. Lincah menyalip kendaraan yang mengalangiku.
Alya semakin mengencangkan pegangan nya. Sesekali helm nya terantuk dengan helm ku, karena aku tiba-tiba ngerem mendadak. Aku tau dia takut melihat cara ku menyetir motor, karena dia sangat kencang memeluk ku, Tapi aku tidak punya pilihan lain.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 30 menit akhir nya, aku dan Alya sampai di tempat tujuan. Mobil-mobil rapi berbaris di halaman rumah Salwa dan ada beberapa sepeda motor yang di parkir rapi. Aku memarkirkan kendaraan ku di sana.
Sementara di depan rumah nya ada sebuah tongkat menjulang tinggi yang di atas nya terikat sebuah bendera warna kuning untuk menandakan bahwa ada kematian.
"Ya ayo kita masuk." Ucap ku.
Alya hanya mengangguk perlahan.
Aku melihat banyak orang yang sedang bercengkrama di depan rumah Salwa. Mereka memakai baju hitam-hitam menandakan mereka sedang berduka. Aku melangkah masuk ke dalamnya sementara Alya terus mengikuti ku di belakang.
Di dalam rumah itu suara tangis menderu-deru dan ada sebagian orang yang duduk persis di samping mayat Rio, mereka sibuk melantukan ayat suci Al-qur'an.
Mata ku liar mencari seseorang, aku memicingkan mata ke setiap sudut rumah itu dan akhir nya aku menemukan Salwa yang sedang menangis terisak-isak di pelukan ibu nya. Aku tidak tega melihat nya.
"Ran sahabat mu yang mana?" Tanya Alya polos.
"Yang itu!" Aku menunjuk ke arah Salwa.
Alya hanya merespon dengan anggukan saja tanda dia sudah tau. Aku dan Alya duduk di samping mayat Rio, kami membaca beberapa surah pendek yang kami hapal.
lantunan ayat suci al-qur'an saling bersahutan di rumah itu. Setelah 10 menit berlalu aku memutuskan untuk beranjak berdiri.
"Ya aku mau nyamperin temen ku dulu ya?"
Alya menatapku, lalu mengangguk pelan.
Aku nyamperin Salwa yang menangis terisak-isak, dia melihat ku tapi masih menangis tersedu-sedu. Tampilan nya berantakan. Pipi nya basah dengan air mata.
"Sal, bu, Ran ikut berduka dengan keadaan ini!"
"Iya Ran terima kasih." Jawab ibu Diana yang sedang memeluk Salwa.
"Ran, kenapa Rio meninggalkan ku secepat ini?" Tanya Salwa.
Aku tau itu bukan pertanyaan sebenarnya, jadi aku memutuskan untuk diam.
"Sudah nduk, mungkin tuhan lebih sayang sama Rio." Ucap ibu Diana sambil mengelus kepala anak semata wayang nya.
"Tapi kenapa harus sekarang bu?" Sahut Salwa.
"Yang kuat ya Sal, kalau ada butuh apa-apa, kamu bisa hubungin aku!"
"Terima kasih ya Ran sudah datang."
"Bu, Sal, saya ke depan dulu ya?"
"Iya Ran." Jawab ibu Diana.
Aku beranjak berdiri dan menuju halaman rumah. Beberapa orang sedang berbincang.
"Malang sekali nasib anak ibu Diana itu, padahal dia lagi mengandung, tapi suami nya tiba-tiba kecelakaan." Ucap salah satu bapak yang ada di halaman.
"Iya, malang sekali nasib nya." Celetuk teman nya.
Aku sedang menyimak pembicaraan mereka. Aku baru tau bahwa Salwa sekarang sedang mengandung, dia tidak pernah cerita sama sekali tentang itu.
Tiba-tiba ada orang yang menepuk pundak ku. Aku seketika menoleh, ternyata itu adalah Alya.
"Ran, boleh minta tolong antarin aku pulang gak? soal nya sekarang udah malam, takut ibu ku nyariin."
Aku tidak sadar bahwa hari sudah gelap dan angin malam mulai menusuk tulang dan lebih parahnya lagi aku bawa anak cewe orang sampe malam gini.
”Ayo Ya, gue antar pulang. Aku pamitan dulu ya ke dalam?”
”Iya Ran.”
Aku beranjak masuk ke dalam rumah, langsung menghampiri Salwa dan ibu nya.
”Bu, Sal, saya izin pamit pulang dulu ya?”
”Iya nak, terima kasih sudah mampir.” Jawab ibu Diana.
”Terima kasih Ran.” Ucap Salwa.
Aku hanya mengangguk.
“Assalamualaikum.” Ucapku.
”Waalaikumsalam.” Lirih Salwa.
Aku langsung beranjak keluar. Alya masih setia menunggu ku di sana. Hari itu dia sangat cantik, tapi aku tidak punya waktu untuk mengagumi itu semua.
”Ya!!”
”Eh udah pamitan nya?” Dia menoleh.
”Iya.” Aku mengangguk.
”Kamu tunggu di sini ya, aku ambil motor dulu.”
Dia mengangguk.
Aku mengambil motor, dan langsung menancap gas menghampiri nya.
”Ya, ini helm nya.” aku menyodorkan helm kepada nya.
Dia mengambil helm dari tangan ku dan memasang nya perlahan tapi dia lupa memakai pengaman helm nya. Namun aku menyadari itu.
Tangan ku seketika meraih pengaman helm dan memasangkan nya. “KLIK” itu suara pengaman helm yang ku pasang. Dia tidak menyangka bahwa aku akan melakukan hal itu. Mata kami saling bertatapan sepersekian detik.
Jantung ku berdegup kencang. Hati ku tidak karuan. Mulut ku kelu. Aku menatap wajah nya yang sempurna dengan hidung mancung dan senyum manis di bibir serta mata yang bersinar.
”Eh, kamu tadi lupa pasang pengaman nya Ya.” aku memecah keheningan.
”Oh iya, sorry ya Ran.”
”Iya gak papa, Yok naik!!”
Alya duduk di belakangku, setelah dia merapikan duduk nya, tangan ku seketika langsung menancap gas.
Sepanjang perjalanan, aku dan Alya tidak banyak bicara. Tapi seperti nya di dalam kepala Nya banyak pertanyaan yang siap dia lontarkan kepada ku kapan saja namun anak itu memilih untuk menahan nya. Namun sekali lagi itu hanya dugaan ku saja.
Setelah menempuh perjalanan setengah jam akhir nya aku sampai di depan rumah Alya yang di tandai dengan gerbang berwarna hitam, kokoh dan tinggi. Anak itu emang tergolong dari kalangan menengah ke atas, sama seperti Salwa.
Aku bisa mengenal nya karena dia adalah junior ku di kampus, beda 2 tahun tapi kita satu jurusan. Aku pertama kali melihat nya ketika di acara orientasi kampus.
Waktu itu, ketika aku mewawancarai dia “Kenapa kamu masuk jurusan sejarah?” Anak itu menjawab “Karena orang tua nya yang meminta dia agar masuk jurusan sejarah”.
Jawaban anak itu berbeda dari yang lain. Karena tidak banyak orang yang mau masuk fakultas sejarah karena ribet riset nya. Tapi dia memilih untuk memenuhi permintaan orang tua nya meski pada akhir nya itu akan menyulitkan nya. Seperti itu lah awal pertemuan ku dan dia.
Alya turun dari motor ku dan segera melepas helm nya.
"Nah Ran helm nya." Tangan nya menyodorkan helm kepada ku.
Aku langsung mengambil nya.
"Terima kasih ya Ran buat hari ini."
Aku mengangguk pelan.
"Aku minta maaf Ya, kencan kita hari ini gak berjalan lancar."
"Gak papa kok, nama nya musibah siapa yang tau."
Aku dan Alya diam sejenak.
"Eh, aku boleh nanya sesuatu gak?" Ucap nya.
"Langsung tanya aja Ya, gak perlu minta izin gitu."
Alya tersenyum simpul seolah menertawakan diri nya sendiri.
"Kalau boleh tau Ran kalian sudah bersahabatan berapa lama?"
"Emmm!!" Aku mendongakan kepala ke langit. Mencoba mengingat.
"Sejak Smp ya, kalau aku gak salah ingat, Kenapa emang?"
"Gak papa kok Ran, aku masuk dulu ya?"
"Iya Ya."
Anak itu langsung membalikan badan dan tangan mungil nya berusaha keras mendorong gerbang yang kokoh itu. Aku memperhatikan dari jauh.
Sebelum dia menutup kembali gerbang nya, anak itu melambaikan tangan kepada ku. Aku pun juga begitu.
"Dadah Ran!!" Ucap nya.
Aku hanya tersenyum ke arah nya dan dia mulai menutup gerbang nya.
Aku senyum-senyum sendiri sejenak, lalu aku memutuskan untuk pulang.
Keesokan hari nya, aku dan Alya menghadiri pemakaman Rio. Semua wajah orang sedih pada hari itu, sebagian pipi mereka di basahi oleh air mata. Nampak seorang ustadz duduk di samping kuburan Rio, mulut nya komat-kamit membaca doa. Sementara keluarga Rio berdiri di belakang nya. Ada Salwa dan Ibu Diana yang ku kenal.
Setelah ustadz itu selesai melantunkan doa-doa nya, para hadirin satu persatu mulai meninggalkan pemakaman yang hanya menyisakan keluarga mendiang Rio. Aku dan Alya memperhatikan dari kejauhan.
"Ya, ayo kita pulang."
Dia menganggukan kepala nya pelan.
Seminggu kemudian.
Aku ada janji ketemu dengan Alya di sebuah restoran yang cukup mahal di kawasan Jakarta. Sebelum berangkat aku mematut-matut penampilan ku di cermin beberapa kali, bahkan aku menyemprotkan banyak sekali parfum, biar tidak bau.
Aku mengetikan sebuah pesan.
Aku: Ya aku otw rumah mu sekarang!!
Alya: Iya Ran aku udah siap.
Aku langsung keluar dari kamar, ibu ku melihat penampilanku yang menggunakan celana jeans ke biru-biru an dan baju kaos putih serta di lengkapi outer hitam seketika melontarkan pertanyaan "Mau ke mana nak? kok rapi amat."
Aku seketika tersenyum simpul kepada ibu ku.
"Bu, Doain Randy ya, Randy mau nembak cewek hari ini."
"Kamu serius nak?"
"Iya bu." Jawab ku sambil tersenyum.
"Restu ibu menyertai mu nak."
"Terima kasih bu." Aku langung bersalaman dengan ibu ku dan mencium tangan nya.
"Tunggu sebentar nak, ibu ambilin kartu atm ibu, siapa tau kamu butuh."
"Gak perlu bu, Randy cuma butuh kunci mobil kok bu."
Ibu ku mengerti maksudku dia seketika langsung merogoh dompet dan menyerahkan kunci mobil nya kepada ku.
Aku langsung beranjak menuju parkiran mobil.
"Eh kamu lupa sesuatu nak!!"
Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Aku bertanya tanya dalam hati, hal apa yang aku lewatkan? Aku diam sejenak.
"Kamu lupa ngucap salam nak."
"Oalah, Assalamualaikum bu, dah."
"Waalaikumsalam."
Ibu ku melambaikan tangan kepada ku, namun aku sudah buru-buru meninggalkan nya.
Sebelum aku menuju rumah Alya, aku mampir di sebuah toko bunga pinggir jalan. Aku melihat-lihat sejenak bunga yang ada di halaman toko itu, tiba-tiba Seorang pegawai toko itu menghampiri ku.
"Mau nyari bunga apa mas?"
Aku menatap bunga-bunga yang ada di hadapan ku.
"Bunga yang cocok untuk nembak cewe ada gak mbak?"
"Saya saran kan bunga yang itu mas."
Pelayan itu menunjuk sebuah bunga mawar yang sudah di rangkai dengan sedemikian rupa menjadi sebuah buket.
Aku tidak terlalu paham masalah bunga, tapi menurut ku bunga itu sangat cantik.
"Mba saya mau itu satu."
"Oke mas, Silahkan bayar di kasir, nanti bunga nya saya antar."
Aku pun menuju kasir dan langsung menyerahkan kartu atm. Penjaga kasir itu memencet beberapa tombol dan langsung menggesek kartu ku. Begitulah transaksi di zaman modern ini, bisa di selesaikan hanya dengan sebuah kartu.
Pelayan wanita itu datang menghampiriku dengan membawa bucket bunga yang aku pesan.
"Ini mas bunga nya."
Aku menerima nya .
"Terima kasih mba" Ucap ku.
"Semoga sukses mas nembak nya."
Aku hanya membalas dengan sebuah senyuman dan langsung meninggakan nya.
Setelah menempuh perjalanan 15 menit akhir nya aku sampai di depan rumah Alya. Aku langsung mengetik sebuah pesan.
Aku: Ya aku udah di depan rumah mu.
Aku menunggu beberapa saat, tiba-tiba pintu gerbang itu terbuka dan seorang perempuan mengenakan dress putih yang di padu dengan rompi panjang berwarna cokelat muda, dan wajah yang di balut pashmina putih yang di tata se stylish mungkin, serta kacamata yang membuat tampilan Alya hari itu sungguh manis dan mempesona.
Aku memperhatikan anak itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Aku terdiam sejenak. Wanita itu sungguh memikat hati ku.
Aku membukakan pintu mobil untuk nya.
"Silahkan nyonya." Ucap ku.
Anak itu seketika tersenyum simpul dan langsung masuk ke dalam mobil, aku menutup pintu nya perlahan.
Aku langsung menancap gas menuju restoran yang telah ku pesan.
"Ran gimana tampilan ku? gak malu-maluin kan?" Tanya nya polos.
Aku menggeleng.
"Enggak kok Ya, Kamu hari ini cantik banget."
Dia tersipu malu mendengar jawaban ku.
Mobil terus melaju di jalanan sore hari itu, sedikit macet karena hari itu adalah hari weekend. semua orang sibuk dengan dunia nya sendiri-sendiri. Namun pada akhir nya kita sampai di tempat tujuan.
Aku turun dan langsung membukakan pintu mobil untuk Alya. Kami berdua langsung melangkah masuk ke dalam restoran. Seorang pelayan datang menghampiri kami.
"Mas reservasi atas nama siapa?"
"Atas nama Randy mas."
"Ooo meja nomor 8 mas, di ujung sebelah sana samping kaca."
"Terima kasih mas."
Aku langsung menggandeng tangan Alya dan menuntun nya ke meja. Seperti nya anak itu tidak menyangka bahwa aku akan menggandeng tangan nya. Dia sedikit terkejut tapi dia menyambut dengan menggenggam tangan ku. Aku pun hanya bisa tersenyum. Insting laki-laki ku seketika aktif. Aku tahu itu adalah tanda dia juga memberikan respon baik pada ku.
Aku dan Alya duduk berhadapan. sambil menunggu makanan kami datang, aku menatap nya sejenak.
”Ya, sebenarnya hari ini aku mau ngomong sesuatu sama kamu.”
”Ngomong apa-an Ran?”
Dia balas menatap ku sama seperti aku menatap nya.
Hati ku tidak karuan. Jantung ku berdegup kencang. Punggung ku keringatan, Padahal restoran itu di lengkapi pendingin terbaik. Aku gugup.
Aku memejamkan mata sebentar lalu menatap perempuan yang ada di hadapan ku lamat-lamat.
”Eee… sebenarnya aku suka sama kamu Ya, mau gak kamu jadi pacar ku?” Ucap ku lirih.
Perempuan di hadapan ku terdiam. Pipi nya yang putih seketika berubah jadi merah merona.
”Kamu serius Ran?”
”Aku serius Ya.”
Anak itu menunduk lalu menatap ku sambil tersenyum kecil “Aku mau Ran.” Ucap nya.
Ketika aku mendengar itu, hati ku langsung di susupi rasa bahagia, senang, terharu, yang sangat sulit di gambarkan kecuali kalian juga pernah merasakan nya.
”Tunggu sebentar di sini Ya, aku punya sesuatu untuk kamu.”
”Apa Ran?”
Aku beranjak berdiri dan menuju bagasi mobil dan segera berlarian ke dalam restoran lagi.
”Ini Ya buat kamu, sebagai tanda kita jadian.” Aku menyerahkan bunga yang ku beli sebelum menjemput dia.
Alya seketika tersenyum melihat bunga yang sangat cantik itu. Sesekali dia menciumi nya.
”Terima kasih Van.”
Tidak lama setelah itu makanan yang kami pesan datang dan kami langsung menyantap nya. Sesekali mata saling lirik satu sama lain, sebagaimana orang baru pacaran pada umum nya.
Hari itu adalah hari pertama aku dan Alya pacaran. Setelah kami selesai makan, Kami menghabiskan waktu mengelilingi kota, walau sesekali terjebak macet tapi kami menikmati nya.
Sepanjang jalan kami sibuk mengomentari tingkah laku orang aneh yang ada di jalanan. Tertawa cekikikan Apalagi ketika ada dua sejoli yang sibuk memamerkan kemesraan di depan umum. Menurut kami tidak ada yang lebih mesra dari kami berdua. Kami sedang kasmaran.
ketika jam tangan ku menunjukkan pukul jam 20:00 aku memutuskan untuk mengantar Alya pulang ke rumah nya.
”Jangan lupa istirahat Ya!!” Aku mengingat kan.
”Iya sayang.” Teriak nya sambil berjalan mundur.
Aku kaget kata-kata itu akan keluar dari mulut seorang Alya.
”Love you” Aku membalas nya.
”Love you to” Jawab nya sambil melambaikan tangan.
Akhirnya wanita itu menghilang di balik pintu gerbang hitam yang kokoh itu dan aku pun langsung menancap gas mobil ku. Sepanjang jalan aku sibuk mengingat semua kegiatan yang kami lakukan seharian ini.
Keesokan hari nya telepon ku berdering, masih pagi sekali. mata ku mengerjap-ngerjap, tangan ku berusaha meraih hape yang ada di atas meja di samping kasur ku. Aku mengangkat nya.
"Morning sayang." Teriak perempuan yang menelepon ku.
"Oalah ternyata kamu yang nelpon pagi-pagi gini."
"Kenapa? kamu baru bangun ya?"
"Iya baru aja bangun." Ucap ku memelas.
"Ya udah mandi dulu sana, dah."
"Dah."
Hari itu pertama kali nya dia menghubungi ku duluan. Sebelum-sebelum nya tidak pernah, Namun Setelah ia menutup telepon, aku pun kembali tidur lagi.
Aku akhir nya bangun ketika jam alarm yang ku setel jam 08:00 berbunyi. Hal pertama yang aku lakukan pagi itu, aku langsung mandi karena aku ada janji makan siang bareng Alya hari itu.
Selesai mandi aku langsung meraih hape ku, ternyata ada 2 panggilan tak terjawab dari ibu Diana dan ada satu pesan dari Alya yang belum aku buka. Aku langsung memutuskan untuk membalas nya .
"Sorry Ya, aku tadi ketiduran lagi."
Beberapa menit kemudian anak itu membalas pesan ku.
"Gak papa, jadi kan kita jalan hari ini?" Tanya nya.
"Jadi dong, bentar lagi aku jemput. Aku siap-siap dulu ya."
"Oke."
Aku memutuskan untuk menunda menghubungi ibu Diana, karena aku harus segera menjemput Alya, namun takdir berkata lain. Smartphone ku tiba-tiba berdering. Ibu diana menelepon. Aku menatap layar itu sejenak lalu memutuskan untuk mengangkat nya.
"Halo assalamualaikum nak." Ucap ibu Diana.
"Waalaikum salam bu." jawab ku
"Gimana kabar nya nak?"
"Alhamdulillah baik bu."
"Eee... nak bisa gak hari ini ke rumah ada yang ibu mau omongin."
"Bisa kok bu, nanti saya ke sana bu."
"Terima kasih nak, ibu tunggu di rumah, udah dulu ya assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Aku bertanya-tanya dalam hati kenapa ibu nya Salwa tiba-tiba meminta ku ke rumah nya. Hal penting apa yang mau dia omongin. Tapi aku langsung fokus untuk menjemput pacar baru ku dulu.
Aku mematut tampilan ku sekali lagi di depan cermin dan langsung mengeluarkan mobil ibu ku yang belum aku balikan kunci nya dari kemarin. mobil itu bergerak lincah di jalanan karena aku suka menikmati sensasi yang bikin adrenalin ku naik. sesekali orang mengklakson mobil ku, namun aku tidak memperdulikan nya.
Akhir nya perjalanan ke rumah alya yang seharus nya memakan waktu satu jam, aku pangkas jadi 50 menit saja. dan anak itu sudah menunggu di depan gerbang nya. ketika mobil ku sampai, dia langsung masuk ke mobil ku.
"Udah lama nunggu nya?"
"Baru aja, gak lama kok."
Aku menancap gas mobil ku.
"Kita mau ke mana Van?"
"Eh temenin aku bentar Ya, tadi ibu nya Salwa ngehubungin, nyuruh aku ke rumah nya kata nya ada yang mau di omongin."
Anak itu hanya mengangguk kecil.
Aku langsung menancap gas menuju rumah Salwa. Setelah melewati berbagai kemacetan akhir nya aku dan Alya tiba di tujuan.
Aku dan Alya turun dari mobil. Kami berjalan menuju rumah Salwa sambil bergandengan tangan.
Ketika sampai depan pintu rumah ibu Diana, Tangan ku memencet bel yang ada di samping pintu. Kami menunggu beberapa saat. Akhir nya pintu itu terbuka dan ternyata ibu Diana langsung yang menyambut kami. Aku dan Alya langsung menyalami nya.
"Ini siapa nak?"
"Ini Alya bu, dia pacar baru saya." Jawab ku sambil tersenyum.
Alya tersipu malu mendengar nya. Ibu Diana menatap Alya sejenak. Dan akhirnya dia mempersilahkan kami masuk.
"Silahkan duduk." ibu Diana menunjuk Sofa.
Ibu Diana masuk ke dalam sejenak. Aku dan Alya menunggu di ruang tamu.
"Kok kamu diam aja Ya?"
"Enggak papa kok Ran."
Tiba-tiba ibu diana dan Salwa datang. Wajah Salwa murung. Tapi aku mengira itu mungkin karena dia lagi berduka cita sepeninggal suami nya. Dia tidak berbicara sama sekali saat itu.
”Jadi gini nak, kenapa ibu manggil kamu ke sini, karena ada hal penting yang ingin ibu omongin sama kamu.”
ibu Diana diam sejenak. Sementara aku fokus memperhatikan.
”Sebenarnya Salwa sudah hamil 7 bulan ketika Rio meninggalkan kita semua, dan sebentar lagi dia mau melahirkan. Tapi Salwa kemarin bilang ke ibu, dia ingin anak nya punya sosok ayah walau bukan ayah kandung nya."
Ibu Diana diam sejenak. Aku menebak-nebak arah pembicaraan ini mau di bawa ke mana tapi aku tidak punya ide sama sekali.
Ibu Diana yang ada di hadapan ku menghela nafas sejenak lalu menatap ku dalam-dalam.
”Ran kamu mau gak nikahin Salwa?” Ucap ibu Diana.
Seketika aku seperti di sambar petir di siang bolong. Aku refleks menatap Alya yang ada di sampingku. Mata kami saling tatap-tatapan. Ini Rumit bagi aku, Salwa dan Alya.
Seketika ruangan itu lengang. Aku tidak bisa memutuskan, di satu sisi aku mengerti alasan permintaan ibu Diana. Di satu sisi yang lain, aku sudah punya kekasih, dan dia sedang duduk di samping ku.
Selesai.