Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Langkah-langkah berat bergema di lorong bawah tanah yang sunyi. Tiga pasang sepatu tempur menapak cepat, membelah gelap yang diselingi cahaya merah darurat dari lampu sensor yang berkedip-kedip. Di depan, seorang pria bertubuh tegap dengan rompi hitam tempur dan helm khusus memberi isyarat tangan: diam, awas, bersiap.
Namanya Raydan Arga, agen Delta tanpa identitas resmi—bagian dari unit rahasia pemerintah yang bahkan tidak tercantum di arsip militer. Ia tak punya catatan sipil, tak punya masa lalu, hanya bayangan yang dikirim saat keadaan benar-benar darurat.
“Misi ini bukan untuk dihentikan,” gumamnya pada dua anggota timnya, Tiva dan Kenan. “Target sudah bergerak, waktu kita sempit.”
Mereka terus maju menuju ruang pusat kendali markas musuh yang tersembunyi di bawah pelabuhan tua Jakarta. Informasi dari satelit menunjukkan bahwa sindikat senjata bio-elektronik bernama Nova Line berencana melepaskan perangkat pengacau sistem digital yang bisa melumpuhkan jaringan listrik kota besar dalam hitungan menit.
Di belakang tembok baja ruangan pusat, sensor gerak mereka menangkap gerakan. Sepuluh—tidak, dua belas orang. Lengkap dengan pelindung tubuh dan senapan otomatis. Tidak ada waktu untuk mundur.
Raydan menoleh ke timnya, mengangguk. “Silent mode. Begitu kita masuk, mereka tak boleh sempat tekan tombol alarm.”
Tiva menyisipkan senapan pendek ke balik punggung, lalu menarik pisau tempur dari sabuk paha. Kenan menyiapkan senapan dengan peluru kejut. Pintu dibuka paksa dengan alat pembuka elektronik. Suara berderit rendah disusul embusan udara dingin dari dalam.
Gerakan cepat. Tiga detik pertama senyap—lalu pertempuran dimulai.
Raydan menerjang ke depan, menumbangkan dua penjaga pertama dengan pukulan kejut di leher dan tendangan berputar ke dada. Tiva berputar cepat ke kiri, melempar pisau ke tenggorokan musuh terdekat. Kenan melompat ke atas meja, menjatuhkan dua orang dengan tembakan terarah ke bahu dan kaki.
Satu orang musuh sempat menekan tombol alarm di dinding, tapi Raydan melemparkan pisau baja tepat ke saklarnya—memotong kabel sebelum sistem aktif.
“Clear,” desah Kenan. “Tapi kita cuma punya waktu sepuluh menit sebelum cadangan mereka muncul.”
Raydan berjalan ke konsol komputer utama, mengetik cepat. “Data transfer dimulai. Kita harus dapatkan lokasi pusat produksi mereka sebelum mereka bersih-bersih.”
Tiva memandangi layar dengan alis terangkat. “Ray, kamu yakin kita masih bisa keluar hidup-hidup dari sini?”
Raydan menoleh, wajahnya datar tapi suaranya tenang. “Aku tidak pernah yakin. Tapi aku selalu pulang.”
Namun, saat proses ekstraksi hampir selesai, layar mendadak berubah. Seseorang sedang mengakses sistem dari lokasi lain.
Sebuah pesan muncul:
“Kalian akhirnya datang. Aku sudah menunggumu, Raydan.”
Tiva dan Kenan saling pandang. Raydan menatap tajam ke layar. Ia mengenal nama di bawah pesan itu.
“Dr. Ravel.”
Orang yang seharusnya sudah mati lima tahun lalu.
“Dr. Ravel…” gumam Tiva dengan nada ngeri. “Bukan dia yang... menciptakan Omega Protocol?”
Raydan tidak menjawab. Tatapannya terpaku pada layar, seolah berharap huruf-huruf yang tertera hanyalah ilusi. Tapi tidak. Nama itu nyata. Dan bersamanya, luka lama ikut terkuak.
Lima tahun lalu, Raydan memimpin misi penyerbuan ke laboratorium tersembunyi di Siberia, tempat Ravel mengembangkan prototipe senjata biologis untuk mengendalikan otak manusia. Mereka pikir Ravel tewas bersama ledakan besar di fasilitas itu. Tapi kenyataannya, dia hanya menghilang—untuk membangun kembali rencananya dengan cara yang lebih gila.
“Dia tahu kita di sini,” ucap Kenan, memeriksa perimeter lewat drone mini. “Ada gerakan di koridor barat. Mereka kirim pasukan ke arah kita.”
Tiva melirik waktu di layar. “Tiga menit sebelum data lengkap. Kita tahan posisi?”
Raydan mengangguk. “Tapi siap-siap, ini akan jadi perang kilat.”
Detik berikutnya, suara ledakan terdengar dari luar ruangan. Pintu utama roboh, dan hujan peluru menghantam dinding beton. Tiga orang bersenjata lengkap masuk, disusul pasukan lapis baja di belakang mereka.
Kenan menarik granat kejut dan melempar ke arah pintu. Cahaya menyilaukan dan gelombang kejut membuat lawan porak-poranda. Tiva bergerak seperti bayangan, menyerang dari sisi, menjatuhkan satu per satu lawan dengan presisi mematikan.
Raydan tetap di posisi, menjaga konsol. “Satu menit lagi!”
Suara tawa muncul dari speaker ruangan, dalam nada dingin dan menghina.
“Kau selalu lambat, Raydan. Aku bahkan tak perlu datang langsung untuk membuatmu menderita.”
“Ravel!” teriak Raydan. “Kau bermain dengan nyawa manusia, lagi!”
“Dan kau masih main jadi pahlawan, lagi. Dunia ini tidak butuh pahlawan. Dunia butuh kendali.”
Seketika, layar komputer berubah menampilkan peta lokasi-lokasi instalasi milik Nova Line di seluruh dunia—dengan satu titik utama di Indonesia: “Delta Zero – Gunung Parang.”
Transfer selesai. Raydan mencabut hard drive data dan menyimpannya dalam kapsul baja.
“Kita keluar sekarang!” teriaknya.
Tapi sebelum mereka bisa bergerak, suara mendesis terdengar. Gas hijau mulai memenuhi ruangan. Tiva menjerit. “Neurogas! Dia mengaktifkan protokol Omega!”
Raydan meraih masker filtrasi dari rompinya dan menyerahkan dua lainnya ke Tiva dan Kenan. Mereka berlomba dengan waktu, menyusuri lorong kembali ke titik evakuasi.
Ketika mereka akhirnya mencapai permukaan dan udara bebas menyambut, langit sudah memerah. Helikopter penjemput sudah menunggu.
Dalam keheningan penerbangan, Raydan memandang ke kapsul data yang kini berada di pangkuannya.
“Delta Zero… Gunung Parang. Tempat semuanya dimulai.”
Kenan bersandar ke dinding kabin. “Jadi apa langkah kita sekarang?”
Raydan mengangkat kepalanya, mata menatap tajam ke cakrawala.
“Kita habisi mimpi buruk ini. Sekali untuk selamanya.”
Gunung Parang, Jawa Barat, malam hari.
Kabut menyelimuti lereng pegunungan, membuat seolah dunia terlipat antara kenyataan dan mimpi buruk. Raydan dan timnya mendaki dengan perlengkapan lengkap, mengenakan baju kamuflase dan thermal gear. Di bawah cahaya bulan, siluet helikopter mereka sudah mengecil di kejauhan.
“Menurut data, Delta Zero tersembunyi di dalam sistem gua di balik tebing utama,” ujar Tiva, sambil menatap tablet berisi peta digital.
Kenan menyahut, “Tapi Nova Line takkan membuatnya mudah. Kita bicara soal teknologi dan perang psikologis. Apa pun bisa menunggu di dalam sana.”
Raydan mengangguk. “Kita tetap pakai protokol senyap. Jangan cari pertempuran kecuali terpaksa. Kita di sini bukan untuk pamer, tapi mengakhiri ini.”
Pintu masuk gua nyaris tak terlihat—tertutup semak dan batu besar yang seolah alami, namun begitu disentuh, terbuka dengan pengenal retina milik jasad bekas agen Nova yang mereka temukan tak jauh dari lokasi.
Mereka menyusuri lorong gelap dengan hanya cahaya dari helm mereka sebagai penerang. Dinding gua tampak alami, tetapi jejak bekas bor industri menunjukkan tempat ini sudah lama dimodifikasi.
Di kedalaman 300 meter, lorong bercabang menjadi dua. Sensor Kenan menunjukkan gelombang panas dan gerakan dari cabang kanan.
“Trap atau markas utama?” gumamnya.
Raydan memilih kiri. “Kita akhiri misterinya.”
Namun langkah mereka terhenti saat menemukan ruangan besar dengan dinding kaca. Di dalamnya—tubuh-tubuh manusia tertidur dalam kapsul berisi cairan hijau.
“Apa ini...?” Tiva berbisik, ngeri.
Raydan memandangi panel kendali. “Proyek tahap akhir Ravel: mengubah manusia jadi pembawa sinyal Omega—tentara yang tak perlu sadar akan kehendaknya. Mereka akan jadi alat.”
Tiba-tiba, alarm berbunyi. Panel menyala merah. Gas menyembur dari salah satu kapsul—dan seorang pria muncul dari dalamnya, tubuhnya besar, ototnya menegang, dan matanya... kosong.
Kenan berseru, “Mereka dibangunkan!”
Lima kapsul lain terbuka. Para “subjek” mulai bergerak, menyerang seperti hewan buas. Serangan brutal pun terjadi. Kenan menembak tepat ke lutut musuh pertama, menjatuhkannya. Tiva berkelit, menghindar, menembakkan pistol ke dada lawan. Namun, satu subjek menghantamnya hingga terguling.
Raydan meraih tongkat listrik dan melumpuhkan dua subjek sekaligus. Tapi dia tahu ini hanya permulaan.
Akhirnya, mereka mencapai ruang pusat—ruangan dengan layar holografik menampilkan Ravel dari jarak jauh.
“Selamat datang di pemakaman idealismemu, Raydan.”
Raydan menyeringai. “Kita semua akan mati. Tapi aku takkan mati sebagai monster sepertimu.”
“Kau masih tak paham, ya? Omega bukan proyek... Ini evolusi. Dan semua ini sudah terlalu terlambat untuk dihentikan.”
Dengan satu hentakan tombol, Ravel memulai hitungan mundur. Lima menit menuju penyebaran global melalui jaringan satelit.
Tiva segera bekerja membajak sistem. Kenan menjaga pintu dari gelombang musuh yang mulai datang lagi.
Raydan menatap ke arah dinding logam... dan menemukan sumber tenaga utama: inti Omega.
“Ini satu-satunya cara.”
Tanpa ragu, Raydan mengangkat senjata plasma portabelnya—prototipe berisiko tinggi—dan membidik inti.
“Raydan, tunggu!” seru Tiva. “Itu bisa—”
“Jika aku tak kembali... akhiri sisanya.”
Lalu dia melepaskan tembakan.
Ledakan cahaya putih memenuhi ruang pusat.
Ledakan itu mengguncang seluruh perut Gunung Parang.
Inti Omega meledak dalam cahaya putih menyilaukan, membakar seluruh sistem sinyal di sekitarnya. Tubuh-tubuh subjek eksperimen yang baru saja hidup kembali roboh satu per satu, seperti boneka kehilangan tali.
Tiva terlempar ke belakang. Kenan menariknya keluar dari pusat kendali yang mulai runtuh.
“Raydan!” teriak Tiva, suaranya pecah.
Tak ada jawaban.
Mereka berdua sempat kembali, menerobos puing dan api—namun tak menemukan jasad apa pun di titik ledakan. Hanya helm Raydan, tergores dan retak, tergeletak di bawah reruntuhan.
Dua Minggu Kemudian
Jakarta.
Pusat Operasi Rahasia Nasional menyatakan proyek Nova Line secara resmi telah dinyatakan berakhir. Sisa-sisa tim Nova ditangkap atau lenyap tanpa jejak. Satelit Omega dinonaktifkan sepenuhnya. Namun, Raydan belum juga ditemukan. Tubuhnya, tak pernah berhasil dilacak.
Di sebuah ruang latihan, Kenan berdiri sendiri, menatap layar CCTV hitam-putih. Tiva masuk, membawakan secangkir kopi.
“Dia tahu ini mungkin akhir baginya,” ujar Tiva, lirih.
“Dia juga tahu kita akan meneruskan yang dia perjuangkan,” sahut Kenan pelan.
Di bawah pusat operasi, sebuah ruang penyimpanan dibuka kembali—di dalamnya, puluhan dokumen bersampul hitam dengan logo Delta tertulis samar.
“Bayang-Bayang mungkin telah menghilang. Tapi cahaya itu takkan pernah padam.”
Di Sebuah Desa Terpencil di Myanmar
Seorang pria tanpa nama, luka di sisi kanan wajahnya, menatap matahari sore. Di tangannya, sebuah jam saku tua berdetak pelan. Di lehernya, tergantung kalung dengan lambang kecil: ∆
Wajahnya tenang. Namun matanya... mata seorang prajurit yang telah kehilangan banyak, dan memulai kembali—dari bayang-bayang.
TAMAT