Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Jika dibandingkan dengan ilalang siapapun itu, pasti akan memilih mawar yang identik dengan duri dan candu akan merekah.
Kejadian itu, membuatku sadar dengan kehadiranmu. Maksudku, kamu yang hanya memilki dua pilihan untuk beberapa pelarian. Bertengger didepan lemari selama berjam-jam atau menonton drama korea di rumah. Ya, kamu telah terbiasa akan hal itu sebabnya pun kamu telah mengetahuinya. Parasmu yang mirip dengan mawar, merah merekah, indah nan mempesona, namun beribu duri yang akan membuat siapapun yang bersentuhan denganmu akan sakit atau bahkan berdarah. Semua dapat kurasakan dengan jelas sebagai sesama wanita.
“Seberapa jauh kamu tahu tentang aku? “
“Kamu mau aku sebutin mulai darimana? Dari kamu yang udah berhasil menjatuhkan rasa tulus Reymon, atau kamu yang menenggalamkan senyum Rino? “
“ Hm…., dari mana aja “
Aku sebenarnya tak ingin terlibat pada urusan cintanya yang bahkan tak bermanfaat bagiku, tapi entah mengapa setiap lelaki yang datang dan singgah padanya selalu datang padaku dan menumpahkan cerita duka rasanya padaku. Di sini bukan aku yang memainkan peran utama seperti di sinetron romantis kebanyakan.
Percakapan Itu adalah kali terakhir aku menceritakan tentang pasang mata baru yang terus mengikuti jalan hingga tingkahmu. Ia adalah pria terakhir yang tak sengaja tertangkap mataku, lalu semua pengamatan itu dimulai tanpa sepengatahuan otak sadarku. Percakapan yang sama di hari kemarin dan kemarinnya lagi menjadi makanan pokokku saat kita berpapasan di koridor perpustakaan, lagi dan lagi tentang pandangan yang selalu mengikuti alurmu.
Aku sedikit lelah. bukan iri. Sekali lagi bukan, hanya saja aku menyesal memiliki otak kritis yang malah membuatku seperti internet tanpa data, dan mengolah informasi kecil yang tak kubutuhkan menjadi rangkaian cerita yang nantinya pasti akan kamu tanyakan saat berpapasan di koridor perpustakaan. Kutekankan Sekali lagi, semua bekerja tanpa otak sadarku.
Hingga hari itu, genap sudah satu bulan, cerita itu rutin keluar dari mulutku. Esoknya adalah satu bulan lebih sehari, sekali lagi kita berpapasan dibilik kelas dan sesuai dugaanku kamu bertanya untuk yang kesekian kalinya, dengan topik yang sama dan awal percakapan yang tak jauh beda. Tapi kali ini aku hanya menjawabmu dengan senyum yang masam lalu pergi.
Minggu lalu ada pria yang terakhir kali kubahas dalam ceritanya, namanya Riko. Ia adalah ketua tim pengembangan budaya belajar di sekolah kami. Usai aku berlalu, Riko datang menghampiriku ketika aku sedang berada di kantin. Ia menyerangku dengan rentetan kata tanya yang tak kumengerti sama sekali apa maksdunya,yang kuingat dan bisa kucerna dari kata-katanya adalah ketika ia berkata bahwa,
“Gini, deh, Rin, apa maksudmu mengatakan dia seperti mawar yang penuh akan duri tapi merekah?"
"Aku hanya mengingatkan kalau dia mungkin bisa saja melukaimu."
“Yang pasti aku suka sama dia, yaa... anggap aja ini cinta monyet tapi aku percaya sama rasaku ini. Karena ia perempuan yang menarik perhartianku saat hari pertama ke sekolah.”
Reaksiku?
aku hanya melamun, mataku masih menatap lurus ke jalan koridor yang sepi. tak menanggapi obrolan penutup Riko. Hingga tak sadar, lawan bicaraku sudah berganti.
Kali ini juga aku hanya mendengarkan tak berminat untuk menanggapi obrolan ini. Dia menutup obrolan ini dengan mengungkapkan rasa yang harusnya ia berikan padamu, tapi malah menjadi obrolan penutupku dengannya
“ eh Rin, aku boleh tanya sesuatu gak?”
“ Rinai! Kok ngelamun sih?” Tepukan bahu itu menyadarkanku bagai lidi kecil yang tak sengaja tersangkut di gigi gerahamku yang bolong.
“Argh... kenapa, apa?”
“Kalau misalnya kamu diberi 2 pilihan yang membutuhkan keputusan cepat, tetapi maksudku bukan dalam kondisi yang terdesak. Kira-kira kamu akan memilih pilihan yang mana? Lalu kalau aku memutuskannya apa tidak terlalu cepat?"
Kamu bertanya panjang kali lebar, tetapi aku tak tahu urusan mana yang kamu maksud.
“Kalau tidak terdesak yang mana aja bisa kamu putuskan, lagipula semakin cepat itu semakin baik," Kujawab dengan pernyataan yang umum pula.
“ Hm...oke, aku bakal putusin sekarang, deh.”
Kamu pergi meninggalkanku dengan segelas vanilla latte favoritku diatas meja yang kuanggap sebagai sogokan.
Waktu istirahat melesat cepat bagai anak panah sang Permadi, cepat dan tepat. Karena pelajaran setelah ini adalah matematika. Dan pasti ada seratus soal latihan Integral menanti. Tapi, ada panggilan yang disengajakan untukku lewat temanku yang tempat duduknya berada dekat dengan pintu.
"Rin, dipanggil ketua OSIS penting katanya," bisik teman sebangkuku.
Akupun memutuskan untuk izin dari kelas matematika dan meninggalkan materi integral, lalu pergi keluar kelas untuk menemui ketua OSIS.
“Rin, nomor surat acara ini berapa, Rin?”
Ia menunjuk satu surat yang tersemat menjadi satu dengan proposal. Ini tak sekali aku izin meninggalkan kelas saat sedang mengerjakan tugas dari Pak Guru atau Bu Guru, itu karena aku termasuk salah satu dari badan pengurus harian OSIS di SMA ku, aku mengemban tugas wakil sekretaris yang bertanggung jawab atas nomor surat, dan koreksi berkas-berkas acara SMA kami.
“Oh, bentar - bentar ayo ikut aku ke kantor OSIS”
Seperti yang sudah kuduga. kantor OSIS yang gemboknya tak berfungsi sudah ramai oleh teman-teman yang membolos mulai dari kelas IPS hingga kelas IPA, dan tentunya tak terkecuali dari kelasku.
“ Oke, nomor suratnya 678, Pak Cip," itu adalah panggilan akrabku pada ketua OSIS.
“ Udah Rin, Ini langsung aku setor, ya? Atau mungkin kamu mau ngoreksi lagi?"
Kujawab cepat dengan gelengan, karena menurutku suratnya juga sudah rapi dan benar.
Usai memberitahu nomor surat aku langsung berbalik hendak bertolak ke kelas secepatnya sebelum tugas Integral jadi bertambah dua kali lipat.
“Rin! Rinai, tunggu! hiks,” Suaranya tak asing di telingaku. Sepertinya aku kenal dengan suara ini. Tapi aku enggan untuk berbalik dan mengikuti teman yang asyik bolos pelajaran itu.
Tapi tunggu!
Kenapa suaranya juga aneh. Apa dia sedang tersedu sekarang?
“Rinai, hiks.”
Dia menghentikan langkahku dengan menarik baju bagian lengan tanpa tenaga sedikitpun.
Barulah aku Terkejut karena sekarang seperti ada teori fur elise yang dicetuskan oleh Beethoven tentang betapa patah hatinya dia dihadapanku.
Matanya yang sekuat tenaga ia gunakan untuk menahan tangisannya, bahkan terlihat sangat merah dan lebih bengkak dariku saat menangis.
Bibirnya bergetar lemas seolah tak kuat lagi mengatakan mengatakan apapun kecuali namaku.
Bagaimana bisa aku tidak tahu, itu adalah suara khas yang sebulan terakhir membuatku tak sadar mengikuti alur plot ceritanya.
Riko.
Ia benar-benar tersedu-sedan seperti anak kambing yang merengek minta susu pada induknya.
Sepertinya ada hal yang membuatnya merasa sakit dan sedih sampai-sampai ia rela harus menerapkan bolos dalam pelajaran matematika kali ini.
"Rinai, dia udah memutuskan."
Ia menghela napas sejenak untuk menenangkan hatinya.
"Dia memutuskan aku untuk tidak pernah memperhatikannya lagi, dia menolakku tepat setelah aku bilang menyukainya."
"Benarkan, apa kataku barusan."
"Aku hanya mengingatkanmu untuk tidak terlalu jauh, karena semakin jauh pasti nantinya akan semakin sakit."
Riko hanya manggut-manggut dengan lemas tak berdaya.
“ Dia memang mawar, indah, merekah tapi berduri, hiks!!”
“Oke ini memang berat. Tapi, hei,kita kan masih SMA, masih muda, ngapain sedih gegara ditolak cewek."
Usai menenangkan Riko yang menangis karena ditolak mentah-mentah olehmu, aku kembali ke kelas untuk meneruskan kelas matematika intergal hari ini.
Saat pulang sekolah kamu menyapaku dan mengajakku untuk pulang bersama-sama dengan teman satu kelasmu.
"Hai, Rinai.""
"Oh, Hai, Wit, yang kamu maksud memutuskan saat itu apa itu maksudnya memutus hubunganmu dengan orang lain?"
"Iya, sebenarnya aku hanya ingin memutuskan Kak Meru tadi. Lalu menerima hati dari teman satu kelasnya."
Kamu berhenti menjelaskan sejenak dan menghadap lurus ke depan seolah itu hal yang serius bagimu.
"Tetapi, setelah aku memutuskan Kak Meru ada seorang lelaki yang kamu bicarakan kemarin datang memberiku sepucuk surat yang berisi puisi."
"Puisi itu sangat indah, tetapi aku tak suka karena perhatian yang tertulis di surat itu sangat jelas dan tulus." Jawabmu dengan sangat hati-hati.
Dan begitulah percakapan terakhirku dengan Riko dan denganmu. Setelah itu kenaikan kelas 12 membuatku sibuk mengurus syarat prasyarat Ujian Nasional.
Dan sekali lagi, Riko seperti kerikil yang sengaja dilemparkan kedalam sungai.
perlahan tapi pasti, Ia tenggelam mengikuti kerikil-kerikil yang sengaja dibuang oleh orang yang sama, hanya soal waktu yang berbeda.
Seperti Gilang, Romi yang telah mendahului Riko dan menghilang dengan cara yang sama lalu mereka muncul dengan segudang latar kebangkitan yang berbeda.
*****
Saat menjalani kuliah di Bandung, tepatnya pada tahun kedua aku bertemu kembali dengan Riko. Badannya terlihat lebih sehat daripada saat dia di SMA dulu. Tubuhnya dipenuhi dengan otot yang juga tak terlalu besar.
Ia belajar teknik juga tetapi berbeda jurusan denganku. Kami menjalani banyak jalan, hingga kadang-kadang kenangan masa lalu yang menyakitkan itu kutertawakan bersamanya.
Aku dan Riko cukup sering bertemu saat kuliah, dari yang hanya sekedar makan bersama hingga saling mengerjakan tugas bersama.
Hingga pada saat kelulusanku Riko datang dengan membawa kotak kecil dengan cincin di dalamnya, cincinnya simpel tapi mewah.
Saat itu hatiku yang terbiasa dengan keberadaan Riko, juga merasa ada suatu getaran yang berbeda saat SMA dulu.
Nyaman, suka, dan aman.
***
“Riko, besok reunian SMA loh!”
“Sht...volume bicaranya dikecilin dikit, dong, Rin, bidadari kecil kita nanti bangun,”
Ya, betul sekali. Hari itu kuterima lamaran Riko dan membangun rumah tangga bersama bidadari kecilku yang cantik dan manis. Menik.
“Gimana ya kabar si Juwita?” Tanyaku iseng pada Riko.
“Dia masih seorang mawar, apa kamu nggak tahu itu, waktu aku kumpul sama temen-temen, banyak yang bilang gitu, sih."
"Ia masih berduri aku tak tau mau sampai kapan ia mempertahankan durinya, dan terpaksa orang disekitarya juga ikut berdarah, begitu kalau kata Mas Meru,” Riko berbicara tanpa jeda sedikitpun.
“ Hei santai saja, aku sebagai sesama wanita hanya mengkhawatirkan itu saja, kok, tak lebih tak kurang."
“sudahlah, ayo tidur, Yang.”
Pagi ini, Aku dan Riko bangun terlambat, tak tau sudah nasib reuni SMA itu bagaimana.
Kami tergesa-gesa tak tau arah. Hampir saja kita lupa membawa Menik. Rasanya darah muda saat SMA seketika mengalir dan lupa kalau kita memiliki bidadari kecil yang memberi kita anugerah besar dalam hidupku dan juga Riko.
Tak diragukan lagi suasana ramai, dan kami menjadi sorotan utama. Karena, teman-teman dulu menganggapku dan Riko hanya gumbulan karakter minion, yang jika dilihat dari sisi manapun tidak akan cocok menjadi pasangan.
Apalagi terdapat kehadiran Menik yang membuat suasana makin tambah ramai. Di antara segerombol temanku yang menguyel-uyel Menik,terdapat sosok wanita yang perlahan menghampiriku dan Riko, seperti bola pasir yang terbalik dan menumpahkan semua nostalgia itu.
Aku merasa dilempar pada peristiwa enam tahun yang lalu, betapa malunya memperhatikan dan dengan naifnya menjadi penasihat dari drama cinta monyetnya masa SMA.
Pertama-tama pandangannya tertuju pada Riko yang memakai jas rapi lengkap dengan dasi polkadot favoritnya, ia maju selangkah dan menjabat tangan Riko.
“Riko, aku minta maaf atas kejadian enam tahun lalu, dan apa kamu tahu?"
Aku dan Riko saling berpandangan dan mengedikkan bahu.
“Lelaki yang bersamaku saat ini adalah Nama, teman sebangkumu dulu. Nama tak cocok denganku dan kurasa sekali lagi mungkin ia berdarah terkena duriku, setelah kuputuskan kemarin."
"Aku selalu ingat katamu dulu yang mengibaratkan aku sebagai mawar. Kamu benar, dan aku sedih semuanya telah terjadi, ini sudah mencapai batas kebiasaanku, jujur saja aku sendiri merasa tak mampu mengatasi ini. Kuakui, aku memang mawar yang penuh dengan duri.”
Ia bercerita dengan sisi melankolis yang sangat bagus, tapi itu murni. Ia terlihat buruk saat ini.
Usai menjabat tangan Riko ia menjabatku dan memelukku.
"Terimakasih sudah mengingatkanku dulu, Rin. Maaf membuatmu repot selama ini."
“Oh, iya, ini kok lucu banget, putrimu, Wit? Hai adek namanya siapa?” Aku mencoba mencairkan suasana, yang mungkin sebentar lagi pasir nostalgia itu tak membiarkan kantung kacanya habis.
“Oiya, ini Gia, dia anak dari Meru, kakak kelas pebasket dulu, Aku ke aula dulu, ya, acara sudah mau dimulai.”
Juwita pergi meninggalkanku dan Riko yang berdiri terpaku sambil menggendong Menik.
GLEKK.
"Betul kata Riko, Juwita masih sama. Masih menjadi mawar. Durinyapun juga masih menyakitkan."
Riko menatapku sejenak dan menuntunku menuju tempat acara.
Setelah acara reunian tadi, malamku terjaga dan aku benar-benar bersyukur.
Berkat nasihat tua itu aku mampu menerima diriku bahwa,
"Aku adalah ilalang, dan jika dibandingkan dengan ilalang siapapun akan memilih mawar yang identik dengan duri, dan candu akan merekah."
Tapi setidaknya aku bersyukur bahwa sang ilalang ini tahu diri, dan selalu tabah walaupun kadang harus diinjak.
“Tidurlah Rinai, sayang, sekarang giliranku untuk menjaga Menik.”