Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Penyesalan datang di awal, Jun berharap hal itu bisa terjadi sehingga dia punya waktu untuk memperbaiki semua. Namun, hanya angan belaka.
Jun tak akan melupakan momen tiap kali keduanya tersenyum, di mana munculnya petunjuk-petunjuk yang diabaikan oleh Jun. Di saat bersamaan, dia ingin menghapus seluruh ingatan.
Entah sampai kapan Jun membenci hamparan forsythia.
"Katakan lebih awal.
"Mustahil karena kini semua asing.
"Demi hamparan forsythia menjaga kenangan musim semi."
Nam Jun dan Yang Woona—nama diambil dari kata 영원한 (yeong won-han) yang berarti abadi, di Kota Daegu.
Delution Memories, cerpen keenam dari seri 8 Spring Session, kisah-kisah bertema musim semi dengan latar tempat berbagai destinasi wisata di Korea Selatan.
Hamparan forsythia tak bisa mengundang senyum Jun layaknya dulu. Aroma khas musim semi dan udara hangat biasanya membuat nyaman, tetapi kini mulai berbeda. Perlahan Jun membenci perpaduan ini karena terus memancing ingatan yang sama untuk bangkit—kesekian kalinya.
Jun tak pernah ingin melupakan wajah gadis yang selalu muncul dalam benak. Namun, di saat bersamaan, dia sungguh berharap ingatannya terhapus.
Helaan napas terdengar. “Aku seharusnya menyadari lebih cepat, seperti Seungmin ….”
Setelah semua berakhir, Jun baru memahami apa yang sebenarnya terjadi. Dia masih mengingat tepat satu bulan lalu, hari di mana dia seharusnya mengambil keputusan lain.
Sakura belum lama mekar waktu itu. Semua orang berbondong-bondong pergi ke beragam tempat di mana si kelopak merah terpajang. Tak terkecuali Jun, Seungmin, dan Woona.
Jingga menghias langit di atas Danau Suseong. Semburat warna serupa memantul di permukaan air. Lampu-lampu kuning kecil sekeliling danau terlihat damai, menyala di tengah cahaya matahari yang tersisa sedikit.
Jun menggantung dua tangan di pagar kayu. Menutup mata, menikmati hembusan angin menerpa paras rupawan dan membuat surai pirangnya berayun. “Di sini luar biasa. Iya, ‘kan, Woona?”
Gadis itu mengangguk.
“Kudengar ada atraksi di sini.” Seungmin agak membungkuk dan condong ke danau, seakan dia ingin menceburkan diri ke air.
“Atraksi?” Jun beralih memandangnya.
“Lihat saja.” Seungmin tiba-tiba mendongak. “Kurasa sebentar lagi akan dimulai.”
Perlahan Jun mengikuti arah pandang Seungmin.
The Musical Fountain Show, salah satu keunikan Danau Suseong. Air mencuat ke atas dengan kencang. Sesaat bergerak kesana kemari, kemudian berjatuhan kembali. Seolah berdansa dengan adanya iringan musik. Sinar laser penuh warna membuat semburan air menarik perhatian seluruh mata memandang.
Tanpa sadar, mentari telah benar-benar meninggalkan bumi. Posisinya digantikan oleh rembulan.
Usai pertunjukkan air mancur berakhir, Jun menawarkan Woona tumpangan pulang. Lagipula, dia yang mengajak dan membawa gadis itu kemari.
“Emm … Woona,” Seungmin menyela sebelum mereka sungguh meninggalkan danau. “Apa kau ingin makan malam di luar … bersama kami? Saat ini atau lain hari mungkin?”
Jun mengenyit. Mungkin saja Seungmin berniat mengajak Woona kencan, tetapi mengapa dia dilibatkan? Atau bisa saja Seungmin hanya menginginkan quality time dengan teman terdekat. Namun, itu terasa aneh. “Tumben … biasanya kau selalu belajar dan menolak rencana di malam hari.”
Sudut bibir Seungmin terangkat lebar. “Jangan berkata seolah nilaiku akan hancur jika semalam saja tak belajar.”
Jun hendak mengiyakan, tetapi mengurungkan niat ketika Woona—orang yang sebenarnya diajak oleh Seungmin—menolak. Mau tak mau dia langsung mengantar gadis itu pulang, sedangkan Seungmin kembali ke kediamannya sendirian.
“Jun …,” Woona menyela usai pemuda itu memutar setir, memasuki gang perumahan. “Aku perlu mampir ke apotek.”
Jun mengiyakan. Menepi di salah satu sisi jalan. Woona turun dari mobil. Melangkah memasuki apotek.
Jun mengekor di belakang sambil mengernyit melihat antrean pembeli. “Apa perlu mencari toko lain?”
Woona menggeleng. “Aku hanya perlu plester baru.” Saat jam pelajaran seni tadi, guru meminta para siswa membuat pahatan berbentuk kelinci dari potongan kecil batang kayu. Tak sengaja Woona melukai tangannya.
“Bukannya aku memberimu lima plester cadangan dari UKS?”
Sudut bibir Woona terangkat. Dia sedikit memiringkan tubuh sambil meraih salah satu sisi ransel, seperti menyembunyikannya dari Jun. “Kurasa tertinggal di kelas.”
Jun mengangguk-angguk pelan.
“Kau pulanglah dulu, Jun. Aku bisa jalan kaki ke rumah, lagipula sudah dekat.”
Tak ada pikiran di benak Jun untuk beranjak. “Kutunggu saja.”
Tatapan Wooan melembut. “Cepat pulanglah dan beristirahat.”
Meski rasanya enggan, hati kecil yang telah luluh membuat Jun tak bisa mengelak. Pada akhirnya Jun meninggalkan Woona membeli keperluannya di apotek, setelah mengucap perpisahan dan berpesan agar selalu hati-hati.
Musim semi memang sulit untuk dilewatkan begitu saja. Esoknya, ada acara istimewa yang akan diselenggarakan di kota. Jun tentu mengajak Woona datang. Sesungguhnya dia ingin Seungmin ikut, tetapi lelaki itu menolak dan lebih memilih duduk tenang di perpustakaan.
E World 83 Tower, menara tertinggi di Daegu sekaligus simbol kota tersebut. Jendela kaca menyuguhkan pemandangan sempurna kerlip ribuan bangunan berbalut jingga. Dari ketinggian, hiruk-pikuk kota terlihat lebih tenang.
“Tanganmu tak apa?” Jun mengalihkan perhatian menuju gadis di sebelahnya yang tak kalah nyaman dipandang.
Woona mengangguk, tetapi rautnya tak menyiratkan arti yang sama.
“Bagaimana tugasmu?” Jun menyelidik. Tak kunjung mendapat jawaban, dia menyahut lebih dulu, “Belum selesai, ‘kan? Pasti karena tanganmu yang sejak awal sudah terluka.”
Bibir tipis Woona mengerucut. Tak bisa mengelak pernyataan Jun, tetapi dia juga tak ingin mengakuinya begitu saja. Biasanya Woona unggul di akademik, entah mengapa untuk seni pahat dia sangat lemah.
“Orang tuamu pasti menuntut nilai sempurna juga kan untuk ujian praktek seni pahat ini?” Jun melirihkan suara.
Woona agak menunduk, tatapan mengarah pada pohon-pohon sakura di halaman E World 83 Tower. Namun, angannya terbang jauh. Berselang sebentar, dia mengangguk kecil.
Tanpa basa-basi Jun membuka ransel yang melengkapi setelan celana kain hitam, kemeja putih, dasi merah tua, dan blazer abu-abu. Mengambil bongkahan kayu yang telah dibentuk sedemikian rupa menjadi kelinci, lantas menyodorkannya pada Woona.
Woona tampak bertanya-tanya.
“Besok kumpulkan itu atas namamu. Beres, ‘kan?” ujar Jun enteng.
Bola mata Woona melebar. “Tapi bagaimana denganmu? Tak ada waktu untuk membuat lagi, ‘kan?”
“Tak apa.” Jun meraih tangan kanan Woona, meletakkan pahatan kayu berbentuk kelinci. “Aku bisa meminta tugas pengganti. Lagipula, tak ada seorang pun marah meski aku mendapat nilai nol.”
Senyum Jun merekah lebar sekali. Mata yang menyipit seakan hilang. Woona berpikir mungkin saja saat ini Jun tak akan sadar bila dia meninggalkannya bersembunyi. Gadis itu tertawa kecil.
Jun terkekeh. Di saat bersamaan, dia menyadari Woona kesulitan memegang pahatan kelinci terus-menerus. “Biar kumasukkan ke dalam tasmu.”
“Terima kasih.” Sudut bibir Woona yang terangkat, bertahan beberapa saat. Begitu Jun berpindah ke belakang untuk menyimpan pahatan kelinci ke dalam ranselnya, senyum gadis itu sirna seketika.
“Oh ya, Woona!”
Panggilan mendadak Jun membuatnya menoleh.
“Acara terbaik akan segera dimulai, ayo menonton dari bawah!” Sebelum Woona sempat memberi persetujuan, Jun lebih dulu menggandengnya pergi.
Sepanjang jalan penuh oleh sakura di kanan-kiri. Berpadu lampu jalanan, seolah deretan kelopak merah muda memancarkan cahaya. E World 83 Tower telihat jelas, warna keemasan menyala setinggi menara. Menghias langit malam bersama para bintang.
Jun sengaja datang sore hari untuk menikmati pemandangan di atas menara lebih dahulu. Sebab, ketika malam datang, Cherry Blossom Festival telah dimulai dan baiknya menonton dari bawah.
“Kau mau duduk di mana?” Jun menatap kanan-kiri bergantian. “Sepertinya di sana masih ada kursi.”
Jun bergegas mempercepat langkah. Di saat bersamaan, suara bak letusan terdengar kencang. Kembang api besar memancar cahaya warna-warni terang dari atas. Bentuk-bentuk indah menghias langit.
Decak kagum para penonton bersahut-sahutan. Mereka berburu tempat lebih dekat dengan sumber kembang api. Keadaan yang semula tenang berubah tak karuan. Pegangan tangan Woona tanpa sengaja lepas dari Jun.
Woona menoleh cepat. Semua orang di sekeliling tak dikenal. Satu-satunya pemuda yang menjadi harapan, entah di mana.
Kepala mendadak pening. Woona menutup mata erat, menahan sakit. Ricuh sekitar perlahan mereda, seolah dia tenggelam dan suara di luar terdengar lirih. Titik-titik hitam muncul di penglihatan Woona, terasa buyar. Gadis itu menunduk. Telah mengerti bahwa kesadarannya tak akan bertahan lebih lama lagi.
Tiba-tiba seseorang memegang dua lengan atas Woona erat. “Kau tak apa?”
Woona mengangkat kepala. Dia si pemuda yang menjadi harapan.
“Tenanglah, aku ada di sini.” Jun menurunkan tangan. Semula meraih lengan atas Woona, kini menggenggam erat jemari gadis itu. Kemudian mengangkat dan meletakkannya di dahi sebentar. Tatapan Jun kembali pada Woona, senyumnya merekah lebar. “Iya, ‘kan?”
Jun menyisakan satu tangan menggandeng Woona, lantas menariknya perlahan menuju salah satu kursi kosong.
Pertunjukkan kembang api belum berakhir. Bunyi khas terdengar tanpa henti. Kilap-kilap elok memenuhi sejauh mata memandang. Jun tak ingin mengalihkan perhatian sama sekali.
Memastikan gadis di sebelahnya tetap aman, Jun sedikit pun tak terlihat ingin melepas tangan kiri Woona dari genggaman. Woona justru memandangnya, alih-alih menonton pertunjukkan.
Tanpa sadar, Woona mengangkat tangan kanan. Berniat meraih tangan Jun yang menggandengnya. Namun, tiba-tiba dia mengurungkan niat.
Pikiran Woona melayang entah kemana dan mendadak tersadar ketika Jun mengeratkan pegangan tangan.
“Jun ….” Woona beralih memandang pemuda itu penuh arti.
Jun menoleh. Lekuk bibirnya sejak tadi terangkat, kini semakin tinggi. “Bagus, ‘kan?” Dia mengelus puncak kepala Woona. Terlalu gemas hingga membuat gadis itu menunduk.
Selagi Jun tak mengetahui raut gadis itu, sesungguhnya Woona ingin menyembunyikan dari Jun bahwa dia tak merasa ingin tersenyum sama sekali.
Cherry Blossom Festival yang diadakan di sekitar E World 83 Tower membekas memori yang tak ingin dilupakan Jun barang sedikit pun. Sampai esok ketika mengikuti kegiatan belajar mengajar di kelas, sumringah belum reda.
Bahkan ketika guru memarahinya perihal tak mengumpulkan tugas seni berupa pahatan kelinci, Jun tak terlihat murung. Diberitahu agar mengerjakan tugas mengganti—membuat tiga pahatan berbeda—bukan masalah bagi Jun.
Lama-kelamaan, ceria Jun pudar. Perasaan mulai tak enak. Usai bel istirahat berbunyi, dia bergegas menghampiri kelas lain.
“Seungmin, kau lihat Woona?”
Lelaki itu mengernyit. “Bukankah Woona kan ada di kelasmu?”
Jun khawatir. “Dia tak hadir sejak pagi.”
Raut Seungmin berubah total.
Mendadak senyum Jun merekah kembali. “Ayo ke basecamp! Woona sangat menyukai tempat itu, ‘kan? Dia bisa saja membolos kelas demi menikmati bunga forsythia!” Dia memberi kode pada Seungmin agar ikut.
Sekolah memiliki halaman belakang yang jarang dijamah, kecuali Jun, Seungmin, dan Woona yang menjadikan lapang luas penuh bunga kuning sebagai tempat bersantai terbaik.
Sedetik setelah Jun menginjak kaki di taman forsythia, senyum berubah ngeri. Dia buru-buru mendorong mundur Seungmin yang baru saja menyusul.
Sejenak Seungmin bertanya-tanya. Begitu mengikuti arah pandang Jun, seketika bola mata melebar. Sekujur tubuh bergetar hebat.
Tak ada kata-kata yang sanggup keluar.
Bebungaan kuning seluas mata memandang, sebagian kecil yang ada di hadapannya, berbalut bercak merah. Aroma khas musim semi bercampur anyir.
Tak lama kemudian, Jun dan Seungmin duduk agak jauh dari taman. Menyaksikan guru-guru dan beberapa polisi mengambil jasad seorang gadis yang semula tergeletak di sana dan memeriksa lokasi kejadian.
Tatapan Jun menerawang. “Woona tak mungkin—”
“Capgras Delusion!” Seungmin mendadak bangkit. “Kurasa Woona mengidap penyakit itu.”
Malam lalu, Seungmin menolak ajakan Jun menonton Cherry Blossom Festival di E World 83 Tower demi berdiam diri di perpustakaan. Dia mencari tahu banyak hal tentang gangguan mental, apa yang mereka rasakan dan gejala yang terlihat dari luar.
Saat itu, Sungmin kian yakin pada asumsinya, Capgras Delusion.
Jun mengerutkan alis. Perlahan amarah menguasai. “Kalau begitu, kenapa kau tak bilang—”
“Aku takut!” Seungmin menyela sebelum Jun murka. “Penderita Capgras Delusion menganggap orang terdekatnya telah digantikan penipu! Jika aku mendekatinya, Woona pasti akan semakin tertekan karena berada di dekat seseorang yang dianggap asing dan penipu.”
Jun berangsur menggeser pandangan. Penjelasan Seungmin masuk akal, tetapi dia masih tidak yakin.
Seungmin memandang Jun nanar. “Ketika aku mengajaknya makan malam, berniat membuatnya bicara, dia menolak bukan?”
Spontan tatapan Jun kembali pada Seungmin.
“Dia pasti menghindar.” Seungmin melirihkan suara, “Itulah mengapa aku tak ingin berada di dekat Woona.”
Jun tak bisa berkata. Berbanding terbalik dengan Seungmin, dia justru meningkatkan intensitas kebersamaan. Jun pikir, Woona akan merasa lebih baik memiliki seseorang di sisinya. Nyatanya, sikap Jun selama ini justru memperburuk depresi yang dialami Woona.
Secara tak langsung, Jun yang membuat Woona mengucap selamat tinggal pada dunia.
Satu bulan telah berlalu. Forsythia menjadi kuning bersih kembali. Namun, bayang-bayang penuh merah pekat, aroma menusuk, dan jasad seorang gadis tergeletak, tak pernah hilang dari benak Jun.
Mengingat ribuan bunga sakura bersama kembang api menghias langit dengan sempurna di malam Cherry Blossom Festival, hati kecil Jun remuk.
Sampai kapan pun, dua kenangan itu enggan beranjak.
“Aku hanya ingin mengatakan … bahwa aku menyukaimu, Woona,” Jun tertawa miris, “dan aku menghardik diri sendiri karena telah menyiksamu … maaf.”