Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Dawai Penuh Cinta
1
Suka
6
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Rosi menyapukan pandangan ke sekeliling rumah yang sudah dirapikan dengan seksama. Langsung berputar di depan cermin besar di pojok ruang tamu. Memastikan apakah penampilannya sudah sempurna. Ia mengenakan gaun brokat merah muda dan jepitan perak andalannya. Tersenyum lebar karena merasa sangat bahagia, usahanya beberapa bulan ini akhirnya mulai menampakkan hasil.

Dia sedang menunggu kedatangan Dion, senior di kampus yang membuatnya jatuh cinta sejak pandangan pertama. Pria itu memiliki senyum manis semanis madu. Kepribadiannya ramah dan mudah bergaul, tak terlalu sulit bagi Rosi untuk mendekatinya. Dengan sedikit usaha masuk ke klub musik yang diketuai Dion, Rosi bisa sering mengobrol dan langsung mengenalnya lebih dekat. Hari ini dengan alasan meminjam gitar dan butuh bantuan merekam tugas kuliahnya, Rosi mengundang Dion datang ke rumah. 

Bel berbunyi, saat bergegas menuju pintu langkahnya terhenti sejenak. Ia melemparkan pandangan ke halaman samping rumah yang terlihat dari jendela ruang tamu. Menimbang sejenak apakah lebih baik kalau ia menutup tirainya, tapi suara bel kembali berbunyi dan ia memutuskan segera membukakan pintu untuk Dion yang sejak tadi sudah ditunggunya. Sejenak melupakan kekhawatiran dalam dirinya yang muncul setiap ada orang datang ke rumahnya.

Membukakan pintu dan mempersilakan Dion masuk, Rosi sebisa mungkin tak terlihat sedang kegirangan. Dengan senyuman manisnya, Dion mengangguk. Masuk ke dalam rumah sambil membawa tas gitarnya di punggung dan bergerak santai duduk di sofa yang menghadap ke jendela. Saat Rosi menyuguhkannya secangkir teh dan sepiring biskuit, mata Dion tertuju ke seberangnya. Dahinya sedikit berkerut, ia bergerak bangun dari sofa dan menyambangi jendela.

“Rosi, itu siapa?” tanyanya setelah menyesap sedikit teh, menunjuk ke gadis berambut sepinggang yang duduk terdiam di bangku taman.

“Ah,” Rosi beranjak dengan canggung, berdiri di samping Dion dan memandang ke halaman samping. “Itu kakak sepupuku.” Jawabnya sambil tersenyum tegang.

“Oh,” Dion mengangguk. “Jadi, mau rekam sekarang tugasnya?” Tanyanya kemudian sambil berbalik badan dan kembali ke arah sofa.

Meski sedikit kecewa karena Dion seperti terburu-buru padahal dirinya ingin meluangkan waktu lebih banyak untuk mengobrol dulu, Rosi akhirnya mengangguk. Ia menerima gitar Dion kemudian duduk dan bersiap untuk penampilannya. Dion memasang tripod dan kameranya tanpa berkata apapun, memastikan berfungsi dengan baik sebelum memberikan aba-aba pada Rosi untuk memulai rekamannya.

Rosi memulai penampilannya, ia sudah berlatih berhari-hari untuk terlihat sempurna di depan Dion, namun satu hal yang malah memecah fokusnya. Dion tak melihat ke kamera, tak pula ke arahnya. Dari awal sampai akhir Rosi menyanyikan lagu. Dion tidak memandangnya. Matanya tertuju ke jendela, ia terus memandang ke arah yang sama.

Setelah merampungkan penampilannya yang terbilang kacau, Rosi berjalan ke arah Dion dan mengembalikan gitarnya dan akhirnya Dion bertanya. “Rosi, maaf,” ucapnya canggung. “Kok kakak sepupu kamu dari tadi cuma diam melamun aja nggak gerak sama sekali?”

Akhirnya dia bertanya juga, pikir Rosi. Semua orang yang datang ke rumah pasti akan menanyakan hal yang sama. Meski sesungguhnya tak ingin mengungkapkan cerita luka kakak sepupunya, namun ini juga bukanlah sebuah rahasia. Hampir semua orang yang pernah ke rumahnya tahu tentang Dinda, meski tak semua tahu apa alasan dibaliknya. “Jiwanya terguncang. Dia trauma sampai nggak bisa ngomong sama siapapun.”

Mata Dion terbelalak, ia menengok lagi ke arah jendela. “Kenapa?” Tanyanya, persis seperti pertanyaan orang-orang sebelumnya. Semua tak percaya sosok perempuan secantik Dinda menderita sakit jiwa. Biasanya Rosi tak akan menjawab pertanyaan ini, ia takut mengungkapkan luka kakak sepupunya ke orang lain. Namun Dion tampaknya orang yang bisa dipercaya. Dia juga sudah memutuskan untuk lebih dekat dengan Dion hari ini. Rosi pun menarik nafas dalam-dalam dan menjelaskan alasannya.

“Dua tahun lalu, dia diperkosa sama teman kampusnya. Orang itu sempat sembunyi jadi DPO dan dikejar-kejar polisi, setahun kemudian dia tertangkap, tapi…” Sungguh Rosi berat melanjutkan.

“Tapi?” Dion tak sabar menunggu.

“Ternyata pria itu mengidap HIV/Aids.” Sambung Rosi. “Sejak saat itu Dinda depresi, dia mulai menyendiri, lama-lama dia takut sama orang lain, sekarang dia nggak mau didekati siapapun kecuali aku dan orang tua aku.” Rosi menatap Dinda yang melamun dari pagi sampai petang di halaman. “Dia merasa dia juga mengidap Aids.”

Hari itu Dion pulang setelah mengucapkan janji untuk tak menceritakan tentang Dinda ke siapapun, ia adalah pria yang sangat peka dan ucapannya itu jelas membuat Rosi merasa lebih tenang. Yang tak Rosi sangka justru keesokan harinya Dion tiba-tiba datang lagi. Memasuki rumah Rosi dengan membawa setangkai bunga mawar, ia berjalan ke arah jendela dan bertanya, “Boleh aku samperin?” Tunjuknya ke Dinda. Rosi pun mengangguk seakan tak berdaya.

Melihat Dion menyambangi Dinda dengan membawa bunga di tangannya, Rosi terkesima. Perasaan dalam hatinya sulit dideskripsikan. Ia patah hati, namun di saat bersamaan juga tersentuh, bingung, terpesona dan tak percaya. Menyadari kehadiran orang asing di dekatnya, Dinda menggerakkan kepalanya menatap Dion dan langsung menjerit ketakutan. Rosi buru-buru menghampiri, merangkul Dinda sambil mengusap-usap punggungnya dan terus mengucap “Ini Rosi, ini Rosi, tenang, ini Rosi.” Sementara Dion membeku di tempat, termangu menyaksikan betapa histerisnya Dinda setelah ia menyapa.

"Maaf Kak Dion, tapi lebih baik kakak pulang. Dia nggak akan tenang kalau masih lihat kakak." Pinta Rosi, walaupun tak enak hati mengusir Dion, namun tetap harus ia dilakukan demi ketenangan Dinda. Beruntung Dion bukan orang yang mudah tersinggung. Ia memahami resiko tindakannya yang termasuk nekat ini dan langsung menangguk meminta maaf, setelah menaruh setangkai mawarnya di samping Dinda dia bergerak pamit.

Ternyata keesokan harinya Dion datang lagi, ia terus datang dan datang lagi dengan membawa sekuntum mawar dengan warna berbeda setiap hari. Pada hari ke lima ia mulai membawa gitar. Mengambil jarak cukup jauh dari Dinda dan menyanyikan lagu sambil memainkan gitarnya. Lambat namun pasti, ia terus mempersempit jarak antara dirinya dan Dinda, dan tepat di bulan kedua kedatangannya, Dion berhasil membawakan lagu sambil duduk di samping Dinda. Dinda memang tetap terdiam seribu bahasa dan sama sekali tak memandang ke arah Dion, akan tetapi sudah sejak lama sejak dia berhenti berteriak histeris setiap kali Dion datang dan mendekat.

Rosi selalu berdiri di depan jendela, memandang ke arah mereka dan mendengarkan lagu yang Dion bawakan dari balik kaca. Suara merdu Dion dan dentingan senar gitarnya yang mengalun terbawa angin, begitu indah dan menenangkan. Menjadi saksi bagaimana Dion memandang dan memperlakukan Dinda selama dua bulan kebelakang, Rosi sadar, dirinya sudah lama menyerah akan perasaannya.

Tepat pukul lima sore Dion pamit pulang, di ambang pintu ia terlihat gusar. Rosi yang seperti biasa mengantarnya sampai ke depan pintu memberanikan diri untuk bertanya apa yang sedang mengganggu pikiran Dion hingga terlihat resah tak seperti biasanya. Ternyata Dion ingin memastikan, apakah Dinda benar-benar sudah pernah melakukan pengecekan di rumah sakit tentang dugaan penyakit HIV/Aids yang Dinda idap atau belum. Rosi menjawab dengan gelengan kepala. menjelaskan kalau Dinda tak pernah bisa dibawa keluar rumah dan ia kesulitan karena orang tua Dinda sudah meninggal dunia tiga tahun lalu sementara kedua orang tuanya sibuk bekerja dan dia tak punya saudara lainnya. Dion pun mengangguk paham dan pamit pulang.

Keesokan harinya, Dion tak datang. Tiga hari berturut-turut kemudian Dion juga tak datang. Rosi khawatir karena Dion tak menjawab pesannya pun tak bisa ditemui saat berada di kampus. Dan nampaknya bukan cuma Rosi yang merasa kehilangan dan menanti kedatangan Dion. Sore itu, dia menyadari sorot mata Dinda berubah. Tatapannya tak sekosong sebelumnya, Dinda bahkan terlihat mulai mengangkat kepalanya untuk menatap ke langit dan dedaunan di pohon yang bergerak saat tertiup angin. Keteguhan hati Dion tampaknya cukup berarti, Dinda seperti mendapatkan pemulihan dari kehadirannya. Akan tetapi bagaimana kalau Dion tak datang lagi, bagaimana kalau dia menyerah akan Dinda? Apakah Dinda akan menjadi lebih terluka dari sebelumnya? Rosi benar-benar khawatir.

Hari berikutnya kekhawatiran Rosi langsung sirna. Bel berbunyi di waktu yang sama seperti biasa dan saat ia membuka pintu ia mendapati Dion tengah tersenyum dengan manisnya. "Maaf ada sesuatu yang harus aku urus." Terang Dion, seperti biasa langsung menengok ke arah taman samping dari jendela. "Em, Rosi." Ucapnya kemudian.

Rosi mengerutkan dahi, ekspresi wajah Dion kelihatan gusar seperti terakhir kali ia melihatnya. Disapukan pandangannya ke pakaian yang hari ini Dion kenakan, ia kelihatan berbeda. Biasanya Dion hanya mengenakan  t-shirt dan celana pendek, tapi hari ini ia memakai kemeja biru gelap dan celana jeans  panjang. "Ayo kita bawa Dinda ke rumah sakit." katanya tiba-tiba.

"Rumah sakit?" Rosi terkejut

Dion mengangguk, "Kita harus cek perihal Aidsnya.”

“Tapi,” tanggap Rosi gundah. “Dia gak bisa dibawa keluar rumah.”

Sambil menyunggingkan senyuman andalannya, Dion menyentuh lengan Rosi, “Serahin sama aku.” Ucapnya percaya diri.

Rosi masih tetap ragu. "Kalau hasilnya negatif?" tanyanya berjaga-jaga.

"Berarti harus dibawa ke psikiater, nggak tidak bisa begini terus.” Dion terus berusaha meyakinkan. “Aku bakalan urus tentang biayanya.”

"Kalau positif?" Tanya Rosi lagi.

Dion terdiam sejenak. "Aku yakin, nggak.” Gelengnya.

Rosi menghela nafas. Meski tetap tak yakin apakah ini tindakan yang tepat, dan tak tahu bagaimana bisa mereka membawa Dinda keluar rumah, akhirnya ia mengangguk. Keduanya langsung menuju halaman samping. Dion mendekati Dinda perlahan sementara Rosi berdiri terdiam dan menjaga jaraknya.

Dion membisikkan sesuatu ke telinga Dinda, untuk pertama kalinya Rosi melihat Dinda menengok dan memandang wajah orang yang ada di hadapannya. Sampai Rosi mengira kalau Dinda akan langsung mau ikut dengan mereka, tapi ternyata Dinda menjerit histeris seperti dirinya yang sebelumnya. Dion langsung memegang kedua lengan Dinda dengan lembut namun erat, menarik tubuhnya mendekat, menempatkan Dinda dalam dekapannya sambil terus membisiki kata-kata di telinganya. Dinda terus meronta, dan dengan sekuat tenaga Dion mengangkat Dinda ke punggungnya, membawanya keluar rumah dan memasukkannya ke dalam mobil. Sambil berjalan menyusul, air mata Rosi menetes. Terharu akan pengorbanan dan usaha Dion untuk Dinda yang bahkan belum pernah bicara dengannya.

Di rumah sakit pemeriksaan dilakukan dengan cepat karena ternyata Dion sudah mendaftarkan sebelumnya. Dinda berbaring diranjang rumah sakit setelah mendapat obat penenang. Kini mereka menunggu satu sampai tiga hari untuk mendapatkan hasil tesnya. Sesuai permintaan Dion, Dinda tetap dirawat di rumah sakit dan mereka akan memutuskan perawatan apa yang akan diambil selanjutnya setelah hasilnya keluar. Orang tua Rosi sesekali datang dan membawakan baju Rosi dan makanan untuknya dan Dion. Mereka mengucapkan terima kasih pada Dion atas bantuannya yang tak terduga. Dan berdoa semoga hasilnya baik-baik saja.

Dion benar-benar tak pernah meninggalkan sisi Dinda kecuali pergi beli makan ataupun ke toilet. Rosi bahkan merasa keberadaannya tak berguna karena Dion melakukan semuanya. Pada pagi kedua dokter datang memberikan hasil tes Dinda. Rosi, dengan kedua matanya sendiri melihat bagaimana Dion melonjak girang penuh terharu karena dugaannya benar, Dinda negatif HIV/Aids. Dan seperti keajaiban di depan mata, Rosi melihat Dinda yang tak pernah berekspresi sama sekali selama setahun kebelakang, menatapnya dengan air mata berlinang. 

Rosi mengangguk sambil tersenyum ke arah Dinda. Lalu menatap Dion yang tengah menengok ke arahnya dengan senyum merekah. "Good job!" ucap Rosi, tak sadar sejak tadi sudah meneteskan air mata. Kini di hadapannya Dinda dan Dion saling tatap. Untuk pertama kalinya Rosi melihat Dinda memandang seseorang dengan sorot mata berisikan emosi. Rosi tersenyum, merasa sudah waktunya menarik keberadaannya di antara mereka. Tanpa bilang apapun, ia berjalan ke arah pintu. Sedetik sebelum menutup pintu, dari celahnya ia melihat. Bagaimana Dion memeluk Dinda dengan lembut dan erat.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Dawai Penuh Cinta
Arisyifa Siregar
Cerpen
Bronze
Sebelah
Yooni SRi
Cerpen
Genggaman Makanan
Talita Shafa Arifin
Cerpen
Kamu Sudah Dicus
Mambaul Athiyah
Cerpen
Ruang Temu
Lail Arahma
Cerpen
Bronze
Memulung Murung
hidayatullah
Cerpen
Bronze
Apakah yang Kita Harapkan dari Hujan?
Habel Rajavani
Cerpen
Bronze
My Husband
Anisah Ani06
Cerpen
Bronze
Lautan dan Semangkuk Sup
Ismail Ari
Cerpen
Bronze
Kognisi
Arba Sono
Cerpen
Bronze
Aku Dan Ariadne
Vitri Dwi Mantik
Cerpen
Bronze
Dikejar-kejar Polisi
Titin Widyawati
Cerpen
Bronze
Keajaiban Dokter Risna
Syaa Ja
Cerpen
Bronze
Jalan Terjal Tiga Puluh
Karlia Za
Cerpen
Bronze
Pelangi Di Atas Tiara
Shinta Larasati Hardjono
Rekomendasi
Cerpen
Dawai Penuh Cinta
Arisyifa Siregar
Novel
AS LOVE GOES BY
Arisyifa Siregar
Novel
Sekat Dalam Asa
Arisyifa Siregar
Novel
BITING THE LIPS
Arisyifa Siregar
Novel
AS YEARS GO BY
Arisyifa Siregar
Cerpen
Kiss From a Rose
Arisyifa Siregar
Novel
AS NIGHT FALL BY
Arisyifa Siregar
Novel
Bronze
[Sudah Terbit] Jakarta's Ruin
Arisyifa Siregar
Flash
Simpan Saja
Arisyifa Siregar