Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Horor
Death Game: Are You Ready to Play?
0
Suka
1,297
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Sebuah email tak dikenal baru saja masuk. “Kami mengundang Anda sebagai pemain hitam. Bersiaplah untuk menaklukkan tantangan! Derceto Manor merupakan sebuah gedung untuk orang sakit jiwa di mana ada sesuatu yang mengintai. Anda akan bertemu dengan penghuni yang aneh, alam mimpi buruk, monster berbahaya, dunia kekacauan, dan pada akhirnya mengungkap kejahatan yang sedang bangkit.”

Di persimpangan antara realitas, misteri, dan kegilaan, sebuah petualangan hebat menanti yang akan menguji adrenalin serta menantang keyakinan inti Anda. Siapa yang akan Anda percayai? Apa yang akan Anda lakukan selanjutnya? Kami telah menyiapkan hadiah terbaik untuk dua orang yang berhasil menyelesaikan permainan. Berjuanglah sampai akhir!

Terlepas dari rasa takut menerima email dari pengguna misterius, isi pesan tersebut cukup meluruskan benang kusut yang menggumpal di kepala Hellena. Setelah menyiksa otak untuk menyelesaikan naskah cerpen di tengah-tengah teror deadline, lalu mengirimnya sambil keringat dingin, bukankah pesan tersebut cukup melegakan? Menulis adalah pekerjaan melelahkan, pun penghasilan yang didapat tidak seberapa.

Hampir satu jam lamanya sebelum email itu masuk, ia bersikeras memikirkan cara untuk meraup penghasilan tanpa perlu menjadi mesin robot yang diperkerjakan orang lain. Kebetulan sekali, sang pengirim email misterius seakan-akan bisa membaca pikiran penerimanya. Memang benar, email itu hanya dikirim kepada sepuluh orang terpilih berdasarkan tingkat stres dan kesulitan hidup.

“Menarik! Apa salahnya mencoba, ‘kan?” ujar Hellena.

Di bawah pesan teks, terdapat tautan yang akan membawa responden kepada formulir berisi pertanyaan-pertanyaan dan perintah mengisi identitas diri, terakhir adalah mengeklik “Saya telah menyetujui syarat dan ketentuan yang berlaku” hingga muncul verified badge (centang hijau). Hellena bagaikan seekor anjing lapar yang menenggelamkan kandang dengan air liurnya ketika melihat sepotong tulang. Jiwanya kelaparan sehingga mendapat tawaran itu layaknya kejatuhan bulan.

Derceto Manor, August 1st, 2024.

Sebenarnya, Hellena baru mengetahui jika terdapat sebuah gedung berdesain modern di sudut kota dengan konsep unik seperti dalam game. Apakah itu perusahaan game baru milik Sony?

Sepuluh orang berkumpul di ruang pertama mengenakan pakaian sesuai warna yang telah ditentukan developer permainan. Masing-masing peserta bebas memilih nama untuk karakternya. Hellena sebagai pemain hitam tentunya memakai pakaian serba hitam; sport bra dan celana legging sehingga bisa bebas bergerak. Ia telah mempertimbangkan sebelumnya, ini akan menjadi permainan seru yang menguji ketahanan fisik.

Daftar pemain:

1.    Ulquiorra Cifer; pemain merah.

2.    Himiko Toga; pemain kuning.

3.    Lelouch Lamperouge; pemain hijau.

4.    Wahrheit Tinashe; pemain biru.

5.    Quon Kisaragi; pemain putih.

6.    Faye Valentine; pemain ungu.

7.    Alice Zuberg; pemain hitam.

8.    Vash the Stampede; pemain cokelat.

9.    Ken Kaneki; pemain oranye.

10. Donquixote Doflamingo; pemain abu-abu.

Para peserta yang tidak mengenal satu sama lain saling melempar pertanyaan. Mereka berasal dari kota yang berbeda. Sepuluh orang di ruangan ini adalah kontestan yang memiliki hidup cukup sengsara atau berada dalam titik terendah kehidupan. Masing-masing membawa kapasitas beban berbeda di kepala mereka dan berharap permainan ini dapat melepaskan segala penderitaan.

Satu-satunya kesamaan di antara mereka adalah membutuhkan uang untuk meningkatkan kualitas hidup. Para pemain tidak lebih dari seorang penjual ikan, pria terlilit utang, berlatar belakang keluarga miskin, wanita pekerja seks, hingga mahasiswa yang menyambi sebagai pekerja paruh waktu. Sang pembuat game menjanjikan hadiah uang sangat besar untuk pemain yang berhasil menyelesaikan tantangan hingga akhir.

Dalam hitungan tiga sekon, lampu merah menyala, ruangan menjadi hitam. Suara jeritan pilu disusul tawa mengerikan dari pengeras suara menjadi pelengkap background sound menu seperti game dalam dunia nyata. Bagi Hellena, ini benar-benar keren. Ia belum pernah bermain game senyata ini. Namun, suara robot wanita yang berbicara entah dari mana asalnya, membuat semua pemain bergidik.

“Welcome to Derceto Manor! Are you ready to play? Warning! There are two rounds with different levels of challenge difficulty. Decisions define your life. Each round is given 30 minutes to solve the puzzle and four players will be eliminated. If no one manage to complete the round, you all die.”

(Selamat datang di Derceto Manor! Apakah kamu siap untuk bermain? Peringatan! Terdapat dua babak dengan tingkat kesulitan tantangan yang berbeda. Keputusan menentukan hidup Anda. Setiap babak diberi waktu 30 menit untuk memecahkan teka-teki dan akan ada empat pemain yang tereliminasi. Jika tidak ada yang berhasil menyelesaikan putaran, Anda semua akan mati).

Beberapa pemain langsung unjuk rasa. Hellena merasa keberatan. “Tidak sah! Peraturan itu tidak disebutkan sebelumnya!”

Ulquiorra Cifer (Red) turut bersuara. “Permainan macam apa ini? Aku memilih mati kelaparan daripada sia-sia karena kekalahan,” desisnya.

Para pemain berniat mengundurkan diri sebelum berjuang, tetapi tidak ada jalan keluar. Pintu masuk berubah menjadi dinding kosong. Akhirnya, Hellena menyadari, takut akan lumpur lari ke duri; menghindar dari kesusahan kecil dan terjebak dalam kesusahan besar. Suara robot yang tak diketahui dari mana asalnya terus saja mengoceh membacakan peraturan-peraturan dalam permainan.

Round One

Mereka digiring ke sebuah ruangan gelap yang tidak bisa ditakluki oleh indra penglihatan manusia biasa. Pandangan mereka seperti orang buta, sampai akhirnya Donquixote Doflamingo (Grey) yang merupakan pecandu rokok menyalakan pemantik api dari saku celananya. Barulah sedikit terbaca, Hellena mengeluarkan persepsi bahwa ruangan itu merupakan bekas penampungan pasien sakit jiwa.

Jeritan-jeritan mengerikan mulai menghantui mereka secara nyata. Derit roda hospital bed menjadikan darah dingin mengalir di punggung mereka dan ketakutan melumpuhkan sepasang kaki. Lima kontestan perempuan yang tidak saling mengenal tiba-tiba memeluk satu sama lain. Pemain laki-laki sisanya menunjukkan kejantanan dengan tetap berdiri tegak.

“Pembuat game ini benar-benar merancangnya secara sempurna. Dengar, jeritan-jeritan itu pasti berasal dari speaker yang ditaruh di sudut-sudut ruang untuk meningkatkan gelombang ketakutan kita saja,” ujar Ken Kaneki (Orange).

“Tapi, aku yakin ini bukan sekadar permainan,” timpal Alice Zuberg (Black).

Suara robot kembali mengambang di udara. “You only have 30 minutes to solve the riddle.” (Anda hanya memiliki 30 menit untuk memecahkan teka-teki).

You are the bus driver. You drive three blocks and pick up two people. You drive three more blocks and one person gets off. You drive around the corner and pick up five people. How old is the bus driver?”

Kemudian, muncul LED Sign Board raksasa berwarna merah menyala yang menampilkan pengukuran durasi waktu seperti stopwatch bergerak mundur. Sepuluh pemain mendadak panik, tetapi bagi sebagian orang 30 menit adalah waktu yang cukup lama. Mereka dituntut untuk memecahkan teka-teki dalam waktu singkat. Tidak lama lampu menyala, ternyata Hellena tak sengaja menginjak tombol di bawah sepatunya.

Semua meneguk ludah. Tempat itu tidak ubahnya kamar mayat rumah sakit yang sudah ditinggalkan selama lebih dari 50 tahun. Penghuni aneh yang telah dikatakan sebelumnya bermunculan dari bawah ranjang pasien. Mereka berpakaian perawat lengkap dengan nursing cap dan menunjukkan perangai aneh seperti mayat hidup atau yang biasa disebut “Zombie”.

“Apakah itu semacam properti rumah hantu yang dikendalikan seseorang di hari Halloween? Terlihat realistis,” celetuk Wahrheit Tinashe (Blue).

Quon Kisaragi (White) menyahut di tengah degup jantungnya yang ribut. “Kurasa tidak.”

Lima pemain laki-laki adalah merah, biru, cokelat, oranye, dan abu-abu. Sementara pemain perempuan berwarna kuning, hijau, putih, ungu, dan hitam. Mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika makhluk-makhluk mengerikan itu mulai mendekati mereka sambil terseok-seok. Para pemain laki-laki mengambil apa pun di sekitarnya dan mulai berperang melawan musuh.

Para pemain perempuan hanya menyumbangkan otak mereka untuk memecahkan teka-teki. Soal itu hanya dibacakan sekali dan tidak ada pengulangan. Untungnya, Hellena memiliki daya ingat yang cukup baik. Ia menuliskan soal teka-teki tersebut pada secarik kertas yang telah disediakan.

“Anda mengemudi tiga blok dan menjemput dua orang. Anda mengemudi tiga blok lagi dan satu orang turun. Anda berkendara di tikungan dan menjemput lima orang. Apa hubungannya dengan umur sopir bus?” tanya Faye Valentine (Purple) terheran-heran.

“Justru, itulah yang harus kita pecahkan dengan logika. Berhenti bicara.”

Mayat-mayat hidup tidak bisa mati. Mereka hanya tumbang sejenak, lalu bangkit lagi. Tenaga para pemain laki-laki hampir habis, waktu pun tinggal tersisa lima menit lagi, sementara tim perempuan belum bisa menyelesaikan persoalan. Hellena berpikir keras, bunyi LED Sign Board makin membuatnya menegang.

“Berapa umur sopir bus? Betapa pun tuanya Anda. Lagi pula, pertanyaan dimulai dengan menyatakan bahwa Anda adalah sopir bus, ‘kan?”

Terbukti, Hellena memiliki kecerdasan lebih unggul dari anggota yang lain. Sebab, pekerjaan menulis tidak hanya menggunakan kemampuan otak kanan saja yang berhubungan dengan imajinasi, tetapi juga menggunakan kemampuan otak kiri yang bersifat terstruktur dan logika. Himiko Toga (Yellow) berambut blonde pun akhirnya tahu fungsi deretan tombol angka yang terpajang di dinding dengan sepuluh warna sesuai jumlah pemain.

Tidak berlama-lama, pemain perempuan segera mencoba memasukkan PIN berjumlah dua digit yang tak lain adalah jumlah usia mereka. Alice Zuberg (Black) lebih dulu menekan tombol dua dan satu di kolom berwarna hitam, lalu muncul bunyi “Your answer is correct!”. Seluruh pemain pun segera memasukkan jumlah usia mereka sesuai kolom warna masing-masing, kecuali dua orang pria Ken Kaneki (Orange) dan Vash the Stampede (Brown) yang masih sibuk bergumul dengan Zombie, serta dua orang wanita Lelouch Lamperouge (Green) dan Himiko Toga (Yellow). Waktu akan berakhir dalam sepuluh detik.

“Sial, aku bahkan tidak pernah menghitung usiaku!” Ken Kaneki (Orange) belingsatan.

“Tolong bantu aku melihat angkanya!” pekik Lelouch Lamperouge (Green) panik. Pandangannya tetap mengabur meski sudah memakai kacamata tebal.

Himiko Toga (Yellow) malah menangis ketakutan. Sementara, pengisian angka tidak bisa diwakilkan.

Ken Kaneki (Orange) telah menggunakan dua kesempatan untuk menebak angka, tetapi hasilnya tidak akurat. Jumlah angka yang dimasukkan tidak sesuai dengan umur sebenarnya sesuai kartu identitas diri ketika melakukan registrasi pendaftaran. Kemudian, Vash the Stampede (Brown) justru merelakan tubuhnya menjadi makanan Zombie demi menyelamatkan rekan-rekan lain di tengah bunyi detik yang meneror.

“Berjuanglah sampai akhir!” pesan Vash the Stampede (Brown).

Alarm berbunyi menandakan waktu telah berakhir. Lampu merah menyala-padam. Vash the Stampede (Brown), Ken Kaneki (Orange), Himiko Toga (Yellow), dan Lelouch Lamperouge (Green) seketika meledak. Para wanita menjerit histeris. Teriakannya menembus udara. Satu hal yang baru mereka sadari, di tubuh setiap peserta telah terpasang rompi bunuh diri. 

Seseorang bisa memperoleh satu detik yang berharga dalam waktu satu tahun atau memperoleh satu tahun yang berharga dalam waktu satu detik. Babak ini juga memberi pelajaran tentang arti dari sebuah pengorbanan. Prestasi besar lahir dari pengorbanan yang besar, bukan keegoisan.

Round Two

In war, not everyone is a soldier.

Tersisa enam orang pemain. Mereka memasuki babak kedua untuk bermain di sebuah reruntuhan rumah bekas dibom dan mencoba bertahan hidup di zona perang yang berbahaya. Mereka bukan berperan sebagai sosok tentara, melainkan warga sipil yang berjuang sebagai korban peperangan. Jika dalam game bergenre perang biasanya memegang senjata dan bertempur saling baku tembak, menghadapi desingan peluru, serta mencari tempat perlindungan yang aman, maka di babak ini mereka hanya perlu mencari makan.

Namun, bukan sesuatu yang mudah, mereka harus mengendap-endap menjelajahi kota dan rumah-rumah untuk mencari makanan, obat-obatan, serta senjata sambil berharap tidak bertemu dengan survivor lain di reruntuhan supermarket atau rumah sakit. Di dunia ini, manusia benar-benar kehilangan rasa kemanusiaan. Terkadang mereka perlu merampok dan membunuh demi secuil makanan tidak layak.

“Dalam kondisi sulit seperti ini, mengapa hanya disisakan tiga laki-laki dan tiga kucing betina? Wanita hanya bisa merengek dan menangis,” gerutu Ulquiorra Cifer (Red).

Pipi Hellena memerah dan alisnya menyempit. Perempuan bukanlah makhluk lemah yang patut disepelekan. “Kaulupa dari mana dirimu berasal?” protesnya.

Penghitung waktu yang terpasang di setiap pergelangan tangan pemain kembali menimbulkan bunyi mencekam seperti bom yang sedang menghitung mundur untuk meledak. Semua mengunci mulut untuk mendengarkan soal teka-teki baru yang mungkin hanya dibacakan sekali seperti sebelumnya. Alice Zuberg (Black) bersiap dengan kertas dan penanya.

A man builds an ordinary house with four sides, except each side has a southern expose. A bear comes to the door and rings the doorbell. What color is the bear?

Material seperti kayu dan bahan bangunan mudah diperoleh, tetapi makanan sangat sulit dicari. Menemukan bahan makanan di antara reruntuhan menjadi rezeki nomplok yang jarang ditemukan. Di kondisi ini, obat-obatan menjadi lebih berharga dari berlian. Sebatang rokok dan sekaleng makanan bisa ditukar dengan bahan material lain. Tidak ada mata uang transaksi dilakukan dengan barter untuk segala kebutuhan.

Para pemain mulai beraksi. Ulquiorra Cifer (Red) memimpin dan akan menjadi perisai utama yang melindungi anggota timnya. Wahrheit Tinashe (Blue) dan Donquixote Doflamingo (Grey) menjaga kelompok wanitanya dari belakang. Mereka tidak memiliki senjata khusus, tetapi reruntuhan bangunan bisa digunakan untuk menjaga diri dari serangan musuh.

“Mereka melihat kita,” bisik perempuan bermata hazel— Faye Valentine (Purple)—memberi peringatan.

Beberapa survivor berjumlah lebih banyak dari mereka mulai memburu para pemain bagaikan serigala buas yang lapar. Peperangan menciptakan fenomena anthropophagus atau kanibalisme, dua di antara mereka adalah pemakan sesama spesies, tetapi tidak memangsa anggota kelompoknya. Kondisi mereka sangat kacau dengan pakaian kumal dan compang-camping.

Di tengah-tengah ketegangan melarikan diri, enam pemain justru tak sengaja terperosok ke dalam lubang jalan yang serupa terowongan tikus mol telanjang. Atau, mereka akan berakhir di sana sebagai tikus sekarat yang membusuk? Namun, Donquixote Doflamingo (Grey) kembali menyalakan pemantik api. Lubang itu berbentuk huruf L. Mereka baru saja jatuh, tetapi bukan berarti terperangkap.

“Masih ada jalan, tetapi waktu kita hanya tersisa 15 menit. Namun, jika tergesa-gesa, kita akan cepat mati karena kehabisan oksigen,” kata Donquixote Doflamingo (Grey).

Tanpa pikir panjang, mereka mulai menerobos terowongan dengan cara merangkak. Sempit dan pengap, gelap menyelimuti. Sebisanya mereka mengatur napas. Tidak ada yang membuka suara. Napas Hellena terengah-engah. Ia merasa seperti sedang mengikuti pelatihan militer. Sampai akhirnya, lubang itu berakhir di ruang bawah tanah, rumah milik korban peperangan.

“Akhirnya, aku bisa bernapas lega. Namun, apakah ini adalah tempat yang benar?” desah Quon Kisaragi (White).

“Pembuat game pasti sudah merencanakannya dengan matang. Tidak mungkin ada lubang sebesar itu di jalan,” sahut Faye Valentine (Purple).

Waktu akan berakhir dalam tiga menit. Di tengah ratapan orang-orang yang putus asa, Hellena sibuk mencari petunjuk untuk menyelesaikan babak dua dibantu oleh pemain ungu. Ia pun menemukan sebuah kotak mirip harta karun yang disegel rapat. Di samping benda itu, terdapat sebuah kapsul data yang sedang menampilkan soal riddle dalam flatop—komputer era Robonium yang setipis kertas, seringan kapas, touch screen, dan transparan.

“Seorang pria membangun sebuah rumah biasa dengan empat sisi, kecuali setiap sisi memiliki bagian selatan. Seekor beruang datang ke pintu dan membunyikan bel pintu. Apa warna beruang itu?”

Di bawah pertanyaan itu, terdapat tiga opsi jawaban yang bisa diklik. Jika jawaban salah, maka semua pemain akan musnah.

“Aku tahu!” seru Quon Kisaragi (White). “Beruang itu berwarna putih. Sebuah rumah dengan empat eksposur selatan akan berada di Kutub Utara, jadi itu pasti beruang kutub!”

A.   Cokelat

B.   Hitam

C.   Putih

Maka, Hellena mengeklik C walau tindakannya menentukan hidup atau mati semua orang. Dan benar saja, kotak kayu terbuka secara otomatis memperlihatkan tiga potong roti dan beberapa senjata. Para pemain saling berebut mengambil makanan karena sepotong roti itu akan menyelamatkan nyawa mereka. Tiga kontestan yang berhasil mendapatkan roti adalah Ulquiorra Cifer (Red), Donquixote Doflamingo (Grey), dan Alice Zuberg (Black).

Tiga orang pemain yang tak kebagian segera berusaha merampas makanan milik siapa pun sebelum waktu habis. Dua puluh detik dihitung mundur dari sekarang. Quon Kisaragi (White) mulai gelisah dan menyerang Hellena. Wahrheit Tinashe (Blue) mengambil pistol dan bersiap memuntahkan peluru buas. Sang pembuat game sepertinya telah mengatur semuanya. Senjata itu disediakan untuk saling membunuh demi bertahan hidup.

Alarm mengerikan pun kembali bergaung. Waktu telah habis. Semua orang meledak.

Babak ini memungkinkan mereka untuk berkelahi dan membunuh sesama tim. Namun, tujuan utama dari babak ini bukanlah mengambil seorang pemenang, melainkan menguji sisi kemanusiaan dalam bertahan hidup dan melatih kekompakan tim. Di babak ini, kunci utamanya adalah “Makanan”. Sepotong roti dapat dibagi menjadi dua bagian atau lebih sehingga semua pemain bisa mendapatkan makanan.

“Bertahan hidup tidak harus membunuh.”

Bogor, 06 Juli 2023

 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Horor
Cerpen
Death Game: Are You Ready to Play?
N Laila
Novel
Gold
Fantasteen Ghost Dormitory in Paris
Mizan Publishing
Novel
Sarandjana : Terjebak Malam
Adam Wiradi Arif
Novel
Bronze
Rama's Story : Mey Ling - Dark Castle
Cancan Ramadhan
Novel
Gold
Fantasteen Bisikan Caroline
Mizan Publishing
Novel
Gold
The Haunting of Hill House
Mizan Publishing
Novel
"NETRA" Jejak Kematian
Apresia Ardina
Novel
Bronze
MARAKAYANGAN: Yang Tertolak Dua Dunia
Trippleju
Cerpen
Sherly
Panipun
Novel
Bronze
Hizib
Topan We
Novel
Bronze
Supranatural Experience 1998
mutaya s
Novel
MISTERI RUMAH BAMBU DI BUKIT WINGIT
Embart nugroho
Novel
Gold
Fantasteen Scary Halte Angker
Mizan Publishing
Flash
Bus Hantu
Deandrey Putra
Novel
Gold
Rumah di Perkebunan Karet
Mizan Publishing
Rekomendasi
Cerpen
Death Game: Are You Ready to Play?
N Laila