Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Di Antara Dua Dunia
2
Suka
83
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator


Burak menatap langit yang mulai menghitam di atas desa Songiang. Jalanan berlumpur yang ia lalui tujuh jam lamanya masih terasa pegal di punggung. Ia baru saja tiba di kampung setelah menerima kabar duka: ibu dari ayah mertua keluarga Tahtou meninggal dunia.

Hanya dirinya yang bisa hadir mewakili keluarga Nullok. Suaminya, pak Nullok, tak bisa ikut karena pekerjaan. Suaminya sebagai orang swasta, tidak bisa mengingkari janji dengan pelanggan.

Perjalanan ini bukan hanya jauh dan melelahkan, tetapi juga penuh perenungan bagi Burak, perenungan antara masa lalu dan masa kini.

Ia dulu juga besar di kampung, sebelum keluarganya hijrah ke kota. Sekarang ia hidup bersama Nullok di kota kecil di pinggiran Kalimantan, menjalankan usaha kecil menjahit baju.

Hidup mereka sederhana, tapi tertata. Tidak seperti yang kini ia saksikan di kampung.

Saat memasuki rumah duka, suasana sangat ramai dan hingar-bingar. Musik dangdut menggema di udara, diiringi gelak tawa, orang berjoget, bahkan beberapa terlihat meminum arak dan berjudi di sudut rumah.

Sesekali terdengar suara musik Korungut, salah satu musik daerah,  yang mengaduk perasaan. Namun, bagi Burak, semuanya tampak asing dan menyakitkan.

“Mana Horatuk?” gumamnya pelan, mengenang masa kecil saat musik kematian khas Dayak itu selalu mengiringi perpisahan dengan orang-orang terkasih. Dulu, kematian adalah saat merenung, bukan bersuka ria.

“Itu kuno,” jawab orang-orang. “Sudah ketinggalan zaman.”

Burak tercenung, jaman sudah berubah. Padahal di kota, orang mjasih Horatuk jika ada keluarga satu suku yang meninggal.

“Sangeu Burak, minum dulu, ini tradisi,” kata Besannya, Bude Sika, sambil menyodorkan segelas arak.

Burak menggeleng sopan. “Maaf, Sangeu Bud. Suami saya melarang saya minum, juga merokok atau menggunakan narkoba.”

Sika terkekeh. “Kamu sudah di kampung sekarang, Sangeu Burak. Ini bukan kota. Di sini, kita saling menyatu dengan roh leluhur. Tidak hormat kalau tidak ikut minum.”

Burak tersenyum kecut, “Saya hormat, Sangeu Bud. Tapi biarlah saya tetap seperti ini.”

Sika mendesah panjang. “Kamu sudah berubah. Di sini tidak ada yang tidak minum arak.”

“Bukan berubah, Bud. Hanya berusaha hidup sesuai hal yang saya pegang. Minum arak, pakai narkoba itu tidak baik. Itu merusak kesehatan.”

“Banyak juga orang minum arak dan pakai narkoba, tapi umurnya panjang. Bahkan banyak orang kota mati muda.”

Burak tidak mau memperpanjang perdebatan, mungkin saja itu melakukan pola hidup tidak sehat, sehingga masih muda sudah terkena diabetes, menderita penyakit jantung dan asam urat.

Pagi harinya, Burak bangun lebih awal. Udara dingin menyergap kulitnya saat ia ke dapur untuk membantu memasak. Tapi sesampainya di sana, ia melihat adegan yang membuat hatinya terenyuh.

Rani, istri anaknya, terlihat lelah. Matanya sembab, wajahnya pucat. Ia mengaduk wajan dengan satu tangan, sementara tangan lainnya memegangi pinggangnya.

“Kamu belum tidur, Ran?” tanya Burak lembut.

Rani tersenyum lemah. “Baru tidur satu jam tadi malam, Tante. Bayi saya rewel. Tapi sekarang harus bangun dulu. Putri melalui Ibu menyuruh saya buat sarapan buat Duelo, suaminya.”

Burak mengerutkan dahi. “Bukankah Putri bisa membuat sendiri?”

Rani hanya diam, sebelum akhirnya berkata pelan, “Dia bilang lagi capek dan pengen main HP dulu.”

Burak duduk di bangku kayu tua. “Ran, kamu punya suami sendiri. Kamu juga ibu. Kamu punya hak untuk istirahat.”

Rani tersenyum getir. “Tapi ini sudah biasa, Tante. Dari dulu memang begini. Saya tidak berani melawan perintah Ibu.”

Burak hanya menghela napas panjang. Dunia kampung yang dulu ia kenal, kini berubah menjadi sesuatu yang menyedihkan.

Ketika tiba hari pemakaman, sebuah insiden kembali menambah beban pikiran Burak. Saat jenazah dibawa keluar rumah, seekor burung elang terbang rendah di sebelah kiri. Seorang tetua adat langsung berteriak.

“Berhenti! Itu pertanda! Kita harus menunggu tiga hari sebelum siapapun yang datang dari luar boleh pulang!”

Burak terkejut. Ia menghampiri Sika dengan wajah panik. “Bud, saya harus pulang lusa. Saya ada jahitan yang harus saya selesaikan. Kalau tidak, saya bisa kehilangan pelanggan.”

Sika menjawab tenang, “Kalau kamu pulang sekarang, artinya kamu membawa sial. Kamu mau itu terjadi pada keluarga Tahtou?”

“Tapi Bud, ini bukan salah saya…”

“Tidak ada tapi, Burak. Kamu tahu adat. Tunduklah.”

Burak terdiam. Ia tahu, melawan adat hanya akan menimbulkan masalah. Tapi hatinya remuk. Ia merasa seperti tawanan di tanah kelahirannya sendiri.

Di malam hari, rumah duka tetap ramai. Musik kembali diputar, suara tertawa dan debat dari meja judi makin keras. Di pojok ruangan, Sika dan beberapa perempuan duduk sambil merokok, ngopi, dan bergosip.

Burak memperhatikan dengan seksama. Sepanjang hari mereka tidak melakukan banyak pekerjaan rumah. Dapur berantakan, cucian menumpuk. Tapi malam hari, mereka seperti mendapat kehidupan kedua, berdiskusi, tertawa keras, membicarakan tetangga, dan tentu saja, bermain HP.

Ia mendekati Sika dan mencoba berbicara hati ke hati.

“Sangeu Bud, maaf kalau saya lancang. Tapi… kenapa kita tidak bangun lebih pagi, membereskan rumah dulu sebelum duduk santai?”

Sika tertawa. “Kami bukan pegawai negeri yang harus kerja jam tujuh pagi. Kami bebas.”

“Justru karena bukan pegawai negeri, kita harus lebih rajin. Kita tidak punya gaji tetap. Harus lebih kerja keras.”

Sika menatapnya lama, sebelum menjawab sinis, “Kamu sekarang merasa lebih pintar ya, karena sudah tinggal di kota?”

Burak menggeleng. “Bukan begitu, Bud. Saya hanya ingin kita tidak melupakan nilai kerja keras dan tanggung jawab. Dulu, orang tua kita bangun sebelum matahari terbit.”

“Dulu, iya. Sekarang beda. Hidup sekarang lebih santai.”

Hari-hari berlalu. Burak tetap menunggu tiga hari yang ditentukan oleh adat. Dalam tiga hari itu, ia banyak diam. Ia menyaksikan banyak perubahan yang membuat hatinya sedih, bukan karena kampung telah berubah, tetapi karena nilai-nilai yang dulu dijunjung tinggi mulai hilang ditelan zaman.

Ia menyaksikan generasi muda seperti Putri yang tak peduli dengan tanggung jawab, hanya fokus pada dunia maya. Ia menyaksikan ibu-ibu yang kehilangan semangat bekerja, menyerah pada rutinitas malas, dan membiarkan adat menjadi alasan untuk tidak berubah.

Namun di sisi lain, Burak juga melihat bahwa di balik semua itu, masih ada yang bisa diperbaiki. Rani, misalnya. Perempuan muda yang lembut dan pekerja keras, hanya butuh sedikit keberanian untuk menyuarakan hatinya.

Sebelum pulang, Burak memeluk Rani erat.

“Ran, kamu perempuan hebat. Jangan biarkan dirimu terjebak dalam kebiasaan yang melemahkan. Kamu bisa lebih dari ini.”

Rani menangis pelan. “Tante, saya ingin berubah. Tapi takut dianggap melawan keluarga.”

“Perubahan itu memang tidak nyaman, tapi kalau niatmu baik, kelak mereka akan mengerti.”

Di dalam mobil menuju kota, Burak menangis diam-diam. Ia merasa sedih, marah, dan bersalah. Tapi lebih dari itu, ia juga merasa ada harapan. Mungkin dia tak bisa mengubah semua yang salah.

Tapi ia bisa membawa cerita ini ke kota, kepada anak-anaknya, kepada generasi berikutnya, agar tidak lupa pada akar budaya yang sejati, yang memuliakan hidup, menghormati kematian, dan mengajarkan nilai kerja keras, kasih sayang, serta tanggung jawab.

Saat mobil mulai melewati jalan berbatu dan gunung-gunung menghijau, Burak menatap langit.

“Semoga suatu hari nanti, adat kembali menemukan jiwanya.”

***

Cover cerita itu hasil AI

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Di Antara Dua Dunia
Yovinus
Cerpen
Royadi dan Jin Ifrit dari dalam Kendi
Ryan Esa
Cerpen
Bronze
Masjid Pensiunan
Muram Batu
Cerpen
Bronze
Integritas Ketua KPUD
Yovinus
Cerpen
Bronze
Muka Datar
Fajar Muharram
Cerpen
OMA-OMA MERESAHKAN
Zirconia
Cerpen
Mencari Cara Pulang
karyasmpitinsankamil
Cerpen
Bronze
Tabebuya
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Aku, Mawar, dan Bedebah
Laila Hikmah
Cerpen
Bronze
Dia Bukan Dia
Samanta Radisti
Cerpen
Bronze
Pulang
Lisnawati
Cerpen
Bronze
Lentera Pecah
Alya Nazira
Cerpen
Malam Dingin di Cigigir
Rafael Yanuar
Cerpen
Terlahir Kembali
zain zuha
Cerpen
Polwan cita-cita ku
Nesya Nurbaeyinah
Rekomendasi
Cerpen
Di Antara Dua Dunia
Yovinus
Cerpen
Bronze
Integritas Ketua KPUD
Yovinus
Cerpen
Mulut Mu Adalah Harimau Mu
Yovinus
Cerpen
Di Balik Sungai yang Berubah
Yovinus
Novel
Peti Mati Suruhan
Yovinus
Cerpen
Klitsco vs Ras Terkuat
Yovinus
Cerpen
Janji Manis Penguasa dan Caleg
Yovinus
Flash
Buah Langsat Gratis
Yovinus
Cerpen
Kisah Nadira & Harapan Yang Tertinggal
Yovinus
Cerpen
Pilkada Tanpa Pilihan
Yovinus
Flash
Selamat Ulang Tahun
Yovinus
Cerpen
Pak Khairul Yang Kharismatik dan Para Ayamnya Yang Usil
Yovinus
Cerpen
Guru Honorer Gaji 300k Menghadapi Hidup
Yovinus
Flash
Tempat Cuci Piring
Yovinus
Novel
Integritas Penyelenggara Pemilu
Yovinus