Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
SIAPA yang ingin menangis? Apa lagi bagi orang yang tidak terbiasa menangis.
Bisikan angin mengundang hujan turun, walaupun sebagian lautan mencacinya. Namun, itu tak membuatnya takut, terus saja berlari. Tangga-tangga langit tak membuat dia tertutup, malah asyik bergelayutan. Bersorak sebentar, lalu jatuh dengan teriakan. Kini bumi diguyur hujan. Basah.
Gadis cantik berkaca mata itu marah, katanya dia kesal. Seharusnyakan hari ini tidak hujan. Apakah prakiraan cuaca di TV itu bohong? Namun, mana mungkin mereka bohong. Penduduk Indonesia yang mempunyai TV itu kan banyak dan pasti tidak sedikit yang menonton prakiraan cuaca itu. Kalau mereka bohong berarti mereka telah membohongi banyak orang, dasar. Ah, mungkin prakiraannya saja yang kurang tepat. Alam ini sudah tidak mau lagi ditebak. Seharusnya saya tidak nonton lagi acara itu, dan setiap hari membawa payung. Gadis itu terus saja bergumam. Tanpa disadarinya dia telah berada di depan pintu gerbang kampusnya. Dia tetap cemberut. Kasihan. Seharusnya dia tahu kalau dia cemberut begitu akan terlihat jelek, bagi sebagian orang. Namun, mungkin tidak bagi dua orang sinting yang selalu memujinya, yang satu kurus dan yang satu lagi tinggi. Mereka selalu menilai gadis itu tetap sempurna dalam keadaan apa pun.
“Eh, Sugil! Menurut kamu kata-kata apa yang tepat untuk melukiskan Surti pada hari ini?” tanya orang sinting tinggi sambil terus memperhatikan ke mana gadis itu melangkah, yang akhirnya pandangannya tertahan pada sebuah tiang, gadis itu menghilang.
“Aku! Yang paling mengetahui segala bentuk kalimat, aku yang paling memahami urutan semua kata, ….” Orang sinting kurus itu terdiam, belaga mikir. Kedua matanya disipitkan satu per satu. “Aha! Eng, ….” Dia masih belum bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan gadis itu. Dia tertawa.
“Loh! Kok malah ketawa?”
“Ya, ya. Aku sudah menemukannya.” Orang sinting kurus itu berdiri, lalu dia berteriak. “Telaga-telaga berwarna telah kehilangan air. Malaikat pagi harus meminta maaf. Rembulan kini tetap terlihat cantik walau daun-daun kusam menutupi wajahnya ….” Dia tertawa. Kemudian, duduk dan tertawa.
Orang sinting tinggi berdiri, lalu bernyanyi. Nada sumbang yang keluar dari pita suaranya berhasil menarik perhatian orang-orang. Satu orang datang, dua, tiga, bahkan tujuh orang mengerumuni mereka. Orang-orang itu tertawa, bahkan dua orang dosen ikut tertawa. Satu di antaranya mengacungkan jempolnya untuk mereka. Orang sinting tinggi itu berhenti bernyanyi, ketakutan, ketika seorang satpam kampus menghampirinya.
“Hey! Kenapa berhenti bernyanyi?”
“Apa aku boleh bernyanyi?”
“Kau boleh bernyanyi.”
Orang sinting tinggi itu bernyanyi lagi. Lagu yang tetap sama yang biasa dia nyanyikan setiap hari. Setiap dia melihat gadis itu, lagu yang juga tetap membuat orang-orang yang mendengarnya tertawa. Bukan karena liriknya, bukan juga karena nadanya mungkin karena orang sinting tinggi itu yang menyanyikannya. Orang sinting kurus ikut bernyanyi, tetapi bukan lagu yang dia nyanyikan melainkan puisi-puisi dan sajak-sajak yang dia buat. Indah, memang indah, tetapi tetap membuat orang tertawa.
Orang-orang masih tetap tertawa, di antaranya ada yang melemparkan uang recehan kepada mereka. Hingga akhirnya kedua orang sinting itu terdiam. Lelah. Dan sekarang mereka yang tertawa.
Gadis cantik berkacamata itu kini menangis. Jalannya dia percepat, hingga air mata yang jutuh melewati pipinya nyaris tak terlihat. Kemudian, dia membelok kesalah satu jalan di persimpangan itu. Menghilang di antara orang-orang yang lalu-lalang.
“Eh, Cemplon! Kenapa gadis itu menangis?” Orang sinting kurus bertanya sedih.
“Mana aku tahu, tanyakan saja padanya.” Orang sinting tinggi menjawab seenaknya. Dengan lahapnya dia memakan makanan yang dibungkus kertas nasi kumal.
“Dunia ini memang terlalu baik untuk orang-orang gila, tapi jahat untuk orang-orang yang menganggap dirinya normal.”
“Aah, kamu mulai berpuisi lagi.”
“Aku tidak perpuisi, aku mengatakan yang sebenarnya. Setiap hari kita dapat makan enak dan bisa tertawa seenaknya tanpa harus memikirkan ini, itu. Asalkan kita bernyanyi dan membuat orang tertawa kita bisa mendapatkan yang kita inginkan.” Orang sinting kurus itu, sambil memutar-mutar pena yang dia pegang. Terus berkata. Sekali-sekali dia menggelengkan kepalanya dan terdengar umpatan dari mulutnya. Di mana Tuhan ketika gadis itu mengangis?
Orang sinting tinggi sudah dari tadi tertidur, melayang bersama mimpinya. Udara dingin malam terus membelai mereka dan tarian kertas-kertas tertiup angin jadi hiburan sebelum tidur bagi mereka. Orang sinting kurus masih belum tertidur. Matanya yang hitam memandang tajam pada kertas kosong di depannya. Sebuah pena yang ada di genggamannya mulai dia goereskan. Terkadang matanya dia arahkan pada gedung yang ada di sekelilingnya, walaupun dengan pandangan kosong. Namun, seakan dia mendapatkan sesuatu untuk dia tulis. Sesekali dia tersenyum, lalu tertawa geli. Namun, tangannya tetap menggoreskan sesuatu pada kertas putih di depannya. Malam semakin larut, udara semakin dingin dan kertas-kertas semakin riang menari. Orang sinting kurus tersenyum puas ketika akhirnya dia dapat menyelesaikan tulisannya. Dan dia pun tertidur.
Matahari padi begitu cerah, tetapi tak secerah orang-orang yang tertawa di depan gerbang kampus itu. Lagi-lagi satpam itu pun ikut tertawa. Kedua orang sinting itu bernyanyi. Lagi. Setelah mereka mendapat makanan dan sedikit uang kedua orang sinting itu berhenti bernyanyi. Mereka saling pandang, lalu tertawa, tetapi sesaat kemudian mereka terdiam.
“Sugil! Kau lihat si Surti. Dia menangis lagi,” kata orang sinting tinggi yang mata bulatnya terarah pada seorang gadis yang sedang duduk menunduk sambil memeluk lututnya yang dilipat ke depan. Air matanya jelas mengalir dari balik kacamatanya. Gadis itu merobek sebuah kertas, lalu meremasnya dan memasukannya ke dalam tong sampah yang ada di samping kanannya.
“Aku ingin memberikan puisi ini padanya.” Orang sinting kurus mengeluarkan selembaran kertas dari balik bajunya yang compang-camping. Kertas itu terlihat buram dan kotor. Namun, di sudut atas kirinya tertera sebuah tulisan yang menjadi judul dari puisinya. “SURTI JANGAN MENANGIS” begitu dia baca dalam hati.
“Kau telah membuat puisi baru untuknya?” Orang sinting tinggi ingin membaca tulisan dari selembaran kertas yang dipegang orang singting kurus.
“Setiap hari aku selalu membuat puisi baru untuknya.” Orang sinting kurus banyak mengeluarkan kertas-kertas kotor yang dia selipkan di celana baunya.
“Sugil, aku berikan ya, padanya?”
“Aku takut dia tak mau membacanya. Bahkan dia nanti merasa jijik. Aku tidak mau.” Orang sinting kurus itu menggeleng.
“Serahkan saja padaku. Aku bisa membuatnya mau membaca puisimu.” Langsung saja orang sinting tinggi itu berlari menghampiri gadis tersebut.
Orang sinting tinggi itu mendekat, malu. Kemudian, dia tertawa. Gadis itu mengangkat kacamatanya dan mengusap air mata yang merayap turun. Orang sinting tinggi itu bernyanyi dengan gayanya yang biasa. Gadis itu tersenyum, lalu memberikan beberapa uang recahan, berdiri. Orang sinting tinggi itu tertawa, dia memberikan selembaran kertas yang dipegangnya dengan malu-malu. Gadis itu memandang heran, segera saja dia terima kertas yang disodorkan kepadanya. Orang sinting itu sekali lagi tertawa, lalu dia menunjuk orang sinting kurus yang berdiri tak jauh dari mereka.
“Untukku? Terima kasih. Katakan padanya saya akan membacanya.” Gadis itu mengarahkan pandangannya pada orang sinting kurus yang berdiri tak jauh dari dirinya. Kemudian, berbalik dan berjalan pelan menuju sebuah ruangan di gedung itu.
“Sugil, aku telah memberikannya. Dia akan membacanya. Dan aku rasa dia akan membacanya.”
“Benarkah?” Orang sinting kurus itu terlihat gembira. “Apa yang dia katakan setelah menerima puisi dariku?”
“Dia hanya mengucapkan terima kasih. Dan dia bilang dia akan membacanya.”
Orang sinting tinggi itu berkata dengan serius. Namun, tangannya diayunkannya ke atas dan ke bawah. Seakan dia sedang berpikir dan sepertinya dia memang sedang berpikir. Mencari sebuah ritme. Dan saat itu juga matanya menjadi terbuka. “Aku telah menemukannya. Nada-nada itu telah datang. Aku telah mendapatkannya.” Dia menggerak-gerakkan tangannya seolah dia sedang bermain piano. Matanya kemudian terpejam dan dia menikmati sekali alunan musik yang seakan mengalir di kepalanya.
Orang sinting kurus hanya terdiam. Dia tahu pasti kalau temannya yang sinting itu jika sedang mendapatkan sebuah rangkaian nada tak bisa digubris sedikit pun. Nada-nada itu telah menjadikannya orang gila. Nada-nada itu sudah membuatnya menjadi orang sinting. Orang sinting kurus itu akhirnya mengambil selembaran kertas, dia tersenyum, lalu menggoreskan pena yang tidak pernah lepas dari genggamannya. Dan mulai berpikir. Mencari rangkaian kata-kata. Mungkin hal inilah yang membuatkanya menjadi orang sinting.
Gadis berkacamata itu ke luar dari gerbang kampusnya. Kemudian, tersenyum dan segera saja dia berjalan menghampiri kedua orang sinting yang sedang tertawa. Orang sinting kurus menjadi malu. Dia menghentikan tawanya. Memandang sayu pada gadis yang sudah duduk di hadapannya. Gadis itu tersenyum, lalu berkata, “Puisi kamu bagus.” Gadis itu mengelurkan selembaran kertas kotor dari dalam tasnya. Kemudian, memberikannya kepada orang sinting kurus.
“Kau pasti tidak suka puisiku.”
“Tidak, saya suka sekali.”
“Tapi, kenapa dikembalikan kepadaku? Puisi ini untukmu.” Orang sinting kurus itu terlihat muram. Dia tidak yakin kalau gadis itu benar-benar menyukai puisinya.
“Bukankah puisi ini kamu tujukan untuk seseorang, Surti. Siapa dia? Apakah temanmu? Atau pacarmu?”
“Bukankah kamu Surti?” Orang sinting kurus itu balik bertanya.
“Surti? Bukan, aku bukan Surti.” Gadis itu menggeleng.
“Tapi, si Cemplon selalu menyebutkan nama kamu Surti.” Orang sinting kurus itu menunjuk kepada temannya. Tentu saja membuat temannya gugup.
“Aku hanya menebaknya. Aku hanya memberikannya nama, bagus bukan?” Orang sinting tinggi membela diri.
“Kalau puisi itu untuk saya kamu harus menggantinya menjadi Dewi. Ya, nama saya Dewi.” Gadis itu berdiri, lalu tersenyum manis dan menghilang dari hadapan kedua orang sinting itu.
“Namanya Dewi, Cemplon kamu dengar tadi. Namanya Dewi, bukan Surti. Bukankah nama yang bagus? Benar-benar nama yang indah.”
“Tapi, tak sebagus nama yang aku berikan.”
“Aku akan mengganti judul puisi ini. Aku akan menggantinya.” Orang sinting kurus itu mulai mencorat-coret kata Surti yang ada di kertas kotor miliknya. Dan dia ganti dengan DEWI.
Kedua orang sinting itu menjadi terkejut ketika mereka dapatkan gadis itu telah ada kembali di hadapan mereka.
“Makanlah! Saya tahu kalian pasti lapar.” Gadis itu memberikan mereka roti. Dua buah roti yang besar-besar juga dua botol aqua dingin. “Saya tidak yakin kalau kalian benar-benar gila.”
Serta merta kata-kata gadis itu membuat kedua orang sinting itu tersedak.
“Aku benar-benar gila. Aku memang gila, tapi aku tidak tahu si Sugil apakah dia gila beneran atau tidak?”
“Aku juga benar-benar gila. Dan semua orang tahu kalau aku ini gila.”
“Tapi, saya tahu kalian pasti tidak gila. Saya dapat melihat dari tulisan-tulisan puisi dan lagu-lagu yang selalu kalian nyanyikan. Memang orang lain menganggap itu hanya sebuah nyanyian orang sinting dan memandang puisi kalian adalah coretan orang gila. Tapi, bagi saya tidak. Kalian benar-benar sadar. Dan kalian pasti waras. Sugil? Cemplon? Benarkan?”
“Namaku Lian bukan Sugil, dan dia Samsu bukan Cemplon. Kami tidak gila juga tidak sinting. Kami hanya orang-orang terbuang dari kumpulan kami. Bagiku aku tetap waras hingga suatu siang aku memutuskan untuk menjadi orang gila. Karena kulihat dunia ini begitu baik pada orang gila, tapi sangat jahat pada orang normal. Kuputuskan untuk menjadi orang gila karena kuingin rasa laparku hilang.” Orang sinting kurus itu menunduk.
“Dia yang membuat aku berpikir bahwa ternyata menjadi orang gila itu bisa lebih beruntung daripada orang normal yang selalu dijauhi kehidupan normal. Aku selalu dikekang, dipenjara dan dipaksa untuk hidup di dunia yang sama sekali bukan duniaku. Aku dipaksa untuk berpisah dengan sahabatku, dipaksa untuk tidak lagi mengenal teman-temanku. Nada-nada itu adalah temanku dan mereka adalah bagian dari kehidupanku. Bagaimana mungkin aku bisa berpisah dengan mereka. Hingga akhirnya aku bertemu dengan si Sugil dan mengajakku jadi orang gila.” Orang sinting tinggi itu, lalu berdiri dan bernyanyi.
Orang sinting kurus itu memakan roti yang dipegangnya dengan tangan kanannya. Di sela-sela kunyahannya dia berkata, “Aku sering melihatmu menangis. Apa yang membuat kamu menangis?”
“Saya selalu menangisi takdir saya. Saya selalu menangisi kahidupan saya yang selalu tidak sama dengan keinginan saya.”
“Kau lihat, tidak seorang pun yang melarang dia untuk bernyanyi, tidak ada seorang pun. Dia bisa menjadi dirinya dan aku pun bisa menjadi diriku. Walaupun orang lain menganggap kami orang gila. Tapi, kami tidak menganggap diri kami gila, kami hanya memilih jalan takdir kami. Dan kami yakin dengan pilihan kami, walaupun setiap pilihan memiliki konsekuensi yang berbeda. Tapi, kami tetap memilih dan tidak ada seorang pun yang bisa menghalangi orang lain memilih jalan takdirnya sendiri.” Orang sinting kurus itu menahan perkataannya, lalu meminum air yang ada di botol aqua. “Dan kamu pun bisa menjadi seperti apa yang kamu inginkan. Maka dari itu tentukan pilihanmu.”
Gadis cantik berkacamata itu mengerti. Bahwa ternyata kehidupan ini memang pilihan. Kita berhak menentukan jalan takdir kita sendiri. Dan menjadi seperti apa yang kita inginkan itu bukan suatu hal yang hina melainkan suatu perjuangan dan jika jalan itu yang kita pilih maka tidak ada seorang pun yang bisa menghentikannya. Gadis itu tersenyum, lalu dia tertawa. Hatinya benar-benar lepas. Dia gembira. Dan dia benar-benar bahagia. Karena dia tahu apa yang harus dia lakukan setelah ini. Mengambil pilihan. Karena mungkin dengan pilihannya itu dia akan bisa menjadi seperti apa yang dia inginkan. Dia tak akan pernah lagi menangisi takdirnya, dia tak akan pernah lagi menangisi kehidupannya. Sekali lagi gadis cantik berkacamata yang bernama Dewi itu tertawa, meninggalkan kedua orang sinting yang juga ikut tertawa. Gila![]