Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Derita Ketua Osis
0
Suka
38
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

DERITA KETUA OSIS

(Susah Senang di Balik Jabatan yang Katanya Keren)

(Awal yang Salah Total)

Semua orang yang bilang jadi Ketua OSIS itu keren, mereka pasti belum pernah merasakan stres yang luar biasa yang datang bersama jabatan ini. Kamu mungkin mengira kalau jadi Ketua OSIS itu seperti hidup di atas awan—dihormati guru, populer di kalangan teman-teman, dan yang paling penting, punya alasan untuk bolos pelajaran dengan kata-kata "Ada urusan OSIS."

Dulu, aku juga berpikir begitu. Bahkan, saat pengumuman pemilihan Ketua OSIS, aku sempat berpikir, "Kenapa nggak aku aja?" Karena jujur, di sekolahku, Ketua OSIS adalah sosok yang cukup terkenal. Semua orang tahu dia, dan banyak yang menaruh harapan tinggi padanya. Kamu jadi pusat perhatian, bisa mengatur acara keren, dan rasanya seperti bisa memegang kendali atas segalanya.

Tapi, begitu aku terpilih, semuanya berubah. Ternyata, tak ada yang memberitahuku betapa besar tanggung jawabnya, dan lebih parah lagi, betapa banyak hal yang bisa salah.

Hari pertama aku menjabat, aku sudah dipenuhi rasa optimis. Aku ingin membuat perubahan, ingin membawa OSIS ke level yang lebih tinggi. Tetapi harapan itu langsung diuji begitu aku menginjakkan kaki di sekolah pagi itu.

Reza, Wakil Ketua OSIS-ku, datang dengan wajah panik, membawa kabar buruk.

"Ketua! Ada masalah besar!" teriaknya, suaranya cemas.

Aku baru saja duduk di kantin, niatnya mau makan siang setelah mengikuti rapat internal OSIS. Tahu-tahu, masalah datang menghampiri.

"Masalah apa lagi, Reza?" aku bertanya, sambil berharap itu bukan sesuatu yang serius.

"Panitia pensi salah pesan kaos panitia! Semua ukurannya XXXL!"

Aku langsung membelalakkan mata. "XXXL?!"

"Y-ya..." Reza menjawab, "Semua kaosnya kebesaran banget."

Aku memijat pelipisku, mencoba untuk tidak kehilangan kendali. "Oke, kita harus cari solusi sekarang juga. Gimana kita bisa cari sablon dadakan atau kita bilang aja itu trendi?"

Begitulah, hari pertama aku jadi Ketua OSIS sudah diwarnai dengan masalah yang tak terduga.

(Masalah yang Tidak Ada Habisnya)

Selama tiga bulan pertama menjabat, aku mulai merasa seperti tempat pembuangan masalah bagi semua orang di sekolah. Setiap kali aku berjalan di koridor, pasti ada yang menghampiriku dan mengajukan permintaan atau keluhan. Beberapa waktu aku hanya ingin berjalan santai, menikmati waktu makan siang, tapi malah…

"Tunggu, Ketua!"

Lala, sekretaris OSIS, datang dengan wajah cemas. "Anggaran proposal kita belum disetujui Kepala Sekolah!"

Aku hampir tersedak. "Loh, kenapa?"

"Katanya anggarannya terlalu besar, dan ada anggaran ‘snack’ yang agak mencurigakan..."

Aku menatap Reza yang sedang duduk di sebelahku, sambil memegangi cangkir kopi. "Reza, lo ngasih anggaran buat beli snack buat kita lagi?"

Reza cuma nyengir. "Ya, kan rapat biasanya lebih seru kalau ada camilan."

Aku menarik napas panjang. "Yaudah, nanti kita revisi proposalnya."

Lala mengangguk dan pergi, dan aku kembali mencoba menikmati makananku. Tapi, tak lama setelah itu...

"Ketua! Perpustakaan butuh tambahan buku baru!"

"Ketua! Ada yang ribut di kelas XII IPA 3!"

"Ketua! Kita butuh MC buat seminar!"

Aku hanya bisa menatap mereka dengan pandangan kosong. KETUA OSIS ITU BUKAN TUHAN, WOY!

Kenapa setiap masalah sepertinya mengarah padaku? Kenapa semuanya harus lewat aku? Aku hanya ingin makan, tidur, dan melupakan semua masalah ini.

Tapi tidak, aku harus tetap berdiri. Semua orang mengandalkan aku.

(Diambang Stres, Aku Hampir Menyerah)

Tiga bulan berlalu, dan puncak penderitaanku datang tepat sebulan sebelum festival sekolah. Masalah menumpuk, tak ada jalan keluar. Tugas menumpuk, proposal belum disetujui, sponsor belum ada, bahkan band pengisi acara tiba-tiba batal tampil.

Di ruang OSIS, aku duduk terpekur di depan laptop. Mata lelah, tubuh pegal, dan jantung berdegup kencang. Rasanya aku mau meledak.

Reza duduk di sebelahku, dengan wajah yang hampir sama lelahnya. "Ketua... lo nyesel nggak sih jadi Ketua OSIS?"

Aku hanya bisa tertawa kecut. "Setiap hari."

Pintu ruang OSIS terbuka, Bu Rina, guru pembina OSIS, masuk dengan ekspresi serius. "Anak-anak, ada masalah."

Aku sudah tahu ini pasti masalah besar. "Apa lagi, Bu?"

"Sponsor utama kita batal mendanai acara."

Aku dan Reza langsung membeku.

"Jadi... kita nggak punya dana?" tanyaku, hampir putus asa.

Bu Rina mengangguk pelan.

Aku ingin sekali menangis, rasanya seperti semua usahaku sia-sia. APA GUNANYA JADI KETUA OSIS KALAU UJUNG-UJUNGNYA MISKIN?!

Reza menepuk pundakku. "Ketua, mungkin kita bisa cari sponsor lain..."

"Tapi waktunya udah mepet, Reza! Satu bulan lagi acara!"

Kami berdua terdiam. Lala tiba-tiba angkat tangan.

"Kita bisa jualan merchandise! Kaos, tote bag, stiker... itu bisa nambah dana."

Aku menatapnya. "Itu ide yang bagus."

Maka, kami semua menjadi pengusaha dadakan. Kami bikin desain, cari bahan, dan mulai jualan.

(Festival Sekolah yang Hampir Berantakan)

Hari festival sekolah tiba, dan aku bisa merasakan jantungku berdebar kencang. Aku berdiri di depan panggung, mencoba tetap terlihat tenang. Semua persiapan tampaknya berjalan lancar.

Booth makanan sudah siap, dekorasi hampir sempurna, dan panitia mengenakan kaos baru yang sudah dicetak ulang (untunglah ukurannya pas!). Bahkan sound system berjalan lancar.

Namun, tentu saja, hidup Ketua OSIS tak pernah berjalan mulus.

Satu jam sebelum acara puncak dimulai, Reza datang dengan wajah pucat. "Ketua... kita ada masalah besar."

Aku hanya menatapnya, sudah bisa menebak apa yang akan dia katakan.

"MC-nya... menghilang."

Aku sudah pasrah. "Apa?!"

"Katanya dia sakit perut gara-gara makan kebab basi."

Aku menatap langit, berharap ada mukjizat yang datang menolong.

"Terus, siapa yang jadi MC?" tanyaku.

Reza diam sebentar, lalu menunjuk...

"Lo!" katanya, sambil menepuk pundakku.

Aku menatap diri sendiri, tak percaya. "Gue?!"

"Lo Ketua OSIS! Lo pasti bisa!"

Aku hanya bisa menghela napas. Tidak ada pilihan lain.

Dengan hati yang berdegup kencang, aku melangkah ke panggung. Tanpa skrip, tanpa persiapan, aku mencoba menjadi MC yang memimpin acara festival sekolah. Ajaibnya, aku bisa mengendalikan acara dengan gaya yang cukup menghibur. Mungkin karena saking bingungnya, aku malah jadi lucu.

Semua orang menikmati acara. Aku akhirnya bisa duduk dan menikmati segelas es teh setelah semuanya selesai. Tapi tidak lama kemudian...

"Ketua, mana laporan pertanggungjawaban acara?"

Aku langsung merasa lemas. KENAPA PENDERITAANKU BELUM SELESAI?!

( Setengah Gila Karena Deadline)

Waktu berlalu begitu cepat. Sekarang kami berada di minggu terakhir sebelum acara besar, dan rasanya seperti dunia ini ingin melawan kami. Setiap langkah terasa semakin berat, seperti ada ton berat yang dipikul di punggungku.

Aku bahkan mulai mengenali suara dering telepon atau panggilan yang datang seperti suara kematian. Jika ada satu hal yang pasti, itu adalah: Tidak ada satu hari pun yang berlalu tanpa masalah baru.

Pagi itu, aku baru saja datang ke sekolah, berharap hari ini bisa sedikit lebih tenang. Namun, harapan itu hilang dalam sekejap.

Di depan gerbang sekolah, aku sudah disambut oleh seseorang yang membawa berita buruk.

"Ketua!" Lala berlari mendekat dengan wajah panik, "Ada masalah besar lagi!"

Aku menghela napas, merasa seperti orang yang akan jatuh ke jurang. "Apa lagi, Lala?"

"Sponsor kita yang kedua… batal juga!"

Aku berhenti, menatap Lala dengan kosong. "Jadi, sekarang kita bener-bener gak punya uang untuk acara?"

Lala mengangguk dengan wajah muram.

Aku memijat pelipis. Kenapa hidupku jadi seperti ini? Apa salahku sampai dibebani semuanya?

"Sabar, Lala. Kita cari cara. Pasti ada jalan."

Aku mencoba bicara tenang, padahal hatiku rasanya hampir meledak. Sepertinya, masalah ini tidak ada habisnya.

"Harus ada jalan," kataku, lebih pada diriku sendiri.

(Ujian Kepercayaan, Ujian Kesabaran)

Festival semakin dekat. Semua orang semakin stres, dan aku mulai merasakan tekanan yang luar biasa. Reza datang dengan wajah lesu, menunjukkan laporan terkini yang sudah lebih banyak merahnya daripada hitam.

"Ketua, ini buruk," katanya sambil menunjuk ke laporan anggaran yang penuh catatan.

"Berapa yang hilang kali ini?" tanyaku sambil mengerutkan dahi.

"Kalau kita tidak dapat sponsor, kita bakal kekurangan dana sekitar 30%."

Aku terdiam, berpikir keras. Harus ada cara lain. Kalau tidak, festival ini bisa gagal.

Setelah beberapa waktu, aku memutuskan untuk mengumpulkan semua orang yang terlibat dalam acara ini. Kami duduk melingkar di ruang OSIS, memikirkan ide brilian yang bisa menyelamatkan semuanya.

Akhirnya, Lala muncul dengan sebuah ide yang tidak terduga:

"Kita coba crowdfunding. Kita bikin poster, ajak orang untuk berdonasi."

Ide itu sepertinya terlalu sederhana, tapi juga genius.

"Kita coba," kataku, setengah ragu, setengah optimis

(Dari Keterpurukan Menuju Keajaiban)

Beberapa hari kemudian, dengan perjuangan keras, kami mulai menggencarkan kampanye crowdfunding. Kami membuat poster yang keren, mengajak semua siswa untuk ikut serta dalam acara. Ternyata, dukungan dari teman-teman sekolah sangat luar biasa.

Meski ada yang cuma memberi sedikit, semuanya terasa seperti bentuk solidaritas yang sangat berarti. Hari-hari penuh perjuangan dan rasa lelah akhirnya membuahkan hasil. Dalam waktu singkat, kami berhasil mengumpulkan cukup dana untuk menutupi kekurangan yang ada.

Tetapi tentu saja, hal itu tidak berarti semuanya berjalan mulus.

Kami masih punya masalah. Salah satu masalah besar yang belum selesai adalah menyiapkan band pengisi acara.

Setelah dibatalkan beberapa kali, akhirnya kami berhasil mendapatkan band lokal yang sangat terkenal di kalangan siswa. Mereka menerima tawaran kami setelah beberapa negosiasi yang memakan waktu berhari-hari.

Namun, meski semua tampaknya mulai terkendali, masalah besar masih belum selesai. Ternyata, ada masalah teknis dengan peralatan sound system.

Satu jam sebelum acara, sound system tiba-tiba rusak. Semua orang panik. Aku berdiri di tengah keramaian, melihat semua orang berlarian ke sana kemari, seolah-olah dunia ini hampir runtuh.

"Kenapa sih, sekarang?! Ada satu jam lagi!"

Aku berteriak dalam hati. Waktu terasa berjalan lambat, tetapi kekecewaan dan kecemasan membuncah.

Dengan sisa tenaga yang ada, aku memutuskan untuk tetap tenang dan mencari solusi.

Akhirnya, kami berhasil menemukan teknisi yang siap datang ke lokasi untuk memperbaiki masalah. Dengan tekad bulat, acara festival pun tetap berjalan meski dengan beberapa penundaan kecil.

. Keberhasilan yang Terlambat

Festival akhirnya selesai dengan penuh suka cita. Semua orang menikmati acara, dan meski ada beberapa kendala, semuanya berjalan lancar. Aku bisa melihat wajah senang teman-temanku, bahkan beberapa guru pun tersenyum melihat hasil kerja keras kami.

Tapi, di balik kegembiraan itu, ada satu hal yang tetap mengganggu pikiranku:

Apakah semua ini benar-benar sepadan?

Aku memandangi wajah-wajah yang bahagia di sekitarku dan merenung. Terkadang aku merasa seperti hidupku penuh dengan drama yang tak berkesudahan, dan terkadang aku merasa bahwa jabatan ini membawa lebih banyak beban daripada kebanggaan.

Aku berdiri di samping panggung, memandangi kerumunan yang bersorak, dan bertanya pada diriku sendiri:

"Apakah aku menyesal?"

(Apakah Aku Menyesal?)

Setelah festival yang luar biasa, setelah semua keributan yang berlalu, pertanyaan itu akhirnya muncul.

"Apakah aku menyesal menjadi Ketua OSIS?"

Aku bisa saja menjawabnya dengan cepat. Bisa saja aku berkata, "Iya, aku menyesal." Tapi kenyataannya, jawabanku tidak sesederhana itu.

Mungkin benar, aku lelah. Mungkin benar, aku sering merasa tertekan dan kewalahan. Tapi, aku juga belajar banyak.

Aku belajar bagaimana mengatasi masalah yang datang bertubi-tubi, bagaimana berkomunikasi dengan teman-teman, dan yang terpenting, aku belajar untuk tidak menyerah ketika semuanya terasa sulit.

Jabatan ini, meskipun penuh tekanan dan sering membuatku merasa hampir gila, juga memberiku keberanian untuk terus maju, bahkan saat segala sesuatu tampak kacau.

Jadi, jawabanku adalah…

"Kadang aku menyesal, tapi sebagian besar, aku merasa bangga."

Karena jabatan ini memberiku lebih dari sekadar gelar Ketua OSIS. Jabatan ini memberiku pelajaran hidup yang tak akan pernah bisa diajarkan di ruang kelas mana pun.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Skrip Film
Bahagia Untuk April
Yennie Soekanta
Cerpen
Perjamuan Malam Sullivard
Populartflower
Cerpen
Derita Ketua Osis
Ghiyas
Novel
Mahasiswa Pinggiran
choirin nofianti
Novel
Cinta di negara jam
Author WN
Novel
Bronze
Pasienku pasanganku
Author WN
Novel
Jangan seperti ibu nak!
Author WN
Novel
Dalam Bayangan Sirosis
Abdisita Sandhyasosi
Skrip Film
KEMBALI KE HIJRAH
Halvika Padma
Skrip Film
Pesan Dari Surga
Dewi sartika
Novel
Letters of a Liar
Yoga Arif Rahmansyah
Novel
Bronze
Kapan dan Bagaimana Hidup Mesti Diakhiri
Mufti Wibowo
Skrip Film
Sweet Disposition
Angeline Kartika
Flash
Cinta di Balik Layar
Vika Rahelia
Novel
Bronze
Langit Kala Senja
dita heriwiendyasworo
Rekomendasi
Cerpen
Derita Ketua Osis
Ghiyas
Flash
Bronze
OJOL
Ghiyas
Flash
Bronze
Cinta Di Antara Ayam Penyet
Ghiyas
Flash
Kisah Tragis Seekor Kecoak dan Harga Diri Lelaki
Ghiyas
Novel
Lika liku mahasiswa farmasi
Ghiyas
Flash
Bronze
Kencan online gatot(gagal total)
Ghiyas