Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Annisa senang sekali punya tetangga baru. Anak perempuan seumurannya, bernama Erica, pindah ke rumah sebelah bersama mamanya.
"Aku Annisa."
"Aku Erica."
Kedua bocah berusia sepuluh tahun itu saling berjabatan tangan. Mengenalkan diri masing-masing.
"Senang, deh aku punya teman baru," ungkap Annisa.
"Aku juga. Baru pindah udah dapat teman baru." Senyum Erica mengembang setelah bertemu Annisa.
Sejak hari pertama bertemu, mereka langsung akrab.
Erica adalah anak tunggal. Papa dan mamanya belum lama ini resmi bercerai. Sang papa sudah menikah lagi dengan wanita selingkuhannya. Mereka menetap di kota lain, tepatnya di Kalimantan. Sekarang Erica hanya tinggal bersama mama dan seorang pengasuh bernama Teh Syilla.
Sang mama mempekerjakan pengasuh karena dia harus bekerja setiap hari, banting tulang demi menafkahi keluarga kecilnya. Mantan suaminya itu yang merupakan papa kandung Erica, hanya sesekali mengirim uang, itupun hanya cukup untuk jajan Erica.
***
Suatu siang, saat libur sekolah, Annisa diundang bermain ke rumah Erica. Meski, hari Minggu, Mama Erica masih ngantor.
Mereka bermain di kamar Erica yang penuh dengan mainan. Yang paling menarik tentu saja koleksi boneka Barbie Erica. Ada puluhan! Cantik-cantik. Diletakkan rapi di rak dan lemari kaca. Semua Barbie itu dibelikan oleh sang papa dengan variasi harga berbeda-beda dan cukup mahal.
"Lihat, ini Barbie dokter, ini Barbie peri. Yang ini Barbie rock star!" kata Erica bangga, sambil menunjukkan satu per satu.
Annisa terpukau. Dia hanya punya dua boneka Barbie di rumah.
Tiba-tiba Erica menunjuk satu boneka yang tergeletak di sudut lemari. Barbie berambut hitam keriting, kulitnya hitam, mengenakan gaun biru langit. Cantik juga, pikir Annisa.
Tapi raut Erica berubah kesal. Ia mengangkat boneka itu kasar.
"Ini jelek banget! Aku udah bilang ke Papa aku maunya Barbie Mermaid! Bukan yang beginian!"
Tanpa aba-aba, Erica membanting boneka Barbie itu ke lantai. Lalu menginjak-injaknya dengan marah.
"Barbie jelek! Nggak mirip Barbie!" maki Erica.
Annisa terkejut dengan aksi sang teman.
"Eh, Erica jangan gitu, dong. Kasihan. Meskipun dia cuma boneka, dia punya wajah dan bentuk seperti manusia. Kalau dia bisa merasa, pasti sakit hati diperlakukan kayak gitu," tegur Annisa.
Erica melengos. "Dia cuma plastik! Cuma benda mati! Gak akan bisa membalas!"
Annisa menghela napas. Dia tak ingin bertengkar, tapi sikap Erica benar-benar keterlaluan.
Terlalu di manja dan di perlakukan istimewa oleh orang tuanya membuat Erica besar kepala. Mudah kesal, marah dan tantrum bila keinginannya tidak terpenuhi.
Namun, tiba-tiba... udara di kamar terasa dingin. Sangat dingin. Seperti ada AC yang menyala kencang, padahal tidak.
Annisa memeluk lengannya sendiri. "Kok, dingin, ya?" gumamnya.
Erica juga mulai merinding. Lalu mereka berdua menoleh ke arah boneka yang tadi dibanting.
Boneka Barbie kulit gelap itu... melayang. Matanya bersinar merah samar. Tangannya bergerak sendiri, menjulur ke depan. Gaunnya berkibar pelan meski tak ada angin.
"Aaaaa!!!" Keduanya menjerit serentak.
Brak!
Pintu kamar menutup dengan sendirinya.
Boneka Barbie itu melayang cepat ke arah Erica dan... mencakar wajahnya secara brutal. Berkali-kali! Tangannya yang mungil ternyata tajam seperti belati. Erica berteriak kesakitan, darah mulai mengalir dari pipinya.
Annisa panik. Ia berlari mencoba menarik boneka itu dari Erica, tapi malah ikut diserang. Tangan Annisa dicakar hingga memerah. Ia menangis ketakutan.
"Sakit! Berhenti! Aku mohon berhenti!" Erica memohon-mohon.
Namun, Barbie semakin marah. Annisa berlari ke arah pintu kamar, berusaha membukanya. Sayangnya, terkunci!
"Tolong! Teh Syilla, tolong!" teriak Annisa sembari memukul-mukul pintu kamar dengan keras.
Tiba-tiba, boneka beruang besar di pojok kamar ikut bangkit. Boneka itu melayang, menghampiri keberadaan Annisa. Lalu menarik rambut panjang Annisa dengan kasar agar menjauh dari pintu. Situasi di dalam semakin tak terkendali. Kedua bocah itu menjerit-jerit. Justru itu seperti alunan musik menyenangkan bagi Barbie dan boneka beruang.
Erica meringkuk di sudut kamar, wajah dan lengannya penuh luka dan darah. Tangisnya tak bisa dihentikan. Barbie masih melayang-layang di udara. Seketika mengeluarkan suara tawa melengking.
***
Di sisi lain, Teh Syilla, sang pengasuh yang sedang menyapu lantai ruang tamu mendengar suara ribut-ribut. Ia langsung berlari ke lantai atas dan mendapati pintu kamar Erica terkunci rapat. Ia mencoba memutar kenop, tapi tak bisa.
"Erica! Annisa! Kalian kenapa?!" tanyanya dengan suara panik.
"Tolong, Kak! Tolong!!!" jerit Annisa dari dalam.
Teh Syilla semakin panik luar biasa. Ia mundur mengambil ancang-ancang, lalu mendobrak pintu sekuat tenaga. Sekali. Dua kali. Pada dobrakan ketiga, pintu terbuka.
Bruaakk!!
Begitu pintu terbuka, kedua boneka—Barbie dan beruang—langsung jatuh tak bergerak di lantai. Seperti benda mati. Teh Syilla mendapati kedua bocah itu duduk menangis di sudut ruangan sembari berpelukan. Erica bersimbah darah, wajahnya penuh cakaran. Annisa tak separah Erica.
Teh Syilla membelalakan mata. "Ya Tuhan!" Apa yang terjadi? Mengapa bisa begini?"
Teh Syilla lekas membawa Erica ke rumah sakit. Di perjalanan sang pengasuh menelepon Mama Erica guna memberitahu kondisi anaknya yang memilukan.
Annisa pulang ke rumahnya sendiri, dan ibunya langsung terkejut saat melihat tangan anaknya penuh luka cakaran. Luka-luka itu segera dibersihkan dan diobati.
Annisa, meski masih ketakutan, menceritakan semuanya.
"Bukan Erica yang menyerang aku, Bu. Ini ulah boneka Barbie. Dia terbang sendiri dan menyerang kita berdua. Terus boneka beruangnya juga hidup."
Ibunya sempat ragu. Tapi wajah ketakutan Annisa meyakinkannya. Ada sesuatu yang tak wajar terjadi.
***
Sementara itu, di rumah sakit Erica sesegera mungkin ditangani oleh dokter. Wajah cantik Erica dan kedua lengannya diperban sementara waktu sampai lukanya benar-benar mengering. Erica juga bercerita hal yang sama pada mamanya dan si pengasuh.
"Barbie berkulit gelap. Dia jahat! Dia menyerang aku dan Annisa. Barbie terkutuk!" emosi Erica di sela tangisnya.
Wajah sang mama seketika pucat. Putrinya tak mungkin mengarang cerita. Di tambah lagi sewaktu kejadian di dalam kamar hanya ada kedua bocah itu saja.
Tanpa menunggu lama, malam itu juga, sang mama membakar boneka Barbie kulit gelap itu di halaman belakang. Boneka itu sempat mengeluarkan suara seperti mendesis saat terbakar, seperti… menjerit. Tapi hanya sebentar. Sang mama merinding sekujur tubuh.
***
Sejak kejadian itu, Erica mengalami trauma berat. Ia tidak mau masuk ke kamarnya sendirian. Bahkan siang hari pun ia ketakutan melihat boneka apapun.
"Jauhkan! Aku nggak mau lihat boneka! Semuanya jahat!"
Semua boneka Erica, satu lemari penuh, dimasukkan ke dalam kardus dan di sumbangkan ke panti asuhan. Namun, Erica tetap belum bisa tidur sendiri. Ia selalu mimpi buruk—tentang Barbie berkulit gelap yang menggerogoti wajahnya.
Pun Annisa jadi lebih berhati-hati. Ia percaya bahwa setiap benda bisa "merasakan"—terutama benda yang sudah terlalu lama disimpan dan diperlakukan seperti teman.
Karena siapa tahu...
Suatu hari, mereka bisa balas dendam.
***
END