Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Dear Mima
2
Suka
9,404
Dibaca

Dear, Mima....

Ini Jeni. Adikmu. Mulai hari ini, aku menulis di buku harian. Sahabatku, Sita bilang, aku harus punya buku ini untuk menulis semua yang aku rasakan sehari-hari. Dari pada aku meluapkan emosi yang nggak terkendali kepada orang lain. Aku setuju. Aku nggak mau kalau tiba-tiba tantrum dan merepotkan banyak orang.

Hari ini, muka Ibu kelihatan sedih. Dia melihat foto-foto kamu. Tampaknya dia kangen. Kamu kangen Ibu, nggak? Aku berusaha membuat Ibu ceria. Tapi, aku hanya membeku memandangi punggungnya tanpa bisa ngomong apa-apa.

Kamu yang lebih pintar menyenangkan hati Ibu. Aku yakin, kamu akan membawakan teh dan duduk di samping Ibu. Lalu, kalian mulai mengobrol dan akhirnya suara tawa terdengar sampai ke kamar tempatku rebahan sambil baca buku. Harusnya sebelum kamu pergi, aku sempat belajar dulu cara menyenangkan hati Ibu dari kamu.

Aku masih nggak mengerti kenapa kamu memilih tempat kuliah yang jauh dari rumah. Kalau mau mengunjungi kamu, kita harus menaiki pesawat dulu dengan durasi tujuh jam. Lalu, menyambung naik bus selama tiga puluh menit. Coba kamu mendaftar di Universitas Indonesia yang lokasinya lebih dekat dari rumah.

Kamu bisa pulang-pergi dari rumah ke kampus. Kereta commuter line di sini juga sudah bagus, kok. Tapi, yang lebih penting lagi kamu masih di sini. Kita masih bisa menikmati kue lemon buatan Ibu bersama-sama.

Ah, semoga kamu tahu betapa kangennya Ibu dan aku kepadamu, Mima.

Adikmu tersayang,

Jeni.

Dear, Mima....

Minggu depan, aku sudah masuk sekolah. Aku cemas karena harus memulai hari sebagai anak SMA. Bagaimana kalau aku nggak punya teman? Apalagi Sita memilih SMA yang lebih dekat dengan rumahnya.

Masalah teman mungkin masih bisa nanti-nanti dipikirin. Tapi, aku bingung karena Ibu belum menyiapkan keperluanku untuk masuk SMA nanti. Seragam saja belum dibeli, apalagi alat-alat tulis. Kalau kamu masih di sini, aku pasti bisa dengan gampangnya ngomong ke kamu. Lalu, kamu yang akan mengantarkanku berbelanja. Tentu saja, uangnya tetap dari Ibu.

Kalau kamu ada di sini sekarang, kamu pasti mengomeliku dan bilang bahwa aku sudah besar dan harus bisa mandiri. Itu pesanmu dulu sebelum berangkat. “Jangan merepotkan Ibu kalau kamu bisa lakukan sendiri.”

Maaf, ternyata aku nggak bisa. Aku masih seorang adik cengeng yang apa-apa harus dibantu.

Adikmu yang manja,

Jeni.

Dear, Mima....

Pulang sekolah aku mendengar keributan dari arah kamar Ayah dan Ibu. Jantungku berdegup kencang karena mereka nggak pernah bertengkar sebelumnya. Apa kamu pernah melihat Ayah dan Ibu berkelahi?

Aku mencoba menguping perdebatan itu. Tapi pintu kamar mereka tertutup rapat. Aku hanya mampu menangkap suara dengung dan gema keras. Meskipun nggak mengetahui sumber pertengkaran mereka, aku tetap saja ketakutan. Aku putuskan untuk pergi ke luar rumah. Biar saja mereka menganggap aku belum pulang dari sekolah.

Aku pergi ke Alfamart dekat rumah, beli Teh Botol dan duduk di parkirannya. Aku menunggu di sana sampai matahari hilang dari langit. Sepanjang itu, nggak sekalipun HP-ku berdering. Nggak pernah Ayah dan Ibu menelepon untuk menanyakan keberadaanku.

Aku nggak tahu apakah harus sedih atau senang dengan kenyataan tersebut. Sedih karena rupanya orangtua kita nggak peduli kenapa aku belum pulang juga. Senang karena bukankah bebas berkeliaran di luar rumah adalah impian semua remaja di dunia ini?

Ketika azan Isya berkumandang, aku memutuskan untuk pulang. Bukan apa-apa, gerombolan nyamuk telah menggigiti kakiku. Terus, ada kakek-kakek yang memandangiku tanpa henti dan membuatku nggak nyaman.

Masuk ke dalam rumah, aku melihat Ayah sedang menonton TV. Ibu menyiapkan makan malam. Ketika melihatku, Ibu hanya menyapa singkat. Dia nggak marah atau menanyaiku: Kenapa aku baru pulang, ke mana saja? Sama sekali nggak ada.

Ayah dan Ibu saling berdiam diri. Ibu menumpuk empat piring di meja makan. Tiga piring di antaranya disebarkan untuk Ayah, Ibu, dan aku. Semua dilakukan dalam diam. Keheningan yang terasa asing dan menakutkan.

Aku melirik satu piring yang tersisa. Itu piringmu. Meskipun sudah setahun kamu pergi, Ibu tetap menyertakan piring itu dalam setiap makan malam.

Aku memergoki Ibu yang juga menatap piringmu. Tidak sengaja, mataku menubruk mata Ibu. Aku langsung menunduk, begitu juga Ibu. Aku tidak tahan menyaksikan genangan air di bola matanya.

Apa yang harus aku lakukan, Mima?

Adikmu yang bodoh,

Jeni.

Dear, Mima....

Pertengkaran antara Ayah dan Ibu semakin sering terjadi. Awalnya, mereka berjaga-jaga tidak melakukannya ketika aku ada di rumah. Tapi, akhir-akhir ini mereka tetap berdebat satu sama lain meskipun tahu aku sedang mendekam di kamar. Mereka baru berhenti ketika tidak sengaja melihat sosokku di antara mereka.

Malam itu, aku terbangun dari tidur karena kehausan. Tentu saja aku langsung ke dapur. Namun, aku melihat ayah yang tergesa-gesa ke luar rumah, dengan tangan yang menggeret koper besar. Aku tahu Ayah sebenarnya menyadari keberadaanku. Tapi, laki-laki itu pura-pura tidak melihat.

Kamu mungkin beranggapan aku bodoh karena tidak berteriak memanggilnya ataupun mencegahnya. Entahlah, mungkin hati nuraniku sudah menyadari adalah sesuatu yang sia-sia mempertahankan mereka yang memang ingin pergi.

Aku melupakan rasa hausku dan beranjak ke kamar Ibu. Pintunya terbuka sedikit. Jadi, aku dapat melihat Ibu terduduk di lantai dengan sebuah ponsel di genggamannya. Ibu menekan tombol dan menempelkan HP itu ke telinganya.

Tidak lama kemudian terdengar, “Halo, Mima. Ini Ibu.”

Tadinya, aku ingin menerobos masuk ke kamar Ibu. Tapi, aku nggak mau mengganggu pembicaraan Ibu denganmu. Siapa aku yang berhak menghalangi Ibu kalau aku sendiri saja menulis di buku harian ini?

Aku kembali ke kamar. Aku mengambil HP yang terletak di meja. Aku memencet nomor telepon kamu. Bukannya bunyi tut tut pertanda telepon yang dihubungi sedang berdering menunggu diangkat pemiliknya. Namun, ucapan “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan” yang terdengar.

Aku bukannya lupa kalau kamu nggak lagi bisa menjawabnya. Aku nggak mau terima kalau kamu sudah nggak lagi bisa mengangkatnya.

Adikmu yang masih sangat membutuhkanmu,

Jeni.

Dear, Mima....

Tadi, Ibu menjemputku ke sekolah. Jadinya, pulang cepat deh. Tapi, Ibu nggak menyetir mobil ke rumah. Ibu membawaku ke sebuah gedung perkantoran. Kami menaiki lift menuju lantai 21. Memasuki lobi, logo sebuah perusahaan penerbangan tertempel di dindingnya. Aku benci dengan logo itu.

Resepsionis mengantar kami ke ruang tunggu. Rupanya, bukan kami saja yang hendak ditemui oleh pihak perusahaan penerbangan. Ada beberapa keluarga lain, sebagian di antaranya memasang wajah sedih dan kalut. Di berbagai sudut ruangan, ada meja buffet yang dipenuhi makanan. Tapi, tidak ada seorang pun yang menyentuh sajian itu.

Seorang pria yang mengenakan setelan jas mendatangi kami dan meminta kami berpindah ke ruangan aula besar. Kursi-kursi berjejer di sana. Pada bagian terdepan, ada podium yang diletakkan di tengah-tengah, lengkap dengan sebuah mikrofon.

Kami diminta duduk di kursi yang telah disediakan. Kemudian, seorang pria muncul dan bergerak ke podium. Dia mengenakan setelan jas yang terlihat mahal. Setelah diperkenalkan, pria itu menyampaikan pidatonya.

Aku nggak ambil peduli sampai laki-laki itu mengatakan, “Dengan ini menghentikan pencarian korban pesawat Rantas Airlines yang jatuh di sekitaran Samudra Pasifik setahun yang lalu.”

Sontak, keributan menyeruak. Semuanya berdiri dan menghampiri pria yang berdiri di podium, kecuali aku. Tulang-tulang tubuhku seperti agar-agar. Mulutku membisu seperti tertumpah lem paling kuat sedunia.

Walaupun aku masih nggak mau terima, tapi mau nggak mau aku harus terima. Dengan berita ini, aku nggak bisa lagi berharap kalau suatu saat kamu akan pulang ke rumah.

Dear Mima, ini adikmu. Jeni.

Bisakah aku menyusulmu?

***

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Rebuild The Club!
William Oktavius
Komik
Mellifluous
achaa
Cerpen
Dear Mima
SURIYANA
Novel
Me?? Beautiful
Momo
Flash
Mantan yang tak Pernah Pergi
Mario Matutu
Cerpen
Bronze
Penjaga Musala Tak Mau Salat
Sulistiyo Suparno
Cerpen
Segenggam Ikhlas untuk Autis
Nurul Wulan
Skrip Film
K: Kisah, Cinta & Kita
Vivin Aprilia
Flash
Tuan Pembawa Sial dan Bunga Merah Ribuan Tahun
Adinda Amalia
Novel
RIFAYYA
Humairoh
Novel
Rumah yang Hirap
Azzahra Nabilla
Skrip Film
Tuhan Yesus Sembuhkan Luka Batinku (Skrip)
Asti Pravitasari
Cerpen
Panggung untuk Abu Zan
Fazil Abdullah
Skrip Film
Growth: Story of the Inner Child
Azkiatunnisa Rahma Fajriyati
Novel
Gold
Magnitudo
Bentang Pustaka
Rekomendasi
Cerpen
Dear Mima
SURIYANA
Cerpen
Pashmina Perpisahan
SURIYANA
Flash
Tidak Hanya Wanita
SURIYANA
Flash
Badut
SURIYANA
Flash
TERLALU BAIK
SURIYANA
Novel
Berharap Madu, Terdulang Permata
SURIYANA
Cerpen
Memori Menari
SURIYANA
Flash
Hidup tanpa Warna
SURIYANA
Cerpen
Kembar Satu Jiwa
SURIYANA
Cerpen
Usia 12
SURIYANA
Flash
Tiga Menit untuk Selamanya
SURIYANA
Cerpen
Ibuku Bukan Ibu-Ibu
SURIYANA
Flash
Bronze
BAHASA
SURIYANA
Cerpen
Obituarium
SURIYANA
Novel
Bronze
Pinjaman Berbunga Cinta
SURIYANA