Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Desak Sentimen”
Krak–srek–krak–srek.
Suara langkah Rumi bersahutan dengan bunyi jaring tipis ancau, menyapu dedaunan sepanjang jalan setapak menuju hutan. Langkah gadis kecil itu lunglai, matanya sembab dipenuhi bulir-bulir air yang menggantung di pelupuk, nyaris tumpah. Tenggorokannya seakan dicekik oleh gelombang pertanyaan di setiap langkahnya. Memangnya aku selalu salah? Apa aku memang pantas diperlakukan seperti ini? Sampai kapan? Setiap kata berjejal dalam batinnya. Pikiran Rumi melayang, kembali ke masa ketika dunia masih terasa hangat. Dulu saat siang terik, mereka bermain tanah liat hingga lantai rumah bagai kolam lumpur. Setiap malamnya, terasa seperti kisah dalam buku dongeng. Suara lembut Kela membacakan cerita Putri Musim Semi dan Naga yang Sering Lapar, membungkus mimpi Rumi dengan fantasi penuh warna.
Walau tiap hari harus ikut berjualan bersama Ayah dan Ibu ke pasar, Kela selalu punya sisa tawa untuk dibagikan. Tawa yang rasanya sudah lama sekali tak terdengar. Tanpa sadar, tangan Rumi terangkat. Simbol kasih berupa gelang kristal merah di pergelangan tangan, pemberian Kakaknya dari pasar kala itu. Baginya sekarang hanya pengingat luka. Sejak kepergian Ayah dan Ibu mereka enam tahun lalu, wajah Kela yang dulu selalu dihiasi senyum, perlahan mengeras. Di pundak Kela, menggantung beban yang terlalu dewasa untuk usianya yang masih belia. Kela bergegas pergi ke kota setiap pagi dan pulang larut malam diiringi dengan mata sayunya. Jikalau pulang lebih cepat, ia hanya mengurung diri di kamar. Rasanya percuma jika ingin mencoba mengobrol dengannya.
Melalui celah pintu dapur, Rumi sering mendengar percakapan singkat kakaknya bersama pria berjas hitam di halaman rumah. Kadang, ia mendengar sepintas kata ‘tagihan’, ‘ratusan juta’, dan ‘hutang’ yang ikut membuat sesak hatinya, meskipun ia tak sepenuhnya mengerti. Ia hanya tahu, ada sesuatu yang merampas ruang di hati kakaknya, menyisakan perkataan pedih di dada, dan jarak yang kian nyata.
Dengan gerak yang pelan, ia melepas gelang kristal dan melemparkannya ke semak-semak. Suara lirih dedaunan yang tergesek, seperti memutus benang kenangan dalam hatinya. Ia mempercepat langkah begitu mendengar gemericik air sungai dari kejauhan. Tanah berbatu yang curam, membuat ia melangkah lebih hati-hati, seolah tak ingin alam melihatnya terluka. Sampai di tepi sungai, ia mencelupkan ancaunya. Jaring bambu panjang itu perlahan tenggelam ke dalam air jernih yang memantulkan bayangan langit sore kelabu. Ia menebar umpan remah roti, berharap ada sesuatu yang bisa dibawa pulang untuk mengisi perut, sekaligus mengisi kehampaan yang lama bersarang di hatinya.
Tak perlu waktu lama, Rumi lalu mengangkat ancaunya yang kini penuh ikan wader kecil yang menggelepar. Senyum kecil tersungging di bibirnya. Saat hendak membawa hasil tangkapannya pulang, tiba-tiba di dekatnya ada yang bergerak. Sesuatu berekor cokelat melintas cepat. Jantung Rumi berdegup kencang, antara penasaran dan waspada. Ia mengeluarkan potongan ubi rebus dari tas pinggang, lalu melemparkannya ke arah semak.
Gersak…
Rimbun semak bergerak. Seekor anjing perlahan muncul dan mendekat. Matanya menatap sangsi Rumi, setelah itu mulai melahap ubi hingga habis tak bersisa. Rumi menahan senyum. Ia kembali merogoh isi tas dan mengeluarkan semua sisa ubi yang ada. “Kamu… aku panggil Riko ya,” katanya lembut sembari mengelus kepala anjing itu. Bulu Riko kasar, tapi sentuhannya membawa ketenangan. Sudah lama sekali ia terkurung dalam sepi. Sekarang, ia merasa ditemani, biarpun dengan sosok yang sama sekali tak terduga.
Malam merayap turun. Lampu minyak di dinding berpendar redup. Aroma kaldu gurih mengepul dari semangkuk sup wader di atas meja. Rumi duduk diam, berhadapan dengan Kakaknya yang terbingkai letih, tampak dari bayangan kelam di bawah matanya. Kakaknya mengaduk sup perlahan dengan pandangan kosong. “Setelah makan, bantu Kakak menyiapkan gerabah,” ucapnya tiba-tiba dengan suara datar. “Besok kita akan berangkat ke pasar Kota Daruloka.” Rumi mengerjapkan mata, sedikit terkejut. Biasanya Sang Kakak tak pernah mengajak berjualan. Rumi hanya mengangguk pelan.
Di ruang penyimpanan gerabah, bau khas tanah basah dan abu pembakaran memenuhi udara, mencoba mengingatkan masa lalu yang sudah ia lupakan. Rumi melirik ke arah jendela, senyum tipis terukir di bibirnya saat melihat Riko yang masih setia menunggu di luar. Ia membuka jendela, memberi isyarat agar sahabat barunya itu masuk. Rumi menumpuk satu per satu cangkir kecil dan kendi ke dalam gerobak kayu. Sesekali, ia mengelus kepala Riko yang duduk tenang di dekatnya.
Tak sengaja, penglihatan Rumi menangkap seutas tali kusut terjuntai dari bawah gerobak. Ia menariknya perlahan, berniat memindahkannya. Mata Riko langsung tertuju pada ujung tali yang menjulur ke lantai. Anjing itu mengeram pelan dan mulai merunduk, seperti hendak berburu. Rumi menangkap gelagat itu. Ia tersenyum, lalu mulai menyeret tali itu perlahan, menggoyangkannya ke kanan dan ke kiri. Riko mencoba menangkap ujung tali yang menjulai. Rumi menariknya menjauh dan menggiring permainan itu ke tengah ruangan. Tawa riangnya membuncah, mengisi ruang yang telah lama beku. Kehadiran Riko berhasil menariknya keluar dari kekecewaan dan kehampaan. Di saat Rumi memutar tubuhnya untuk menghindari Riko, tak sengaja siku kecilnya menyenggol tiang rak bambu di dekat pintu, membuat kendi besar di atasnya tergoyang.
KRAAAKK!
PRANG!
Suara pecahan memenuhi ruangan. Serpihan kendi tersebar di lantai. Rumi berdiri terpaku, nafasnya tercekat, seolah semua udara keluar dari paru-parunya. Riko bersembunyi di dekat kakinya. Tak lama, pintu terbuka. Di ambangnya, berdiri Kela dengan bayangan memanjang di lantai. Ia perlahan masuk, matanya tertuju tajam ke arah serpihan di lantai yang menjadi saksi bisu kecerobohan adiknya. “Apa yang kau lakukan? Kau membawa hewan liar masuk ke dalam rumah? KELUAR DARI SINI! CEPAT!” tegas Kela dengan nada tinggi, suaranya bergetar menahan amarah yang meledak. Rumi melangkah pelan keluar ruangan diikuti Riko, sebelum akhirnya Kela menutup pintu dengan keras dari dalam.
BRAKKK!
Suara kayu berderak mengguncang seisi rumah, meninggalkan keheningan yang menggantung luka. Rumi pun tak pernah tahu bahwa dulu, kehadirannya datang di luar harap dan demi itu, orang tua mereka rela menggadaikan banyak hal, termasuk masa depan Kela.
Kela membersihkan pecahan kendi dengan hati geram. Tanpa disadari, gemerlap aneh muncul dari gelang kristal yang melingkar di tangannya. Gelang itu bersinar samar, seakan mengisyaratkan sesuatu. Mungkin saja sebuah peringatan atau petunjuk. Kela yang diselubungi oleh amarah, tidak memperhatikan indikasi tersebut. Rasa amarahnya seketika sirna saat telinganya menangkap jeritan Rumi yang menusuk jantung.
Aaaaaaaaaaaaaaaaargh!
Kela bergegas menengok jendela, ia melihat adiknya diseret oleh bayangan hitam raksasa dengan mata merah menyala dan taring yang besar mencuat keluar. Sosok mengerikan itu pergi membawa Rumi masuk ke dalam gelapnya hutan. Kela berlari mengejar sosok itu. Napasnya cengap, jantungnya berpacu dalam ketakutan. Tak peduli berapa kali ia tersandung akar pohon dan batu tajam, hatinya tetap teguh melangkah maju, menembus lebatnya hutan demi mencapai tujuan. Sialnya, ia kehilangan jejak, seakan lenyap ditelan kegelapan hutan yang pekat.
Gelang kristal Kela kembali menyala, memancarkan cahaya keemasan. Tak disangka, ribuan kunang-kunang bermunculan, memberikan penerangan di antara rimbunnya pepohonan. Kela perlahan mengikuti deretan kunang-kunang itu, seperti dituntun ke suatu tempat sembari memperhatikan sekelilingnya dengan waspada.
Tek!
Kela merasa menginjak sesuatu. Ia menunduk dan ternyata Itu adalah gelang kristal milik Rumi. Gelang yang Rumi buang. Gelang itu sama persis dengan yang ia pakai. Kela langsung berteriak memanggil, mengira adiknya tak jauh dari tempat itu. "Kak Kela, tolong aku...” “Hiks…hiks," suara tangisan itu muncul dengan samar. Kela terus mempercepat langkah kakinya, mengikuti arah suara yang kian menjauh menembus gelapnya hutan, meninggalkan kerlipan kunang-kunang di belakang.
Kabut tipis mulai menyelimuti. Kela merasa semakin khawatir, namun akhirnya lega bisa menemukan Rumi. Adiknya itu terpaku membelakangi jembatan kayu tua di seberang. Di depannya, deru arus sungai besar dari bawah jurang menganga. "Rumi! Ayo pulang! Ini sudah malam!" Teriak Kela, suaranya menggema. Rumi perlahan membalikkan badan dengan senyuman aneh yang tak pernah ia lihat sebelumnya. "Kak Kela pulang saja, Rumi ingin bermain dengan teman Rumi. Sampai jumpa, Kakak." Rumi melambaikan tangannya pelan, seolah berpamitan untuk selamanya. "Ayolah, Rumi, jangan nakal! Ayo cepat kita pulang!" Kela melangkah dengan tergesa melewati jembatan kayu tua yang reyot, hendak menjemput adiknya.
Krekk! BRAKK!
Papan yang dipijaknya runtuh. Untungnya, ia berhasil menggelantung pada ujung papan jembatan yang tersisa. "RumiI! Tolong!" Teriak Kela memanggil adiknya. ”DASAR BODOH! KAU SELALU MENYUSAHKAN! ANDAI KAU TAK ADA, PASTI HIDUPKU TAK AKAN SEPERTI INI! MENJAULAH DARIKU!” Kata-kata Rumi memantul dari dinding jurang berbatu, menusuk telinga kakaknya. Kata-kata yang dulu sering Kela lontarkan. Tak kuat menahan beban tubuh, papan yang dicengkeramnya patah. Teriakan sempat mengisi jurang sebelum dirinya tercebur ke dalam sungai yang bergejolak di bawah, arus sungai menariknya ke dasar. Dari dalam air, ia melihat bola api melintas cepat di atas permukaan sebelum pandangannya gelap.
Terang mentari menghapus fajar. Cahayanya menyadarkan Kela yang terdampar di tepi hilir sungai. Dari sudut mata, ia melihat adiknya terbujur tak sadarkan diri. Kela panik, seolah tak percaya dengan apa yang telah terjadi pada adiknya. Ia memeluk tubuh mungil itu dengan penuh penyesalan. Andai… andai saja aku lebih peduli, lebih mengerti… Tiap tetes air matanya jatuh ke wajah adiknya yang pucat. “Maaf, Rumi… Maafkan aku… Semua ini salahku…,” bisiknya. Air mata penyesalan membanjiri pipinya. Ia menyesal telah mengabaikan perasaan Rumi, perkataan yang terlontar dari bibirnya selalu pedas dan menusuk. Kela tidak mengerti kenapa penyihir jahat itu juga mengambil adiknya, setelah mengambil Ayah dan Ibu mereka.
Ia memasangkan gelang kristal Rumi, lalu menggenggam erat tangannya. Kela hanya bisa berandai waktu bisa diputar kembali. Gelang mereka berkilau serempak. Seketika, air sungai bersinar, memunculkan pusaran aneh yang membentuk sosok pria dan wanita dengan perwujudan absurd, namun kehangatan yang terpancar dari mereka terasa familiar. Kela tercengang. Kedua sosok itu berkata dengan lembut, "Sentimen dalam satu, bawa teluh pergi jauh." Suara mereka meresap ke dalam hati Kela, meski ia sulit memahami maknanya. Kedua sosok itu kemudian tumpah, percikannya mengenai mereka berdua.
Seketika Kela terbangun dengan keringat dingin membanjiri wajah, tubuhnya bergetar hebat. Ia mendapati dirinya tertidur di ruang gerabah. "Kakak mimpi buruk lagi, ya?" Tanya Rumi lembut di belakangnya. Kela berbalik mendekap Rumi erat, tangisnya pecah. Kela mengelus pipi adiknya yang penuh noda tanah liat. Rupanya, Rumi mencoba membuat ulang kendi yang dipecahkannya, meski hasilnya tak karu-karuan. "Tidurlah Rumi, ini sudah hampir tengah malam. Kita bisa membuat kendi yang baru besok. Ambillah buku ceritamu, Kakak akan membacakannya," ucap Kela dengan suara serak menahan haru. Mendengar hal itu, Rumi terperanjak. Ia merasakan kakaknya telah kembali bersikap seperti dahulu. Esoknya, Minggu pagi, sarapan telah siap. Rumi pergi ke kamarnya untuk membangunkan Riko, mengajaknya sarapan bersama. Riko tetap meringkuk di sudut kasur, tak bergerak sedikitpun, nafasnya juga tak nampak.