Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Entah karena pengaruh egoisme atau sudah terpaket dari pabriknya. Dapat dikatakan bila mayoritas kaum lelaki adalah pendendam yang ulung. Apalagi bila dendam itu bersumber dari urusan asmara. Tak ada tidak, para lelaki selalu merasa harus berada di posisi yang menang dan lebih dari lawan jenisnya. Itu sebabnya, hakul yakin, kalimat lelucon: “cinta ditolak dukun bertindak” pastilah dilahirkan dari benak dan mulut seorang lelaki.
Demikian pula hanya dengan Arjuna. Lantaran kisah asmaranya ditutup buku di tengah jalan oleh Yanti, mantan kekasih hatinya, ia memutuskan untuk menjalankan sebuah misi balas dendam. Sebuah tindakan yang dinilainya bisa membuat sakit hati Yanti, mantan kekasihnya, juga suami pilihannya maupun kedua orang tua mereka. Tepat di saat, acara resepsi pernikahan yang mereka selenggarakan.
Yang ia rencanakan bukanlah aksi kejahatan. Atau juga perilaku yang memperlihatkan kebencian. Walaupun pada akhirnya nanti, baik Yanti atau mungkin juga keluarganya dan pihak mempelai pria menjadi sakit hati atas tindakannya. Dan satu lagi, semua orang yang hadir dalam pesta itu juga harus mengerti bahwa Arjuna tak pernah bersedih hati karena ditinggal kawin Yanti. Karena di saat kedua mempelai dan kerabatnya memamerkan kebahagiaan mereka, Arjuna juga akan mempertontonkan hal yang sama. Ia ingin memperlihatkan kepada semuanya, bahwa dunia yang ia pijak tidak sedang kiamat.
Arjuna akan menghadiri resepsi pernikahan Yanti dengan menggandeng pacar baru: seorang waria. Ya, dan waria itu akan ia perkenalkan ke hadapan semua tamu undangan yang mengenalnya, serta kepada kedua mempelai dan keluarganya. Dan, itulah momen di mana sakit hatinya akan terbalaskan secara sempurna; waria itu akan memperkenalkan dirinya sebagai pacar baru Arjuna yang bernama Yanti pula. Jadi akan ada dua Yanti di saat itu. Satu, Yanti mantan kekasihnya. Yang satunya lagi, Yanti sang waria. Bila membayangkan-bayangkan rencana itu dan menebak-nebak reaksi yang bakal timbul dari Yanti dan keluarganya, Arjuna selalu tersenyum simpul sendiri.
“Apa kau tidak punya rencana yang lebih heboh lagi, Jun?” Tanya Doni sahabat sepengangguran Arjuna saat mereka mematangkan rencana itu di warung kaki lima.
“Ada. Bisa saja aku menggandeng pemenang ratu kecantikan di kota ini. Atau juga mengajak fotomodel yang seksi. Tetapi, apakah semua orang akan percaya kalau perempuan yang seperti itu adalah pacar baruku. Belum lagi uang yang aku keluarkan pasti akan lebih besar jumlahnya.”
“Mengapa kau tidak mencari mahasiswi saja?”
“Maksudmu seperti mahasiswi dalam kasus suap kuota sapi impor itu? Pasarannya saja sudah sepuluh juta, Don.”
“Ya, jangan kau cari yang semahal itu! Pasti ada, Jun.”
“Ah, sudahlah. Kau mau menolong kawanmu ini atau tidak. Kalau iya, segera carikan aku waria. Kalau perlu yang namanya Yanti juga. Entah seperti apa rupanya dan bagaimana caranya, oke kawan?” Arjuna menepuk-nepuk bahu kawannya yang sedang menyeruput kopi panas. Doni tidak segera menjawab. Ia malah balik bertanya:
“Kau yakin dengan tindakanmu itu?”
“Kau pikir aku tidak yakin?”
“Kalau begitu baiklah. Aku hanya berharap agar kau tidak keterusan dengan rencana gilamu itu.”
“Maksudmu?” Arjuna penasaran dengan perkataan kawannya itu.
“Kau sungguh-sungguh hanya menjadikan waria itu pacar sehari saja, kan? Tidak untuk diseriusi?” Canda Doni.
“Sialan, kau. Aku masih normal, kawan.” Arjuna berkata serius. Tetapi Doni malah tertawa lepas.
Tiga hari setelah pertemuan itu, Arjuna semakin dekat untuk menuntaskan misinya. Doni ternyata berhasil menemukan seorang waria bernama Wati yang mau berperan atau mengganti namanya sementara sebagai Yanti. Doni menggambarkan kepada Arjuna bila waria itu masih muda dan penampilannya bersih.
“Sempurna. Dari mana kau mendapatkan si Yanti itu?” Tanya Arjuna saat bercakap melalui telepon.
“Dari Maura, pacarku. Dia kapster di salah satu salon langganannya.”
“Kau sendiri sudah pernah melihat langsung orangnya?”
“Belum. Tetapi, Maura tak mungkin berbohong, Jun.”
“Baiklah. Lalu, bagaimana caranya agar aku bisa bertemu dengannya?”
“Ini. Kau catatlah nomor teleponnya.”
*****
Bila saja Yanti lebih memilih Arjuna ketimbang calon suami pilihan kedua orangtuanya, mungkin Arjuna tidak akan segila seperti sekarang ini. Kisah kasih yang mereka jalin sejak bangku kuliah harus kandas sejak Yanti mengikuti kehendak kedua orang tuanya untuk menerima pinangan Wanto, tetangga mereka. Seorang pegawai pajak yang kaya mendadak.
“Kau tidak takut hartanya didapat dari hasil korupsi, Yan?”
Arjuna mencoba menggoyang keputusan Yanti yang sudah ditegakkan. Yanti bergeming.
“Kau tega sekali, Yan.”
Arjuna menatap wajah Yanti. Mendengar ucapan itu, Yanti pun balas menatap dengan mata pisaunya yang berselaput air tipis.
“Kau yang tega, Jun. Sudah berapa kali kau berjanji untuk segera menikahiku? Kalau saja bangku dan meja ini bisa bicara mungkin mereka akan bersaksi atas janji kosongmu kepada dunia. Aku bosan selalu dicekoki harapan palsu, Jun. Kau pura-pura tidak tahu atau sengaja mengabaikan kenyataan kalau aku ini perempuan. Kaum kami lebih cepat mengenal tua dari para lelaki. Jun, usiaku sudah dua puluh tujuh tahun, saat ini yang aku butuhkan hanyalah kepastian.”
Sungai di mata Yanti mengalir deras. Arjuna terdiam. Ia sadar, bila dihadapkan dengan kenyataan itu, posisinya menjadi lemah. Sebagai penulis serabutan, itulah istilah yang sering ia ucapkan untuk menyembunyikan status penganggurannya, Arjuna sadar, ia tak berdaya mengajak Yanti menjejaki tapak kepastian menuju masa depan.
“Aku hanya butuh waktu, Yan.”
“Aku tahu, Jun. Tetapi, maaf untuk kali ini aku tidak bisa menunggumu.”
“Aku pikir kau cinta kepadaku, Yan. Ternyata aku keliru.” Arjuna mencoba menghapus benih-benih air agar tidak tumpah dengan mengerjap-ngerjapkan matanya.
“Kita sama-sama sudah dewasa, Jun. Aku dan kamu pasti sudah mengerti mana yang terbaik untuk kita sendiri, Jun. Sekali lagi, maafkan aku. Walaupun berat buatku, juga buatmu, aku harus menempuh keputusan ini. Aku mohon kau jangan mendendam, Jun. Bila sakit hatimu menerima kenyataan ini, aku bisa menerima semua sumpah serapahmu. Asal jangan kau beratkan hati dan langkahmu sendiri dengan dendam, Jun.”
Arjuna terdiam. Hingga Yanti pergi, ia tetap duduk sendirian berjam-jam lamanya di kedai itu.
*****
Kini, di kedai dan di bangku yang sama, Arjuna duduk berdua dengan Yanti. Tetapi ini adalah Yanti yang lain. Sepintas, Arjuna menilai Yanti alias Wati adalah waria yang sudah paripurna menjadi wanita. Namun, satu yang mengganjal kewanitaannya: lehernya masih memiliki lekum alias jakun. Tingkahnya juga lebih pecicilan.
“Mau, dong. Siapa sih yang nolak, sudah dapat makan gratis, eh malah dikasih uang setengah jeti, tapi…,” ujar Wati sambil tersenyum dengan kenesnya.
“Kenapa?” Tanya Arjuna dengan sedikit khawatir.
“Agar lebih meyakinkan, boleh dong, kalau di acaranya nanti, akika cium-cium kamu. Biar mesra, gitu lho,” pinta Wati sambil tertawa berderai-derai. Arjuna tersenyum kecut. Bulu tengkuknya merinding mendengarkan permintaan itu. Namun, kepalang basah, demi rencananya itu, ia pun rela terjun ke kubangan.
“Boleh saja. Asal jangan di bibir dan terlalu sering. Dan ingat semua hal yang telah aku sampaikan. Dan satu hal yang tidak boleh kau lupa, saat memperkenalkan diri kepada mempelai dan keluarganya, namamu adalah Yanti.”
“Pasti dong, Kakak.”
Arjuna pun memberikan tiga lembar kertas uang seratus ribu rupiah sebagai tanda jadi. Wati langsung mencium uang itu lalu tersenyum lebar. Ia telah merencanakan kegiatan favorit yang akan dilakukannya untuk menghabiskan uang itu: mabuk-mabukan bersama teman-teman sekamarnya.
Dua hari kemudian, tibalah waktu perhelatan resepsi pernikahan Yanti dan Wanto. Tempatnya di sebuah gedung megah di tengah kota. Arjuna yang merasa harga dirinya tengah terpuruk tentu saja akan menggunakan segala cara untuk tetap bisa mengangkat dagunya saat memutuskan datang ke acara pesta pernikahan mantan pacarnya. Dengan menggunakan mobil yang ia pinjam dari kakak iparnya, Arjuna memenuhi undangan bersama pacar barunya. Penampilannya dibuat sewangi dan seperlente mungkin. Demikian pula dengan Yanti alias Wati. Sebagai kapster salon, ia bisa mengimbangi dandanan Arjuna yang top maksimal.
Hanya saja, kesadaran Wati masih terimbas amfetamin yang ia konsumsi beberapa jam sebelum berdandan ala ratu kecantikan. Perasaan dan pikirannya masih terbang saat Arjuna menggandengnya dengan mesra ketika malam itu mereka memasuki ruang resepsi. Bersama mereka melintasi karpet tebal berwarna jingga di tengah-tengah tatapan seluruh undangan. Arjuna merasa menjadi pusat perhatian. Ia berpikir ia adalah burung merak di tengah-tengah merpati. Sementara Yanti alias Wati terus menebarkan senyum bahagia ke berbagai arah. Racun narkotika yang beredar di dalam darahnya telah menyebarkan kabar kebahagiaan palsu yang teramat fana. Melihat pasangan yang baru memasuki ruang resepsi itu pusat perhatian para undangan pun menjadi terbelah di antara mempelai pengantin, makanan yang beraneka dan melimpah ruah, serta Arjuna dan pacar dadakannya.
Nun jauh di depan sana, kedua mempelai sibuk menerima ucapan dari para tetamu yang mengantri dan berjumlah ratusan. Arjuna dan pasangannya juga tak mau ketinggalan. Sambil terus menebarkan salam sapa dan senyum, pasangan itu turut masuk ke dalam antrian. Sedikit demi sedikit. Perlahan demi perlahan. Antrian terus bergerak hingga menuju ke panggung pelaminan. Hingga akhirnya tibalah giliran Arjuna. Di hadapan orang tua Yanti, Arjuna tersenyum sambil menguncupkan kedua tangannya untuk mengucap selamat.
“Terima kasih. Ternyata Nak Arjun mau datang,” ujar ibu Yanti dengan senyum lega sambil membalas salam dari Arjuna. Demikian pula dengan bapak Yanto.
“Sama-sama. Oh, iya, tante, perkenalkan ini pacar baru saya,” ujar Arjuna sambil memeluk bahu orang yang berdiri di sampingnya dengan mesra. Ia sengaja berhenti dan tidak melihat sedikit pun ke arah kedua mempelai. Walaupun ia tahu Yanti dan Wanto sedang menunggu untuk bersalaman dengannya.
“Oooh,” Ibunya Yanti tak bisa menyembunyikan keterkejutannya begitu melihat lebih jelas sosok pacar Arjuna. Ia pun bertanya,
“Namanya siapa?” Tanya Ibu Yanti kepada Arjuna. Kali ini senyumnya yang tadi lebar telah menghilang.
“Nama saya Yanti, Tante.” Wati sang waria memperkenalkan diri dengan ceria. Ia berhasil memainkan perannya walaupun sebagian besar kesadaran dirinya masih hilang. “Yanti?” Ibu Yanti bertanya lagi karena masih tak percaya. Semua tamu yang sedang mengantre untuk mendapatkan giliran mereka tentu saja tersenyum. Tetapi, senyum Arjuna adalah yang paling lebar.
Kecuali, Yanti dan mereka yang berada di barisan pelaminan.
“Iya, nama saya juga Yanti. Tetapi, Yanti yang ini lebih cantik, dong. Ha ha ha.”
Mereka yang tadi hanya tersenyum kali ini tertawa. Juga Arjuna. Beberapa mencoba untuk menahannya. Tetapi tidak demikian dengan Yanti dan keluarganya. Juga Wanto, sang mempelai pria. Serta bapak dan ibu Wanto yang sedari tadi mencermati wajah Yanti alias Wati, si waria dengan seksama.
Tiba-tiba, tanpa diduga, Ibu Wanto beranjak dari posisinya. Kain kebaya ketat yang ia kenakan membuatnya tidak bisa mendekat ke arah si waria dengan cepat. Wanto dan bapaknya mencoba untuk menahan tetapi sudah terlambat. Saat jarak antara ibu Wanto dengan si waria tinggal beberapa jengkal, ia pun berteriak histeris.
“Yanto! Yanto!”
Mendengar suara itu, Wajah Yanti alias Wati langsung pucat. Pikiran dan perasaannya yang sedang terbang mendadak ambruk ke bumi. Mabuknya hilang. Ia bingung ada yang baru saja memanggil nama aslinya.
“Ya Allah, Yanto. Ini ibumu, Nak. Yang sedang menikah ini adikmu, Nak. Pak, ini Yanto, kan. Betul kan ia Yanto? Wanto, ini kakakmu….” Ibu Wanto pingsan karena tak bisa menahan luapan perasaannya yang meledak-ledak dengan dahsyatnya. Tubuhnya yang tambun rubuh terkulai di hadapan orang tua Yanti dan Arjuna. Bapak Wanto dan Wanto langsung berlari untuk memegangi tubuh Ibu Wanto. Sementara Yanti alias Wati alias Yanto berdiri membeku. Panggung pelaminan menjadi gempar. Demikian pula dengan tetamu undangan. Sejumlah panitia tergopoh-gopoh berdatangan untuk memberikan pertolongan. Sementara Arjuna yang sempat salah tingkah dan tak tahu harus melakukan apa malah menyingkir. Ia berjalan perlahan menuruni pelaminan diikuti sorot mata Yanti yang semakin membencinya.
Tangerang, Februari 2013