Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Religi
Di Akhir Bulan Fitri
1
Suka
2,610
Dibaca

Selingkuh adalah kata yang tak berarti apapun bagi perempuan bernama Irma Kirana. Kehidupan rumah tangganya nyaris sempurna seakan tak ada celah untuk sebuah tragedi bernama perselingkuhan. Suaminya adalah pria yang telah dipacarinya hampir 5 tahun dan juga kini usia pernikahan mereka telah menginjak 10 tahun berjalan. Dari segi apa pun. Mereka sudah saling percaya. Suaminya tak akan tergoda wanita lain. Seperti dirinya yang  tak mungkin beralih hati. 

Namun, hari itu Irma harus menaruh kecurigaan untuk pertama kalinya pada suaminya. Malam itu seperti biasanya ia baru saja selesai dengan siaran podcasnya. Ia memiliki acara podcast yang berisi konsultasi gratis psikologi. Ia sendiri adalah lulusan jurusan psikologi. Ia berprofesi sebagai Bk di sebuah universitas. Sementara Mas Bima suaminya seorang dokter umum. 

Ponselnya berdering di meja kerjanya.

“Dik aku ada lembur,” kata Mas Bima di ujung ponsel. Irma sudah biasa sebenarnya mendengar kalau suaminya tak bisa pulang. Banyak alasan. Kebanyakan karena keadaan darurat dan dokter ganti berhalangan. Itulah resiko memiliki suami seorang dokter.

“Ya tak apa. Kau harus makan malam yang benar,” ujar Irma yang sebenarnya saat itu begitu merindukan kehangatan suaminya di atas ranjang. 

“Besok kita akan banyak waktu. Ya aku akan makan malam tepat waktu. Cepatlah tidur Say,” Terdengar suara kecupan mesra suaminya sebelum mengakhiri perbincangan mereka.

Irma segera mengantongi ponselnya dan mematikan lampu ruangan. Ia menutup pintu dan keluar dari kamar kerjanya. Seekor kucing Anggora berwarna coklat mengendus betisnya. Ia segera membelai lembut kepalanya. Ia meraihnya dan menggendongnya menuju kamar tidur. 

Betsi melompat ke atas ranjang begitu ia masuk kamar mandi. Ia mencuci muka dan menggosok gigi. Rutinitas seperti biasa sebelum tidur. Ada panggilan masuk dari ponselnya. Ia segera bergegas.

 

Panggilan masuk. Dari Tina sahabatnya yang juga rekan kerja suaminya. 

“Lagi ngapain? maaf Ir apa kau ada dinas malam buat suamimu? Kalo nggak temani aku dong. Suntuk nih,” seru Tina.

“Jangan bercanda! Bukanya suamiku ada lembur malam ini. Kau harusnya tahu?” tanya Irma sedikit bosan. Pasti sahabatnya itu akan mengeluh tentang pacarnya lagi. 

Tina adalah sahabatnya dari SMU. Ia berkenalan dengan suaminya juga melalui Tina. Meskipun ia jarang disibukkan dengan kegiatan rumah tangga apalagi tak ada anak yang harus dirawat ia sering menghabiskan waktunya dengan geng persahabatan mereka.

“Kau mengigau! Suamimu tak ada jadwal malam ini,” sahut Tina cepat.

“Yang benar? Baru saja suamiku pamit ada lembur. Dari pagi ia bilang beberapa hari ke depan akan ada lembur,” seru Irma mulai merasa aneh. Tak mungkin juga suaminya berbohong padanya.

“Rumah sakit telah menambahkan tenaga dokter di UGD. Bima tumbenan begini. Hei kurasa ada yang salah di sini. Benar sekali. Suami tidak ada daftar jaga malam ini. Ini mencurigakan. Apa Bima sering begini? maksudku berbohong di belakangmu?”

“Tidak. Entahlah! aku selalu percaya padanya. Jangan overthinking lah,” kata Irma merasa aneh juga.

“Oh jangan mengira semua yang biasa saja dan tampak baik-baik saja tak mencerminkan hal besar telah terjadi,” ujar Tina tanpa maksud memprovokasi.

“Ah mungkin juga Bima punya keperluan mendadak yang tak bisa dikatakan kepadaku,” tepis Irma mencoba untuk tak berpikir macam-macam. 

“Oh iya memangnya kenapa kau ingin ditemani malam ini?” tanya Irma lagi mengalihkan topik pembicaraan.

“Hari ini aku bertengkar dengan Keanu,” keluh Tina dengan dengan suara dalam penuh kesedihan. Irma mendesah bosan. Sahabatnya itu telah putus nyambung dengan kekasihnya entah keberapa kali. Ia  jengah juga mendengar sedu sedannya. Beberapa hari juga akan rujuk lagi.

“Menikahlah! Aku akan bertindak tegas kali ini,” kata Irma gemas.

“Kali ini sudah tak tertolong lagi. Hati Keanu telah beralih ke jalang licik itu,” ujar Tina dengan muram.

“Ok aku akan pergi ke tempatmu,” seru Irma akhirnya.

Sepanjang perjalanan ke apartemen Tina ia banyak berpikir. Perselingkuhan selalu menjadi pembicaraan hangat di akun media sosial dan di media apapun. Perselingkuhan telah menjadi momok banyak pasangan harmonis. Kliennya juga banyak yang mengalami masalah tentang wanita ketiga. Sebagian bisa keluar dari trauma dan melanjutkan pernikahan. Sebagian lagi berakhir dengan perceraian. Ia juga mempunyai klien beberapa pelakor. Dengan banyak alasan sebenarnya banyak wanita yang tanpa sengaja  terjebak dalam hubungan terlarang.. 

Lamunannya buyar saat sadar ia telah sampai di apartemen sahabatnya. Ia menemukan Tina yang kacau. Sedalam itukah efek dari diselingkuhi. Tina yang dikenalnya adalah perempuan mandiri dan tegar kini mabuk dan menghamburkan banyak barang. Irma meraih beberapa perabotan yang berantakan. 

“Ir! Kikinku pergi. Padahal aku telah melakukan segalanya. Aku tak pantas mendapatkan ini,” ucapnya lemah sebelum  ambruk di sofa. 

Irma mencoba memindahkan Tina ke atas tempat tidur dengan susah payah. Ia akan menemaninya malam ini. Toh di rumahnya ia juga sendiri. Nanti menjelang subuh ia akan kembali ke rumah. Sebelum suaminya pulang tentunya. Ia teringat suaminya dan kebohonganya hari ini. Apa mungkin Mas bima sengaja membohonginya. Untuk apa juga suaminya berbohong? apakah ada wanita lain juga. Ah itu sangat mustahil. Ia meyakinkan dirinya kalau suaminya berbohong pasti ada sesuatu yang darurat. Besok saja ia akan menanyakannya dengan jelas.

Ia teringat salah satu kliennya.  Kliennya satu itu  telah mengaku menjadi penghancur rumah tangga orang alias pelakor. Klienya ini merupakan pelakor kelas kakap. Ia bilang telah kecanduan jadi pelakor. Namanya Bella. 

Bella punya kecenderungan tak bisa menahan cemburu ketika melihat pria yang begitu menyayangi keluarganya. Bella akan merusak keharmonisan itu. Ia tak suka. Lantas setelah keluarga itu berantakan ia akan meninggalkan pria itu dengan penuh kepuasan. Bella bilang korbanya hampir 10 pria. Dan kali ini ia telah memutuskan untuk mengakhirinya. Ia telah

menemukan seorang pria yang menghentikan semua kecemburuannya itu. Katanya ia akan berhenti menjadi pelakor. 

Bella bilang semua itu juga tak lepas dari kalimat-kalimat ajaibnya. Paling tidak ia bisa merasa lebih baik. Sebagai konsultan psikologi tak ada kebahagiaan tertinggi selain melihat kliennya sembuh bukan? Mungkin seorang Bella bisa berhenti melakukan dosa tapi tak ada yang bisa menghentikan luka trauma akibat pengkhianatan.

Menjelang subuh Irma terbangun oleh bunyi alarm ponselnya. Tina masih terlelap seperti seorang bayi. Ia membenahi selimut sahabatnya. Nanti agak siangan setelah suaminya berangkat kerja ia akan kembali menengok Tina. Ia pun segera kembali ke rumahnya. Suaminya belum datang. Biasanya walaupun lembur suaminya tak akan pulang melebihi pukul 2 malam. Sebenarnya ada urusan apa sampai Mas Bima berbohong dan pulang subuh begini. Kembali pikiran curiga menghinggapinya. 

Saat ia selesai melaksanakan salat subuh terdengar pintu depan berderit. Mas Bima telah pulang. 

Benar saja suaminya itu muncul dari pintu kamar. Ia tampak lelah dan kusut.

“Mas tumben pulang pagi?” tanya Irma tak ingin menginterogasi langsung suaminya. Nanti saja setelah sarapan saat semuanya lebih siap.

“Ada rekan mas yang ngajak ke cafe. Biasalah nongkrong. Udah lama kami tak bertemu. Dia dari luar kota. Tak enak juga menolak,” ujar suaminya meraih handuk dan beralih ke kamar mandi. 

Irma melepas mukenanya dan merasa geli. Ah mana mungkin juga suaminya akan berbuat yang tidak-tidak di luar sana. Hanya bertemu kawan lama dan minum bersama. Itu sangat normal dan wajar. 

Saat keluar dari kamar mandi wajah suaminya kini sudah sedikit lebih segar. Ia segera naik ke pembaringan. Tentu saja ia ingin meminta haknya sebagai istri. Sudah 3 hari suaminya tak memberinya nafkah batin. Ia sudah mengenakan pakaian dinasnya. Bima sudah paham apa yang diinginkan wanita cantik yang telah menjadi istrinya selama satu dekade itu. 

Dalam hening dini hari dua insan yang telah halal itu pun melaksanakan salah satu  ibadah dalam kehidupan suami istri. Irma selalu merasakan kepuasan. Hubungan intimnya dengan Bima tak pernah gagal. Ia pun turun dari ranjang dan menyelimuti suaminya yang telah terlena setelah melepaskan hasratnya. Ia mengecup pria yang masih saja tampan. Terus terang meskipun sudah lama berumah tangga rasa cintanya tak pudar sama sekali. Malah menjelang 40 tahun ini hubungan mereka tambah menghangat.

Pagi itu Irma membuatku sarapan untuk suami tercintanya. Ia membuat sandwich. Tak lupa pula jus buah. Tentu saja tak akan ada kopi. 

“Aku akan lembur lagi. Pasiennya agak membludak. Rawat inap penuh. Aku juga akan mengikuti seminar untuk beberapa hari ke depan,” kata  Bima meraih sandwichnya. 

Irma teringat perkataan Tina. Apa kali ini betul-betul ada jadwal lembur ataukah suaminya berbohong lagi.

“Ya aku bisa apa kalau begitu. Aku akan ke rumah ibu,” kata Irma datar.

“Yah biasanya juga begitu. Bersenang-senanglah dengan ibu,” kata suaminya santai. Memang biasanya Irma akan pergi ke rumah ibunya kalau suaminya tak pulang lebih dari sehari.

“Kemarin malam aku ke rumah Tina,” ujar Irma mulai bercerita mencoba mengalihkan pikirannya yang mulai berprasangka.

“Oh ya? Gimana dia?” tanya Bima sambil terus mengunyah.

“ Mungkin ia akan putus betulan dengan Keanu,” 

“Hmm benarkah?” 

“Aku tak mengerti kenapa butuh waktu selama itu bagi Tina,” gumam Irma meraih sandwichnya juga.

“Laki-laki tak akan bisa meninggalkan wanitanya hanya demi wanita yang lain,” ujar Bima 

“Maksudnya?” tanya Irma penasaran kenapa suaminya bisa berkata begitu.

“Ah tidak. Hanya sekedar ngomong saja. Aku hanya mendengar pengalaman temanku,” sahut Bima sedikit tersedak.

“Oh begitu ya,” kata Irma menyodorkan air putih. Suaminya meminumnya.

“Aku pergi dulu. Segera habiskan sandwich. Aku akan merindukanmu Say,” kata Bima bangkit meraih jas dokternya kemudian membungkuk memberikannya kecupan mesranya. Ia pun membalas dengan mengecup punggung suaminya.

Ia tahu apa makna dibalik pembicaraan singkat tadi. Ia seorang psikolog. Bahkan tersedak pun itu sudah menunjukkan apa yang terjadi. 

Tak lama setelah kepergian suaminya Irma segera pergi ke apartemen Tina. Tina baru saja sarapan makanan yang ia pesan lewat aplikasi.

“Kau tak akan pergi ke rumah sakit?” tanya Irma melihat wajah sahabatnya yang mengenaskan. Rambutnya awut-awutan dengan mata bengkak karena kebanyakan menangis Untungnya selera makannya tidak ikutan mengenaskan..

“Kau pikir aku akan bisa bekerja dengan keadaan begini? aku akan mengambil libur saja. Ah sudahlah. Yang penting hari ini temani aku gila-gilaan,” kata Tina pergi ke kamar mandi. Tentu saja Tina bisa berbuat seenaknya dengan pekerjaanya. Ia jadi dokter juga karena paksaan orang tuanya yang merupakan pemilik rumah sakit. Wanita setajir itu masih saja jadi korban selingkuh. Semua memang bisa terjadi.

“Aku penasaran wanita seperti apa sih yang bisa merebut hari Keanumu?” tanya Irma kepo.

“Lihatlah apa yang bisa aku perbuat padanya. Aku tak peduli dengan mereka. Hanya aku ingin memberi teror sebagai ganti sakit hatiku,” kata Tina dengan kepala dibungkus handuk muncul dari kamar mandi.

“Itu tak sepenuhnya benar,”

“Berhenti keluar nasihat psikologimu Ir,” hardik Tina membuat Irma mengangkat bahu. Semua orang berhak membalas dendam, kan?

“Mas Bima lembur lagi dan katanya ada seminar dari yayasan diluar lembaga rumah sakit,” ujar Irma sambil lalu.

Tina berganti pakaian dan mulai bermake Up. Tina adalah wanita sempurna. Ia cantik. Kaya dan juga baik. Bagi kaum laki-laki itu tak cukup. Ia tetap diselingkuhi.

“Seminar! Sungguh suamimu punya alibi kuat sebagai tersangka,” kata Tina mengangkat alisnya sambil menggosok lotion pada tangan dan kakinya.

‘Aku akan mengeceknya sendiri,” ujar Irma mulai terpengaruh.

“Kau ini psikolog. Harusnya kau tahu suamimu itu berbohong,” tukas Tina tertawa.

“Aku ingin ia mengakuinya sendiri,” sahut Irma.

“Sungguh berbeda sekali denganku yang memang tak bisa tahu tentang sikap manusia sesuai dengan profesi,” kata Tina telah selesai bersiap.

“Kita akan kemana?” tanya Irma saat mereka menuju Lift.

“Bersenang-senang. Kau hanya perlu menemaniku. Dan tentu saja menyaksikan pembalasanku,”

Tak lama saat di dalam mobil Tina menghubungi seseorang. Irma tahu sahabatnya itu menyewa seseorang untuk menghancurkan karakter wanita yang telah merebut Keanu darinya. Ia  bisa menyaksikan senyum kepuasan di bibir sahabatnya itu. Tina tak akan bisa mendengar nasihat lagi.


Seharian itu Irma menemani Tina berbelanja habis-habisan. Mereka juga makan banyak di beberapa restoran. Irma sudah tahu kalau temannya lagi healing menghilangkan stres. 

“Kau yakin tak ingin mencari tahu dan menyelidiki suamimu. Bima sungguh tak bisa dipercaya. Laki-laki sama saja. Apa ada di dunia ini laki-laki yang benar-benar setia,” kata Tina dalam perjalanan pulang kembali setelah dari salon kecantikan. Irma masih menghitung-hitung entah berapa juta yang Tina habiskan dalam sehari. 

“Entahlah!” ucap Irma yang kini benar-benar mulai ragu dengan kejujuran suaminya.

Setelah pamit dari rumah Tina dan memastikan sahabatnya itu akan baik-baik saja ia segera menelpon seseorang. Ia tak percaya ia sekarang dalam keadaan seperti ini.

“Ya mbak ada apa ya?” tanya seorang wanita yang tak lain adalah perawat yang ada di rumah sakit tempat suami Irma bekerja.

“Kau tahu Pak Bima lembur sekarang?” 

“Pak Bima tak ada lembur. Sekarang dokter sudah ditambah personil. Pak Bima baru saja ke luar. Apa anda ada janjian?” tanya perawat sopan. 

“Oh tidak hanya ingin memastikan saja,” ucapnya tanpa semangat. Suaminya berbohong lagi. Malam itu ia meluncur menuju kediaman ibunya.  Ia masih tak percaya ini terjadi padanya. Akankah ia jadi bagian dari para wanita yang diselingkuhi juga akhirnya.

Ia sampai di kediaman ibunya. Ia telah mengirimi pesan sebelumnya, jadi ibunya tahu kalau ia akan berkunjung. Ibunya juga sudah paham  alasan apa ia berkunjung.

“Aku bersyukur kau memiliki suami seorang dokter,” kata ibunya tersenyum menyodorkan STMJ pada Irma. Biasanya ia akan menyambut hangat ucapan ibunya tapi kali ini bahkan perkataan ibunya tak mampu mencairkan kegundahannya.

“Ibu selalu bilang begitu. Hari ini Mas Bima berbohong padaku,” ucap Irma langsung bercerita tentang apa yang terjadi.

“Kenapa memangnya? apakah pria harus terus jujur?” tanya ibunya tampak santai. Irma sedikit kesal. 

“Sebenarnya berbohong selama demi kebaikan itu dibenarkan,” ujarnya akhirnya. Ia tahu ibunya tak akan begitu menanggapi aduannya. 

Ia masuk ke dapur dan meraih piring. Ia akan makan malam dengan menikmati masakan ibunya. Masakan yang telah ia rasakan selama bertahun-tahun dan anehnya ia sama sekali tak bisa meniru rasa masakan ibunya.

“Kamu lebih mengerti ketimbang ibu, bukan?” kata ibunya merasa aneh dengan putrinya yang seorang konselor tapi masih saja terkadang curhat. 

Manusia memang butuh didengarkan. Irma sendiri sangat bergantung pada ibunya. Mungkin karena ibunya adalah orang tua tunggal baginya. Ada ketergantungan yang berat antara ibunya dan dirinya.

“Apa dulu ayah pernah ada wanita lain?” tanya Irma setelah selesai makan malam dan naik ke atas pembaringan setelah ibunya yang duluan naik ke peraduan. 

Saat ia menginap di rumah ibu ia selalu tidur bareng dengan perempuan yang telah membesarkannya seorang diri itu.

Dahi ibunya berkerut sebentar sebelum kemudian ia mematikan saklar lampu dan menggantikannya dengan lampu tidur. Suasana yang tadi terang kini remang-remang. Menjelang tidur begini adalah waktunya pillow talk.

“Tentu saja setiap pria akan ada wanita lain dalam hidupnya,” jawab Ibunya membuat Irma sedikit terkejut. Setahunya ibunya memuja ayahnya. Fakta ada orang ketiga dalam kehidupan ayah dan ibunya merupakan hal baru baginya.

“Tak ada pria sempurna Ir. Kamu harus bersiap dengan apa yang akan terjadi,” ucap ibunya terdengar syahdu sekaligus sedikit membuatnya takut. Sepertinya ibunya sudah tahu kalau Mas Bima punya wanita lain.

Ibunya mendesah panjang sebelum akhirnya bercerita.

“Ayahmu dulu punya cinta pertama. Dan sampai menjelang ajalnya ia masih menyimpan kenangannya. Malah ibu yang menyampaikan kenangan itu pada wanita yang menjadi cinta pertamanya,” 

Irma telah mendengarkan banyak kisah wanita yang diselingkuhi. Kebanyakan penuh drama, kebencian dan juga dendam. Mungkin benar ayahnya tak sampai balikan sama mantan tapi posisi cinta pertama mantannya dalam hatinya tak tergantikan.

“Bagaimana ibu tak merasa kesal dengan ayah?” tanyanya sangat heran dengan ibunya.

“Setiap orang menempati peran masing-masing. Ibu sadar telah menjadi wanita kedua bagi ayahmu. Namun ibu ingin menjadi wanita kedua yang akan jadi istri, ibu dari anaknya dan juga wanita yang menemaninya sampai kematian menjemputnya,” 

Irma tertegun mendengar perkataan ibunya. Andai setiap wanita berpikiran seperti ibunya mungkin efek diselingkuhi tak akan terlalu menyakitkan.

“Ini berbeda ibu. Apa ibu akan tetap bisa berpikir seperti ini saat ibu menjadi wanita pertama dan harus menyaksikan suaminya berpindah ke lain hati bahkan berbagi kehidupan?” protesnya.

“Bersyukur adalah kunci utama. Peran kamu berarti memang jadi wanita pertamanya. Ingatlah wanita pertama tak akan pernah tergantikan meskipun ada wanita lain dalam kehidupan seorang pria,” kata ibunya kini mulai menguap. 

Ia tahu sebentar lagi ibunya akan terlelap. Ia langsung teringat perkataan suaminya pagi ini. Bagaimana perkataan suaminya akan sama dengan perkataan ibunya. Ibunya tak punya teman laki-laki bahkan setelah kematian ayahnya tapi mengapa ibunya begitu paham dengan karakter pria.

“Apa kau yakin suamimu memiliki wanita lain?” tanya ibunya sebelum akhirnya terlelap. Irma pun tak kuasa menahan matanya yang lumayan berat. Sebenarnya ia sama sekali tak yakin.

Dini hari. Ia akan bangun menemani ibunya berbelanja ke pasar tradisional. Ibunya tetap ingin berjualan sayuran meskipun ia selalu memberi uang bulanan. Setelah berbelanja mereka pulang. Mereka duduk sebentar untuk menikmati teh hangat pagi hari dan juga menikmati jajanan pasar. 

“Apa kau sudah menghubungi suamimu?” ucap ibunya menggigit kue kucur. Dirinya sendiri meraih klepon untuk dinikmati.

“Belum Bu,” jawabnya merasa untuk apa menghubungi suaminya. Ia masih kesal dengan kebohongan suaminya. Ibunya tertawa membuatnya heran.

“Kenapa ibu malah tertawa,”

“Terlalu lama suamimu jujur padamu. Sekali berbohong kamu menganggap suamimu telah berselingkuh. Memang kau telah melihatnya bersama wanita lain?” tukas ibunya menghabiskan kuenya.

“Kurasa aku terlalu sering mendengar curhatan selingkuh di podcast. Aku akan menanyai kabarnya,” serunya mulai bisa berpikir rasional.

“Kau harus terus menghubunginya. Bahkan walaupun Bimamu itu memang bersama wanita lain. Tetap menjadi peran wanita pertama yang baik,” ucap ibunya masih ingin menggoda putrinya.

“Ibu jangan membuatku takut,”

“Ibu tak menakutimu. Aku hanya ingin membuat anak ibu siap dengan kenyataan terburuk yang mungkin bisa terjadi,” 

“Apapun yang terjadi komunikasi itu perlu. Bahkan dalam situasi paling buruk pun,” lanjut ibunya bangkit dan mulai jongkok untuk menata dagangan.

“Yang konselor di sini adalah aku. Tapi ucapan ibu mengalahkan profesiku,” kata Irma bertambah kagum dengan ibunya. Terkadang ucapan ibunya itu begitu bijaksana sekali.

“Ayo bantu ibu. Tuh para tetangga udah pada datang,” ajak ibunya. Irma membantu ibunya menjual sayuran untuk pelanggan pagi itu.

Sesuai petunjuk ibunya setelah  pelanggan mulai sepi ia pun menelpon Bima.

“Halo say apa kamu baru sarapan?” tanyanya berusaha dengan nada biasa saja.

“Tentu saja. Sesuai nasihatmu aku makan dengan baik. Ini aku akan berangkat ke rumah sakit. Seminarnya ternyata ditunda sampai besok,” kata singkat suaminya.

Irma masih berharap kali ini suaminya tak berbohong lagi. 

Ia mempunyai ide untuk membuat makan siang untuk suaminya. Ia akan mengantarkannya ke rumah sakit. Sementara Tina mengabarkan tidak bisa mengecek langsung keberadaan Bima hari ini karena ia masih belum selesai dengan Healing jiwanya.

Bersama ibunya ia kemudian memasak masakan kesukaan suaminya. Ikan panggangan yang diberi bumbu kuning. Lengkap dengan acar timunnya. Dimakan siang hari yang gerah akan terasa segar. Apalagi dengan cabe yang dibiarkan utuh masuk ke dalam sayur. 

Ia mencoba untuk tetap tenang dan memesan taxi online untuk mengunjungi suaminya di rumah sakit.

Sesampai di rumah sakit ia langsung menuju ruang dokter umum. Di sana ada perawat yang bertugas. Ia langsung menanyakan keberadaan suaminya.

“Dokter Bima baru saja keluar. Masih di area parkiran mungkin. Ibu bisa menyusulnya,” kata perawat itu.

 

Ia pun dengan segera mempercepat langkahnya untuk segera sampai di area parkir rumah sakit. Sayangnya ia sedikit terlambat karena ia telah melihat mobil suaminya telah meninggalkan area parkir. Tanpa berpikir panjang ia pun memesan taxi online yang baru saja ia pakai. 

Taxi yang ia tumpangi melaju dengan kecepatan penuh. Tak butuh waktu lama kendaraan yang ia tumpangi sudah berada tepat di belakang mobil suaminya.

“Tetap ikuti mobil yang di depan ya Pak,” seru Irma dengan hati was-was. Ia tak sanggup melihat kenyataan yang akan ia lihat nantinya. Bagaimana pun ia tak siap jika harus melihat suaminya benar-benar pergi bersama wanita lain. Hatinya bertambah tak karuan begitu mobil suaminya akhirnya berhenti di depan sebuah rumah. 

Ia melihat Mas Bima keluar dari mobil dan berjalan menuju pagar sebuah rumah. Dari kaca jendela taxi ia menyaksikan seorang wanita berambut panjang berpenampilan sederhana membukakan pintu pagar. Suaminya pun masuk dan terus berjalan ke dalam rumah. Pintu rumah itu pun tertutup. Ia tak tahu apa yang dilakukan suaminya di dalam. Ia juga tak dapat memastikan tentang siapa wanita itu dan apa hubunganya dengan suaminya.

“Nyonya apa kita akan tetap berhenti disini?” tanya sopir taxi membuat lamunannya buyar. 

“Kembali pulang ke rumah Pak,” jawabnya akhirnya terbata-bata.  Ia memutuskan untuk tidak kembali ke rumah ibunya. 

Bayangan suaminya tengah memadu kasih dengan wanita lain membuatnya tak bisa menahan air mata. Tidak mungkin pikirnya sambil menggelengkan  kepala. Tapi buat apa suaminya menemui seorang wanita tengah hari seperti ini. 

Ia sungguh mengenal suaminya. Luar dalam. Tak pernah suaminya mengecewakannya sekali pun. Sejak Bima menyatakan cintanya saat SMU Bima nyaris tak pernah terlibat hubungan dengan wanita selain dirinya. Bima selalu menjadi sosok pria yang bisa diandalkan. Ia yang tak pernah mendapat kasih sayang seorang ayah telah mendapat ganti dengan kehadiran Bima yang begitu mengayominya. Memenuhi hidupnya dengan cinta dan kasih sayang yang tiada pernah habis. 

Ia pun segera membayar taxi setelah ia sampai di rumah. Dengan gontai ia memasuki rumahnya yang sudah hampir 10 tahun lebih ia tempati bersama Mas Bima. Ia menatap semua perabot dan sudut ruangan. Suara-suara tawa dan kebahagiaan memenuhi kenangan akan rumah itu. Amat jarang terdengar tangisan dan juga kesedihan. Hanya sekali ketika ia divonis tak bisa punya anak  karena kondisi hormonal. 

Sungguh ia tak siap jika harus kehilangan cinta suaminya. Ia juga tak mungkin bisa berbagi jikalau mas Bima memang memiliki hubungan dengan wanita itu. Ia melihat wanita yang membukakan pintu tadi seorang wanita biasa. Meskipun hanya sekilas dan dari jauh ia tahu wanita itu tak terlalu mencolok atau bahkan cantik. Lantas jika pun suaminya terlibat affair apa sebenarnya daya tarik wanita itu hingga bisa mengubah kesetiaan Mas Bima menjadi penghianatan.

Ia mulai masuk ke dalam kamar. Ia menoleh ke atas ranjang. Ia teringat percintaan panas mereka beberapa hari yang lalu. Tak ada yang berubah dari sosok Mas Bima. Sentuhannya dan juga bisikan mesranya. Semuanya sama. Ia mulai memperhatikan semua pakaian suaminya. Seperti mendapat ide ia segera melacak semua pakaian kotor suaminya yang tak sempat ia cuci. Ia mencium dan mengendus seperti anjing pelacak. Tubuhnya kian lemas ketika menyadari adanya aroma lain yang tak pernah dikenalinya. Suaminya selingkuh. Ini fix sudah.

Ia mengumpulkan segera keberanian dan memencet nomor ponsel suaminya.

“Mas ini benarkan?” serunya tak bisa menyembunyikan perasaannya.

“Ada apa say? Hei nggak biasanya,” sahut suaminya seolah tak ada yang tengah terjadi.

“Aku konselor. Kamu bohong Bimantara Arga,” ucapnya hampir saja kehilangan kesabaran.

“Baiklah Aku akan pulang sekarang juga. Aku akan menjelaskanya. Sudah saatnya memang,” kata suaminya dengan suara pelan dan dalam. 

Air matanya tambah menderas dan berubah menjadi tangisan. Tak ada penyangkalan di sana. Rumah tangganya di ujung tanduk sekarang.

Irma menunggu kedatangan suaminya dengan gelisah. Kira-kira apa yang bisa Bima ungkapan. Sebuah pengakuan ataukah bantahan atau malah pembelaan.

Bima datang dengan wajah tegang. Tak pernah Irma melihat wajah suaminya seserius itu. Di ruang makan mereka duduk berhadapan dengan secangkir kopi di hadapan masing-masing. Ada ketegangan di antara keduanya.

“Siapa wanita itu?” tanyanya langsung.

“Dia teman wanitaku. Aku sudah bersamanya 6 bulan ini,” jawab Bima mencoba meraih tangan istrinya. Irma menghindar. Sungguh ia tak akan menerima segala macam lobi perasaan.

“Teman yang seperti apa?” selidik Irma mulai tak bisa menahan kesabaran.

“Irma sayang ini bukan seperti yang kau bayangkan. Aku sendiri juga terkejut menyadari semua ini,”

“Kau ingin mencari pembenaran?”

“Tidak, bukan begitu,” jawab Bima cepat. Ia mendesah berat.

“Aku akan mengatakannya. Semoga kamu bisa paham dan mengerti. Awalnya aku menemuinya sebagai pasien yang gagal bunuh diri. Sudah ketiga kali aku melihatnya selamat dari upaya bunuh diri. Aku hanya kasihan saja. Aku mengantarkannya ke psikiater. Kami banyak berbincang. Entah kenapa aku mulai simpati dan kasihan kepadanya,”

“Lantas? status wanita itu sekarang apa bagimu?” tanya Irma dengan dada makin panas. Bisa-bisanya wanita depresi menarik simpati suaminya dan mencoba bersaing dengannya.

“Kami akrab. Kami menjadi dekat. Itu saja” ucap Bima mendengus. Ia jengah dengan tatapan istrinya yang seolah dia telah berbuat dosa Zina terbesar.

“Lantas apa hanya itu? kenapa kamu harus terus mengunjunginya hampir tiap hari dan membohongiku,” seru Irma setengah berteriak. Ia menekan dadanya yang bergemuruh.

“Bukan maksudku untuk menyakitimu sayang. Ini tak ada hubunganya dengan dirimu,” 

“Maksudmu apa Mas?” tanya Irma sungguh sangat takut akan jawaban suaminya.

“Aku jatuh cinta padanya sayang," jawab suaminya dengan pelan tapi sangat jelas.

 Mulut Irma tercekat, air matanya tak bisa terbendung lagi. Bima bersimpuh di hadapan istrinya dan meraih tanganya tapi Irma langsung menepisnya kasar.

“Bukan maksudku mengkhianati cinta kita Ir. Cintaku padamu itu utuh. Hanya saja aku jatuh cinta juga pada Bella. Kumohon izinkan aku untuk menikahinya,”

Irma hanya menggeleng tak berdaya.

“Kurang apa aku ini padamu Mas? Katakan kesalahanku apa hingga kau akan menikahi wanita itu??” raung Irma penuh emosi.

“Kau tak kurang apa-apa Dik. Kau sempurna. Hanya saja aku tak mau dosa. Aku mencintaimu, aku kini juga jatuh cinta pada Bella,”

"Ucapan konyol apa itu. Apa karena aku tak bisa memberimu anak?" tanya Irma dengan sisa kekuatan yang ada. 

“Bukan itu Dik! Kita sudah membahas itu bukan. Aku hanya jatuh cinta setelah menikah. Aku tak mau menceraikanmu. Aku tak bisa hidup tanpamu Dik. Tapi aku juga tak bisa meninggalkan Bella. Tolong mengertilah,” ucap Bima dengan wajah memohon. Ia menyugar rambutnya frustasi.

“Kau sangat egois Mas,” kata Irma beranjak dari duduknya.

“Aku menunggu izinmu Dik,” ucap Bima juga berdiri dan membalikkan tubuh. 

Irma berusaha meredam emosinya dengan duduk dan menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Mas Bima telah mengakui kalau hatinya ini terbagi bahkan ia juga telah meminta izin darinya untuk menikah lagi tanpa mau menceraikannya, 

Apa yang harus ia lakukan sekarang? Ia tak sanggup dengan semua pilihan keputusan yang dirasakannya sama saja. Sama-sama menyulitkan. Ia kemudian bangkit. Ia menuju kamar siarannya. Ia pun mulai melakukan siaran malam itu. 

Siaran kali ini mendapat sambutan yang sangat baik sekali. Ia malas untuk membaca satu-satu chat yang ada di hotlinenya. Ia memutuskan untuk segera pergi ke rumah ibunya. Hanya ibunya lah sumber penenangnya. Ia merasa begitu membutuhkan ibunya lebih dari apapun. Ternyata ia begitu tergantung pada ibunya. 

Ibunya langsung tahu kalau apa yang dikhawatirkan putrinya ternyata menjadi kenyataan.

“Bu, Mas Bima jatuh cinta lagi. Ia singgah ke wanita kedua dalam hidupnya,” ucap Irma dengan lesu. Ibunya tersenyum sambil menepuk bahu putrinya.

“Tapi apakah kau masih jadi yang pertama untuk suamimu?” tanya ibunya memeluk Irma dengan kehangatan. Rasanya seperti disiram air es. Pelukan ibunya langsung membuatnya nyaman..

“Mas Bima berkata kalau ia masih mencintaiku dan ia juga mencintai wanita itu. Ini sungguh tak masuk akal,” ucapnya garing. Ibunya membuatkannya teh hangat.

“Minumlah dulu. Endapkan pikiranmu. Tidurlah dengan berpura-pura ini mimpi. Besok baru kita pikirkan langkah selanjutnya. Jangan buat keputusan saat kau emosi,” 

“Ibu benar sekali. Ibu tahu Mas Bima bilang ia jatuh cinta pada wanita depresi. Ia begitu iba dan beralih menjadi rasa cinta. Aku melihat wanita itu ibu. Ia sama sekali tak lebih cantik dariku. Bisa-bisanya. Mas Bima ingin menikahi seseorang yang levelnya lebih rendah dari diriku sendiri,” seru Irma menggelengkan kepala tak mengerti. Ibunya membimbing Irma untuk segera tidur.

Paginya Irma terbangun dengan pikiran yang lebih jernih. Ia ingin mengikuti saran ibunya untuk melakukan aktivitas seperti biasa saja, termasuk juga sikapnya pada suaminya. Ia akan tegar. Meskipun ia masih mengulur waktu untuk memberikan izin pada Mas Bima. 

Hubungan dengan suaminya berjalan normal. Suaminya tak membahas tentang wanita itu lagi. Sampai suatu hari tepat seminggu setelah pengakuan Bima seorang wanita bernama Bella menghubunginya dan mengajaknya bertemu secara pribadi. Irma tahu ini pasti akan terjadi. Lamat laun ia harus memilih dan memutuskan, bukan? Meskipun suaminya tak mendesaknya. . 

Di sebuah cafe yang lumayan sepi Irma menemui perempuan yang telah membuat hati suaminya terbagi. Ia mulai menguatkan dirinya. Ia tak tahu wanita seperti apa yang akan ia hadapi. Seorang wanita melambaikan tangan padanya. 

Saat melihatnya, Irma sempat tertegun. Wanita itu memakai pakaian yang sangat sederhana. Dengan riasan yang tak mencolok. Umurnya tentu lebih muda darinya. Ia makin tak habis pikir dengan Mas Bima kenapa sampai menginginkan menikahi wanita yang kini duduk di hadapannya itu.  Memang kelebihan orang siapa yang tahu. Mungkin wanita dihadapannya itu hebat merayu atau beratraksi di atas  ranjang. Memikirkannya saja membuatnya mual. Tapi Bima mengatakan ia tak akan melampaui batas jika belum resmi menikah.

“Senang berkenalan dengan dokter Irma. Perkenalkan aku Bella. Kita sudah saling mengenal sebelumnya,”ucap wanita itu ramah seperti menemui teman lama. 

Irma sungguh ingin tertawa saja. Apa ini lelucon. Ia sudah membayangkan wanita itu akan langsung mengatainya atau menyumpahinya.

“Perkenalan yang sangat tak diharapkan karena kau telah merebut suamiku. Jangan bermanis-manis muka. Aku ingin singkat saja. Apa maumu?”” tukas Irma gemas bercampur kesal. Wanita itu tersenyum hangat seolah tak berdosa. Irma semakin muak.

“Apa kak Irma tak mengenaliku. Aku Bella yang menjadi klienmu. Kau yang telah menyembuhkan aku dari trauma dan juga perilaku burukku. Sungguh aku tak akan melupakan jasa kak Irma,” 

Irma tertegun sejenak. Maksudnya Bella wanita baru suaminya adalah Bella yang sama yang telah menjadi klien nya hampir setahun  dan kini telah bebas sembuh. 

Ini sungguh sulit diterima. Bagaimana ini terjadi padanya. Kliennya kini jadi pelakor suaminya. 

“Apakah yang kau maksud pria yang kau cintai dan mencintaimu itu suamiku?” ujar Irma akhirnya memastikan. Mulutnya kering. Untuk sepersekian keduanya hanya terdiam.

“Maafkan aku kak. Ini sungguh tak sengaja. Aku tak mengenal suami kakak. Aku juga tak tahu kalau pria yang menyelamatkan aku di rumah sakit itu adalah suami kakak,” ucap Bella dengan serius. 

“Lantas setelah kau tahu kalau kau telah mencintai suami dari konselormu sendiri apakah kau akan pergi sekarang?” tanya Irma mendengus menatap tajam Bella. Terlihat tubuh Bella sedikit bergetar. Ada ketakutan di sana. 

“Sekali aku minta maaf. Mungkin ini egois. Aku selalu ingat perkataan kakak kalau aku akan bisa berubah. Aku pantas bahagia. Aku berharga. Sungguh aku sekarang merasa menjadi wanita yang begitu dicintai. Meskipun aku bukan wanita pertama. Wanita kedua pun aku akan selalu bersyukur. Suami kakak, Mas Bima adalah pria mulia kak.“Ok. Baiklah. Aku akan beri izin kamu jadi istri kedua suamiku asal suamiku juga menginginkanya,” jawab Irma mulai kehilangan akal ,menghadapi Bella. 

Ini sungguh tak bisa dipercaya ia mengatakan persetujuan itu. Mata Bella membulat. Semburat bahagia langsung tergambar di wajahnya yang sedikit pucat. Ia kemudian bersujud syukur di dekat Irma berdiri. Bella sungguh telah menempuh jalan hijrah. Tapi kenapa harus suaminya yang jadi perantara jalan suci itu. Kenapa juga harus jadi istri kedua. 

Irma sudah tak tahan lagi. Ia segera meninggalkan Bella dan pergi menuju rumahnya. Baginya ini sungguh kenyataan sulit. Keputusannya sangat berat. Ia tahu segala konsekuensinya. 

Kabar kalau Bima akan menikah lagi sudah terendus keluarga Bima sendiri. Sore hari saat Bima Baru saja masuk kamar mandi untuk membersihkan diri Irma yang saat itu duduk di atas ranjang mendapat telpon dari Mama mertua. Aku bangga kakak adalah wanita yang menjadi istri pertama Mas Bima,” tutur Bella kini dengan mata berkaca-kaca.

Kini Irma bingung apakah ia akan terus menunjukkan konfrontasinya. Senjata makan tuan baginya. Ia memang telah memberi nasehat konseling untuk Bella. Tak ia sangka suaminya pria yang ia ceritakan telah membuatnya berhenti menjalani kehidupan buruknya sebagai perebut suami orang. Kini dirinyalah yang menjadi korban terakhir.

Bella menangkupkan tangannya di depan dadanya dengan tatapan memohon

“Kak Irma tolong izinkan aku menjadi istri Mas Bima. Biarkan aku percaya sekali saja bahwa ada cinta sejati untukku. Aku tahu kakak punya hati besar. Sudah banyak orang yang telah kakak bantu. Kali ini aku mohon biarkan aku jadi madumu,”

“Kau pikir Mas Bima barang? Kau salah menempatkan konteks. Aku sungguh sedang tak ingin berbagi apalagi berbagi suami,” ucap Irma tak mengerti dengan cara berpikir perempuan di depannya itu.

“Aku tahu kakak bukan orang yang seperti itu,” tukas Bella ingin meraih tangan Irma tapi Irma segera menghindar.

“Terserah. Kurasa tak ada yang perlu dibicarakan lagi. Aku tak akan memberikan izin,” kata Irma beranjak berdiri. Ia pikir Bella sudah tak waras. Kenapa ia menganggap kisah ini serius. 

Alangkah terkejutnya Irma melihat tindakan Bella selanjutnya. Bella berlutut dan bersimpuh di hadapannya sambil menangis

“Kak tolong izinkan aku dan Mas Bima. Kami saling mencintai. Apa kau akan menghalangi kami?” kini Bella sudah berderai air mata. Tentu saja Irma segera meraih pundak Bella dan menyuruhnya bangkit. Ia tak mau mereka jadi pusat perhatian. 

“Kau jangan membuatku malu,” bisik Irma. Bella tetap menatapnya penuh pengharapan. 

“Aku akan tetap memohon padamu,” ucap Bella hendak bersimpuh lagi.

“Sebenarnya apa yang terjadi Ir? apa perkataan Tina memang benar? Bima ada wanita lain?” tanya Mama Mertua penasaran.

“Itu benar Ma. Tanya sendiri pada anak Mama sendiri,” seru Irma segera memberikan ponsel itu pada suaminya yang kini sudah keluar dari kamar mandi.

Bima langsung menerima ponsel dari Irma.

“Ya Ma?” sahutnya duduk di sofa dekat ranjang. Ia melirik Irma sebentar.

“Aku akan ke sana sebentar lagi. Bersama Irma. Biar lebih jelas. Aku juga ingin mempertegas semuanya. Biar tak ada yang salah paham,” kata Bima menutup ponsel dan mengembalikannya pada istrinya.

“Apa maksudmu salah paham? Kau telah memberi harapan palsu pada seorang macam Bella. Kau sungguh kejam. Lihatlah dia memohon sampai bersimpuh padaku agar aku mengizinkanmu menjadi suaminya. Kau harus segera membawanya ke psikiater untuk memeriksa kondisi psikologisnya,” ujar Irma berharap ini semua memang hanyalah tindakan Bella yang terganggu mentalnya.

Bima perlahan duduk di samping Irma. Ia meraih tangan Irma dan mengecupnya pelan. 

“Ir sayangnya ini bukan halusinasi Bella ataupun harapan palsu. Aku memang menyukai Bella. Persis seperti perasaanku padamu saat aku jatuh cinta padamu. Aku mencintai Bella. Semua kisahnya membuatku begitu prihatin padanya. Kau juga tahu latar belakang Bella seperti apa. ia juga banyak menceritakanmu. Aku sangat bersyukur akhirnya kau memberikan kami Izin,” ujar Bima dengan mata begitu terharu.

“Ini gila. Kau mungkin juga sudah tak waras,” seru Irma menggelengkan kepala. Sampai kapan drama ini akan selesai.

“Ayo kita ke rumah Mama. Aku ingin minta izin keluarga besarku untuk menikahi Bella. Aku butuh bantuanmu Ir untuk meyakinkan mereka,” 

“Mas Bim sadarlah. Kau hanya terpengaruh Bella. Kau tak benar-benar jatuh cinta padanya,” seru Irma mulai menangis. Bima hanya memeluk Irma tanpa suara. 

Habis magrib Irma akhirnya ikut Bima pergi ke rumah keluarga suaminya itu. Ia ingin marah dan berteriak tapi sungguh ini tak seperti kisah perselingkuhan yang umum terjadi. Bella adalah kliennya. Ia tahu semua data pribadi dan kisah Bella. Jujur ia juga sangat bersimpati pada wanita itu. Namun sekarang ia tak bisa bersimpati lagi. Ia juga tak bisa berbuat selayak malaikat dengan memberikan cinta terbesarnya pada wanita itu.

“Ir, Bella tak merebut cintamu. Cintamu tetap utuh. Ia juga tak ingin mengambil Mas Bima mu. Ia hanya ingin kau berbagi sedikit saja dengannya,” seru Bima berupaya meyakinkannya 

“Sudahlah Mas. Jangan bicara lagi,” teriaknya kesal. Kepalanya sungguh pusing. Apalagi nanti saat ia harus mendukung keinginan suaminya untuk menikah lagi di hadapan mertua dan saudara-saudara iparnya. 

Sepanjang perjalanan Irma teringat saat-saat Bella menjadi kliennya. Bella adalah gadis yang penuh penderitaan. Sejak kecil Ayahnya telah meninggalkan di tangan ibu yang tega menjual nya di sebuah rumah bordil. Menjadi anak angkat mucikari menjadikanya hidup lumayan layak sehingga bisa kuliah. Namun hidupnya sebagai wanita telah rusak. Kehidupan pelacuran telah menghancurkannya. Bella kemudian mengembangkan kehidupan yang lebih baik daripada hidup sebagai pelacur rendahan. Ia tak mau lagi menjual diri hanya berdasarkan perintah mucikarinya. Ia yang akan memilih pria bukan pria yang memilihnya. Sejak SMU ia telah menjadi sugar daddy beberapa orang pria. Sampai lulus kuliah dan ia mulai berkarir sebagai akuntan. 

Bukan sekedar sugar daddy lagi akhirya. Ia mulai mendekati pria dengan keluarga harmonis dan mulai mengganggu kehidupan mereka. Ada kepuasan saat sang pria terpesona dengannya dan melupakan keluarganya. Ia akan meninggalkan pria itu begitu pria itu mulai cekcok dengan keluarganya. Begitulah kehidupan Bella sampai ia mulai mengerti ada yang salah dalam dirinya. Ia mulai depresi karena rasa bersalah. Ia ingin berhenti. Ia tenggelam dalam keputusasaan sampai ia melakukan beberapa percobaan bunuh diri. Mas Bima yang menolongnya bersama Irma.

Irma hanya terdiam saat suaminya tetap berlaku manis padanya dengan membuka pintu mobil untuknya. Ia akui perlakuan suaminya tak banyak berubah, meskipun suaminya telah memiliki wanita lain. Inilah poinya. Kenapa ia tak rela berbagi suami jikalau segalanya tak akan ada yang berubah. Tapi ini hanya sekedar perangkap bukan? begitu mereka resmi niscaya Mas Bima akan lebih mencintai istri kedua apalagi mungkin juga Bella akan bisa memberinya bayi yang tak bisa ia berikan

 

“Bim apa kau sudah memikirkan semua akibatnya,” ucap mama mertua Irma saat mereka telah berada di rumah orang tua Bima. Bima menoleh pada Irma. Irma mendengus. Sebenarnya ia tak ingin mengatakan apapun. Ia akan jadi pendengar saja. Ia juga tak sudi untuk membantu Mas Bima mendapatkan restu dari mama mertuanya.

“Aku sudah memikirkannya. Ini bukan seperti yang Mama sangka,” kata Bima berusaha memberi alasan. Kakak Bima, Claris hanya menggelengkan kepala tak habis pikir.

“Ini bukan hanya untuk dirimu., Tapi ini juga menyangkut nama baik keluarga. Apa yang akan orang-orang bilang nanti kalau kau punya istri dua,” sergah mama mertua dengan wajah menahan kesal.

“Hubunganganku dan Bella tak seperti yang kalian sangka. Irma juga begitu,” kata Bima tampak mulai tak sabar.

“Lantas apa kalau kau ingin menikah lagi kalau tidak diawali perselingkuhan?” sahut kakak ipar gemas dengan adik semata wayangnya.

“Selingkuh itu menjalin hubungan terlarang dengan wanita lain. Aku cuma berteman dengan Bella. Kebetulan aku jatuh cinta padanya. Kami tidak melakukan apapun yang melanggar batas. Makanya izinkan aku untuk menghalalkannya,’

“Lantas Irma kau kemanakan? kau tak berpikir tentang perasaanya?” sahut mama Mertua. 

Irma menatap mata suaminya yang masih bersikukuh. Irma cukup senang melihat keluarga suaminya juga malah membelanya.

“Yang nggak dikemanain. Ia tetap menjadi istri pertamaku,” jelas Bima mengelus pundak Irma dan menatapnya lembut. Irma sudah sangat tak tahan.

“Sudahlah mas. Akhiri drama ini. Silahkan saja menikah. Dan semuanya hentikan perdebatan ini. Aku setuju mas Bima menikahi Bella. Berikan restu kalian. Kuakui aku memang tak bisa memberimu keturunan” ucap Irma merasa kepalanya yang semakin berdenyut.

“Ir kamu sadar dengan apa yang kau katakan? Anak bukan alasan seorang pria harus menikah lagi,” ucap mama segera mendekatinya dan duduk di sampingnya. Claris menggeleng.

“Ini makin tidak benar saja. Ini bukan drama di sinetron kan? Kalian, kan bisa mengadopsi anak,” tambah Claris dengan tatapan iba pada Irma.

Bima menyugar rambut,

“Gimana membuat kalian mengerti? Ini tak ada hubungannya dengan keadaan Irma. Aku jatuh cinta pada Bella. Aku akan menikahinya. Sesimpel itu saja,” 

“Ini drama mas Bima dengan Bela. Ok aku akan ikut drama ini sampai akhir. Aku akan menyetujui pernikahan ini dengan beberapa syarat dan ketentuan,” kata Irma mempertegas keputusannya. Ia memandang semua orang yang hadir disitu.

“Ya itu masuk akal. Kita buat perjanjian saja,” sahut Papa yang dari tadi hanya menyimak saja.

“Apa kau setuju Bima?” sahut Mama mertua, menatap tajam suaminya. Di mana-mana kaum laki-laki sama saja.

“Tentu saja. Papa lebih memahamiku,” kata Bima seperti mendapat angin segar.

“Ya sudah kita susun persyaratan nikahnya. Bima kau harus menyanggupinya sebagai syarat kau menikahi Bella,” tukas Claris tak ingin berlama-lama.

Irma pun menuliskan poin-poin yang harus dilakukan mas Bima  sebagai syarat pernikahan bisa terlaksana. Tak lupa seluruh keluarga membacanya dan menambahkannya jikalau dirasa penting. Bima hanya membacanya sekian menit dan langsung menandatanganinya. Claris menempelkan beberapa materai dan seluruh keluarga membubuhkan tanda tangan. Dalam perjanjian itu apabila Bima ingkar maka ia akan secara otomatis bercerai dengan Irma dan ia juga akan dikeluarkan dari anggota keluarga.

Memang siapa yang rela anak laki-lakinya menikah lagi dengan bekas mantan pelacur dan juga pelakor. Sungguh Bella tak akan mendapatkan tempat sedikitpun dalam keluarga Mas Bima pikir Irma sedikit terhibur.

Syarat yang Irma ajukan adalah Bima harus hidup seperti sebelum menikah dengan Bella. Setelah menikah tak akan ada perubahan dalam hidup Bima. Baik secara keuangan, waktu ataupun perhatian. Hal itu juga dituntut oleh keluarga Bima sendiri.

Hampir tengah malam akhirnya Irma dan Bima pamit pulang.

“Dik rasanya plong sekali. Tinggal minta izin sama ibumu,” kata Mas Bima penuh kelegaan di wajahnya.

“Tak usah! ngapain juga minta izin ibu. Ibu mana yang rela anaknya dimadu suaminya,” ucap Irma meragukan kalimatnya sendiri. Ia tahu ibunya tak akan mencegah Bima ataupun akan berlagak sok pahlawan dengan melawan Bima untuk kepentingan putrinya. Pikiran ibunya melampaui pemikiran kebanyakan orang. Beberapa hari kemudian saat Irma diajak mengunjungi ibunya bersama Bima, ibunya bereaksi,

“Kau boleh menikah lagi. Itu hakmu. Hanya saja tetap jadikan putriku ratu di hatimu. Itu saja,” kata ibu singkat dan menyuruh mereka untuk makan masakannya. Bima tersenyum melihat betapa mama mertuanya begitu pengertian padanya. Tak urung meskipun Irma tahu sikap ibunya ia masih tetap mendongkol.

“Ini takdir Irma. Terima saja. Pasti ada sesuatu di balik Bima yang jatuh cinta bak remaja,” hibur ibunya membuatnya hanya tersenyum kecut pada dirinya sendiri.

“Kau tahu pahalanya wanita yang dengan ikhlas dimadu suaminya?” kata ibunya menepuk pundaknya.

“Sayangnya aku masih belum mau tahu ibu. Sebesar apapun itu,” sahutnya ketus.

Kabar kalau Bima akan menikah lagi mulai tersebar. Tak luput juga di dalam rumah sakit. Tina tak bisa bersikap tak ada apa-apa di lingkungan kerjanya. Di rumah sakit Bima yang awalnya adalah salah satu dokter umum yang paling disegani gara-gara poligami ia jadi bahan gunjingan para perawat dan dokter wanita. Tentu saja Tina yang tahu rasanya dikhianati tak bisa berbuat apa-apa.

“Kau tahu rencana suamimu? aku dengar ia mengundurkan diri. Kata tante ia akan menikah hari ini, benarkah itu Ir?” desak Tina di pagi hari dimana Irma baru saja menandatangani surat persetujuan dirinya mengizinkan suaminya menikah lagi untuk diserahkan pada pak penghulu.

“Mas Bima lagi bersiap untuk ijab kabul,” kata Irma berusaha agar terdengar biasa saja. Padahal ia ingin berteriak saja rasanya.

“Urusan dia mengundurkan diri dari pekerjaannya aku tak tahu sama sekali,” lanjutnya.

“Menyesal sekali mengapa aku kenalkan kau dulu padanya kalau pada akhirnya Bima melakukan hal ini. Apa kau akan menghadiri acara ijab kabul suamimu?” tanya Tina di ujung telpon.

“Aku tak sanggup Tin. Bawa aku jalan-jalan hari ini. Ambilah cuti. Giliranmu sekarang yang menghiburku,” kata Irma sedikit memaksa.

“Tentu saja. Kau selalu ada saat aku kesulitan. Kini giliranku. Aku akan cari teman yang mau ganti jam denganku. Tunggulah beberapa menit aku akan menjemputmu. Kita bersenang-senang hari ini,” tutur Tina sebelum perbincangan berakhir.

Tentu saja mana mungkin Irma akan kuat melihat suaminya akan berikrar dengan wanita lain. Walaupun ia telah merelakan tapi bukan berarti ia akan hadir di acara nikahan suaminya seperti dalam drama-drama.

Bima muncul dari kamar dengan penampilan yang sudah rapi. Ia telah memakai jas dan kopiah hitam dengan sematan bunga melati di sakunya. Harum bunga melati membuat Irma bergidik.

“Dik yakin kamu nggak mau hadir? Bella pasti kecewa melihatmu tidak ada di sana,” kata Bima menatapnya penuh kesedihan. Anehnya Irma merasa kesedihan suaminya itu tak dibuat-buat. 

“Kau keterlaluan. Jangan berharap diluar batasanku Mas,” kata Irma mengulurkan surat persetujuan yang telah ditandatanganinya. 

“Terima kasih Ir. Entah bagaimana aku membalas kebesaran hatimu,” kata Bima menerima kertas yang akan menjadi syarat utama pernikahan dengan Bella menjadi sah.

“Kau akan kemana Ir?”tanya Bima melihat istrinya beranjak dari duduknya.

“Habiskan sarapanmu. Mungkin kau butuh nutrisi banyak untuk bisa membaca ijab dengan benar. Aku akan pergi bersama Tina. Jadi jangan terlalu peduli,” kata Irma meraih tasnya dan berjalan keluar. Suara klakson mobil Tina telah memanggilnya.

Hari itu Irma merasa bersyukur masih punya sahabat seperti Tina. Tina berhasil membuatnya nyaris lupa kalau di hari itu di rumah mertuanya sedang berlangsung acara akad nikah suaminya. Ia kini resmi dimadu suaminya. Di jam di mana suaminya telah halal dengan seorang wanita bersama Bella Sabina ia sedang tertawa menonton film komedi bersama Tina.

Mungkin beberapa kegiatan bisa mengalihkan dunia dari kenyataan tapi tentu saja itu tak akan menghapus rasa sakitnya. Kebetulan Irma melarang Tina untuk meninggalkanmu sampai jauh malam. Ia tak bisa membayangkan suaminya sedang memadu kasih sebagai pengantin baru. Tentu saja Tina menertawakan surat perjanjian dimana Bima tak akan berubah setelah memiliki istri kedua.

Namun sungguh hal tak terduga telah terjadi. Mas Bima suaminya ternyata pulang di malam pertama pengantin dan berusaha mengusir Tina.

“Kau akan apakan istrimu?” sergah Tina berkeras untuk tetap tinggal.

“Aku akan melakukan kewajibanku sebagai seorang suami,” kata Bima menyapa Tina tak senang.

“Kenapa Mas Bima tidak bersama Bella malam ini?” teriak Irma marah. 

“Apa kau akan tetap di sini dan menyaksikan drama suami istri? kau belum menikah Tin. Jadi pergilah,” usir Bima membuat Tina akhirnya pergi. Irma hanya memberi isyarat pada Tina untuk tidak terlibat.

“Kau akan menepati surat perjanjian itu?” tanya Irma menatap suamnya seakan tak percaya.

“Tentu saja. Aku tak akan mengubah kebiasaanku padamu meskipun aku sudah menikah lagi,” sahut Bima santai.

Irma makin emosi.

“Kau pria tak berperasaan,” sergahnya seraya memukuli dada bidang suaminya. Bima hanya menerima serangan Irma tanpa perlawanan. Beberapa saat kemudian ketika Irma sudah agak tenang Bima langsung menggendongnya ala bridal style menuju kamar mereka.

“Kau mau apa?” ujar Irma terkesiap.

“Tentu saja memberikan nafkah batin untuk istri pertama sebelum aku melakukanya dengan istri keduaku,” ujar Bima menatap intens pada tubuh Irma. Malam itu pun Irma terpaksa harus melayani suaminya seolah suaminya tak melakukan apapun siang harinya.

Irma pikir setelah bersamanya Bima akan pergi pada Bella tapi ternyata ia salah. Bima benar-benar menjalani semuanya sesuai kesepakatan. Pagi itu seperti biasa Irma memasak dan Bima bersiap untuk pergi bekerja.

“Tina bilang kau telah mengundurkan diri dari rumah sakit?” tanya Irma meletakkan kopi untuk suaminya. Bima telah menghabiskan sarapannya.

“Ya. Maaf semuanya mungkin aku bisa usahakan tak ada perubahan Irma. Kecuali pekerjaan. Kurasa sudah waktunya aku mewujudkan sesuatu yang telah kuimpikan sejak dulu. Aku telah membeli klinik temanku. Kebetulan ia pergi ke luar negeri melanjutkan pendidikanya. Jadi aku dan Bella tinggal di sana dan membuka klinik mandiri. Maaf aku baru cerita sekarang. Tapi nafkahmu tak akan berubah. Nafkah bulananmu tak akan berkurang sepeserpun,” terang Bima membuat Irma tak bisa berkata-kata. Entah dalam hitungan bulan ia merasa suaminya sudah begitu banyak berubah. Apakah ini pengaruh dari perasaan cintanya pada Bella? Irma tak mau mengakuinya. 

Bima kemudian pergi bekerja seperti biasa. Irma kini benar-benar merasakan hatinya mulai memberontak. Meskipun Bima tetap menunaikan kewajibanya bahkan kehidupannya pun nyaris sama seperti sebelum suaminya poligami tapi tetap saja hatinya sakit. Dalam kesendirian pagi itu meraung keras.

“Apa urusanku dengan hal itu,” sahut Irma ketus sambil meletakkan minuman di meja. 

“Minumlah dulu sayang,” ujar Bima membuat kuping Irma serasa panas. Baru kali ini ia melihat suaminya berkata mesra selain kepada dirinya.  

“Terima kasih Mbak Ir,” sahut Bella segera meraih cangkir tehnya.

“Nah setelah ini jika ada sesuatu dengan Mas Bima silakan dibicarakan saja. Aku ada Irma mencoba melampiaskan semua kekesalan dan sakit hatinya dengan membuat konten di podcastnya tentang kejamnya perselingkuhan dan juga poligami. tentu saja mendapat respon luar biasa. Bahkan followernya bertambah begitu banyak secara signifikan. Tema selingkuh memang tema yang begitu laris dibahas di dunia maya. Apalagi bagi para ibu rumah tangga. semua followersnya beranggapan kalau Irma memang mengalami perselingkuhan dan praktek poligami di dunia yang nyata.

Saat Irma asyik dengan pelampiasan hatinya, di suatu pagi tepat 3 bulan ia di madu. Di hari minggu yang cerah seperti biasanya ia akan menghabiskan waktunya bersama Bima dengan aneka macam kegiatan mereka. Bella untuk pertama kali mengunjungi kediaman suami dan juga istri pertama pria itu. Bella seorang istri kedua yang rela harus mendapat jatah hanya beberapa jam saja dengan suaminya. Ia kini melihat kemesraan istri pertama suaminya.

“Maaf mengganggu acara kalian,” ucapnya agak takut. Mulanya Bima akan marah melihat Bella muncul mendadak tanpa pemberitahuan. Ia tak ingin masalah akan muncul diantara kedua istrinya itu.

Saat Bella akan beranjak pergi begitu melihat wajah masam suaminya suara Irma menghentikanya.

“Duduklah!” ucap Irma sedikit canggung. Kenapa ia yang merasa tak enak dengan madunya itu bukanya wanita itu telah memiliki sebagian kecil dari hati suaminya. 

“Aku hanya ingin memberitahukan sesuatu pada kalian,” ucap Bella agak ragu. Bima menatap Bella penuh arti sementara Irma beranjak ke dapur membuatkan kopi untuk Bella.

“Irma, ternyata Bella kemari ingin menunjukkan berita bahagia untuk kita,” seru Bima tiba-tiba mengikutinya ke dapur. Ada sinar kebahagiaan di wajahnya.

Irma mengerutkan dahi sambil membawa nampan berisi minuman untuk madunya. 

“Mbak Irma aku hamil,” ucap Bella dengan wajah cerah secerah matahari. Hati Irma mencelos. Tak ia pungkiri ia takut dengan masa depan jikalau Bella memang akan memiliki anak dengan Bima.

kesibukan lain,” ujar Irma tak ingin menyaksikan kemesraan yang lebih banyak lagi antara suami dan madunya itu.

“Tunggu Mbak. Aku ingin kehadiran benih di rahimku ini bisa membuat Mbak Irma ikut senang,” kata Bella dengan senyum merekah.

“Benar katamu Bella. Irma sudah lama menginginkan seorang bayi. Bukankah menyenangkan Ir bila kita bisa merawat bayi itu bersama-sama,” tawar Bima menatap irma berusaha agar Irma turut berbahagia.

“Mbak Irma sudah kuanggap kakak sendiri,” kata Bella penuh ketulusan. Irma makin kesal.

“Itu bayi kalian. Aku tak ada sangkut pautnya. Mungkin aku memang menginginkan bayi tapi bayiku sendiri dengan Mas Bima. Kalian pikir itu sama. Jangan harap,” ucap Irma mendengus dan beranjak akan pergi.

“Ir jangan keras kepala. Sadarlah kau memang tak bisa memberiku keturunan. Terimalah itu!” ucap Bima mulai capek dengan perkataan istri pertamanya.

“Sudahlah bang. Mungki Mbak Irma hanya butuh waktu saja,” kata Bella dengan kesabarannya.

Irma bergegas melangkah menuju taman belakang rumahnya. Ia mengelus dadanya yang sesak. Kenyataan bahwa ucapan Bima memang benar adanya membuat hatinya bertambah perih. Ada ketakutan gimana kalau kehadiran anak itu benar-benar membuat Bima berubah dan membiarkan Bella mendominasi hidup suaminya. 

“Ir maafkan kalau ucapan terakhirku menyinggung perasaanmu,” kata Bima mendekatinya.

“Kenapa kau tinggalkan Bella?” tanya Irma masih cemberut.

“Ia pamit pergi. Ia tahu batasan,” kata Bima singkat. Matanya terlihat meredup.

“Bukankah harusnya kau temani istrimu yang sedang hamil itu. Antarkan dia pulang!” cibir Irma.

“Kamu yang lebih membutuhkan aku,” 

“Aku tak butuh dirimu. Pergilah dari hadapanku. Atau aku yang akan pergi,” kata Irma dengan mata berapi-api. 

Bima menatap Irma sendu dan perlahan pergi beranjak meninggalkan Irma.

Sekarang Irma tampak menjadi istri pertama yang begitu jahat. Membiarkan madunya pulang dalam keadaan hamil muda. Ah persetan dengan itu.

Bima mulai memberi tahu keluarganya mengenai kehamilan istri keduanya. Seorang anak dan cucu yang benar-benar diidamkan akhirnya akan lahir. Tentu saja keluarga Bima mulai melunak. Dan seperti yang diprediksi Irma keluarga suaminya tak bisa menyembunyikan kegembiraan mereka. Meskipun di depan Irma tak begitu mencolok.

Segera saja Bella mendapat perhatian lebih dari mertua dan juga kakak ipar Irma. Walaupun tetap dengan aturan di awal mama mertua mengirimkan aneka makanan dan juga keperluan ibu hamil. Yang lebih menyebalkan lagi bagi Irma adalah Bella seolah pamer kehamilan padanya. Sejak hamil Bella sering menghubungi Irma lewat telepon.

“Ada apa lagi Bel? tanya Irma saat tengah malam Bella menelponnya.

“Maaf mbak aku mau minta tolong. Kata Mas Bima, Mbak Irma punya pohon mangga di rumah ibu Mbak. Boleh nggak Bella minta. Nih orok lag nyidam,” 

Tak urung Irma harus tepuk jidat. Kenapa ia harus terlibat dengan perkara nyidam segala.

“Suruh Mas Bima minta sendiri,” sahut Irma melirik suaminya yang lagi tidur di sampingnya.

“Tapi oroknya minta Mbak yang mengambilkanya,” ucap Bella sedikit sungkan.

“Macam-macam saja. Baiklah besok aku akan mengunjungi ibu sekalian aja,”

“Terima kasih Mbak. Mbak sungguh baik banget,” seru Bella bernada manja membuat Irma mual.

“Aku bukan kakak perempuanmu,” sahut Irma menutup panggilan.

Demikianlah akhirnya Irma pergi juga ke rumah ibunya untuk mengambil mangga muda. Bima hanya mengulum senyum melihat istri pertamanya meskipun dengan setengah hati mengabulkan keinginan jabang bayi.

“Sudahlah Ir. Berdamai saja dengan kenyataan. Apa salahnya menganggap Bella adik. Toh katamu Bella juga sudah tak memiliki keluarga lagi. Bantulah ia melewati masa kehamilanya. bukan hanya berbagi suami kalina juga bisa berbagi anak,” ucap ibunya berusaha meredam perasaan putrinya dan menerima kenyataan yang terjadi.

“Tentu saja kalau masalah nyidam saja aku terlibat aku akan benar-benar merawat anak itu Bu,” ucap Irma merasa sudah kepalang basah. 

Tak ayal hari-hari berikutnya Bella sungguh melibatkan Irma dalam segala hal dengan keberadaan calon bayinya. Acara 3 bulanan dan juga 7 bulanan semuanya disiapkan Irma dengan sebaik mungkin meski sedikit terpaksa. Ia sungguh tak menyangka dirinya akan menjalani peran istri pertama yang begitu sempurna. Terkadang dalam kediaman ia masih merasa ini bukan kenyataan. Hasratnya untuk memiliki bayi yang ada di rahim Bella semakin kuat. Ia mulai merasa memiliki bayi itu. Ia sering menatap foto USG. Seorang bayi laki-laki yang tampaknya akan sangat menggemaskan saat lahir nanti. Dalam pikirannya ia ingin menyingkirkan Bella ketika ia sudah mendapatkan bayi itu. Toh Mas Bima masih konsekuen dengan isi perjanjiannya. Bella akan tetap menjadi yang kedua dan sebelum Bella meraih segala yang ada pada suaminya ia akan pastikan Bella akan tersingkir lebih dahulu.

Akhirnya tibalah waktu persalinan bagi Bella. Bella menelpon suaminya yang saat itu tidur nyenyak dalam pelukan Irma. Bahkan menjelang hari persalinan Bima tetap berada di sisinya.

“Ya ada Bella? “ tanya Irma berusaha untuk sadar dari tidurnya yang nyaman.

“Perutku mulas sekali Mbak. Kurasa aku akan melahirkan,” kata Bella dengan nada cemas. Tanpa berpikir panjang ia segera membangunkan suaminya. 

Bima langsung bangun dan segera menel[on rumah sakit untuk menyiapkan kamar bersalin bagi istri keduanya itu.

“Aku senang kau mau ikut menemani Bella. Saat ini Bella butuh seseorang. Ia tak punya famili sama sekali,” kata BIma masih bisa tersenyum saat ia mencemaskan Bella. 

Irma hanya mendengus saja dan segera menyiapkan segala sesuatu yang bisa dibawanya untuk persalinan Bella. Dalam perjalan mereka menjemput Bella ia menyempatkan diri untuk menelpon ibunya. Ibunya berajnji pagi hari akan datang ikut menemnai Bella.

Proses persalinan berjalan lancar. Pertama kalinya Irma menyaksikan seorang ibu berjuang melahirkan bayi ke dunia. Ia terharu bercampur bangga. Entahlah meskipun wanita itu adalah madunya. Ia ikut bahagia. Tak hentinya ia menatap dan mengelus bayi itu. Bima sendiri tak kalah gembiranya. Ia mengecup berulang kali dahi Bella. Keduanya tenggelam dalam keharuan. Anehnya Irma tak merasa cemburu atau sakit hati melihat keduanya. Ia hanya fokus pada bayi dalam dekapanya.

Pagi itu ibu Irma datang berkunjung. Ia membawa makanan khusus untuk Bella. Irma terkesima melihat ibunya begitu perhatian pada Bella. Ibunya memperlakukan Bella selayaknya putri kandungnya. Irma merasa betapa menyedihkanya bila Bella harus bersalin tanpa siapapun di sisinya. Bella sama sekali tak punya keluarga yang peduli padanya. Benar-benar sebatang kara. Entah kenapa Irma merasa bersalah karena terlalu serakah dengan tetap memberlakukan perjanjian itu.

Kehadiran bayi itu sungguh membawa babak baru bagi Irma. Irma lebih sering berada di rumah Bella untuk membantu merawat bayinya. Sampai suatu saat ia merasa ia sungguh kejam bila

punya keinginan ingin memiliki bayi itu. Ia tersadar dalam kenyataan yang menyakitkan. Gimana pun ia hanyalah istri pertama bagi suami dan juga madunya. Perlahan ia mundur da mengurangi kunjunganya ketika Bella mulai bisa merawat bayinya sendiri.

Bima tahu apa yang dirasakan Irma. Tentu saja ia tak bisa berbuat banyak. Hanya saja ia pun mulai mempekerjakan seorang ART untuk membantu Bella. Ia sendiri tak bisa memberikan perhatian lebih pada Bella dan juga bayinya. Bagaimanapun ia akan konsisten dengan perjanjian itu.

Irma masih tak rela kalau Bima berubah hanya gara0gara bayi itu. Namun keluarga Bima mulai berubah. Mereka kasihan melihat Bella harus merawat bayinya tanpa perhatian [penuh seorang suami.

“Ir apa kita perlu merubah surat perjanjian itu,” kata ibu Mertua berusaha melunakkan hati Irma. Irma terdiam lama. 

“Entahlah Ma,” sahut Irma berusaha menutupi rasa perih di hatinya. ia masih tak bisa menjamin apakah hatinya akan baik-baik saja saat Bima nanti lebih cenderung pada Bella dan anaknya.

“Mama tak akan memaksa kalian. Hanya saja seringlah mengunjungi Bella. Ajak suamimu untuk lebih berinteraksi dengan bayinya,” kata ibu Mertua terdengar lebih berhati-hati.

“Ya Ma,” kata Irma setengah hati.

Pada kenyataanya Irma sama sekali tak mengunjungi Bella. Bahkan ia akan langsung marah bila Bima mulai menceritakan betapa lucunya Adri bayinya.

Karena Irma cenderung menghindar dan menjauh akhirnya Bella lah yang datang padanya dengan membawa bayinya.

Awalnya Irma kesal dan berlagak cuek tapi, demi melihat celotehan bayi nan menggemaskan Irma tak bisa menolak nalurinya sebagai wanita. Wajah bayi itu begitu polos dan imut. Ia tak bisa menahan dirinya untuk menggendong dan menimangnya.

Bulan puasa telah tiba. Adri tengah tidur di box bayinya dengan nyaman. Bella menitipkan bayinya padanya dan mengatakan ada urusan yang harus diselesaikannya. Irma sebenarnya sedikit khawatir dengan keadaan Bella. Biasanya Bella akan banyak tersenyum tapi hari ini ia melihat wajah Bella begitu suram. Seolah ada beban yang dipendamnya. Ia mengkhawatirkan produksi ASI Bella akan berkurang saat ia dalam keadaan stres. 

Kian hari Irma semakin menyayangi Adri. Adri sudah mulai belajar merangkak dan juga mengatakan beberapa patah kata. Irma berusaha menahan Bella untuk tinggal. Ia ingin bulan puasa ini ia mencoba menerima keberadaan Bella secara lebih baik. Ia ingin Bella menikmati makan sahur bersama.

“Apa Mas Bima tahu apa yang terjadi pada Bella?” tanya Bella ingin tahu dengan sikap Bella.

“Ya Bella merasa ada yang mengintainya beberapa hari ini. Ada surat kaleng berisi ancaman dan juga SMS berantai,” jawan Bima dengan wajah begitu khawatir.

“Mas?” 

“Ya Ir?” kata Bima menatap Irma.

“Temani Bella Mas. Aku takut terjadi sesuatu padanya,” kata Irma spontan.

“Kamu ikhlas?” ucap Bima memastikan.

“Lupakan perjanjian itu Mas. Aku akan membakarnya. Berikan semua hak Bella sebagai istri keduamu secara adil,” kata Irma kini sudah merelakan sepenuhnya. 

“Aku sudah menaruh seseorang yang melindungi Bella. Aku juga melaporkan semuanya padapolisi,” kata Bima masih sedikit tak percaya dengan apa yang dikatakan istrinya itu. Sebenarnya ia sungguh tak bisa menahan  diri untuk segera pergi ke tempat Bella.

“Bagaimana kalau Bella tinggal bersama kita Mas?” ujar Irma tanpa banyak berpikir.

“Tidak Ir. Aku tak ingin kalian terlibat masalah lagi. Biarlah seperti ini. Aku sudah senang kalian bisa hidup berdampingan tanpa saling bersaing dan juga membenci. Sungguh aku bersyukur memiliki kalian berdua,” tutur Bima mengelus rambut Irma penuh perasaan.

“Maafkan aku Mas yang masih butuh waktu untuk menerima semuanya,”

“Maafkan aku juga Ir telah menghadirkan Bella dalam kehidupan rumah tangga kita. Aku tahu kau sakit. Tapi aku tak tahu kehendak apa yang Allah inginkan dengan menghadirkan perasaan cinta untuk Bella,” 

“Bella pantas mendapat cinta Mas Bima,” ucap Irma sendu. Bima memeluk Irma penuh keharuan. 

Demi keamanan Bella, Bima memutuskan Bella untuk bersedia tinggal bersama Irma. Sepanjang bulan puasa rumah menjadi begitu meriah dan hangat. Di tengah kesibukan ibadah rutin bulan puasa Adri selalu membuat suasana semakin semarak. Ada saja tingkah Adri yang membuat Irma, Bima dan Bella tertawa bersama-sama. Irma sungguh hampir tak percaya kalau ia bisa berbahagia bersama madu dan juga suaminya. Pandangannya tentang sisi negatif poligami mulai bergeser sedikit. Meskipun ia tak sepenuhnya setuju dengan adanya poligami.

Pada kenyataanya jumlah wanita lebih banyak daripada pria. Agama juga sudah membolehkan dengan syarat yang harus dipenuhi tentunya.

Hari raya tiba dengan penuh kesyahduan. Pertama kali mereka merayakan idul fitri bersama Bella. Bella sangat terharu dan menangis ketika ia meminta maaf pada Irma dan juga Bima.

“Kalian telah memberikanku kebahagiaan yang nyaris tak kupercayai. Entah bagaimana aku membalaskan kebaikan kalian.. Terutama Mbak Irma. Hanya doa kupanjatkan semoga kakak selalu sehat dan juga bahagia,” ucap Bella dengan mata berkaca-kaca. Jadilah Irma berpelukan dengan Bella. Keduanya saling bertangis-tangisan. Bima hanya memandang sambil tersenyum penuh keharuan sementara Adri merengek karena kedua ibunya tak mempedulikannya.

Bella merasa ia sudah aman seminggu setelah hari raya. SMS dan juga ancaman itu sudah hilang. Hari itu Bella ingin kembali ke rumahnya sendiri. Terus terang Irma agak keberatan tapi Bella bersikeras.

“Untuk Adri Mbak bebas membawanya selama Mbak inginkan,” ucap Bella.

“Mana mungkin aku me,pisahkan anak dari ibunya. Ia masih minum ASImu. Aku tak bisa memaksamu Bel,” kata Irma tak ada alasan untuk menahan kepergian Bella. Tak urung kepergian Bella begitu membuat Irma menjadi kesepian. Sebulan sepanjang bulan puasa rumahnya menjadi meriah kini kembali sunti senyap. Ditambah lagi ia telah membebaskan Bima untuk bersama Bella. 

“Kau menyesal Ir?” tanya ibunya saat ia menjadi tak tahan ada di rumah dan pergi ke rumah Ibunya.

“Tidak ibu. Bella berhak bahagia juga. Aku sudah banyak melewati masa bahagia bersama Mas Bima,” ucap Irma apa adanya. Ia sudah ikhlas tapi, ia tak bisa tahan dengan rasa kesepian.

“Syukurlah kalau anak ibu kini paham dan Legowo. Gimana kalau kita mengunjungi Bella besok bersama-sama,”

“Tentu saja. Kita pergi. Kebetulan sudah seminggu aku tak mencium pipi gembul Adri,” sambut Irma senang. 

Hari itu sangat cerah Irma dan ibunya mampir dulu ke pasar untuk membelikan oleh-oleh untuk Bella dan Adri. Bima tentu saja sudah berangkat bekerja. Irma sempat menelpon suaminya dan pria itu sangat bersyukur mendengar istrinya akan mengunjungi Bella.

Sampai di rumah Bella, suasananya sunyi. Pintu depan terbuka saat Irma dan ibunya mengucapkan salam. Irma kemudian langsung masuk saja karena tak mendapat tanggapan. Ia melihat Adri tertidur nyenyak di kamar tapi ia tak menemukan Bella dimanapun. PRTnya juga tak ada. Sebenarnya kemana Bella? Ia melihat ponsel Bella tergeletak begitu saja di sofa. Ia pun menunggu bersama ibunya. Sampai Adri tengbangun Bella tak muncul. Irma mulai merasa aneh. Ia pun menelpon Bima.

“Apa? Bella tak ada? gimana bisa? Bi Narti memang libur hari ini,” sahut Bima mulai cemas.

“Aku temukan ponsel Bella tergeletak di sofa. Apa penguntit itu muncul lagi?” tanya Irma semakin takut. 

“Ya Bella merasa seseorang kembali mengawasinya. Ia bilang mungkin hanya perasaannya saja,” jelas Bima.

“Ya sudah aku tunggu saja kepulangan Bella,” putus Irma.

“Aku akan mencoba menghubungi kenalan Bella. Siapa tahu ia kesana,” kata Bima.

Sampai malam Bella tak muncul. Bima tak sabar dan segera membuat laporan kehilangfan. Adri tiba-tiba badanya panas. Irma segera merawatnya.

Bella telah menghilang hampir 3 hari ketika ada siaran berita tentang penemuan mayat wanita termutilasi di sebuah perkebunan. Irma sebenarnya tak membayangkan kalau mayat itu adalah Bella sampai Mas Bima muncul dengan wajah pucat.

“Ia telah pergi Ir. Bella!!” ucap Bima menangis. Irma tak bisa berucap apapun. Hanya air mata langsung menderas di pipinya. Adri menggeliat dalam gendongannya. Segera ia mengelus kepala bayi yang telah menjadi piatu itu.




Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Religi
Cerpen
Di Akhir Bulan Fitri
Dwiend
Novel
Gold
Pajak Itu Zakat
Mizan Publishing
Novel
Awal dan Akhir Kisah
Arunika Chayra
Novel
Gold
Yasmin
Bentang Pustaka
Novel
Gold
Siapa Sebenarnya Markesot?
Bentang Pustaka
Novel
Ketika Tangan Tuhan Memelukku
Sri Rokhayati
Novel
Gold
Perempuan yang Menggetarkan Surga
Mizan Publishing
Novel
Gold
Hidup Kadang Begitu
Noura Publishing
Skrip Film
Bukan Aisyah
Apple Cherry
Novel
Bronze
Ahlan Wa Sahlan
Nuzulul Rahma
Novel
Gold
Islam Risalah Cinta dan Kebahagiaan
Noura Publishing
Novel
Gold
Tanggung Jawab Pemimpin Muslim
Bentang Pustaka
Novel
FII AMANILLAH
Husnulispedia
Novel
Bronze
Faisal & Nisa ~ Karena Cinta Bukan Sebatas Kata-kata
Ummu Salamah Ali
Novel
Bronze
SUAMI DARI SURGA
KUMARA
Rekomendasi
Cerpen
Di Akhir Bulan Fitri
Dwiend
Flash
First Love
Dwiend
Novel
Balada Admin Klinik
Dwiend