Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Malam ketika aku membunuhmu, Nir, suasananya begitu hening. Padahal sebelum itu kita beradu mulut. Cukup sengit dan berisik. Tetapi, tak ada satu pun tetangga yang melerai, pun barang sekedar menyaksikan dari pagar. Entah, mungkin karena sudah terlalu larut atau memang begini kehidupan di perumahan elite. Tak ada yang peduli dengan urusan orang lain. Terlebih kau pun tak berteriak minta tolong, dan lokasi rumah kita berada jauh dari pos satpam komplek.
Aku tak menyembunyikan mayatmu seperti adegan para bajingan di film-film horor. Tubuhmu terbaring di atas kubangan darah di ruang tengah, dengan luka menganga di leher yang mengeluarkan semerbak bau amis. Aku pun tak membasuh darah yang bersimbah di tangan dan belatiku.
Tenang saja, kau pasti dimakamkan dengan layak, sedangkan aku berencana mendekap dalam penjara. Tak perlu ada proses hukum. Kita sudah melakukan pembuktiannya. Di mataku, kau tetap bersalah, Nir.
Sore sebelum aku membunuhmu, Ayumi Nilakandi, sahabat baikmu mengirimkan sebuah pesan. Bahkan ia menyertakan fotomu yang tengah bermesraan dengan seorang pria.
“Aku melihat Nira masuk ke dalam hotel. Tak ku sangka ia begitu orangnya. Huh, beruntung sempat ku foto,” katanya di Whats-App.
Jelas aku terbakar cemburu saat itu juga, Nir. Rasanya seperti godam menghantam dada, menghancurkan setiap bangunan cinta yang megah di hatiku. Kuputuskan untuk pulang lebih awal dari kantor. Puncak pitamku saat kau masih berani pulang larut malan begini. Aku tak bisa menahannya. Kugampar wajahmu di depan pintu sebagai sambutan.
“Tak perlu kau menjelaskan apa pun lagi, Nir. Maling mana ada yang mengaku!”
Kau bersikeras membantah semua tuduhanku. Katamu, pria itu hanya saudara jauh yang baru pulang dari Amsterdam dan kau pergi ke hotel itu hanya untuk makan malam. Mana mungkin Aku percaya begitu saja. Kugampar lagi wajahmu sekuat tenaga, meninggalkan memar dan hidung yang mengucurkan darah.
Sampai pada akhirnya, Kau pun menyerah, atau bisa dibilang menantangku untuk membuktikan kebenarannya. Kau memintaku untuk membunuhmu.
“Bunuhlah Aku, Mas! Sejak awal seharusnya aku lebih menuruti kata orang tuaku untuk tidak menikahimu. Kepada siapa lagi kusandarkan cinta tak direstui ini jika bukan padamu!? Kini kehadiranku sudah tak ada artinya lagi, semua kata-kataku sudah tak kau percaya lagi. Apalah gunanya hidup ini?”
“Mas, goroklah leherku tanpa rasa ragu seperti tekad Ibrahim saat diperintah Tuhan menyembelih darah dagingnya. Jika nanti darah yang keluar berwarna putih, maka perkataanku itu benar. Namun, jika tetap berwarna merah artinya aku ini seorang pendusta. Tenang saja, jika memang aku benar, ragaku akan moksa menjadi partikel-partikel cahaya. Tetapi jika tidak, tubuhku akan tetap seperti manusia biasa. Kau tak perlu merasa bersalah jika itu terjadi,” katamu tanpa sedikitpun menunjukan rasa ragu.
Sontak saja, perkataanmu itu menyentil egoku sebagai lelaki. Aku merasa direndahkan. Logikaku telah mati. Tanpa menimbang apapun, Aku pergi ke dapur untuk mengambil belati. Saat kembali kau sudah berbaring, memasang senyum paling menawan sambil meletakan kedua tanganmu di dada.
“Lakukan saja, Mas!”
Terbersit keraguan, tanganku gemetar saat menempelkan belati itu di lehermu. Tetapi, kau terus meyakinkanku.
“Mas, kau akan melihat kebenaran setelah ini. Bukankah itu yang kau mau? Lakukanlah dengan cepat agar aku tak merasasakan sakit!”
Aku menutup mata, menghela nafas sejanak, kemudian melakukan apa yang kau minta. Kurasakan darah yang menyembur deras, begitu hangat dan berbau amis. Kau melenguh seperti sapi kurban. Tubuhmu kejang seraya melepas ajal.
Saat dirasa cukup, kubuka mata kembali. Dan, kudapati darahmu itu berwarna merah. Saat melihatnya,, seperti ada yang berbisik di dalam hatiku.
“Kau harus merayakannya. Mata rantai penderitaan sudah berhasil kau putus sejak dini. Menari dan berdendanglah. Langkahi mayat itu.”
Aku menuruti rayuan setan itu. Nira, kau takkan percaya, kakiku bergerak sendiri seperti ada yang menuntun, mengikuti setiap irama yang berdengung di kepala. Kau tahu kan aku tak bisa menari? Entah berapa kali mayatmu kulangkahi. Tubuhku bermandikan peluh bercampur darahmu. Hatiku sangat riang. Mulutku dipaksa untuk tertawa. Anehnya, air mata ini bercucuran di waktu yang sama.
*
Pada malam itu juga aku langsung menuju kantor polisi. Tak banyak orang di sana. Hanya ada beberapa saja. Mungkin yang sedang piket. Jumlahnya tiga orang. Tak ada yang berseragam lengkap, meski begitu, aku yakin di sabuk celana mereka tergantung pistol dan borgol. Seorang dari mereka terlihat santai sambil merokok dan memainkan gawai. Ada pula yang tertidur di bangku panjang.
Hanya seorang saja yang tampak serius dalam bertugas. Usianya lebih muda. Badannya pun masih kekar. Sangat berbeda dengan dua orang lainnya yang memiliki perut buncit. Saat aku datang, mimik muka mereka sangatlah masam, menandakan terusik dengan keberadaanku. Kaca dengan tulisan pos jaga kugebrak sekuat tenaga. Mereka sontak menjadi waspada dan menanyai keperluanku dengan nada tak suka.
“Ada perlu apa malam-malam begini, Pak?” kata orang yang lebih muda itu.
“Istriku telah mati. Akulah yang mengambil nyawanya,” kataku lugas.
"Jika tak percaya, lihat sendiri ini bekas darah dan foto mayatnya!”
Aku menunjukkan fotomu yang sempat kuambil sebelum ke sini dan bercak darah yang masih menempel di lengan dan baju.
Mereka melihatnya dengan seksama. Memastikan sendiri ucapan tadi bukan berasal dari tutur orang yang mabuk atau dari orang iseng yang menyembelih ayam tengah malam. Serempak mereka kaget dan berubah menjadi garang. Satu per satu dari mereka keluar sambil menarik pistol yang diarahkan kepadaku.
“Angkat tangan dan berlututlah!“
Kuturuti perkataan mereka. Polisi muda itu menghampiriku. Lalu menggeledah setiap isi saku. Aku dilucuti. Ia mengambil apa saja yang bisa digunakan sebagai alat untuk menyerang. Bahkan bolpoin yang tak kusadari terbawa.
Tanganku diborgol. Mereka menjebloskanku ke dalam sel saat itu juga. Tak ada tikar sehelai pun. Cukup dingin. Ruangannya gelap. Hanya ada aku seorang diri. Maklum saja, ini hanya sel yang ada di kantor sektor. Bukan rumah tahanan. Aku menyeringai. Mengingat kembali momen saat membunuhmu. Membayangkan masa depan yang menurutku cerah.
Selang beberapa jam berlalu, aku kembali dikeluarkan untuk diinterogasi. Terlihat kantor polisi ini jadi ramai. Beberapa pesawat komunikasi silih bersahutan. Aku berjalan dengan gagah, Nir, tak seperti kebanyakan maling yang menunduk. Merasa bangga dan terhormat seperti pahlawan yang baru pulang dari medan perang.
Aku duduk di tengah-tengah mereka. Kemudian dibawa ke ruangan kedap suara untuk ditanyai oleh seorang polisi. Tiga polisi yang berjaga tadi tak terlihat. Kuceritakan semuanya kepada orang itu dengan lugas. Tanpa tambah dan kurang sedikit pun. Ia tampak memperhatikan. Suara dan tawaku yang menggelegar memenuhi ruangan itu.
Pada malam itu aku kembali tidur di dalam sel. Katanya besok hari keputusan akan keluar. Sebenarnya, Nir, aku sudah tidak peduli lagi dengan semua proses ini. Semua tindakanku ini, semata-mata untuk mempercepat proses hukum di negeri ini yang begitu rumit dan bertele-tele.
Tak kusangka sedikitpun. Keesokan harinya ada seseorang yang datang untuk besuk. Katanya, dia sanak-saudaraku. Nir, kau sendiri tahu aku ini anak sebatang kara. Siapa gerangan pria yang tengah duduk di ruang tunggu ini? Dari perawakannya pun aku tak kenal. Wajahnya terhalang topi dan kacamata hitam yang ia kenakan.
Sekonyong-konyong pria itu bangkit melepaskan kacamatanyadan melayangkan tinju ke arah mukaku. Topinya ikut melayang. Kini aku dapat melihat muka orang itu.Seperti tak asing. Semua orang kecolongan. Ia lalu menderukan caci habis-habisan
“Bajingan. Seharusnya kau saja yang mati! Keparat! Anak Jadah!“
“Anjing! “
Pukulannya sangatlah kuat. Sepertinya gigiku ada yang patah. Tubuhku pun jadi sempoyongan. Niat ingin membalasnya tapi tanganku ini masih diborgol. Kuadukan saja kepala ini. Keributan pun tak bisa dihindarkan. Semua orang mencoba memisahkan kami. Ia berhasil diringkus. Namun, mulutnya yang sumbar tak berhasil dibungkam.
Seorang Polisi menembakkan peluru kosong ke arah langit-langit. Seketika kami semua terdiam.
Tanpa diduga pria itu malah menangis sambil menyebut-nyebut namamu, Nir. Aku baru ingat, ia adalah pria yang sedang bermesraan denganmu dalam foto yang dikirim Ayumi Nilakandi itu. Dalam hatiku berkecamuk cemburu. Tetapi, sesaat saja suasana hatiku berubah. Aku tak bisa mengartikannya. Ia mengaku bahwa kau adalah keponakan jauhnya. Ini pasti rekayasa. Dibuat-buat. Tak mungkin kau dan ia berkata jujur.
Aku menyeringai dan tertawa saja mendengarnya. Kutantang ia untuk menunjukkan buktinya. Polisi yang menahannya memberikan sedikit ruang. Ia membuka dompet dan mengambil sebuah foto lusuh. Ternyata foto keluarga besar. Ada ayah dan ibumu di foto itu dan dua bocah tampak paling depan. Lelaki dan perempuan. Aku mengenal yang perempuan. Itu kamu saat masih kecil, Nir.
Mataku tak kuasa menahan mendung. Setiap persendian terasa copot dari tempatnya.
“Satu tinju tadi mungkin tak cukup untuk membalaskan rasa benciku. Tapi apa bedanya aku dengan binatang gila sepertimu jika sampai kau pun mati ditanganku,” katanya seraya meninggalkanku yang sedang terkulai lemas.
Hatiku mencoba tetap menyangkalnya. Semua ucapanya, ucapanmu dan foto itu hanyalah mimpi buruk. Aku hanya perlu terbangun dan membuka mata. Bukankah katamu kebenaran akan terbukti ketika kau mati? Bukankah darahmu akan berwarna putih jika memang kamu benar?
Kuputar ulang semua kejadian dalam ingatan untuk mendapatkan sebuah jawaban. Mulai dari Ayumi Nilakandi yang memberitahuku bahwa kau selingkuh, saat kau pulang larut lalu kita bertengkar hebat, dan mencerna setiap kata-katamu sebelum kau memintaku untukmenggorok lehermu. Sedikit kutemukan celah: Nira Nirwana, telah kusadari sesuatu bahwa kau sungguh pembohong yang ulung. Entah kau berkata benar atau salah, darahmu tetap saja berwarna merah.
***
Ciamis, 14 Februari 2021
(Juara 2 Lomba Cerpen Langgam Pustaka)