Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Denting Genta Angin Ararya
0
Suka
2,560
Dibaca

Tut... Tut... Tut...

Belum juga ada tanda-tanda bahwa penerima panggilan ini akan segera menjawab hingga nada tunggu membosankan itu berakhir. Alka kembali menekan nomor tujuan dan menunggu kembali. Saat nada tunggu itu hampir usai, terdengar suara "beep" yang menandakan bahwa panggilan tersebut akhirnya diangkat.

“Ar, kamu udah bangun?” tanyaku pada kekasihku yang akhirnya mengangkat panggilan setelah percobaan yang ke empat kalinya.

“Ehm, udah, Al. Baru aja. Kamu lagi siap-siap ya?” tanya pria yang beberapa jam lagi akan menjadi suamiku itu. Terdengar jelas ia masih dihinggapi rasa kantuk.

“Yap, aku lagi siap-siap mau dirias. Kamu tidur jam berapa emang?” Aku letakkan ponselku di meja kamar dan menyalakan speakernya lalu aku bersiap mengganti bajuku sebelum mulai dirias.

“Hm, entahlah. Ga bisa tidur. Jam 2 deh kayaknya.” Suara Arar masih terdengar malas.

“Kenapa? Deg-degan ya?” godaku.

“Hehehe, kaya kamu engga aja.” Terdengar suaranya mulai bersemangat, aku bisa membayangkan wajahnya yang tersenyum malu. Pasti saat ini ia sedang mengusap ujung hidungnya. Membayangkannya membuatku tersenyum.

“Hehe, yauda kamu bangun, mandi, terus sholat subuh ya. Jangan lupa sarapan dulu.” ucapku lalu mengakhiri panggilan ini. Tepat saat aku selesai mengganti baju dengan kamerjas putih, MUAku sudah mengetuk pintu bersiap untuk merias jadi pilihan tepat aku segera mengakhiri panggilan ini.

Hari ini, aku dan kekasihku memutuskan menikah dengan sederhana. Pernikahan yang hanya akan dihadiri oleh keluarga, sahabat dan beberapa teman dekat kami. Bukan pernikahan mewah tapi pernikahan yang sesuai dengan impian kami. Rasanya kami hanya ingin membagi kebahagiaan ini pada orang-orang terkasih kami, agar mereka bisa memaknai tahap baru hubungan kami dan melantunkan doa tulus untuk kami.

Bahkan jika dihitung-hitung, tamu kami tidak sampai 100 orang. Pernikahan ini juga tidak kami lakukan di gedung mewah, kebetulan di apartemen kami ada danau buatan dengan taman yang dibangun tepat di pinggirnya. Lalu kami memutuskan akan melakukan janji suci kami di sana, tentu saja dengan pesta sederhana. Namun kami yakin, perasaan tulus kami, cinta kami dan kebahagiaan yang kami satukan hari ini akan jauh lebih mewah dari pesta manapun. Apa-apa yang didasari rasa tulus akan berakhir indah, bukan? Dan sebuah ketulusan adalah salah satu hal paling mewah menurutku.

Setelah selesai merias wajah, aku mulai mengganti bajuku dengan gaun sederhana yang kupilih bersama Arar. Sebuah gaun berwarna putih tulang dengan lengan panjang yang dihiasi renda sederhana di ujung lengan serta hiasan renda lain di kerah dengan model shanghai dan juga di ujung gaunku yang tak berekor. Tepat pukul 07.00, aku sudah siap dengan riasan dan gaunku. Mama menyuapiku dengan puding dan buah agar perutku terisi sembari menunggu kabar Arar, calon suamiku. Kebetulan Arar menginap di hotel yang berjarak kurang lebih 20 menit dari apartemenku. Aku bersiap turun dan menuju cafe dekat taman tempat kami akan mengucap janji suci. Sebuah cafe yang memang kami sewa untuk ruang tunggu dan coffe break selama acara nanti.

Aku melihat dari jauh taman di pinggir danau yang sudah dihias indah. Dari balik kaca ruangan ini, aku dapat melihat jelas pagar pembatas taman yang dibangun menjorok ke arah danau. Pagar itu sudah dihias dengan bunga krisan berwarna putih, pink, kuning dan juga bunga baby breath. Di sudut paling ujung taman yang menjorok ke danau, sudah siap meja dan kursi yang juga dihias indah serta ditata dengan rapi. Hal yang paling menonjol adalah hiasan bunga melengkung di ujung taman yang terdapat sebuah genta angin di tengah-tengahnya. Arar pernah mengatakan jika ia begitu menyukai suara dentingan genta angin, menurut dia, dentingnya membuat tenang dan nyaman. Ia bahkan sudah membeli genta angin yang nantinya akan ia pasang di apartemen kami.

Ya, apartemen yang sejak tadi aku bicarakan adalah apartemen kami, apartemen yang kami beli bersama sejak setahun lalu. Namun, baru aku tinggali satu bulan yang lalu saat kami mempersiapkan pernikahan kami. Kami memang menabung untuk membeli apartemen ini dan menjadikannya tempat tinggal kami setelah menikah. Arar pasti akan memasang genta anginnya di balkon agar angin dapat mengoyangnya. Senyum kembali menghiasi bibirku membayangkan kehidupan kami berdua setelah mengucap janji suci ini. Rasanya aku tak sabar menunggu beberapa menit kedepan untuk menjadi Nyonya Ararya. Ah, kenapa waktu terasa begitu lambat?

“Ma, Arar belum sampai?” tanyaku setelah membalikkan badan dan melihat jam dinding cafe yang sudah menunjukkan pukul 08.47.

“Belum, Mama dari tadi telpon Arar kok ga diangkat ya, Al?” tanya Mamaku dengan wajah yang sedikit khawatir. Perasaanku jadi tidak enak melihat itu.

“Coba, Ma, hapeku di mana ya?” tanyaku mulai melihat sekeliling dan mencoba menemukan ponsel pintarku hingga tiba-tiba Kakakku masuk cafe dengan tergopoh-gopoh dan menambah kekhawatiranku.

“Al, Ma, Pa,” ucapnya terhenti sejenak untuk mengatur nafas. Sebelum ia melanjutkan kata-katanya, ia memandangku dengan prihatin, “Al, yang kuat ya?”

Aku tak tahu apa yang terjadi tapi melihat Kakakku, perasaanku menjadi semakin tak enak, seolah ada pisau yang perlahan menyayat hatiku. Akan ada hal besar yang sebentar lagi menghancurkanku.

“Kenapa, Rei? Ada apa?” tanya Papaku tak sabar yang diikuti oleh Mama.

Kakakku memandangku, Papa dan Mama bergantian lalu menelan ludah sebelum akhirnya berbicara. “Arar kecelakaan di jalan menuju ke sini dan....” Kata-kata Kakakku kembali terputus dan luh yang meleleh di sudut matanya. Dengan jemari tangan kirinya, ia menarik rambutnya kebelakang dengan frustasi. Ia memandangku lagi dengan prihatin, seolah ia tahu akan sesakit apa aku hingga sebelum mengatakannya pun ia sudah bisa merasakan sakitku dan membuatnya menangis.

“Dan apa?” tanya Mamaku tak sabar lalu menghampiri Kakakku.

“Al,” Kakakku kembali menggigit bibirnya, “Arar meninggal di tempat.”

Ruangan yang berisi beberapa sahabatku dan juga keluargaku mendadak menjadi riuh. Mamaku melihatku dan langsung berjalan cepat menghampiriku. Otakku kosong selama beberapa detik. Pisau yang awalnya secara perlahan menyayat hatiku, kini membelah hatiku dengan buas, mencabiknya, berkali-kali. Aku mendengar denting genta angin yang entah dari mana sebelum pandanganku gelap dan tubuhku jatuh.

***

Ting! Ting! Ting!

Mataku terbuka. Aku memandang langit-langit apartemenku. Pandanganku beralih ke arah balkon, ke arah genta angin yang Arar beli dulu dan tergantung di luar jendela. Ia berdenting disapa angin. Denting genta angin yang membangunkanku dari mimpi buruk yang hampir selalu mengisi tidurku sejak 3 tahun lalu. Aku memejamkan mataku lagi dan menekan dadaku yang nyeri. Berharap dapat meredam sakitnya walau sepertinya sia-sia. Aku sudah melakukannya hampir tiga tahun, namun waktuku terhenti di kenangan pada hari itu, ketika denting genta angin Arar berbunyi bersama kabar kepergiannya tepat di hari pernikahan kami. Aku terjebak pada kenangan hari naas itu dan belum bisa keluar sampai sekarang. Di setiap denting genta angin yang berbunyi, itu menjadi tanda titik henti waktuku bersamanya.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Romantis
Cerpen
Denting Genta Angin Ararya
Akyan Kala
Flash
Dongeng Senja
Liz Lavender
Novel
I Want To Love You
Shell Shell
Novel
Gold
Dilan 1991
Mizan Publishing
Novel
Gold
Game Over Club
Mizan Publishing
Novel
Ambar Merah
Dhea FB
Novel
BAPER: Balon Perindu
Priy Ant
Novel
RATU SEJAGAT
Bintang Maharani Rahmania Putri
Novel
Gold
ASAL KAU BAHAGIA
Falcon Publishing
Cerpen
Bronze
Pesawat Kertas
Imajinasiku
Novel
Gold
ME(N)U
Mizan Publishing
Novel
Bronze
My Boss?
Tania
Novel
Biarkan Air Mengalir Sebagaimana Hujan
dari Lalu
Cerpen
Bronze
Berhenti disini
Zasenja
Skrip Film
Cincin Origami
Vebrian D. Langkai
Rekomendasi
Cerpen
Denting Genta Angin Ararya
Akyan Kala
Cerpen
Amaryllis, Simbol Dara dan Mandala Bunga
Akyan Kala
Novel
Sengkela
Akyan Kala
Novel
Mbok Nar : Cidro, Klenik dan Akhir Cintanya
Akyan Kala