Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
BAB 1 – Kota Sunyi, Rumah Sepi
Rino menatap refleksi dirinya di kaca spion, mencoba menemukan jejak-jejak masa lalu yang mengendap di sana. Namun, yang terlihat hanyalah tatapan kosong dan memar samar di pelipis, sisa dari kecelakaan fatal yang merenggut sebagian besar ingatannya. Setelah berbulan-bulan di rumah sakit dan terapi, ia memutuskan untuk memulai hidup baru, jauh dari hiruk-pikuk masa lalunya yang buram. Pilihan jatuh pada Sentarum, sebuah kota kecil yang tersembunyi di Kalimantan Barat, dikelilingi hutan lebat dan diselimuti ketenangan yang hampir mencekam. Ia mencari kedamaian, dan Sentarum tampak menawarkan itu – atau setidaknya, sebuah pelarian.
Rumah yang disewanya adalah sebuah bangunan tua dengan arsitektur kolonial, berdiri sendirian di tepi hutan. Catnya sudah mengelupas di sana-sini, dan dedaunan kering berserakan di halaman depan yang tidak terawat. Ada aura melankolis yang melekat pada rumah itu, seolah ia menyimpan cerita-cerita lama yang tak terucapkan. Rino tidak terlalu memedulikannya. Baginya, ini hanyalah tempat untuk berteduh, sebuah kanvas kosong untuk melukis kembali hidupnya. Namun, sejak pertama kali menginjakkan kaki di sana, ia merasakan sesuatu yang janggal. Udara terasa lebih berat, dan setiap suara kecil – gesekan daun, decitan lantai – terasa diperbesar, seolah ada sesuatu yang mengawasinya dari balik bayangan.
Keesokan harinya, saat Rino mencoba membersihkan halaman depan, seorang wanita tua bertubuh ringkih dengan rambut beruban sebahu muncul dari rumah di sebelah. Ia mengenakan daster batik lusuh dan tersenyum ramah, meskipun matanya memancarkan kesedihan yang sulit dijelaskan.
"Nak Rino, ya? Saya Bu Marni, tetangga sebelah," sapanya dengan suara serak namun hangat. "Sudah lama rumah ini kosong. Senang ada yang menempati lagi."
Rino membalas senyum Bu Marni, sedikit lega ada keramahan di tengah keheningan kota. "Iya, Bu. Saya Rino. Mohon bantuannya kalau ada apa-apa."
Bu Marni hanya mengangguk, namun kemudian pandangannya terpaku pada rumah Rino. "Dulu... orang yang tinggal di sini sebelum kamu, dia juga suka menyendiri. Sering berbicara sendiri di halaman belakang," bisiknya, seolah mengatakan rahasia. Kalimat itu sedikit membuat Rino merinding, namun ia menepisnya sebagai keanehan orang tua. "Kadang-kadang, masa lalu itu seperti hantu, Nak. Datang menghantui mereka yang lemah," lanjut Bu Marni, tatapannya menerawang ke arah hutan.
Keanehan Bu Marni tak berhenti sampai di situ. Beberapa hari berikutnya, Bu Marni sering terlihat duduk di teras rumahnya, menatap lurus ke arah rumah Rino dengan tatapan aneh. Pernah sekali, Rino melihatnya menggumamkan sesuatu yang tak jelas, seolah sedang berbicara dengan seseorang yang tak terlihat. Rino mencoba mengabaikannya, menganggapnya sebagai efek usia atau mungkin kesepian. Namun, di balik semua itu, ia mulai merasakan pengawasan. Bukan hanya dari Bu Marni, tetapi dari kota itu sendiri.
Setiap kali ia pergi ke pasar, ke toko kelontong, atau sekadar berjalan-jalan sore, ia merasa ada mata-mata yang mengikutinya. Bayangan-bayangan sekilas di sudut mata, tatapan yang terlalu lama dari orang asing, atau langkah kaki yang tiba-tiba berhenti di belakangnya. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya paranoia pasca-trauma, efek samping dari ingatannya yang hilang. Namun, firasat itu semakin kuat. Terkadang, ia merasakan sensasi aneh di kepala, seperti ada sesuatu yang bergerak di dalam benaknya, berusaha mencapai permukaannya. Itu bukan ingatan, melainkan semacam desakan, bisikan yang samar, seringkali disertai dengan perasaan cemas yang tiba-tiba muncul tanpa sebab.
Malam hari adalah waktu terburuk. Rumah tua itu seolah hidup di kegelapan. Suara-suara kecil di dinding, desiran angi...