Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
**DETAK TERBALIK: Tragedi Jam Antik**
**Part 1: Pasar Loak dan Detak yang Membalik Jiwa**
Hujan gerimis membasahi jalanan sempit Pasar Loak Senen. Ardi berjalan tergesa, jas hitamnya basah di ujung lengan. Ia buru-buru. *Besok ulang tahunnya yang ke-30*, dan ia ingin mencari hadiah untuk diri sendiri—sesuatu yang unik. Sesuatu yang bisa memenuhi rumah mewahnya yang sunyi.
Di pojok paling gelap, seorang kakek kurus duduk di balik lapak reyok. Matanya kuning seperti fosfor.
**“Jam antik, Neng?”** suaranya berderak. **“Bukan sembarang jam. Ia bisa… *memperbaiki waktu*.”**
Ardi tertarik. Di antara tumpukan barang usang, jam kayu itu terpajang. Bingkainya gelap, angka Romawi pudar, pendulum kuningan berbentuk ular yang menggigit ekornya.
**“Berapa?”** tanya Ardi.
Kakek itu tersenyum, giginya hitam. **“Gratis. Syaratnya… *kau tak boleh menyesal*.”**
Ardi mengangkat alis. *Penipu*, pikirnya. Tapi ketika ia mengambil jam itu, dinginnya merambat sampai ke tulang selangka.
---
Jam itu ia gantung di ruang kerjanya—ruangan tanpa jendela, hanya tembok beton dan meja kerja berantakan. Malam pertama, ia terbangun pukul 03.00.
*Tok… tik… tok… tik…*
Bukan detak jam normal. Ini *terbalik*. “Tok” terdengar lebih berat, seperti palu menghantam peti mati. “Tik”-nya menyusul, tipis dan menusuk.
Ardi mendekat. *Mungkin hanya suara roda gigi yang rusak*, ia mencoba meyakinkan diri. Tapi ketika ia melihat bayangannya di dinding…
**Bayangannya masih duduk di kursi.**
Padahal, ia sudah berdiri.
Ardi memutar tubuhnya pelan. Bayangan itu ikut berputar—tapi dengan jeda satu detik. Seperti *delay*. Dan di ujung senyum bayangan itu… ada lengkungan *terlalu lebar*.
---
Keesokan hari, garis pertama muncul.
Di dinding belakang jam, sebuah goresan vertikal sepanjang jari, merah tua seperti darah kering. Ardi mengusapnya. Dingin. Padahal cat dindingnya krem.
*“Delusi,”* bisiknya sambil menenggak obat antiansietas. Ia punya riwayat gangguan panik—tapi tak pernah separah ini.
Malam kedua, jam itu berdetak lebih keras.
*TOK… TIK… TOK… TIK…*
Ardi menekan bantal ke telinganya. Tak mempan. Detak itu seolah berasal dari *dalam tengkoraknya*. Ia terbangun, keringat dingin membasahi baju. Di dinding, garis merah bertambah: **30 garis**. Teratur, seperti kalender penjara.
Dan bayangannya… kini berdiri tepat di depan jam, menatapnya. Padahal Ardi berbaring.
---
Di kantor, keanehan merayap masuk.
**“Ardi, kau baik-baik saja?”** tanya Ningsih, pacarnya, saat makan siang. **“Matamu… *hitam sekali*.”**
Ardi memaksa senyum. **“Lelah saja.”**
Tapi ketika ia menyentuh ponsel, layarnya berkedip. Foto profilnya—gambar ia dan Ningsih di pantai—berubah. Wajahnya *dihitamkan*. Hanya senyum putih mengambang di atas kegelapan.
*Tok… tik…*
Suara itu menyelinap dari earphone-nya. Padahal earphone tak terhubung ke apa pun.
---
Malam ke-5.
Ardi nekat. Ia mengambil obeng, mencongkel paku jam itu.
**“Dasar benda sial!”** geramnya.
Paku pertama tercabut. Jam terjatuh—
*KRRAKK!*
Kaca pecah. Pendulum ular terlepas. Ardi menarik napas lega.
Tapi ketika ia memejamkan mata, suara itu kembali:
*TOK… TIK… TOK… TIK…*
Lebih keras. Lebih dekat.
Ia membuka mata. Jam itu tergantung sempurna di tembok. Tak ada pecahan kaca. Pendulum berayun lancar.
Dan garis merah di dinding… **tinggal 25**.
---
Ia mulai riset.
Di internet, ia ketik: *“Jam antik pendulum ular detak terbalik”*.
Satu forum horor muncul:
**“Chronos Diabolica - Jam Pemakan Waktu Hidup”**
*Menurut legenda, jam ini dibuat oleh tukang jam gila abad ke-18. Ia bunuh diri setelah kehilangan istri & anaknya. Sebelum mati, ia menyatukan jiwa mereka ke dalam jam. Sekarang, jam itu mencari ‘host’ baru… dengan mengambil alih waktu hidup pemiliknya.*
*Syarat: host harus berusia 30 tahun.*
*Tanda: detak terbalik, garis hitung di dinding, dan…*
*…bayangan hidup.*
Ardi membeku. Usianya besok 30.
Layar komputernya mendadak gelap. Refleksinya muncul di monitor:
**Bayangannya menyeringai.**
**“Selamat ulang tahun,”** bisiknya dengan suara Ardi—tapi lebih parau.
---
Pukul 00.00.
Ardi berusia 30 tahun.
Jam itu mendadak berdentum. *BONG! BONG! BONG!*—12 kali. Pendulum berayun liar. Dari dalam bingkai kayu, sesuatu menetes… **darah?**
Ardi berlari ke dinding. Garis-garis merah itu berkedip-kedip: **5 garis tersisa**.
*“Tidak! Hentikan!”* ia menjerit, menghantam jam dengan kursi.
Kayunya tak tergores. Malah, dari pecahan kaca yang tak ada, bayangannya merangkak keluar—seperti asap hitam yang memadat.
**“Aku lapar, Ardi…”** suaranya gemetar, persis seperti Ardi saat ketakutan. **“Aku ingin waktumu… dan tubuhmu.”**
Bayangan itu melangkah mendekat. Dinginnya membekukan udara.
Ardi mencoba lari, tapi kakinya tertanam. Ia melihat ke bawah—
**Tangannya mulai transparan.**
*“TOLONG!”* teriaknya, tapi suaranya tak keluar. Di luar, Ningsih mengetuk pintu: **“Ardi? Ada apa? Aku dengar teriakan!”**
Bayangan itu tersenyum. **“Dia tak bisa mendengarmu. Ruangan ini… sudah jadi *duniaku*.”**
Dengan gerakan cepat, bayangan itu menusukkan jari hitam ke dada Ardi. Tak ada luka fisik, tapi Ardi menjerit kesakitan—rasanya seperti seluruh memorinya disedot.
Layar laptop menyala sendiri. Foto-foto muncul berurutan:
- Ia usia 5 tahun, menangis di kamar mayat ayahnya (overdosis obat).
- Usia 17 tahun, menyuntikkan obat terlarang pertama kali.
- Usia 29 tahun, menyogok dokter untuk menutupi overdosis Ningsih.
*“Kau buang-buang waktu, Ardi,”* desis bayangan itu. *“Aku akan memakainya lebih baik.”*
Garis terakhir di dinding menyala terang: **1 garis**.
Bayangan itu membuka mulut lebar—seperti portal kegelapan.
**“Mau lihat apa yang terjadi ketika garis terakhir hilang?”**
Ardi menjerit—
*Ardi terjatuh, setengah sadar. Di depannya, bayangannya menyentuh garis terakhir di dinding. Garis itu memudar perlahan...*
*Di luar pintu, Ningsih mendengar jeritan tiba-tiba terputus. Lalu...*
***Tok... Tik... Tok... Tik...***
*Suara jam terdengar jelas bahkan dari balik pintu.*
**Part 2: Garis Terakhir dan Bayangan yang Keluar**
**Dingin.**
Itu satu-satunya yang dirasakan Ardi saat terjatuh. Lantai kayu terasa seperti es di pipinya. Di depannya, bayangannya—*atau sesuatu yang memakai wujudnya*—menjulurkan jari hitam ke garis terakhir di dinding. Garis merah itu berpendar, lalu... **memudar**.
*TOK... TIK...*
Detak jam mendadak berhenti.
Suara Ningsih dari balik pintu: **"Ardi! Buka pintu! Aku dengar—"**
Bayangan itu menoleh ke arah suara. Senyumnya melebar, hingga sudutnya menyentuh pelipis. **"Dia peduli padamu... sayang sekali."**
Ardi mencoba berteriak, tapi hanya desis udara yang keluar. Tangannya benar-benar transparan sekarang—seperti kaca buram.
**"Jangan khawatir,"** bisik bayangan itu, suaranya sudah hampir sempurna meniru Ardi. **"Aku akan jadi dirimu yang lebih baik."**
Dengan langkah mantap, bayangan itu berjalan ke pintu—tubuhnya perlahan berubah: dari siluet hitam menjadi warna daging, rambut rapi, jas kerja Ardi yang kusut. Saat jubah kegelapan rontok, yang berdiri di sana... **adalah Ardi**.
Pintu terbuka.
Ningsih terengah, wajah pucat. **"Ardi? Apa yang—"**
"Ardi" palsu itu tersenyum hangat—ekspresi yang tak pernah bisa dibuat Ardi asli. **"Maaf, sayang. Hanya mimpi buruk."** Ia memeluk Ningsih erat. **"Ayo kita tidur."**
Ningsih melirik ke dalam ruangan. Ardi asli—sekarang hanya siluet tembus pandang—tergeletak di lantai. Mata mereka bertemu.
*Tolong...*, bisik Ardi tanpa suara.
Tapi Ningsih hanya menggeleng. **"Kamu benar-benar berkeringat... Aku ambilkan air."**
Ia berbalik. Pintu tertutup.
Dan "Ardi" palsu itu menoleh ke Ardi yang sekarat—senyumnya berubah dingin.
**"Selamat tinggal, sampah waktu."**
---
**DUNIA BAYANGAN**
Ardi tersentak. Ia berdiri di ruang kerja yang sama—tapi *semuanya terbalik*.
- Langit-langit jadi lantai, lampu menggantung ke atas.
- Jam antik masih ada, tapi pendulumnya berayun ke kiri (biasanya ke kanan).
- Di dinding tempat garis-garis merah tadi... **tertulis nama-nama**.
Ia mendekat. Lima nama terukir dengan huruf darah beku:
1. **BUDI SANTOSO** (1970-2000) → "Tewas tergantung"
2. **LINDA DEWI** (1980-2010) → "Tubuh terpotong pendulum jam"
3. **AGUS WIBOWO** (1975-2005) → "Menusuk jantung sendiri pakai jarum jam"
4. **DINA RAHAYU** (1985-2015) → "Menelan roda gigi jam"
5. **...ARDI...?**
Namanya sendiri mulai muncul, perlahan. Huruf "A" sudah terbentuk.
*Tok... Tik...*
Detak jam terdengar lagi—kini dari *dalam dirinya*.
Ardi melihat ke cermin di dinding. Yang terpantul bukan bayangannya lagi... **tapi dunia nyata**.
Ia melihat "Ardi" palsu sedang memimpin rapat di kantornya. Percaya diri. Karismatik. *Semua yang tak pernah ia capai*.
Ningsih tersenyum bangga dari balik jendela.
**"Itu seharusnya aku..."** desis Ardi, suaranya serak seperti gesekan kayu.
---
**PENCARIAN JAWABAN**
Ardi mengamati ruangan terbalik ini. Di balik lemari buku, ia menemukan **buku harian Budi Santoso**—korban pertama.
> *"30 September 2000*
> Jam itu kutemukan di loakan Glodok. Kakek tuanya bilang: 'Ia bisa mengembalikan waktu yang hilang'. Aku percaya. Aku ingin kembali ke sebelum istriku meninggal...
> Tapi yang ia kembalikan bukan waktu. *Ia mengembalikan bayanganku yang paling gelap*.
> Hari ini garis terakhir hilang. Aku lihat bayanganku memakai tubuhku... dan aku terjebak di sini.
> **Peringatan untuk yang membaca: jam itu lapar. Ia tak hanya makan waktumu... tapi juga penyesalanmu.**"
Ardi membalik halaman. Coretan panik:
> *"Ia bukan jam! Ia makhluk tua! Namanya—"*
Tulisan berikutnya dicakar hingga robek.
Tapi di sampingnya, ada sketsa simbol aneh: **lingkaran dengan ular makan ekor, dikelilingi 30 titik**.
*Tok... Tik...*
Detak jam makin keras. Ardi menoleh—
**Bayangan Ningsih** berdiri di pintu.
**"Kau tidak seharusnya membaca itu,"** bisiknya. Tapi suaranya... bukan suara Ningsih. Ini suara *gadis kecil*.
---
**PERTEMUAN DENGAN KORBAN LALU**
Bayangan Ningsih itu menuntun Ardi ke lorong gelap. Ruangan itu berubah menjadi **labirin waktu**:
- Di satu sisi, ia melihat Budi Santoso muda menangis di kuburan istrinya.
- Di sisi lain, Linda Dewi mengamuk melemparkan jam itu—tapi jam selalu kembali.
**"Kami semua terjebak di sini,"** kata bayangan Ningsih. Tapi wujudnya berubah: kini ia gadis kecil berbaju merah. **"Aku Dina... korban kelima."**
Ardi terkejut. **"Dina Rahayu? Tapi kau—"**
**"Bunuh diri? Ya. Tapi bukan keinginanku."** Matanya kosong. **"*Dia* yang membuatku menelan roda gigi jam... lewat mulut bayanganku sendiri."**
Dina menunjuk ke jam antik di dunia terbalik. **"Kau lihat simbol ular itu? Itu *Ouroboros*—lambang waktu tanpa akhir. Tapi di sini, ularnya... *terbalik*."**
Benar. Ular di pendulum kini menggigit *kepalanya* sendiri, bukan ekor.
**"Jam ini adalah perangkap waktu. *Ia menciptakan dunia bayangan dari penyesalan terdalammu*."**
Ardi teringat adegan di laptop: ayahnya yang meninggal, narkoba, penyogokan dokter...
**"Aku dihukum karena membuang-buang waktu?"**
Dina mengangguk. **"Tapi ada cara keluar. *Kau harus menghadapi sumber bayanganmu*."**
---
**PEMILIK ASLI: SANG TUKANG JAM GILA**
Dina membawa Ardi ke ujung labirin. Ada pintu baja berukir Ouroboros terbalik.
**"Di balik ini ada *Verstorbene*—si tukang jam yang menciptakan kutukan ini,"** kata Dina. **"Dia yang memakan waktu kita."**
Pintu terbuka.
Ruangan dipenuhi ratusan jam berdetak kacau. Di tengahnya, seorang lelaki kurus membungkuk di atas meja kerja.
**"Siegfried Richter,"** bisik Dina. **"Tukang jam dari Praha, 1789."**
Siegfried menoleh. Matanya **tanpa bola—hanya rongga hitam berisi roda gigi berputar**.
**"Penghuni baru?"** suaranya seperti gemeretak mesin tua. **"Selamat datang di *Zeitgefängnis*... penjara waktumu."**
Ardi memberanikan diri. **"Lepaskan aku! Aku bukan pembuang waktu!"**
Siegfried tertawa—dentum logam patah. **"Kau pikir kau berbeda? Semua korban bilang begitu."**
Ia berdiri, jubahnya terbuka: **tubuhnya adalah kumpulan jam**—jantungnya pendulum, tulangnya jarum jam.
**"Aku menciptakan jam ini untuk menyelamatkan istri dan anakku,"** bisiknya, roda giginya berderit sedih. **"Tapi waktu tidak bisa diputar balik... hanya *ditipu*."**
Ia menunjuk Ardi. **"Darah pengguna baru menyegarkanku. Sekarang, berikan sisa waktumu!"**
Roda gigi di matanya berputar gila.
Seluruh jam di ruangan berdentum bersamaan—
*BONG! BONG! BONG!*
Ardi terjatuh. Ia melihat "Ardi" palsu di dunia nyata sedang... **melamar Ningsih**.
Dan Ningsih berkata **"iya"**.
---
**PELARIAN**
Dina menarik Ardi. **"Cepat! Kita harus ke *Pusat Detak*!"**
Mereka berlari melalui labirin yang runtuh. Dinding-dinding berubah menjadi jam raksasa.
**"Apa itu Pusat Detak?"** teriak Ardi.
**"Jantung dunia bayangan! Di situlah jam utama!"** balas Dina. **"Jika kau hancurkan, kau bisa kembali!"**
Tapi Siegfried mengejar. Tangannya—sepasang tang pengutip jam—meraih Dina.
**"Traitor kecil!"** raungnya.
**"LARI, ARDI!"** jerit Dina sebelum tubuhnya terlempar ke kumpulan roda gigi yang menggerusnya jadi serpihan logam.
Ardi terus lari. Ia melihat simbol Ouroboros terbalik bercahaya merah.
*Inilah tempatnya*, bisik hatinya.
Di ruangan bundar itu, **jam raksasa** menggantung. Pendulumnya adalah pisau berkarat yang pernah ia lihat di mimpi. Dan di tengah-tengahnya... terkurung **bayangan aslinya**—terikat rantai jam.
**"Kau datang,"** bisik bayangannya sendiri. **"Aku sudah menunggumu."**
Ardi mengangkat pecahan logam runcing—satu-satunya senjata.
**"Apa yang harus kulakukan?"**
Bayangan itu tersenyum getir. **"Kau harus memilih: bunuh aku... atau bunuh dirimu sendiri?"**
---
*Dunia terbalik berguncang. Siegfried muncul di pintu, tubuhnya terdiri dari ribuan jam berdetak.*
***"Waktumu habis, Ardi!"***
*Di jam raksasa, pendulum pisau berayun...*
*Menghitung detik terakhir.*
---
**Part 3: Pusat Detak dan Pengorbanan Terakhir**
Pendulum pisau berayun tepat di atas kepala Ardi. *Swoosh!* Udara berdesis. Di depan, **bayangannya sendiri** tersenyum getir—rantai jam membelit tubuhnya, menyatukannya dengan mesin waktu raksasa.
**“Pilih!”** teriak bayangan itu. **“Bunuh aku, kau bebas! Bunuh dirimu, kau jadi abadi di sini!”**
Di belakang, Siegfried melangkah mendekat—ribuan jam di tubuhnya berdetak kacau, suaranya seperti ribuan kuku mencakar peti mati.
**“KAU TAK BISA KABUR, ARDI!”** raungnya, mulutnya terbuka jadi roda gigi berputar. **“KAU BAGIAN DARI MESIN WAKTU-KU SEKARANG!”**
Ardi menatap pecahan logam di tangannya. Lalu ia melihat bayangannya...
*...dan ia ingat.*
**FLASHBACK: TRAUMA TERDALAM**
Usia 5 tahun. Ia di kamar mayat. Ayahnya terbujur kaku, bau formalin menusuk. Ibuku berbisik:
*“Papa bunuh diri, sayang... karena kehilangan segalanya.”*
Tapi Ardi *tahu* yang lain. Ia melihat **bayangan ayahnya** merangkak dari dinding, menyuapkan pil ke mulut ayahnya yang setengah sadar.
*“Dia buang-buang waktu,”* bisik bayangan itu waktu itu. *“Aku akan pakai hidupnya lebih baik.”*
Dan ketika bayangan itu menyentuh ayahnya...
*Ayahnya tersenyum kosong sebelum tewas.*
**“Itu bukan ayahku yang tewas...”** Ardi bergumam. **“Itu *kau*.”**
Bayangan di depannya mendelik. **“Apa?!”**
**“Kau bukan bayanganku—kau *penunggu jam* yang sama yang membunuh ayahku! Dan kini kau ingin tubuhku!”**
Siegfried mendadak berhenti. Roda gigi di matanya berputar lebih cepat.
**“Dia tahu...”** desisnya penuh kebencian.
Ardi berbalik ke Siegfried. **“Kau kirim jam ini ke ayahku 30 tahun lalu, ‘kan? Dan ketika garis waktunya habis... kau kirim ke *putranya*!”**
Siegfried tertawa dingin. **“Waktu adalah lingkaran, Ardi... seperti Ouroboros yang menggigit dirinya sendiri.”**
---
**PERTARUNGAN TERAKHIR**
Ardi tak berpikir lagi. Ia *melemparkan pecahan logam itu—bukan ke bayangannya, tapi ke* **Jantung Jam Raksasa**!
*KRREEEENGG!*
Logam itu menancap di mesin. Jam raksasa bergetar hebat.
**“TIDAK!”** jerit Siegfried.
Bayangan Ardi menjerit kesakitan—rantainya menyala merah. **“Gila! Kau bunuh kita semua!”**
Dunia terbalik mulai runtuh. Langit-langit retak, jam-jam kecil meledak beruntun.
Ardi berlari ke bayangannya. **“Aku tak akan jadi seperti ayahku!”**
Dengan sekuat tenaga, ia **mencabut rantai jam** yang membelit bayangannya!
*Zzzzt!*
Sengatan listrik waktu menyetrumnya. Bayangan itu terlempar bebas—
Tapi Ardi sendiri kini **terjebak di pusat mesin**, menggantikan posisinya!
**“Bodoh...”** desis Siegfried mendekat. **“Kini kau terikat selamanya!”**
Rantai-rantai jam otomatis membelit Ardi.
Di luar, **Dina** muncul lagi—tubuhnya setengah transparan.
**“Ardi! Pecahkan pendulum-nya! Itu kunci!”**
Ardi melihat pendulum pisau berkarat berayun di atasnya—pisau yang sama yang dipakai Linda Dewi bunuh diri.
Dengan tangan bebas terakhir, ia **mengguncang rantai jam sekuatnya**—
*KRACK!*
Satu rantai putus, menyambangi pendulum!
*KLANG!*
Pisau terlepas—jatuh tepat di tangan Ardi!
---
**PENGORBANAN DINA & KEBENARAN TENTANG NINGSIH**
Siegfried mengamuk. **“KAU!”** Ia menyambar Dina.
Tapi Dina tersenyum sedih ke Ardi. **“Aku tahu cara menghentikannya... karena aku *putrinya*.”**
**FLASHBACK SIEGFRIED:**
*Praha, 1789. Siegfried Richter, tukang jam jenius, kehilangan istri & anak perempuannya (Dina) karena wabah. Dalam kesedihan, ia bunuh diri di depan jam karyanya—darahnya menyatu dengan mesin. Tapi arwah Dina yang terhisap jam, menjadi “penjaga” dunia bayangan.*
**“Aku menunggu 200 tahun untuk seseorang seperti kau, Ardi...”** bisik Dina. **“Seseorang yang berani melawan bayangannya.”**
Ia merangkul Siegfried—tubuhnya bersinar putih.
**“Sudah cukup, Papa... istirahatlah.”**
Siegfried menjerit—sinar putih membakar tubuh jamnya.
**“DINA! TIDAK—!”**
Tapi Dina terus memeluknya... sampai mereka berdua **menjadi debu waktu yang berkilauan**.
---
**TWIST AKHIR: SI KAKET PENJUAL JAM**
Dunia terbalik runtuh total. Ardi jatuh bebas—
Dan mendarat di **Pasar Loak Senen**, 30 tahun lalu.
Di depannya, seorang pria muda berkumis tipis—**Siegfried dalam wujud manusia**—sedang meletakkan jam Ouroboros di lapak loak.
**“Kau...”** gumam Ardi.
Siegfried menoleh. **“Ah... kau dari masa depan?”** Ia tersenyum pilu. **“Aku tahu ini akan terjadi. Tapi kutukan harus berlanjut... atau arwah Dina benar-benar hilang.”**
Ardi mengangkat pisau pendulum. **“Aku bisa membunuhmu sekarang—menghentikan segalanya!”**
Siegfried tertawa. **“Silakan. Tapi kau akan terhapus dari waktu... dan *Ningsih* akan mati.”**
Ardi membeku. **“Apa?!”**
**“Kau lupa? 3 tahun lalu, Ningsih overdosis. *Kau menyogok dokter untuk menutupinya*... dan jam inilah yang memberimu ide.”** Siegfried menyentuh jam itu. **“Ia menyelamatkan Ningsih dengan ‘meminjam’ waktu hidupmu... tapi konsekuensinya kau harus jadi pengganti berikutnya.”**
Ardi gemetar. *Semua masuk akal*.
**“Jadi... pilihanku?”**
**“Hidupkan kutukan: jadi penunggu jam selanjutnya... atau bunuh aku, dan Ningsih tewas seketika.”**
---
**EPILOGUE: DUNIA YANG TERBALIK**
*Jakarta, 5 tahun kemudian.*
Ningsih membuka kios obat herbalnya. Suaminya, **Ardi**, tersenyum membawakan kopi.
**“Masih mimpi buruk soal jam antik itu?”** tanyanya lembut.
**“Sudah tidak,”** jawab Ningsih. Tapi matanya linglung.
Suatu malam, Ningsih terbangun. Suara *tok... tik...* terdengar dari gudang.
Ia membuka pintu—
Di sana, tergantung **jam Ouroboros antik**, pendulumnya berayun terbalik.
Di depannya, **bayangan Ardi** sedang mencoret-coret dinding...
**30 garis merah.**
Bayangan itu menoleh. Senyumnya terlalu lebar.
**“Aku lapar, Ning... kau punya *penyesalan* untuk kumakan?”**
Ningsih menjerit—
Tapi di luar, suara “Ardi” memanggil: **“Sayang? Ada apa?”**
Ketika ia menoleh...
Bayangan di gudang sudah menghilang.
Dan di cermin, pantulan Ningsih sendiri...
*berkedip.*
**DETAK**
**TERBALIK**
**SELESAI**