Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ada tiga hal yang paling dibenci kaum introvert di muka bumi ini:
Poin ketiga itu adalah level ultimate boss fight. Dan hari ini, aku harus menaklukkannya.
Teman SD-ku, Jaka, menikah hari ini. Sejak zaman main kelereng, dia sudah wanti-wanti: "Kalau aku nikah, lu wajib datang. Kalau nggak, persahabatan kita putus."
Jujur, aku masih denial. Jaka itu spesies cowok bengkel sejati. SD: Mainnya sama obeng. SMP: Sama kayak aku, pendiam dan pemalu. SMK: Masuk Teknik Mesin yang isinya 99% batangan, 1% cewek yang salah sekolahan. Kerja: Di bengkel umum, temannya oli dan besi.
Logikanya, Jaka seharusnya jomblo abadi. Sedangkan aku? Aku pernah pacaran pas SMP, punya banyak teman cewek di kantor. Tapi kenapa dia nikah duluan?! Jaka ini pakai pelet oli samping merek apa bisa dapat istri? Sedangkan aku masih ngenes di pojokan sambil garuk-garuk tembok kamar.
Dengan hati berat (dan iri dengki), aku bersiap. Aku mengumpulkan keberanian selama 7 hari 7 malam, lengkap dengan menonton YouTube: "Tutorial Kondangan untuk Pemula".
Langkah pertama: Ritual Amplop. Aku menyiapkan uang Rp100.000 (pecahan merah, biar kelihatan niat). Kata ibuku, amplop harus dikasih nama biar nanti pas aku nikah, uangnya balik. Ini investasi bodong sebenarnya, karena hilal jodohku saja belum kelihatan.
Dengan tangan gemetar, kutulis namaku di amplop putih itu. Srrrt... Srrrt... Lalu kurekatkan penutup amplopnya dengan air liurku yang suci dan wangi ini. Lekat. Sempurna.
Uang dan amplop kumasukkan saku. Ingat, saku kanan.
Aku memacu motor menuju lokasi. Jaraknya cuma 10 KM, tapi aku sengaja lewat jalur yang memutar melewati dua kecamatan berbeda. Tujuannya satu: Mengulur waktu. Berharap pas sampai sana acaranya sudah bubar atau minimal kiamat sudah terjadi. Tapi sial, takdir berkata lain. Aku sampai di lokasi dengan sangat cepat.
Rumah Jaka sudah disulap jadi istana tarub (tenda pernikahan). Lagu dangdut terdengar membahana.
Aku masuk dengan modal nekat. Orang lain datang gandengan sama istri, sama pacar, atau minimal bawa anak. Aku? Aku cuma bawa iman dan takwa.
Dua mbak-mbak penerima tamu yang glowing menatapku. Jantungku langsung breakdance. "Silakan isi buku tamu, Mas."
Tanganku gemetar hebat. Pena di tanganku terasa seberat palu Thor. Aku menulis nama. Hasilnya? Cacing kepanasan. Dari pada nama dan alamat ini lebih mirip tulisan resep dokter.
Selesai nulis, aku mengeluarkan amplop dari saku dengan gaya cool (menurutku). Di depanku ada kotak besar berbalut kain batik. Tanpa ba-bi-bu, aku masukkan amplop itu ke lubang yang tersedia.
Tapi kok... nggak ada lubangnya?
Aku mencoba menjejalkan amplop itu lewat celah di atasnya. Susah banget.
"Maaf Mas..." tegur si Mbak Cantik. "Itu kotak kado."
Aku kaget. Salah sasaran. "Oh... iya... maklum Mbak, grogi."
Aku melihat kotak lain di sebelahnya. Kotak kecil dengan lubang di tengah. Nah, ini dia. Dengan pede, aku arahkan amplop ke sana.
"Maaf Mas..." tegur Mbak itu lagi, kali ini menahan tawa. "Itu kotak tisu."
"Hah?" Aku melongo. Benar saja, ada tisu nongol sedikit.
"Kotak amplopnya yang itu, Mas. Yang paling gede," tunjuknya ke kotak kayu besar di ujung meja.
Wajahku panas seketika. "Oh... maaf Mbak. Jam terbang kondangan saya masih rendah. Masih magang."
Aku buru-buru memasukkan amplop ke kotak yang benar, lalu ngibrit lari masuk ke dalam.
Akad nikah belum mulai. Kursi tamu masih banyak yang kosong. Karena bingung (dan panik), aku asal pilih kursi di barisan agak depan yang sepi. Pikirku, biar kelihatan menghargai tuan rumah.
Lima menit kemudian, bencana terjadi. Sekumpulan bapak-bapak dan ibu-ibu berseragam kebaya seragam datang. Mereka duduk di sekelilingku. Kanan, kiri, depan, belakang.
Aku melirik nametag panitia yang lewat. Ternyata barisan ini khusus untuk KELUARGA BESAR MEMPELAI WANITA.
Mati aku.
Mereka menatapku bingung. Tatapan mereka seolah berkata: "Ini anak siapa? Anak haram dari paman yang mana?" Aku cuma bisa pasang muka tembok. Pura-pura main HP, padahal cuma buka tutup kunci layar. Mau pindah malu, nggak pindah lebih malu. Ya sudahlah, anggap saja aku sepupu jauh yang hilang ingatan.
Akad dimulai. Jaka keluar. Calon istrinya keluar. Anjir. Cantik banget. Jaka beneran pakai dukun jalur VVIP ini mah. Istrinya bening, Jaka-nya... ya begitulah, seperti Jaka.
Selesai akad dan salaman (di mana Jaka kaget lihat aku ada di barisan keluarga besan), aku turun panggung. Niat hati mau langsung ke prasmanan.
Tapi tiba-tiba...
"Mas! Mas yang Batik Cokelat! Jangan turun dulu! Ayo rapat!" teriak Mas Fotografer galak.
Dia menarik lenganku. Aku ditaruh di pinggir barisan bapak-bapak. "Keluarga inti, siap! Satu... dua... Creeekk!"
Aku difoto.
Aku mau kabur lagi. "Eits, Mas! Jangan pergi! Rombongan tetangga, ayo rapat! Masnya geser tengah dikit!" Aku ditarik lagi. Kali ini diapit ibu-ibu pengajian. "Senyum Mas! Creeekk!"
Aku difoto lagi.
Aku mau kabur lagi lewat kiri. "Yak! Rombongan teman SMK! Mas batik cokelat masuk lagi!" Ya Tuhan. Aku bukan teman SMK-nya Jaka! Aku teman SD-nya! Tapi aku pasrah. "Jempolnya mana?! Creeekk!"
Aku difoto lagi.
Total aku ikut foto di 4 sesi berbeda: Keluarga Inti, Tetangga, Teman SMK, dan Komunitas Bengkel. Padahal aku nggak kenal mereka semua. Aku resmi menjadi Cameo Abadi di album pernikahan Jaka. Nanti anak cucunya pasti bingung, "Pak, ini om yang mukanya tertekan ini siapa sih? Kok ada di semua halaman?"
Lelah jadi model dadakan, perutku keroncongan. Aku menuju prasmanan. Aku mengambil nasi (satu centong gunung), rendang, dan capcay. Aku mencari tempat duduk di pojokan. Dapat.
Baru mau suapan pertama, aku sadar: Lupa ambil minum.
Aku taruh piringku di kursi sebagai tanda "Ini Ada Orangnya". Aku berjalan cepat ke meja air mineral yang jaraknya cuma 5 meter. Ambil air mineral gelas, ambil sedotan. Balik badan.
Dan... Piringku hilang.
Kursiku kosong. Bersih. Mengkilap.
Aku celingukan. Di kejauhan, aku melihat Mas-mas Sinoman (pelayan piring kotor) berjalan membawa tumpukan piring. Di tumpukan paling atas, ada piringku. Nasi gunung dan rendang utuh itu melambai padaku, seolah berteriak: "Selamat tinggal, Tuanku! Kita tak berjodoh!"
HEIII!!! Itu belum disentuh woy! Mubazir! Ninja Piring Kotor itu kerjanya terlalu rajin!
Aku berdiri mematung memegang gelas air mineral. Mau ambil makan lagi? Malu, nanti dikira rakus. Nggak ambil makan? Masa jauh-jauh cuma minum air putih?
Akhirnya, aku duduk di kursi itu. Minum air pelan-pelan, benar benar kenyang ya, Kenyang air, kenyang malu.
Sambil duduk meratapi nasib, aku merogoh saku celana untuk ambil HP. Mau pura-pura sibuk lagi biar nggak kelihatan kayak orang hilang.
Tanganku menyentuh sesuatu. Kertas. Aku merabanya. Kok ada kertas ya? Ini duit? Sejak kapan aku masukin duit ke saku?
Aku menariknya keluar sedikit. Mengintip.
Deg.
Uang Rp100.000 bergambar Soekarno-Hatta tersenyum padaku.
Darahku berhenti mengalir. Otakku loading lambat. Kalau uangnya ada di saku... berarti yang tadi di dalam amplop...???
KOSONG.
Aku lupa memasukkan uangnya! Jadi tadi aku dengan penuh percaya diri memasukkan amplop kosong yang sudah kutulis namaku dengan jelas ke dalam kotak sumbangan!
Itu bukan nyumbang. Itu namanya sedekah angin!
Aku panik setengah mati. Apa yang harus kulakukan? Opsi A: Bongkar kotak sumbangan itu. (Resiko: Diteriaki maling, digebukin warga). Opsi B: Jujur ke penerima tamu. (Resiko: Malu tujuh turunan). Opsi C: Kabur.
Aku memilih Opsi C. Dengan langkah seribu bayangan, aku keluar dari tenda, menyambar helm, dan memacu motor pulang.
Tiga hari kemudian.
Aku belum berani menghubungi Jaka. Aku masih menyusun kata-kata untuk menjelaskan insiden "Amplop Hampa Udara" itu.
Tiba-tiba, HP-ku bergetar. Notifikasi WhatsApp dari Jaka. Jantungku mau copot. Apakah dia mau menagih utang?
Aku buka chatnya. Dia mengirim 10 foto. Foto keluarga. Foto tetangga. Foto teman SMK. Dan di setiap foto itu, ada wajahku. Wajah datar, kaku, dengan batik cokelat kegedean, nyempil di antara orang-orang yang tertawa bahagia.
Jaka: "Heh, Kampret! Lu ngapain ada di semua foto nikahan gue?! Lu mau nyaleg apa gimana?! Bude gue sampe nanya, 'Itu yang mukanya melas siapa? Penunggu gedung ya?'"
Aku cuma bisa membalas singkat. Aku: "Sorry Bro, gue cuma wayang. Dalangnya Mas Fotografer."
Aku memutuskan untuk tidak membahas amplop itu sekarang. Biarlah itu menjadi misteri ilahi. Kalau nanti Jaka nanya kenapa amplopku kosong, aku akan jawab: "Itu amplop konsepnya NFT, Bro. Isinya doa yang tak ternilai harganya (lagi pula aku Cuma minum air mineral disitu)."
Sekian laporan pandangan mata dari introvert yang trauma kondangan.