Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Thriller
Destinasi Wisata Nirwana
0
Suka
2
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

“Selamat datang di Destinasi Wisata Nirwana, keluarga bahagia, keluarga sehat!” teriak staff wanita dengan setelan pakaian serba merah muda, yang dipadukan dengan dasi kupu-kupu.

Aku menghela nafas kasar, menunggu antrian dengan bosan. Sudah sejam aku mengantri seperti ini, seharusnya aku tetap di rumah saja sambil memainkan GTA 5 yang baru kubeli kemarin. Tapi karena putriku memaksaku untuk memarahiku karena terus berada di dalam rumah. Padahal saat ia berusia 5 tahun, ia tampak menggemaskan di mataku. Namun, begitu usianya menginjak 14 tahun, rasanya ia menjadi semakin mirip dengan istriku.

Wisata Nirwana, dari namanya saja terdengar norak. Tempat ini hanya menyediakan tiga hiburan yaitu wisata aksesoris terkini, adrenalin ruang sempit, dan terakhir penemuan rumah tanpa suara. Penamaannya sangat jelek sekali.

Kemudian aku mengunjungi tempat pertama, yaitu wisata aksesoris terkini. Disini pengunjung hanya perlu mengelilingi ruang demi ruang dalam rumah ini. Tamannya sangat indah, tapi staff disini sepertinya tidak pandai memilih bunga yang cocok untuk dilihat. Kebanyakan bunga yang ditanam adalah dahlia hitam dan sejenis anyelir berwarna kuning.

“Apa ini? menakutkan, tempat ini lebih mirip seperti pemakaman seseorang,” gumamku sembari memotret dengan kamera lamaku.

Tiba-tiba aku dikejutkan dengan kedatangan seorang ibu dengan raut wajah yang tegang. Aku pun duduk di kursi penonton. Ini pasti pertunjukkan terakhir setelah pengunjung berkeliling.

“Oyy bangsat, tidak dengar aku bicara hah?!” Wanita itu menghentikkan kakinya, mendekati kedua anaknya yang meringkuk sambil memasang ekspresi takut.

“Maafkan kami, lain kali kami janji tidak akan mengulanginya,” sesal anak laki-laki, yang sepertinya ia adalah kakaknya. Sementara yang perempuan di belakangnya adalah adiknya. Dari petunjuk dalam brosur yang kudapat, secara garis besar, pertunjukkan teater ini membahas tentang sepasang anak kembar yang bahagia dengan ibunya. Aku mengernyitkan dahi heran, karena tidak sekali pun aku menemukan celah kebahagiaan dalam pertunjukkan ini.

“Ini cerita membosankan, bahkan efek make up luka ungu kebiruan dari anak-anak itu, bukankah terlalu menyeramkan untuk disebut pertunjukkan?” keluhku dalam helaan nafasku.

"Tapi ini hebat bukan? Aku selalu penasaran, darimana luka itu didapat,” timpal pria paru baya disebelahku. Ia sepertinya seumuran denganku.

Wanita itu mengambil sebilah kayu, yang tebalnya seperti kedua tangannya sendiri. Berulangkali, pukulannya selalu mendarat di tempat yang sama. Anak-anak itu menjerit sampai rasanya akan memecahkan gendang telingaku. Menyadari hal itu, wanita itu, tiba-tiba saja merintih padahal bukan dia yang dipukuli.

Pertunjukkan pun selesai, aku pun keluar. Seorang staff wanita menghampiriku, memberiku sebuah aksesoris abstrak berwarna ungu dengan sedikit perpaduan warna biru. Kupikir itu gantungan kunci, tapi ternyata semacam stiker yang ditempelkan ke lengan.

“Apa ini gratis?” tanyaku memastikan, takut jika barang yang kuterima semacam scam dari penjual iseng.

“Ini gratis, Pak, anda juga akan mendapatkan merchandise di destinasi selanjutnya,” ujar Wanita itu sambil tersenyum, kulihat name tagnya yang tertulis Sari. Namanya sangat cantik, sesuai dengan wajahnya.

Kemudian aku beralih ke tempat selanjutnya, adrenalin ruang sempit. Jika di tempat sebelumnya, aku bisa berkeliling melihat banyak ruang. Di wisata kali ini, aku hanya disuruh duduk sambil mengamati dari luar. Karena memang ruangannya tidak cukup luas, hanya muat mungkin dua orang dewasa. Tirai terbuka, memperlihatkan sepasang kekasih yang bertengkar memperebutkan beras dan rumah-rumahan.

“Sudah kubilang karena aku pria, rumah-rumahan ini lebih pantas menjadi milikku, paham! Kau ambil saja beras dan bayimu itu,” teriak pria itu.

Wanita yang menjadi istrinya, mendengus kesal lalu menampar pria itu, “Tidak tahu diri, setelah memakaiku, kau berniat melarikan diri? aku bahkan tidak mau menerima bayi yang darahnya saja tercampur dengan pria brengsek sepertimu!” tatapannya menunjukkan kemarahan dengan urat-urat yang menonjol di lehernya, serta wajahnya yang semakin memerah. Wanita itu sebentar lagi pasti akan menangis. Aku benci adegan ini, mereka bertengkar tanpa mengingat umurnya sendiri.

Bayi yang sepasang kekasih itu telantarkan, kini menangis keras. seketika ruangan semakin dingin, bayi itu mengigil sendirian di luar. Aku yang duduk di kursi penonton pun ikut kedinginan, sepertinya pembuat wahana menambahkan semacam efek khusus dibawah kakiku.

“Menurutmu siapa yang akan mati dari ketiga orang itu?” tanya Pria yang tadi duduk disebelahku.

“Mungkin bayi itu,” jawabku asal. Aku tidak peduli siapa yang mati, aku hanya ingin segera meninggalkan tempat ini. Entah kenapa aku sulit bernafas, mungkin karena aku melihat ruang yang terlalu sempit.

Pria paruh baya itu terkekeh, memperlihatkan gigi-giginya yang longgar, “Salah, karena yang akan mati lebih dulu adalah sepasang kekasih itu,” Aku hanya mengernyitkan dahi heran, bahkan dilihat darimana pun, kondisi yang paling tidak menguntungkan jelas adalah bayi itu, ia akan mati kedinginan.

Namun, jawaban pria paruh baya itu ternyata benar. Sepasang kekasih itulah yang mati lebih dulu, saling mencekik satu sama lain. Hingga rumah yang sempit itu, harus roboh menimpa mereka.

“Seorang bayi selalu dilindungi oleh sesuatu yang tidak kasatmata, mungkin kita menyebutnya malaikat pelindung, dari situ kau bisa memahami betapa pemurahnya Tuhan,” komentar Pria paruh baya itu sambil tersenyum tipis, menatap bayi yang tergeletak di luar, kini disinari oleh semacam cahaya yang menghalau hawa dingin.

Setelah pertunjukkan selesai, aku diberi oleh sepasang kaus kaki bayi. Aku tidak tahu, harus kuapakan benda ini? karena putriku sudah besar, jelas tidak mungkin kuberikan padanya. Akan kupikirkan nanti, kumasukkan ke dalam ranselku.

Akhirnya, tiba pada destinasi wisata terakhir yaitu rumah tanpa suara. Kuharap tidak ada suara bising disini, karena aku jantungku yang lemah ini, tentu tidak akan sanggup menahannya lagi.

Rumah tanpa suara, memiliki ruangan luas yang punya banyak barang mewah, seperti ruang keluarga bermerek, jejeran piala, tempat tidur paling nyaman. Hiburan yang ditunjukkan adalah penampilan dari sepasang kekasih dan remaja laki-laki. Pertunjukkan yang ditawarkan, hanya kehidupan sehari-hari dari keluarga yang sepertinya lupa cara menggunakan mulut mereka. Tidak ada pembicaraan apapun, hanya mimik wajah yang tidak peduli sama lain. Aku memang tidak suka kebisingan, tapi jika terlalu sunyi seperti ini, rasanya aku tercekik oleh sesuatu.

“Rasanya kita sedang ditempatkan di ruang yang serba putih, tanpa melakukan apa-apa, ini sedikit menyeramkan,” komentarku sambil memelukku diri sendiri.

“Aku mengerti, itu lebih buruk dari kematian, seperti menunggu berapa lama lagi manusia harus menahan kesepiannya?” Pria paruh baya terkekeh, lalu ia menoleh padaku, memberiku tatapan yang dalam.

“Menurutmu, mereka bertiga akan mati?” tanyanya. Lagi dan lagi, pria paruh baya itu terus mengajukan pertanyaan seputar kematian. Sepertinya ia sejenis orang yang terobsesi dengan kehidupan setelah manusia mati. Meski aku ragu, apa ada dunia semacam itu.

“Aku pikir mereka akan tetap hidup,” jawabku.

Pria paruh baya itu tersenyum puas, sambil memukul pelan bahuku, “Kau setengah benar, tapi mereka akan saling membunuh satu sama lain dalam pikirannya masing-masing, seperti memberikan sugesti pada kesadarannya bahwa ia hanya hidup sendirian, itu cara paling efektif untuk mematikan nalurimu, dengan begitu kau tidak akan peduli apa seseorang yang ada didepanmu masih hidup atau tidak,”

Aku sama sekali tidak mengerti, dengan pria itu ucapkan dari tadi. Semakin kucerna, pikiranku seperti akan meledak.

Setelah penantian panjang, akhirnya aku bisa pulang. Sari menghampiriku memberiku merchandise berupa akrilik tabung yang memperlihatkan rumah serba putih. Ia jugar memberiku angket.

“Mohon diisi ya Pak, angket ini dibuat untuk mengetahui seberapa antusiasnya masyarakat mengunjungi Wisata Nirwana.” Jelas Sari tersenyum ramah, sambil menyerahkan bolpoin padaku. Ada tiga jawaban yang bisa kupilih yaitu netral, iya atau tidak.

“Nanti jika sudah diisi, silahkan masuk ke bagian pintu sesuai dengan jawaban yang Bapak berikan,” tambah Sari. Di keterangan dalam angket tersebut menjelaskan ada tiga pintu keluar berbeda, yang disesuaikan dengan jawaban dipilih. Pintu putih untuk jawaban tidak, iya pintunya berwarna hitam, sementara jawaban netral berwarna abu-abu. Aku memilih jawaban netral, kemudian Sari mengarahkan ke pintu abu-abu. Begitu aku masuk, kesadaranku seperti dibawa oleh sesuatu, mungkin orang biasanya menyebutnya dengan kegelapan.

….

 

“Gatta Maheswari, bisa dengar saya?” tanya Dokter Sari yang membuyarkan lamunan Gatta, sudah lama ia mengamati sekitar, tanpa sadar hal itu membawanya ke koridor. Padahal Gatta masih punya pemeriksaaan lebih lanjut.

“Apa ia masih terjebak dengan halusinasinya? Ini bukan kali pertama ia pergi keluar seperti ini sendirian, aku sampai harus mengerahkan banyak perawat untuk menjaganya,” keluh Ginting sambil menyilangkan tangannya.

“Bolehkah aku pulang? Kurasa aku baik-baik saja, aku tidak mengerti kenapa aku harus berada disini,” ujar Gatta sedikit bingung.

Dokter Sari memegang tangan Gatta, menuntunnya ke kamar, “Anda perlu istirahat, Pak, mari saya antarkan,” sementara itu Ginting mengikutinya dari belakang.

Gatta terkekeh, ia pun menatap Dokter Sari yang tengah membantunya berbaring.

“Tadi aku melihat banyak orang gila, ada remaja yang menjerit seperti dipukul seseorang, lalu ibu-ibu yang mempreteli boneka bayi, satu lagi laki-laki yang hanya termenung di pojok membelakangi perawat,” jelas Gatta dalam sela tawanya,”disini banyak orang gila dok, saya pikir yang paling gila itu saya karena masuk rumah sakit, meski sebenarnya saya baik-baik saja, tapi ternyata mereka lebih gila daripada saya,”

Dokter Sari ikut tertawa, ketika mendengar cerita Gatta,”Anda benar pak, disini banyak orang gila,”

Saat Dokter Sari dan Gatta asyik berbicara. Ginting lalu menyuntikkan obat tidur untuk Gatta, lalu pria itu pun tertidur.

Ekspresi Dokter Sari yang semula ceria, kini hanya memasang wajah dingin. Ia meregangkan pinggang dan lehernya.

“Sayang sekali kita tidak menemukan apa-apa dari proyek wisata Nirwana, padahal awalnya saya sudah berekspetasi tentang memadukan pilihan ingatan yang ingin dikunjungi dengan menganalogikan sebagai tempat wisata, mungkin membuat pasien mengingat rasa sakitnya, tapi ternyata itu nihil,” ujar Ginting sembari menyelimuti Gatta.

“Menurutmu begitu? Tapi kurasa aku cukup puas dengan ini,” Dokter Sari mengganti air mawar di vas dengan yang baru, “kebanyakan orang ketika memiliki trauma, pasti akan langsung bisa merasakannya dan menyadari ada yang salah dengan diri mereka, tapi pria ini, meski ia ditelantarkan sejak kecil, mengalami kekerasan, dan kesepian luar biasa, ia tidak pernah melihat itu sebagai kecacatan dari dirinya,”

“Bukankah itu bagus? Berarti ia tangguh kan?”  

“Mungkin kau benar, tapi ketangguhannya itu hanya sebatas dalam persepsinya, akan berbeda jika orang lain melihatnya, orang yang tidak menyadari dirinya sakit, lebih sulit ditolong, ada semacam kerusakan otak, dibagian lobus frontal, dimana bagian ini punya beragam fungsi, salah satunya mengatur emosi dan menerima informasi baru,” jelas Dokter Sari sambil menatap dalam ke arah bunga mawar.

“Begitu ya, sekarang aku mengerti,” Ginting menyandarkan punggungnya ke sofa, ia tiba-tiba menunjuk Dokter Sari, “Mungkin Dokter juga sama seperti Gatta,” ucapan Ginting, disambut dengan tatapan dingin Dokter Sari.

“Hanya bercanda,” ujar Ginting dengan cepat.

 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Thriller
Cerpen
Destinasi Wisata Nirwana
Linggarjati Bratawati
Novel
Bronze
One Scary Night
Herman Sim
Novel
Petrichor
Sylicate Grazie
Novel
Bronze
Catatan Balas Dendam
Dimas Adiputra
Novel
Bronze
OBSESI
KUMARA
Novel
Bronze
Find You
Sonya Mega Flourensia
Novel
DEKUT MERPATI PEMURUNG--The Mourning Dove Calling
Hans Wysiwyg
Novel
Bayangan Matahari
Steffi Adelin
Novel
Bronze
Nada organ kita
artabak
Novel
Egoist
Reona Lee
Novel
Bronze
Saloma : A Girl Who Lives In Silence
myht
Novel
Kalea Lysandra: Bertahan di masa yang telah selesai.
Ra-Cha
Novel
Rahasia Tante Nina
Johanes Gurning
Novel
Bronze
Saat Reuni Usai
Erva Eriyanti
Novel
Gadis Kecil dan Cerita-Ceritanya
Dewi sartika
Rekomendasi
Cerpen
Destinasi Wisata Nirwana
Linggarjati Bratawati
Flash
Yang Gila Disini Siapa?
Linggarjati Bratawati
Cerpen
Orleander
Linggarjati Bratawati
Cerpen
Kāma-Manas
Linggarjati Bratawati
Skrip Film
Jika Bunuh Diri Tendang Saja Kakiku
Linggarjati Bratawati
Cerpen
Laki-laki Hijau
Linggarjati Bratawati
Cerpen
Dogma
Linggarjati Bratawati
Cerpen
In Ternebris
Linggarjati Bratawati
Flash
DISKUSI
Linggarjati Bratawati