Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Self Improvement
Dari Lelah Menuju Lega
0
Suka
99
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Bagas menatap kaca jendela kamarnya yang mulai berkabut oleh embun pagi. Udara dingin menyergap tulangnya, tapi bukan itu yang membuatnya enggan bergerak dari tempat tidur. Di luar sana, dunia tampak berjalan cepat. Terlalu cepat, bahkan untuk sekadar mengejarnya dengan semangat yang makin menipis setiap hari.

Ia masih duduk di ranjang, menggenggam buku catatan kecil berwarna biru yang dulu sempat ia isi dengan mimpi-mimpi besar. Dulu, ketika semangatnya masih menyala dan percaya bahwa semua hal bisa dicapai dengan kerja keras dan niat baik. Tapi sekarang, yang tersisa hanya daftar mimpi yang tak kunjung berubah menjadi kenyataan.

“Ngapain terus dipikirin, Gas? Hidup tuh ngalir aja,” kata Dito, sahabatnya, beberapa minggu lalu saat mereka nongkrong di warung kopi pinggir jalan.

Bagas hanya tersenyum waktu itu, tapi dalam hati ia tahu—ia tidak ingin hidupnya hanya "mengalir". Ia ingin punya arah, meski sekadar satu langkah kecil ke depan.

Pagi ini berbeda. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya sejak bangun tidur. Mungkin karena semalam ia membaca ulang catatan dari guru SMA-nya: "Kita tidak harus hebat untuk memulai. Tapi kita harus memulai untuk jadi hebat." Kalimat itu menggantung di pikirannya, seperti alarm yang akhirnya benar-benar membangunkannya.

Masih dengan mata setengah mengantuk, ia bangkit. Ditariknya napas panjang, lalu mulai menulis sesuatu di kertas kosong:

Langkah Kecil Hari Ini:

1. Bangun sebelum jam 7

2. Jalan kaki 15 menit keliling kompleks

3. Sarapan sehat, tanpa mie instan

4. Kirim CV ke 1 lowongan kerja

5. Tersenyum pada satu orang asing

Daftarnya sederhana. Sangat sederhana. Tapi pagi ini, Bagas tak ingin sempurna. Ia hanya ingin mulai.

Setelah mengganti pakaian dan mengikat tali sepatunya, Bagas keluar rumah. Jalanan kompleks yang sepi menjadi teman langkahnya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia menyapa Pak Burhan, tukang sayur yang lewat, dan tersenyum saat Pak Burhan membalas ramah.

Langit masih kelabu, tapi di dada Bagas ada sedikit cahaya. Ia tahu, langkah ini mungkin belum mengubah hidupnya. Tapi setidaknya, ia bergerak. Dan itu cukup untuk hari ini.

Sore harinya, Bagas duduk di teras rumah sambil menatap langit yang mulai berubah jingga. Di tangannya, ada segelas teh hangat dan buku catatan yang tadi pagi ia isi. Tiga dari lima poin sudah dicentang. Ia gagal sarapan sehat—mie instan tetap jadi pilihan karena tak ada bahan lain di dapur—dan CV-nya belum juga terkirim. Tapi entah kenapa, kali ini ia tidak merasa gagal sepenuhnya.

“Besok bisa dicoba lagi,” gumamnya pelan.

Suara anak-anak bermain di ujung gang membuatnya tersenyum kecil. Dulu, ia sering menghindari suara-suara itu karena mengingatkan betapa ia merasa tertinggal dari hidup orang lain. Tapi hari ini, suaranya terasa… hidup.

Malamnya, ia membuka laptop tuanya. Layar berkedip sesaat sebelum menyala, seolah memberontak karena terlalu lama menganggur. File CV yang ia buat sejak enam bulan lalu masih ada, tapi terasa kuno. Banyak hal sudah berubah, termasuk dirinya.

Dengan penuh kehati-hatian, Bagas mulai memperbarui isi CV-nya. Ia tambahkan pelatihan daring gratis yang pernah ia ikuti, meski hanya sekali dua kali. Ia ragu menulisnya, tapi kemudian berpikir: kalau bukan aku yang mengakui usahaku, siapa lagi?

Tiba-tiba notifikasi WhatsApp masuk. Dito mengirim pesan pendek:

Gas, ada lowongan di kantor sepupuku. Butuh admin freelance. Mau dicoba? Kirim CV ya.

Bagas menelan ludah. Dunia seperti sedang mendengar bisik hatinya. Kesempatan kecil itu terasa besar di matanya.

Ia menjawab cepat.

Mau, Dit. Makasih banget ya. Aku kirim malam ini.

Sebelum tidur, Bagas membuka kembali catatannya. Kali ini, ia menambahkan dua baris baru:

Catatan Malam Ini:

Hari ini tidak sempurna. Tapi aku tidak berhenti. Dan itu cukup.

Ia menyimpan bukunya di bawah bantal, seperti jimat yang tak kasatmata. Besok mungkin masih akan ada keraguan, tapi hari ini, ia membuktikan satu hal pada dirinya sendiri: ia bisa mulai, dan ia bisa melanjutkan.

Tiga hari berlalu sejak Bagas mengirim CV-nya. Tak ada balasan. Setiap kali ponselnya berbunyi, ia melirik cepat, berharap ada pesan dari Dito atau seseorang yang mengundangnya wawancara. Tapi hasilnya nihil.

Namun anehnya, ia tidak sesedih biasanya. Kali ini ia tahu: bukan hasil yang menentukan nilainya, tapi keberaniannya mencoba.

Pagi itu, Bagas tetap menyeduh teh dan membuka catatannya. Ia menuliskan:

Hari keempat: Tidak ada balasan bukan berarti tidak ada harapan.

Lalu ia menyalakan laptop dan mulai browsing lowongan baru. Ia mengirimkan beberapa lamaran lagi, bahkan ke tempat-tempat yang dulu ia ragu karena “terlalu tinggi.” Tapi sekarang, ia tak mau membatasi diri hanya karena rasa takut.

Siang harinya, ibunya yang tinggal di desa menelepon.

“Bagas, kamu sehat? Ibu cuma pengin denger suaramu.”

Nada suara itu membuat dada Bagas hangat. Ia belum bercerita apa pun soal kondisi hidupnya akhir-akhir ini, tapi suara ibu adalah pelukan yang tak pernah gagal menenangkannya.

“Aku baik, Bu. Lagi belajar nyari jalan pelan-pelan.”

“Pelan nggak apa-apa, Nak. Yang penting jalan.”

Kalimat itu menusuk manis. Ia menuliskannya cepat-cepat di catatan hariannya.

"Pelan tidak apa-apa. Yang penting jalan."

Malamnya, ia kembali membuka buku catatan dan menuliskan beberapa hal yang ia syukuri hari itu—bahwa ia masih punya kuota internet, bahwa ia bisa makan tiga kali meski sederhana, bahwa ibunya masih menelepon.

Dulu, ia selalu merasa harus mencapai sesuatu yang besar agar pantas merasa cukup. Kini, ia belajar bahwa “cukup” bisa ditemukan di dalam hal-hal yang kecil… yang terus ia perjuangkan.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian bulan, ia tidur tanpa kecemasan menghantui kepalanya.

Satu minggu setelah mulai menata ulang hidupnya, Bagas menerima pesan singkat dari sebuah nomor tak dikenal.

“Halo Bagas, kami menerima lamaranmu. Bisa interview besok pukul 10.00 via Zoom?”

Jantungnya berdetak cepat. Antara gugup dan bahagia. Ia membaca ulang pesan itu tiga kali sebelum membalasnya dengan singkat, namun mantap.

“Terima kasih. Saya siap.”

Malam sebelum wawancara, ia menyiapkan kemeja terbaik yang tersisa—yang tak terlalu pudar warnanya. Ia meminjam dasi ke tetangganya dan berlatih menjawab pertanyaan di depan cermin.

Ia tersenyum pada bayangannya sendiri, tak percaya betapa jauh ia telah melangkah dari dirinya yang dulu—yang pesimis, yang selalu merasa gagal sebelum mencoba.

Wawancara itu berlangsung 30 menit. Ia menjawab sejujur-jujurnya, tidak melebih-lebihkan tapi juga tidak merendahkan dirinya. Ia tak tahu apakah ia akan diterima, tapi satu hal pasti: ia bangga pada dirinya hari itu.

Minggu berganti bulan. Ia belum mendapat pekerjaan tetap, tapi ia mulai menerima job freelance menulis artikel dari salah satu situs. Tidak besar, tapi cukup untuk membayar listrik dan makan sendiri. Itu sudah kemenangan kecil bagi Bagas.

Ia juga mulai menulis blog—bukan untuk viral, tapi untuk mengingatkan dirinya bahwa ia masih bisa berkarya. Tulisannya banyak bercerita soal kegagalan dan bangkit lagi. Dan pelan-pelan, komentar dari orang-orang asing bermunculan:

“Kak, aku merasa nggak sendirian setelah baca ini. Terima kasih.”

“Cerita Kak Bagas bikin aku semangat lagi. Tolong jangan berhenti nulis, ya.”

Bagas membaca komentar-komentar itu dengan mata berkaca-kaca. Ia membalas satu per satu, dengan tulus.

Dulu, ia berpikir hidup hanya tentang mengejar posisi, angka, atau validasi. Tapi kini, ia sadar hidup lebih tentang keberanian—untuk mencoba, untuk gagal, dan untuk terus melangkah, sekecil apa pun langkah itu.

---

Akhir Cerita:

Bagas tidak langsung menjadi sukses besar. Tapi ia menjadi seseorang yang lebih kuat, lebih jujur, dan lebih berdamai dengan dirinya sendiri. Dan itu, baginya, adalah kemenangan yang tak bisa diukur dengan apa pun.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Self Improvement
Cerpen
Dari Lelah Menuju Lega
Penulis N
Flash
Noises Inside My Head
Steffi Adelin
Flash
Bisakah Aku Jadi Dewasa?
lidia afrianti
Flash
Langkah Kecil, Perubahan Besar
Penulis N
Flash
Senyap dalam Kepala
Ika nurpitasari
Novel
From now to 1414 years ago
Dinda
Flash
Dansa Diketiadaan
Ninazyn
Flash
Biru Merah
lidia afrianti
Cerpen
Melintasi Dimensi
Kirana
Komik
Hidup Sehat ala Haryanto dan Teman-teman
Miftah Faturrachman
Novel
Kasih Ibu
Bang Jay
Flash
Hidupku
winda aprillia
Cerpen
Pundak Perintis
Adam Nazar Yasin
Novel
Rungkad: Jalan Terjal Menuju Sukses Sebagai CEO
Arka Zayden
Cerpen
Tiket Sekali Jalan ke Diri Sendiri
Penulis N
Rekomendasi
Cerpen
Dari Lelah Menuju Lega
Penulis N
Cerpen
Warkop Sebelah
Penulis N
Cerpen
Alamat yang Tak Pernah Ada
Penulis N
Cerpen
TITIAN MASA LALU
Penulis N
Cerpen
Satu Meja, Dua Rasa
Penulis N
Cerpen
Titik Kembali
Penulis N
Cerpen
Jam Setengah Empat
Penulis N
Flash
Surat dari Masa Depan
Penulis N
Flash
Langkah Kecil, Perubahan Besar
Penulis N
Flash
LANGIT SETELAH HUJAN
Penulis N
Flash
Sepotong Senja di Halte Lama
Penulis N
Novel
Phantoms Eclipse
Penulis N
Flash
Hujan di Ujung Telepon
Penulis N
Cerpen
Sore Terakhir di Kaliwungu
Penulis N
Cerpen
ARKA DAN MALAM PENUH AKSI
Penulis N