Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
## Kopi, Kasus, dan Kenaikan Harga yang Kacau Balau
Dinginnya udara pagi di distrik tua Ravenswood menyelinap melalui celah-celah jendela "The Shadow's Brew". Di balik konter, Kaiden Shadow—atau "Kai" bagi pelanggan setia yang tak tahu siapa dia sebenarnya—menggosok pelipisnya yang mulai berdenyut. Matanya yang biasanya setajam elang, kini redup, menatap antrian yang sudah mengular hingga ke ujung jalan bahkan sebelum jam tujuh pagi.
"Bos?" suara serak muncul dari sampingnya. Benny, salah satu dari tiga "bawahan" sekaligus barista andalannya, menyodorkan cangkir espresso. "Kopi penyelamat. Lagi migrain?"
"Bukan migrain, Benny," Kai menghela napas panjang, menyeruput espresso pahit itu tanpa ekspresi. "Ini... krisis eksistensial yang dibumbui keputusasaan. Kita di sini untuk memata-matai gudang tua Pak Oldman di seberang jalan itu, yang diduga jadi markas sementara si pembunuh berantai 'The Whispering Knife'. Bukan untuk jadi... *ini*." Tangannya mengacak luas, menunjuk keramaian di dalam dan luar kafe yang mulai riuh rendah.
Flashback dua bulan lalu terngiang. Kai Shadow, detektif privat legendaris yang identitasnya lebih misterius daripada kasus-kasusnya, menerima petunjuk panas. The Whispering Knife, pembunuh yang meninggalkan puisi aneh di setiap TKP, diduga bersembunyi di Ravenswood. Area industri tua itu sempurna: sepi, banyak gedung kosong, dan mata-mata susah menyamar. Solusi jenius Kai? Menyamar jadi pemilik coffee shop bersama tiga asistennya yang paling "bisa" berbaur (dengan definisi sangat longgar).
Ada Benny "The Bean" Russo, mantan pencuri kecil-kecilan yang Kai selamatkan dari penjara. Keahliannya? Bisa mengenali jenis kopi hanya dengan mencium bijinya dari seberang jalan, tapi juga bisa menjatuhkan tiga cangkir berturut-turut hanya karena bersin. Lalu ada Gwendolyn "Gwen" Finch, mantan hacker yang bisa menyusup ke server kepolisian sebelum sarapan, tapi interaksi sosialnya seperti robot yang baru belajar *meme*. Dan terakhir, Bartholomew "Bart" Jones, mantan marinir yang bisa melumpuhkan orang dengan satu jari, tapi panik total saat harus berbicara dengan lebih dari satu pelanggan sekaligus.
Mereka membeli "The Shadow's Brew"—sebuah kios kecil berdebu yang persis berseberangan dengan gudang tua Oldman. Strateginya sederhana: buka jam sembarangan, kopi biasa-biasa saja (atau bahkan agak jelek), jadi sepi, dan mereka bisa fokus memantau gudang sepanjang hari dengan peralatan tersembunyi di ruang belakang. Kai bahkan sudah menyiapkan slogan: "Kopi untuk yang Tak Tidur". Dia berharap itu berlaku hanya untuk mereka berempat dan mungkin satu dua gelandangan.
**Bagian 1: Bencana Bernama Kesuksesan**
Hari-hari pertama berjalan sesuai rencana. Sangat sepi. Kai bisa duduk berjam-jam di dekat jendela, teropong mini terselip di balik koran, mata tertuju ke gudang Oldman. Benny bereksperimen dengan biji kopi hasil curian dari gudangnya sendiri. Gwen menghabiskan waktu memecahkan firewall server kepolisian sambil sesekali salah tekan dan mematikan listrik seluruh blok. Bart? Bart berdiri kaku di belakang konter seperti patung pengawal, membuat siapapun yang masuk langsung kabur.
Suatu hari, Benny sedang "bereksperimen". Dia lupa menambahkan air ke mesin espresso, lalu panik dan menuangkan susu kedelai dingin langsung ke portafilter yang mendesis. Hasilnya? Sebuah minuman abu-abu berbusa yang anehnya... *harum* sekali. Seorang kurir lelah, bernama Dave, yang tersesat, memesan "apa saja yang panas". Benny, tanpa pikir panjang, memberikannya.
"Wah!" teriak Dave setelah menyeruput. "Apa ini? Rasanya... seperti awan cokelat yang ditaburi rembulan karamel! Luar biasa!"
Kai yang sedang mengintip gudang langsung menoleh, mata melotot. "Benny! Apa yang kau berikan pada pelanggan malang itu? Itu seperti limbah kimia!"
Tapi Dave sudah memposting foto minuman aneh itu di "Coffeegram". "THE SHADOW'S BREW!!! Temuan baru GEMUK BINTANG! Namanya... uh... 'Cloudburst'? Rasanya SURGAWI! Lokasi tersembunyi di Ravenswood!" Hastag #HiddenGem #CloudburstExplosion #RavenswoodRevolution menyertainya.
Keesokan harinya, lima orang muncul. Minggu berikutnya, dua puluh. Benny, dipuji-puji, mulai percaya diri. Dia membuat varian baru: "Mistake Mocha" (espresso tertumpah ke cangkir matcha), "Accidental Affogato" (es krim terjatuh ke americano panas), dan masterpiece-nya, "The Benjamin Blunder" (campuran semua sirup dan saus yang ada, ditaburi bubuk cabe karena Benny salah botol). Semuanya, entah bagaimana, disukai. Bahkan dipuja.
Gwen, yang biasanya asyik dengan laptopnya, dipaksa Kai untuk membantu mengambil pesanan. Hasilnya? Seorang pelanggan memesan "latte dingin". Gwen, dengan wajah datar, menyerahkan segelas susu dingin. "Latte art-nya ada di imajinasi Anda," katanya monoton. Pelanggan itu malah tertawa terpingkal-pingkal dan mempostingnya. #RobotBarista #DeadpanDelight.
Bart? Usaha Kai membuatnya ramah berujung petaka. Saat seorang wanita muda tersenyum padanya, Bart, berkeringat dingin, tiba-tiba memberi hormat militer sambil berteriak, "MA'AM! APAKAH ANDA MEMERLUKAN BANTUAN UNTUK MENAKLUKKAN KOPI ANDA, MA'AM?!" Wanita itu menjatuhkan croissant-nya, tapi kemudian meminta foto bersama. #SaluteMyCoffee #BartTheBodyguardBarista.
The Shadow's Brew menjadi sensasi. Viral. Ramai. Sangat, sangat ramai. Kai ingin menjerit. Bukannya memata-matai gudang, dia malah sibuk membersihkan meja, mendengar keluhan "Cloudburst"-nya kurang berbusa, atau melerai Bart yang hampir mengunci pelanggan di toilet karena mengira dia mencuri tisu.
"Kita tidak bisa begini terus!" raung Kai suatu malam setelah tutup. Ruang belakang penuh dengan karung biji kopi dan peralatan memata-matai yang tersembunyi di balik kardus susu. "Antrian sampai ke ujung jalan! Orang-orang berfoto di depan gudang Oldman! Bagaimana kita bisa fokus pada misi? Bagaimana kita bisa menyergap The Whispering Knife kalau dia lewat di tengah kerumunan ini?"
**Bagian 2: Operasi Penyepian yang Konyol**
"Ini darurat," kata Kai dengan suara bergetar, menatap Benny, Gwen, dan Bart yang lesu. "Kita harus membuat kafe ini SEPI. Sekarang juga. Ide apapun. Yang paling gila sekalipun."
Benny menggaruk kepalanya yang ikal. "Uh... kita taruh tulisan 'Tutup untuk Selamanya'?"
"Terlalu permanen. Kita masih butuh kedok ini," potong Kai.
Gwen mengetik cepat di laptopnya. "Analisis: Pelanggan datang karena kualitas produk yang dirasakan tinggi dan harga terjangkau. Solusi logis: turunkan kualitas, naikkan harga secara eksponensial."
Bart mengangguk keras. "Setuju! Buat... harga perang! Biaya masuk pertempuran!"
Mata Kai berbinar. "Harga! Ya! Naikkan harga! Secara gila-gilaan! Siapa yang mau bayar mahal untuk secangkir kopi, bahkan kopi 'surga' Benny? Mereka pasti minggat!"
Esok harinya, papan menu baru dipasang. Menu lama dihapus. Hanya ada satu item:
**"THE KAIDEN'S CONUNDRUM"**
*(Sebuah Misteri dalam Cangkir. Apakah ia kopi? Apakah ia seni? Ataukah ia sebuah kesalahan mahal?)*
**Harga: $100.00 per cangkir.**
*(Tidak ada refill. Tidak ada komplain. Bayar dimuka.)*
Benny hampir pingsan. "Seratus dolar, Bos?! Itu lebih mahal dari jas buatan tangan!"
"Tepat!" kata Kai, senyum puas tapi gugup. "Ini akan jadi pagar tak terlihat. Pelanggan akan lihat, terkikik, lalu pergi ke Starbucks."
Jam buka tiba. Pelanggan pertama, seorang pria muda dengan kamera mahal, mendekati konter. Dia melihat menu. Matanya membelalak. Kai menahan napas, siap mendengar kutukan atau tawa ejekan.
Pria itu menyipitkan mata. "The Kaiden's Conundrum..." gumamnya penuh arti. "Hmm... sebuah misteri. Metafora hidup dalam cangkir. Sebuah pernyataan seni tentang kapitalisme dan nilai intrinsik. Genius!" Dia mengeluarkan dompet kulit. "Satu Conundrum, please! Dan bisakah saya meminta tanda tangan sang maestro?" dia menunjuk Benny.
Benny tersedak. Kai merasa bumi bergerak. "Tanda... tanda tangan?" Benny gagap.
"Tentu! Anda sang seniman di balik konsep ini, bukan? Sangat avant-garde!"
Benny, tersipu malu, menandatangani struk belanja pria itu. Pria itu memotret minuman (yang sebenarnya hanya latte biasa dengan foam sedikit lebih banyak karena tangan Benny gemetar) dari segala sudut, mempostingnya dengan judul: **"Membeli Misteri Seharga $100. Apakah Ia Bernilai? Ataukah Nilainya Ada pada Pertanyaannya? #KaidenConundrum #ArtInACup #BrokenWalletWorthIt"**
Viral. Lebih viral.
Orang-orang berdatangan bukan untuk minum kopi, tapi untuk *mengalami* The Kaiden's Conundrum. Untuk bisa pamer bahwa mereka membayar $100 untuk secangkir kopi. Untuk berfoto dengan "Barista Seniman" Benny dan "Barista Robot" Gwen. Untuk membuat Bart memberi hormat sambil berteriak. Antrian menjadi lebih panjang. Liputan media lokal ramai. Seorang kritikus seni terkenal menulis esai panjang tentang "Conundrum" sebagai bentuk protes seni kontemporer. Turis mulai muncul.
Kai benar-benar ingin membenturkan kepala ke mesin espresso. "Ini malah lebih parah!" rengeknya di ruang belakang, sementara di luar terdengar sorak-sorai sekelompok influencer yang baru saja membeli lima "Conundrum" untuk konten TikTok mereka. "Kita jadi sirkus! Dan kasus The Whispering Knife? Nol! Besar! Nol!"
Upaya Kai berikutnya lebih putus asa:
* **Operasi Kopi Jelek:** Kai memaksa Benny membuat kopi yang benar-benar mengerikan – campuran kopi basi, garam bukannya gula, cuka bukannya sirup. Hasil? Seorang food vlogger memuji "rasa kompleks yang menantang" dan "keberanian kuliner". #DeconstructedCoffee #AcquiredTaste.
* **Operasi Pelayanan Buruk:** Kai menyuruh Gwen bersikap lebih "robot" dan Bart lebih "militer". Gwen mulai memberi tahu pelanggan, "Kemungkinan Anda menyukai kopi ini adalah 37.2%. Apakah Anda yakin ingin melanjutkan?" Bart mulai "menginterogasi" pelanggan sebelum menerima pesanan: "TUJUAN ANDA MEMBELI KOPI? APAKAH ANDA MEMBAWA SENJATA API ATAU BAHAN PELEDAK?" Pelanggan terbahak-bahak dan meminta lebih. #AICustomerService #BartSecurityCheck.
* **Operasi Jam Buka Kacau:** Kai membuka kapan saja dia mau – jam 3 pagi, jam 2 siang selama 10 menit, tengah malam. Orang-orang justru menganggapnya "eksklusif" dan "misterius". Mereka menunggu di luar, berkemah, membuat pesta dadakan. #ShadowHours #CoffeeRoulette.
Kegagalan yang paling spektakuler adalah ketika Kai, frustasi, mencoba sendiri membuat kopi. Dia salah memasang grinder, menggiling biji kopi menjadi bubuk halus seperti bedak. Lalu dia salah mengatur steam wand, menyemburkan uap panas langsung ke wajahnya sendiri sambil berteriak. Dalam kepanikan, dia menumpahkan semua bubuk kopi halus itu ke dalam air mendidih, menciptakan semacam bubur kopi pekat dan pahit. Seorang pelanggan tua yang melihat kejadian itu meminta mencoba "kreasi eksperimental" sang pemilik. Setelah menyeruput, matanya berkaca-kala. "Rasanya... seperti perjuangan hidup! Pahit, kental, tapi ada semangat di baliknya! Namakan 'The Shadow's Struggle'! Saya bayar $150!"
Kai menyerah. The Shadow's Brew bukan lagi kedok; ia menjadi monster yang hidup, tumbuh, dan terkenal hingga ke luar negeri. Turis dari Jepang antri berjam-jam. Sebuah kru TV dari Jerman membuat reportase. Kasus The Whispering Knife? Masih menggantung. Kai hanya bisa berharap si pembunuh juga jadi pelanggan setia dan suatu saat lengah.
**Bagian 3: Pelanggan Setia dengan Puisi Aneh**
Minggu-minggu berlalu dalam hiruk-pikuk kafe dan keputusasaan Kai. Hingga suatu sore hujan, saat kafe agak sepi (hanya antrian sekitar 20 orang), seorang pria paruh baya dengan jas hujan basah dan wajah yang selalu terlihat murung masuk. Dia duduk di sudut paling gelap, memesan "The Kaiden's Conundrum" biasa. Kai, yang sedang membersihkan mesin, memperhatikannya. Ada sesuatu... familiar. Sikapnya? Caranya memandang sekeliling? Atau mungkin hanya imajinasi Kai yang kepayahan.
Pria itu, yang memperkenalkan diri sebagai "Mr. Alistair", menjadi pelanggan rutin. Selalu jam yang sama, selalu sudut yang sama, selalu "Conundrum". Dia jarang bicara, hanya menatap ke luar jendela, ke arah... gudang Oldman. Kai mulai menyadari pola. Mr. Alistair selalu membawa buku catatan kecil. Setelah minum kopinya, dia akan mencoret-coret sesuatu di buku itu, wajahnya berkerut konsentrasi, terkadang menggeleng kecewa. Lalu dia akan membayar dan pergi dengan langkah cepat.
Kegelian kafe terus berlanjut di sekitar Mr. Alistair yang serius. Suatu hari, Bart mencoba membawa tiga "Conundrum" sekaligus ke meja pelanggan. Dia melangkah dengan presisi militer, konsentrasi penuh. Seorang anak kecil berlari menyeberang. Bart, dengan refleks tempur, berputar 180 derajat untuk menghindari tabrakan. Tiga cangkir kopi $100 itu melayang di udara. Kai menjerit histeris. Tapi Benny, dengan kelincahan mantan pencopet, menyambar dua cangkir di udara. Cangkir ketiga? Mendarat sempurna... di atas kepala Mr. Alistair yang sedang asyik menulis.
KEJADIAN ITU SUNGGUH KACAU. Kopi panas $100 mengucur deras di wajah dan jas Mr. Alistair. Buku catatannya basah kuyup. Dia melompat berdiri, mengeluarkan suara teriakan teredam.
"AAAAARGH! KOPI SAYA! CATATAN SAYA!" Dia berusaha menyeka wajahnya dengan napkin, tapi hanya membuatnya lebih berantakan.
Seluruh kafe terdiam. Kemudian, Bart, wajah pucat pasi, memberi hormat kaku. "SORI, SIR! KEGAGALAN LOGISTIK! AKAN SEGERA DIBERESKAN, SIR!" Dia berbalik untuk mengambil handuk, tapi kakinya tersandung karpet dan dia terjungkal ke meja sebelah, menumpahkan lebih banyak kopi.
Benny sudah berlari dengan handuk dan air bersih. "Maaf, Pak Alistair! Ini benar-benar salah kami! Kopi pengganti segera! Gratis! Plus kue! Plus apapun yang Anda mau!"
Gwen mendekat dengan wajah datar. "Analisis kerusakan: Jas 70% terkontaminasi cairan panas. Buku catatan 95% rusak tak terselamatkan. Kemungkinan tuntutan hukum: 68.5%. Rekomendasi: Penawaran kompensasi ekstra besar."
Kai ikut mendekat, jantung berdebar kencang. Bukan karena potensi tuntutan, tapi karena buku catatan itu. Saat Mr. Alistair berusaha menyelamatkan halaman-halamannya yang basah, Kai melihat coretan-coretannya. Bukan angka, bukan daftar belanja. Itu adalah... baris-baris pendek. Puisi. Dan di sudut satu halaman yang basah, terlihat kata-kata: "*...pisau bisik di kegelapan...*"
Darah Kai membeku. *The Whispering Knife!* Puisi aneh di TKP!
Mr. Alistair menyadari pandangan Kai. Matanya, yang sebelumnya panik dan marah, tiba-tiba menjadi dingin, waspada, dan penuh perhitungan. Dia menyambar buku catatannya yang basah dan berusaha menyembunyikannya. "Tidak apa-apa," katanya tiba-tiba, suaranya datar. "Kecelakaan. Saya... harus pergi." Dia berbalik untuk pergi.
"Tunggu, Pak Alistair!" teriak Kai, insting detektifnya mengambil alih. "Buku catatan Anda... kami bisa mencoba mengeringkannya? Atau... saya bisa menggantinya?" Dia melangkah menghalangi jalan.
Mr. Alistair, alias The Whispering Knife, tahu permainan berakhir. Senyum tipis yang mengerikan muncul di bibirnya. "Maaf, Tuan... Shadow. Saya rasa tidak." Tangannya dengan cepat merogoh saku jasnya.
"BART! NOW!" teriak Kai, menyelam ke balik meja terdekat.
Bart, yang baru saja bangun dari tumpahannya, bereaksi seperti pegas. Dia tidak menuju Alistair. Dia malah menyambar nampan logam besar dari konter terdekat dan melemparkannya seperti cakram baja ke arah kaki Alistair. *BLANG!* Nampan itu mengenai pergelangan kaki Alistair dengan suara keras. Alistair menjerit kesakitan dan terjatuh, pisau kecil yang dia tarik dari saku terlempar dari genggamannya dan meluncur di lantai yang licin oleh kopi.
"Target dinetralkan, Bos!" teriak Bart, masih dalam posisi siap tempur.
Tapi Alistair cepat bangkit, meski pincang. Dia melihat pisau kecilnya jauh. Matanya liar, mencari jalan keluar. Dia mendorong meja ke arah Benny dan Gwen yang mendekat, menciptakan kekacauan. Pelanggan yang lain menjerit, ada yang kabur, ada yang merekam dengan ponsel (#CoffeeShopBrawl #RealLifeAction).
Alistair berlari pincang ke arah pintu belakang, menuju dapur. Kai membuntutinya. Di dapur, Alistair menyambar pisau dapur besar. Kai, tanpa senjata, hanya memiliki ketajaman pikirannya... dan lingkungan yang kacau balau.
"Kau pikir kau pintar, Shadow?" geram Alistair, mengayunkan pisau. "Menyamar sebagai pemilik kafe? Bodoh! Kau malah jadi bintang sirkus!"
"Lebih baik jadi bintang sirkus daripada pembunuh yang puisinya payah!" balas Kai, mencoba mengalihkan perhatian. Matanya mencari senjata. Dia melihat... alat penggiling biji kopi. "Benny! 'The Benjamin Blunder'! Level maksimum! SEKARANG!"
Benny, yang baru masuk ke dapur, bingung sejenak, lalu paham. Dia menyambar botol saus cokelat, sirup karamel, bubuk cabe, dan saus tiram (sisa eksperimen yang gagal). Dalam satu gerakan cepat, dia mencampur semuanya ke dalam gelas besar dan melemparkan cairan lengket berwarna coklat lumpur itu ke wajah Alistair.
"AAARGH! APA INI?!" teriak Alistair, matanya perih, tangannya yang memegang pisau berusaha mengusap mukanya yang penuh saus. Rasanya pedas, asin, manis, dan amis sekaligus. Dia terbatuk-batuk.
Itulah kesempatan Kai. Dia menyambar penggiling biji kopi yang berat dan mengayunkannya seperti pemukul baseball. *THUNK!* Tepat mengenai lengan Alistair yang memegang pisau. Pisau itu jatuh lagi. Kai lalu menyodok perutnya dengan gagang penggiling. Alistair terjungkal ke tumpukan karung biji kopi, terbatuk-batuk, mata merah, wajah penuh saus aneh, dan tidak berdaya.
Bart masuk, langsung meringkus Alistair dengan gerakan borgol darurat menggunakan tali tambang pengikat karung. "Tertangkap, Sir! Ancaman dinetralisasi!"
Gwen sudah menelepon polisi, tetap dengan nada datar. "Ya. Insiden di The Shadow's Brew. Subjek berkode 'Whispering Knife' terlokalisir. Memerlukan transportasi. Juga... mungkin pembersih lantai."
**Epilog: Kopi, Kasus, dan Kehidupan Baru**
Beberapa jam kemudian, kekacauan mereda. Polisi telah membawa Alistair pergi. Bukti-bukti kuat ditemukan di apartemennya, termasuk puisi-puisi lengkap yang cocok dengan TKP. Kasus The Whispering Knife terungkap berkat... kecelakaan kopi $100 dan kewaspadaan seorang detektif yang sedang stres karena kafenya terlalu sukses.
Kai berdiri di tengah kafe yang berantakan tapi mulai dibersihkan. Pelanggan yang masih bertahan bertepuk tangan. Seorang reporter mewawancarainya.
"Tuan Shadow! Kisah luar biasa! Detektif menyamar, kafe viral, menangkap pembunuh! Apa rahasianya?"
Kai melihat sekeliling. Benny tersenyum bangga meski masih belepotan saus. Gwen memberi jempol datar. Bart bersiap memberi hormat. Dia melihat sisa-sisa "The Benjamin Blunder" di lantai. Dia melihat papan menu "The Kaiden's Conundrum" seharga $100. Dia menarik napas dalam-dalam.
"Rahasianya," kata Kai, tiba-tiba tersenyum lega dan sedikit jengah, "adalah... jangan pernah meremehkan kekuatan kopi yang enak, pelayanan yang kacau, dan harga yang gila-gilaan. Terkadang, rencana terbaik adalah rencana yang gagal total." Dia berhenti sejenak. "Dan... mungkin menyimpan banyak handuk."
Berita penangkapan The Whispering Knife oleh detektif legendaris yang menyamar sebagai pemilik kafe viral tersebar luas. The Shadow's Brew bukan hanya terkenal, tapi menjadi legenda. "The Kaiden's Conundrum" tetap seharga $100, dan orang-orang tetap antri berjam-jam. Turis berdatangan. Omzet meroket.
Kai? Dia melakukan negosiasi. Dia tetap pemilik, tapi operasional harian diserahkan sepenuhnya pada Benny, Gwen, dan Bart. Benny menjadi "Head Barista & Culinary Artist", bebas bereksperimen (dengan pengawasan kualitas longgar). Gwen menjadi "Head of Operations & Digital Security", mengelola pemesanan online dan sistem keuangan dengan efisiensi mesin. Bart menjadi "Head of Security & Customer Experience", yang bertugas menjaga ketertiban (tanpa interogasi) dan... sesekali memberi hormat jika diminta pelanggan (#SaluteForASelfie).
Kai sendiri? Dia punya kantor kecil di lantai atas kafe. Dari jendelanya, dia masih bisa memantau gudang Oldman (yang kini dijual, mungkin jadi cabang kedua The Shadow's Brew). Tapi sekarang, dia juga punya klien baru yang datang untuk menyewa jasanya – seringkali sambil menikmati "Conundrum" seharga $100 dan menyaksikan sedikit komedi dari trio baristanya yang unik.
Suatu pagi, Kai duduk di kantornya, menyeruput kopi biasa (buatan Benny yang benar-benar enak, dan gratis). Dia melihat ke bawah. Antrian sudah mulai mengular. Benny sedang membuat "Cloudburst" baru dengan aksi juggling botol sirup yang hampir membuatnya terjatuh. Gwen memberi tahu pelanggan dengan monoton, "Peringatan: Kopi ini mengandung 85% kemungkinan kebahagiaan dan 15% penyesalan keuangan." Bart membantu seorang nenek membawa nampan, berjalan seperti membawa bahan peledak.
Kai menggeleng sambil tersenyum. Penyamaran yang gagal total? Ya. Misi yang berantakan? Awalnya iya. Tapi dia menyelesaikan kasus. Dan The Shadow's Brew? Ia menjadi sesuatu yang jauh lebih aneh, kacau, dan indah daripada yang pernah dia bayangkan. Dia mengangkat cangkirnya, sendirian di kantor.
"Untuk kesalahan yang menjadi keberuntungan," bisiknya, menyeruput kopinya. "Dan untuk kopi $100 yang membiayai kasus-kasus berikutnya." Di bawah, tawa pelanggan pecah ketika Benny secara tidak sengaja menyemprotkan krim kocok ke langit-langit. Kehidupan baru Kaiden Shadow, sang detektif pemilik kafe paling aneh dan tersukses di kota, telah dimulai. Dan kali ini, dia tidak akan mencoba membuatnya sepi.