Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Horor
Dendam Arwah
0
Suka
8
Dibaca

Jam setengah enam pagi, di sekolah, teriakan histeris Pak Mulyono memecah udara dingin.

"Ya Allah. Astaghfirullah!"

Tubuh si penjaga sekolah itu gemetaran hebat di iringi wajahnya yang tampak gentar. Di depannya, tergeletak jasad seorang siswi. Tubuhnya telungkup, matanya terbuka lebar menatap kosong, darahnya merembes ke aspal, merah pekat dan menguarkan aroma amis.

Di duga kuat, korban jatuh dari lantai tiga. Wajahnya membentur aspal dan sedikit retak, rambutnya berantakan, dan masih mengenakan seragam putih biru. Entah ia terjun dengan kemauan sendiri… atau seseorang mendorongnya?

Pukul tujuh tepat, mobil polisi datang. Garis kuning dibentangkan, kamera forensik memotret setiap sudut tempat kejadian perkara. Murid-murid yang mulai berdatangan segera diarahkan pulang. Sementara jasad itu perlahan diangkat ke dalam kantong jenazah.

Kabar itu menyebar cepat. SMP Nirwana mendadak jadi pusat perhatian warga sekitar.

SMP swasta bergengsi di Bandung itu, yang biasanya riuh dengan suara bel masuk serta kegaduhan yang diciptakan oleh para muridnya, kini sepi dan mencekam. 

Sekolah diliburkan tiga hari untuk kepentingan penyelidikan.

***

Dokter forensik bekerja sejak pagi hingga menjelang siang. Pemeriksaan visum et repertum luar selesai setelah berjam-jam.

Korban diketahui bernama Karina Rastanti Nugraha, siswi kelas 7-D. Anak semata wayang pasangan Fani dan Yudha.

Dokter forensik menyimpulkan tidak ada tanda kekerasan fisik ataupun seksual. Luka di tubuhnya murni akibat benturan keras. 

“Korban mengakhiri hidupnya sendiri,” kata dokter forensik singkat.

Namun bagi Bu Fani, kesimpulan itu terdengar seperti penghinaan.

"Gak mungkin anak saya bunuh diri!” teriak Bu Fani seraya menampar meja di hadapan penyidik. “Dia pasti dibully! Dan didorong dari lantai tiga!"

"Siapa yang udah membully anak saya?! Siapa?! Mereka harus ditangkap dan diadili!" Bu Fani masih melantangkan suaranya. Dadanya bergemuruh karena amarah yang memuncak.

Kepala sekolah dan beberapa guru diam dan saling menatap bingung.

"Tenang, Ma. Tenang," ucap Pak Yudha berusaha menenangkan istrinya.

"Gimana saya mau tenang! Anak kita dibunuh, Pa. Pembully itu membunuhnya. Saya yakin pelakunya lebih dari satu orang." Bu Fani tak kuasa menahan emosi.

"Bu, tolong tenang dulu," ucap salah satu penyidik.

"Mana bisa, Pak!" ucap Bu Fani. Matanya sembab, wajahnya basah oleh air mata.

Tangisan dan amarah Bu Fani bercampur di ruang itu.

Pak Yudha akhirnya membawa paksa istrinya pulang. Tapi di kantor polisi, Bu Fani masih berteriak—menuntut keadilan, menyalahkan siapa pun yang ada di sekitar.

"Saya meminta keadilan untuk Karina. Para pembully itu harus di penjarakan," teriak Bu Fani, tidak malu dilihat banyak orang.

Karina adalah anak semata wayang dan harus menempuh penantian sepuluh tahun untuk mendapatkannya. Setelah segala doa dan pengobatan, barulah ia hadir—dan kini, pergi begitu saja.

Jelas saja Bu Fani murka karena anak kesayangannya itu meregang nyawa secara tragis dan tak wajar. Bu Fani menuntut keadilan. Orang tua mana yang rela anaknya dibunuh oleh para pembully nya? Tidak ada!

***

Keesokan harinya, Pak Yudha datang sendirian ke kantor polisi. Ia tak mau istrinya ikut dan membuat keributan lagi.

Kasus itu, bagi polisi, sudah selesai.

Kasus sudah diputuskan sebagai bunuh diri.

“Tidak ada sidik jari lain, tidak ada tanda-tanda perlawanan,” jelas Pak Alex, penyidik utama. “Kami sudah periksa pakaian dan tubuh korban. Semuanya bersih," sambungnya.

"Semua bukti mengarah ke bunuh diri." Pak Alex mengungkapkannya dengan raut wajah yakin dan serius.

Pak Yudha terdiam. “Tapi kenapa? Setahu saya, Karina anak yang ceria, gak pernah punya masalah di rumah atau di sekolah.”

“Kadang anak menyimpan luka yang orang tua gak tahu, Pak,” ujar sang penyidik lembut.

"Atau bisa juga, dia punya masalah dan memendamnya sendiri," imbuhnya.

Hening beberapa saat. Pak Yudha tampak merenung.

Pak Yudha lalu menunduk, air matanya jatuh. “Kami akui… kami memang terlalu sibuk dengan pekerjaan. Kami kurang memerhatikannya, bahkan untuk sekadar mendengarkan keluh kesahnya kami gak sempat. Mungkin dia kesepian. Kami menyesal telah mengabaikannya.”

Ia menyesal. Tapi penyesalan selalu datang setelah kehilangan.

Karina dikenal murid yang baik, pintar, ceria, humble dan disukai banyak teman. Tak pernah terlibat masalah. Guru-guru bahkan menyebutnya “siswi teladan.”

Karena itu, dugaan Bu Fani soal bullying terdengar aneh bagi siapa pun.

Pemakaman Karina dihadiri banyak orang. Teman-teman sekelasnya datang, beberapa menangis di sisi liang lahat. Guru-guru menatap sedih, tak percaya murid seceria dan sepintar itu pergi begitu cepat.

Bu Fani tersungkur di tepi gundukan tanah makam. Ia lalu mengusap tanah basah itu dengan jari gemetar.

"Jangan tinggalin mama, Rin. Mama sayang kamu. Mama janji akan resign dari pekerjaan biar kamu gak kesepian lagi di rumah. Mama janji akan temenin kamu setiap waktu," ungkap Bu Fani di iringi tangis mendalam.

Angin sore meniup bunga tabur di atas pusara. Tapi semua janji itu sudah tak berarti. Karina sudah pergi selamanya.

***

Selama tiga hari berturut-turut Bu Fani masih menangisi kepergian Karina, sang anak. Ia rebahan di atas tempat tidur sembari mendekap pigura foto Karina. Sampai-sampai matanya bengkak karena terlalu sering menangis.

Pak Yudha juga sama terguncangnya. Saat ini yang bisa ia lakukan hanyalah memberikan pelukan untuk menguatkan istrinya.

Malam berikutnya, Bu Fani masih yakin anaknya dibunuh.

"Saya yakin, Pa… anak kita dibunuh oleh para pembully itu."

Bu Fani tidak percaya dengan hasil penyelidikan polisi. Padahal semuanya sudah di sampaikan secara terbuka tanpa ada rekayasa.

"Polisi gak menemukan bukti yang mengarah ke perundungan dan pembunuhan. Ini pure karena bunuh diri. Bisa saja, kan Karina sedang depresi waktu itu. Tapi kita sebagai orang tuanya malah lalai dan abai. Kita terlalu sibuk, hingga lupa kalau kita punya anak," papar Pak Yudha, air mukanya penuh penyesalan.

"Polisi bisa saja salah, Pa," elak Bu Fani.

Pak Yudha menghela napas panjang, kemudian berkata pelan, "Ma… cukup. Kita harus belajar mengiklaskan Karina. Dia udah tenang di sisi Allah, Ma."

Namun, Bu Fani menggeleng keras, menolak kenyataan pahit ini.

"Saya gak akan bisa tenang sebelum nemuin pelakunya, Pa. Pokoknya saya akan cari tahu sendiri. Mereka gak boleh lolos dari hukum. Mereka harus mendekam di penjara."

"Ma, kenapa kamu yakin banget kalau anak kita dibully dan dibunuh?" Pak Yudha mempertanyakannya.

Mustahil rasanya bila Karina menjadi korban perundungan.

Bu Fani terdiam. Matanya menatap jauh, seperti menyembunyikan sesuatu.

"Kok, diam? Coba katakan pada papa, Ma." Pak Yudha mendesak. Keingintahuannya membumbung tinggi.

Bu Fani beranjak pergi tanpa menjawab.

***

Keesokan siang, Bu Fani menemui dua sahabat Karina yaitu Alika dan Gina, di warung bakso depan sekolah.

"Gak ada yang ngebully Karina, Tante,” ungkap Gina. “Dia malah suka nolongin anak-anak yang dibully.”

"Bener, Tante,” tambah Alika. “Karina itu pahlawan kecilnya kami. Dia orang baik.”

"Masa, sih?" Bu Fani meragu.

"Tante, kan mamanya. Masa bisa gak tau," ujar Gina, bingung.

"Karina, kan siswi teladan dan kesayangan guru-guru," timpal Alika.

Alika dan Gina menatap Bu Fani dengan sorot aneh. Wajah Bu Fani menegang. Ia menelan ludah susah payah.

"Oh, ya, Karina, pernah cerita sesuatu gak? Mengeluh atau mengadu apa gitu ke kalian?" Bu Fani mengutarakan pertanyaan lain.

"Iya, Tante," jawab Gina hati-hati. "Dia pernah bilang… akhir-akhir ini dia ngerasa diteror seseorang," lanjutnya.

"Diteror?" Suara Bu Fani meninggi.

"Aku gak tahu pasti, Tante. Tapi memang Karina menunjukkan perubahan sikap. Dia sering gelisah, gak konsen ngikutin pelajaran dan suka ketakutan sendiri," terang Gina.

"Dia bilang ada seseorang ngikutin dan ngeliatin dia terus. Di mana pun dia berada, orang itu muncul. Itu bikin dia gak nyaman." Alika menambahkan.

"Kenapa dia gak cerita ke orang tuanya?" tanya Bu Fani tampak bingung.

"Karina bilang ke kita, orang tuanya sibuk terus. Kayaknya percuma cerita juga," jawab Alika.

"Tuh, kan benar dugaan saya. Karina gak mengakhiri hidupnya. Pasti orang itu salah satu pelakunya. Siapa, sih dia?! Berani-beraninya mengganggu anak saya!" Bu Fani mengepal kedua tangannya di atas meja.

Alika dan Gina saling menatap. Bingung.

"Kita gak tau tante seseorang yang di maksud Karina itu siapa," balas Alika.

"Tapi Karina ngasih tau ciri-cirinya ke kita," kata Gina tiba-tiba.

"Gimana ciri-cirinya?" Bu Fani semakin tidak sabaran.

"Rambutnya panjang, hitam lurus sepinggang. Ada poninya. Terus pakai bandana warna merah muda." Gina membeberkan ciri-cirinya dengan lancar.

Bu Fani terpaku.

Ciri-ciri itu—entah kenapa—terdengar sangat familiar. Tengkuknya mendadak terasa dingin.

"Tapi," kata Alika. "Peraturan di sekolah ini panjang rambut siswi harus sebahu," sambungnya.

"Mana ada siswi bandel taat aturan. Pasti ada siswi yang memiliki ciri-ciri seperti itu. Saya akan cari dia sampai dapat. Dia gak akan bisa lolos." Bu Fani menatap tajam, lurus ke depan.

Bu Fani mengucapkan terima kasih lalu berdiri dari kursi. Ia meninggalkan kedua anak itu dengan langkah terburu-buru.

Gina menatap punggung wanita itu, lalu berkata, "Al, menurutku seseorang itu gak nyata. Itu cuma halusinasi Karina aja."

"Sepertinya begitu." Alika sependapat.

Mereka berdua terdiam cukup lama.

"Andai aja orang tuanya lebih peka, ya." Gina bersuara.

"Iya. Karina pasti masih hidup."

Keduanya menunduk, menangis pelan. Bayangan Karina terasa masih duduk di sana, tertawa bersama mereka.

***

Malam berikutnya.

Pukul dua belas lewat lima.

Bu Fani diam-diam keluar rumah, menstarter mobil. Wajahnya pucat, tapi matanya menyala penuh tekad. Ia menuju sekolah guna mencari bukti. Ia melewati gerbang belakang yang tidak terkunci.

Pak Yudha tidur sangat lelap, sehingga tidak mengetahui kepergian istrinya.

Angin malam begitu dingin menggigit. Suasana sunyi. Gedung sekolah bertingkat tiga itu gelap. 

Akan tetapi, netra Bu Fani menangkap sesuatu ganjil. Ada satu ruangan di lantai tiga yang terang benderang yakni, ruang kelas 7-D.

Jantung Bu Fani berdetak cepat. “Kelas Karina…” gumamnya.

Bukannya takut, justru Bu Fani semakin besar nyalinya untuk datang ke sana. Rasa keingintahuan mengalahkan segalanya. Dengan berbekal senter ia menaiki pelan anak tangga. Langkah hak sendalnya berderap di tangga.

Sesampainya di depan pintu kelas, Bu Fani tertegun. Siapa gerangan di dalam sana?

Bu Fani menelan salivanya, lalu mendorong pintu kelas dengan hati-hati.

Klek!

Lampu yang tadinya terang benderang mendadak temaram.

Di dalam, udara terasa aneh — dingin, padahal jendela tertutup. Di meja paling belakang, berdiri seorang siswi. Mengenakan seragam putih biru. Rambutnya panjang, hitam, lurus sepinggang. Di kepalanya terikat bandana merah muda. Siswi itu tengah bersenandung lirih sembari memainkan ujung rambutnya.

Bu Fani menatapnya dengan mata melebar. Ciri-cirinya persis yang dibilang Gina.

Tangan Bu Fani mengepal kuat di ikuti mata tajam berkilat-kilat.

"Hei kamu! Dasar pembunuh! Tukang bully! Kamu dorong anak saya dari lantai tiga sampai tewas. Kamu lah pelaku utamanya. Saya akan menjebloskan kamu ke penjara," sentak Bu Fani.

Siswi itu berhenti memainkan rambutnya. Lalu pelan-pelan, ia tertawa. Cekikikan panjang, serak, menusuk.

Suara itu membuat darah Bu Fani berhenti mengalir sejenak.

"Jangan tertawa! Gak ada yang lucu!" emosi Bu Fani, tak tertahankan.

Siswi itu berhenti tertawa. Hening menyergap. Hawa dingin kian menyelimuti. Ia lalu membalikkan badan, mendongak perlahan.

Wajahnya… pucat, mata merah menyala, bibir kering membiru. Lehernya miring ke kanan, terdengar bunyi “krek” kecil seperti tulang patah.

"Masih ingat saya, Fani?" tanyanya dengan nada dingin.

Pandangan keduanya saling bertemu.

Bu Fani menjerit tertahan, mundur satu langkah.

"Ka—kamu…" Bu Fani tergagap-gagap.

"Ya. Aku Astrid. Orang yang sering kamu bully," ucapnya tajam dan dingin.

Nama itu menghantam Bu Fani seperti palu godam.

Astrid.

Nama yang sudah ia kubur dalam-dalam lebih dari dua puluh tahun.

Hush!

Sosok itu melesat bagai angin menuju ke hadapan Bu Fani.

Nyali Bu Fani ciut seketika. Penampakan di depannya sangat mengerikan. Apalagi sosok itu tidak memiliki kaki. Melayang-layang.

"Kamu bully aku tanpa ampun. Sampai akhirnya aku mati karenamu. Sakit sekali rasanya, Fani. Sakit!" ucap Astrid, suaranya serak seperti keluar dari tenggorokan yang kering dan patah.

Tatapan Astrid penuh dendam dan benci.

Peristiwa 25 tahun silam kembali muncul di ingatan...

*

-Flashback-

Fani dan kedua temannya tertawa girang menyaksikan Astrid basah kuyub, kotor dan bau oleh air dari saluran irigasi yang mereka siramkan. Alhasil Astrid dijauhi orang-orang.

"Udah miskin, bau got lagi! Dasar curut got!" Fani meneriakinya, melontarkan kata-kata hinaan.

Mereka bertiga sangat intens mengganggu Astrid. Terlebih Fani, ia yang paling bersemangat membully. Fani tidak menyukai Astrid yang sok pintar, sok cantik dan sok kalem. Di tambah lagi lelaki incaran Fani justru lebih tertarik kepada Astrid.

"Aku benci kamu, Astrid!" Fani meluapkan kemarahannya kala itu. Ia membanting beberapa vas bunga di kamarnya.

Semakin gencarlah mereka bertiga membully Astrid. Mereka menendang Astrid, merobek buku-bukunya, hingga menumpahkan tinta ke seragamnya.

Astrid mengadu kepada wali kelas. Tetapi, malah di abaikan. Orang tua Fani merupakan donatur tetap di sekolah tersebut. Banyak membantu serta memfasilitasi.

Puncaknya, Fani dan kedua temannya diam-diam memasukkan bungkus rokok ke ransel Astrid. Astrid ketahuan dan di skorsing satu minggu. Percuma membela diri.

Di lain kesempatan mereka bertiga memotret Astrid sewaktu tengah berganti pakaian olahraga di ruang ganti. 

Foto-foto itu dicetak dan disebarluaskan. Seluruh murid dan guru mengetahuinya. Astrid sangat malu sekali.

Citra Astrid mulai buruk di mata semua orang. Para murid tidak lagi menjadikan Astrid sebagai panutan. Astrid terpuruk.

Tetapi, Andi, lelaki yang menyukai Astrid justru memihaknya. Andi menghibur Astrid, memberikan semangat. Setiap jam istirahat keduanya makan bersama di kantin. Astrid tidak merasa sendirian lagi.

Hal itu membuat Fani semakin cemburu buta.

Malam itu, Fani membuat rencana seorang diri. Ia memancing Astrid agar mau datang ke sekolah. Rencana berjalan mulus. Terjadilah pertengkaran keduanya.

"Aku gak suka kamu deket-deket ke Andi. Kecentilan banget jadi cewek. Andi itu punya aku!" Fani membentak sembari menjambak rambut panjang Astrid.

"Aku cuma berteman sama dia. Ampun, Fani. Sakit," balas Astrid, merintih kesakitan.

Kecemburuan Fani mengalahkan akal sehatnya. Iblis berhasil menguasainya—membisikinya untuk melakukan sesuatu yang lebih beringas.

"Aaaa!!!"

Brugh!

Fani mendorong kuat tubuh Astrid sampai akhirnya terjatuh dari lantai tiga.

Fani menatap ke bawah. "Rasain," ucapnya, puas di iringi senyum licik.

***

Astrid menatap tajam dengan mata yang merah menyala. "Aku datang untuk balas dendam," katanya, terdengar parau.

Astrid datang dengan wujud bocah empat belas tahun.

"Dua puluh November adalah tanggal kematianku… dan juga anakmu. Aku ingin kamu mengingatnya seumur hidupmu," Astrid menekankan. Lalu tertawa nyaring.

Selama bertahun-tahun Bu Fani tak tersentuh hukum. Orang tuanya bersikeras melindunginya agar kejahatan perundungannya itu tak diketahui publik. Agar nama baik keluarga besar juga tak tercoreng.

Meski, raga Astrid telah terkubur, bukan berarti arwahnya tenang. Sekian lama menunggu akhirnya momen itu pun tiba. Astrid mengincar Karina. Menunggunya berada di sekolah ini. Terus-menerus menerornya, sehingga Karina depresi dan memutuskan melompat dari lantai tiga.

***

Dua tahun berlalu. Bu Fani belum menunjukkan tanda-tanda kesehatan jiwanya. Hari libur Pak Yudha dan ibu mertua menjenguk Bu Fani di RSJ Jakarta.

Bu Fani kerapkali berbicara sendiri, menyakiti diri, menangis, teriak-teriak, ketakutan, dan tertawa terbahak-bahak.

Setiap tahun, bertepatan tanggal 20 November, sepanjang malam Bu Fani akan menangis. Tangisan yang sungguh pilu. Ia mengingat perbuatan jahatnya kepada Astrid sekaligus mengingat kematian Karina. Dua hal yang tak terpisahkan.

***

Ibu mertua pada akhirnya membuka rahasia kelam yang telah lama ditutup rapat-rapat kepada Pak Yudha, menantunya.

Ibu mertua menceritakan semuanya.

"Fani adalah pelaku utama perundungan. Astrid, teman sekelasnya meregang nyawa di tangannya." Ibu mertua mengungkap fakta.

Pak Yudha terkejut luar biasa. Namun, berusaha tetap tenang.

"Malang… sungguh malang sekali nasibmu Astrid," gumamnya.

***

Pak Yudha datang sendirian ke makam Karina. Ia membawa bunga mawar putih dan menatap foto anaknya cukup lama.

“Papa minta maaf, Nak…” ucapnya pelan. “Kami berdua gagal jadi orang tua yang baik.”

Angin berembus lembut, seolah menjawab.

***

Satu bulan kemudian. Pak Yudha berkunjung ke rumah sakit seorang diri. Ia menghadiahi surat perceraian kepada Bu Fani.

"Mungkin ini cara Allah menegurmu akibat dari perbuatanmu di masa silam," kata Pak Yudha.

Bu Fani tidak merespon. Asyik memainkan rambutnya yang berantakan.

"Maaf, saya menceraikanmu. Semoga kamu lekas membaik. Saya pergi, ya."

Pak Yudha bangkit dari duduknya dan beranjak meninggalkan kamar pasien.

Bu Fani lalu terdiam, menatap nanar kursi kosong itu.

***

Selesai

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Horor
Cerpen
Dendam Arwah
Amelia Purnomo
Flash
Bronze
MAKAN ENAK
Lirin Kartini
Flash
Payu Nak Milu Mati
Oktabri
Skrip Film
Kutukan Dari Balik Halimun
Aria Monteza
Skrip Film
Dendam Seorang Isteri
lila25
Skrip Film
Quiescent
Shin No Hikari
Novel
Bronze
MUSLIHAT
Rachma Nurlela
Cerpen
Bronze
Kamera Tua
Christian Shonda Benyamin
Skrip Film
Raga Tanpa Jiwa
Rizqy Kurniawan
Novel
TUSELAK
Marion D'rossi
Flash
Marry & Tommy
Ika Karisma
Cerpen
Bronze
Gaun Putih
SUWANDY
Cerpen
Tragedi Malam Jumat
Hilmi Azali
Flash
Gadis di Dalam Cermin
Irma Susanti Irsyadi
Cerpen
Bronze
Tumbal
Refy
Rekomendasi
Cerpen
Dendam Arwah
Amelia Purnomo
Cerpen
Boneka Terkutuk
Amelia Purnomo
Cerpen
Cosplay Jadi Guling
Amelia Purnomo
Cerpen
Dendam Barbie
Amelia Purnomo
Cerpen
Terror Anggia
Amelia Purnomo
Cerpen
Salah Asuh, Salah Arah
Amelia Purnomo
Cerpen
Video Call
Amelia Purnomo
Cerpen
Pengajian
Amelia Purnomo
Cerpen
Numpang Ke Kamar Mandi
Amelia Purnomo
Cerpen
Bronze
Ulang Tahun
Amelia Purnomo
Cerpen
Langkah Sepatu Bot
Amelia Purnomo
Cerpen
Besuk
Amelia Purnomo