Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Pukul papannya di atas kak!” teriak suara laki-laki dari bawah.
Aku tidak salah dengar kan?
“Hah?!” Dahiku berkerut, berusaha mencerna maksud dari teriakan mereka. Aku pikir detik itu otakku sudah bekerja semaksimal mungkin, tapi aku tak kunjung menemukan jawaban yang masuk akal.
Memukul papan tebing ini sama saja melepas pegangan yang membuatku bertahan di atas ketinggian kurang lebih 20 meter. Gila?! Aku berani naik tapi tak siap terjun sendirian.
“Pukul papannya kak!” teriak suara yang tak ku kenal
“Satu kali lagi kak, naik satu lagi!” Kali ini aku mengenal peneriaknya, Zeri – adik tingkat yang menjadi sumber informasi kegiatan panjat tebing hari itu. Ia sedang mendokumentasikan aksi panjat tebingku dari bawah.
Jadi pukul atau naik?
“Loncat, pukul papannya!” perintah makin ramai diteriakkan oleh orang-orang yang menontonku dari bawah.
Sebentar, aku makin bingung, opsinya bertambah. Pukul, naik, atau loncat?
Hah … Hah …
Napasku terengah-engah dengan pandangan menatap satu pegangan yang ku cengkram kuat. Kalau saja sebelah tanganku sudi mengeluarkan cermin, pastilah terpantul wajah perempuan yang alisnya hampir menyatu–bingung. Atau mungkin alis tipis itu makin hilang, tersamar pucat karena membayangkan sensasi terjun yang menanti.
Aku betul-betul bingung. “Gimana?!” teriakku. Tapi itu bukan teriakan penuh semangat, melainkan teriakan patah arang, sisa dari nyali yang sudah ciut.
Mungkin lebih mirip ledakan lirih keputusasaan daripada sebuah teriakan. Jiwaku sudah nyaris habis.
Ini panjat tebing pertama dalam hidupku. Tadi, setelah pemanasan bersama para anggota Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala), aku izin untuk sholat ashar terlebih dahulu. Bukan karena tidak siap menjadi peserta awal, tapi kalau aku sholat sehabis memanjat aku tak mau membasuh wajahku dalam kondisi panas seusai olahraga.
Lalu, kalau aku memanjat sebelum salat, memangnya aku akan selamat?
Hahaha …
Anak-anak Mapala yang membaca tulisan ini mungkin akan mengernyit, menganggapku berlebihan. Tapi aku sudah tebal muka—itu satu-satunya bekal yang kupunya saat memanjat hari itu.
Kembali ke momen bingung yang mencengkeramku setelah hampir semenit bertengger di ketinggian. Napasku mulai pendek, telapak tanganku berkeringat, tapi aku tahu diam terlalu lama bukan pilihan. Akhirnya dengan satu helaan napas, aku nekat naik ke pegangan terakhir yang tersisa. Setidaknya, dari sini opsinya tinggal dua: pukul atau loncat.
Aku melirik papan di atas—diam, datar, seolah mengejek. Sialnya, aku tak sempat mengintip cara peserta sebelumnya memukulnya. Tak ada panduan. Yang ada cuma rasa gugup yang menggema di dada. Papan sialan ini seperti teka-teki absurd ... bagaimana caranya memukul papan ini?
Ironis. Aku datang ke sini untuk olahraga, biar tidak frustasi. Tapi sekarang, aku malah bergantung pada teka-teki frustasi di ketinggian.
Baiklah, ini adalah kali pertama aku ikut kegiatan Fun Climbing. Tidak harus memukau di hadapan siapa pun, tidak perlu memuaskan teriakan orang-orang di bawah. Aku berhak memilih opsi sesuai kata hatiku, tanpa perlu merasa bersalah jika mengecewakan teriakan demi teriakan yang membuatku semakin gugup bertindak.
Aku memilih melepas genggamanku pada pegangan tebing. Tanpa bertele-tele genggaman erat itu berpindah pada tali yang tersambung dengan segel alat pengaman. Menyusul kakiku yang berpisah dengan pijakan kecil yang menopang tubuhku beberapa waktu lalu.
Hap!
Tubuhku terlepas dari tebing. Bergantung sepenuhnya pada tali. Pada alat. Pada seseorang yang bahkan tak bisa kulihat dari sini. Pada Tuhan yang memiliki kuasa penuh atas diriku.
Mataku refleks terkatup, seperti mekanisme bertahan hidup. Tapi otakku justru memilih bekerja keras di saat tubuhku menggantung di udara. Sepersekian detik kemudian ada hasutan dalam kepalaku, “lihat ke bawah …”
Sialnya aku menuruti hasutan itu tepat saat belayer – seseorang yang bertugas mengendalikan tali keamanan pemanjat tebing, mengendurkan tali.
Srekkk— Suara tali yang mendadak melorot membuat tubuhku membeku. Darahku serasa berbalik arah. Jantungku terpental, dan napasku—hilang.
Untuk sesaat, aku merasa... kosong.
Tidak ringan, tapi kosong. Seolah gravitasi menarik bukan hanya tubuhku, tapi juga ingatan-ingatan yang selama ini kusumpal di bawah tumpukan kesibukan dan tawa basa-basi. Inikah rasanya… kehilangan nyawa?
Di kepalaku, sekelebat gambaran menyala—bukan halusinasi, tapi potongan hidup yang pernah benar-benar terjadi. Seperti film thriller yang tiba-tiba diputar paksa, aku kembali ke momen itu: bibir tol di sebuah sudut Pulau Jawa, tubuhku terhuyung di dalam mobil yang baru saja ditabrak dari belakang.
Aku ingat dentuman besinya, getaran setir, dan kemudi yang mendadak membanting arah. Kami nyaris terjun ke bawah. Dan andai saja saat itu arah kemudi tak berubah sepersekian detik lebih cepat—mungkinkah aku sudah melayang lebih dulu? Dipeluk udara, seperti sekarang?
Perlahan, aku mulai merasakan hangatnya darah kembali mengalir. Jantungku—yang tadi seolah lupa caranya hidup—kini kembali sadar akan tugasnya. Detaknya menekan kuat ke seluruh tubuh, menyadarkanku bahwa aku masih hidup. Nafasku kembali terasa.
Aku membuka mata. Masih menggantung. Masih di setengah ketinggian papan.
Belayer akhirnya menarikku turun—kali ini dengan kecepatan yang lebih manusiawi, tidak seperti sebelumnya saat tubuhku dijatuhkan seperti karung beras. Aku kembali merasakan berat tubuh sendiri, seolah gravitasi ingin mengingatkan betapa rapuhnya aku.
Begitu kakiku menapak tanah, seluruh tenagaku seketika lenyap. Aku tak sanggup berdiri. Jadi, ya sudah—aku pasrahkan tubuhku terkulai dan terbaring begitu saja.
Beberapa anak Mapala dan belayer yang merupakan adik tingkat jurusanku mendekat, mungkin mereka panik. Mungkin mereka pikir aku pingsan.
Tapi ketika mereka melihat dadaku masih naik turun, napasku masih berderu, dan senyum puas tergambar jelas di wajahku, semuanya mencair. Bahkan aku sempat tertawa kecil.
Kepanikan mereka sirna. Yang tersisa hanyalah tawa bersama. Aneh, ya? Dari antara rasa takut, malu, dan lelah… muncul tawa yang entah dari mana asalnya.
***
Keesokan paginya, kenyataan menyapaku dalam bentuk nyeri tajam di belikat dan otot leher. Rasanya seperti tubuhku dihantam bantal besi semalaman. Setiap kali kutolehkan kepala sedikit saja, otot-otot di punggung menjerit seolah menuntut penjelasan, “kenapa tiba-tiba panjat tebing, sih? Kita ini bukan tubuh atlet, Fir!”
Aku menyerah. Niat hati mau bangun pagi dengan semangat petualang, kenyataannya malah rebahan sampai jam sepuluh sambil memijat leher yang pegal. Akhirnya, karena tidak tahan, aku membuka YouTube, lalu mengetik: “Stretching untuk pegal leher dan lengan atas”.
Seorang instruktur berambut kuncir menyambutku dengan suara lembut dan senyum sok tenang. Tapi ya... berhasil. Beberapa menit setelah ikut gerakannya—yang anehnya seperti gerakan siluman kungfu versi pelan—nyerinya mulai mereda.
Sembari stretching, aku iseng baca-baca soal pemulihan otot. Katanya, selain istirahat, asupan air dan protein juga penting. Oke, aku langsung merebus dua telur. Untung saja kemarin habis panjat tebing aku sempat mampir makan ayam penyet bareng Lala, Vici, dan Inul. Aku agaknya harus berterima kasih pada perut lapar kami kemarin malam—ternyata itu keputusan terbaik untuk pemulihan.
Menjelang dzuhur, rasa pegal berubah jadi sensasi hangat di otot. Badan terasa lebih bugar, semacam efek dari rasa sakit yang mulai jinak. Sambil selonjoran di kasur, aku ingat teka-teki yang membuatku frustasi kemarin: gimana cara pukul papan itu?
Rasa penasaran membuat jariku bergerak otomatis. Kucari: “Panjat tebing Indonesia.” Dan di antara hasil pencarian, satu judul mencolok mataku:
“Veddriq Leonardo Raih Emas Olimpiade Paris 2024.”
Klik.
Layar menampilkan seorang atlet yang melesat di dinding tebing secepat hewan pemanjat pepohonan tinggi. Aku sampai mengernyit, ini Tarzan, kah? Tangan dan kakinya seolah tak menempel sepenuhnya pada pegangan di sekujur tebing, seolah gravitasi cuma mitos. Dan ketika dia mencapai puncak …
Puk!
Tangannya menepuk papan dengan satu gerakan loncat... lalu terjun bebas ke bawah.
Selesai dalam 4,75 detik.
Lebih cepat dari waktu aku mikir “mau naik atau loncat” kemarin.
Rupanya lawannya dari China, Wu Peng, cuma terpaut 0,02 detik. Gila. Mereka bukan cuma adu kekuatan, tapi adu presisi level milidetik. Setelah menonton itu, aku bengong. Jadi selama ini, pukul papan itu bukan opsi. Itu urutan.
Naik.
Loncat.
Pukul.
Terjun.
Bukan memilih. Tapi harus semuanya.
Aku terkekeh geli. Ternyata kemarin aku frustasi karena salah paham soal urutan. Tapi ya, tidak apa-apa. Namanya juga pengalaman pertama. Justru karena kemarin aku gagal paham, sekarang aku lebih semangat. Aku bertekad di panjat tebing selanjutnya, aku harus berani naik sampai atas, lompat, pukul papan teratas, dan melayang turun layaknya atlet profesional.
Pasti bisa!
Atau minimal, tidak terjun dengan gaya memalukan lagi.