Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sejak kecil aku selalu hidup sebagai pejalan kaki. Bukan, jangan bayangkan aku hanya sekadar orang yang berjalan di trotoar dengan santai, itu terlalu remeh. Aku adalah pejalan kaki dalam arti yang lebih menyedihkan, aku hidup di dunia yang sudah ditentukan, sebuah novel di mana tugasku hanya menjadi latar. Aku ada hanya untuk lewat sebentar, melirik protagonis utama, lalu memberikan sorakan murahan yang membuat mereka tampak bersinar. Itu saja.
Setiap kali sang protagonis lewat, aku dan teman-temanku sudah tahu peran masing-masing.
Ada yang berteriak histeris.
Ada yang pura-pura pingsan.
Ada yang menunjuk sambil menutup mulut sok kaget.
Semuanya skenario, tapi kami mengulanginya dengan sempurna.
“Kyaaaaaa!”
“Tampan banget!”
“Keren abis!”
“Ganteng parah!”
Itu suara-suara yang terus terdengar. Begitulah fungsi pejalan kaki dalam novel. Satu baris, satu sorakan, lalu menghilang.
Dan ini terjadi padaku sekarang.
“Wih, siapa itu ganteng banget!”
“Mana, kok gue nggak liat?”
“Kyaaa! Ganteng banget sih!”
“Lebay banget lo.”
“Biarin, yang penting gue suka!”
Percakapan itu bersahutan, tumpang tindih seperti nyanyian kacau di jalanan. Kadang bahkan muncul debat kecil di antara mereka.
“Dasar wanita pandang fisik lo!”
“Brisik lo!”
“Keanehan lo lebih parah, mikir pake selangkangan mulu!”
“Brisik kali nih cewek!”
Aku hanya melirik. Pria yang disebut-sebut itu sang protagonis berjalan dengan penuh percaya diri, seakan sorakan itu adalah mahkota baginya. Senyumannya lebar, langkahnya mantap, dan aku bisa melihat betapa ia benar-benar percaya kalau dunia tercipta untuknya.
Aku mendesah, merasa jenuh. Tugasku hanya melirik sekali, seolah-olah aku kagum, lalu menghilang dari frame. Dalam hatiku aku berkata lirih, semoga aku tidak bertemu protagonis lain lagi… capek juga pura-pura kagum.
Namaku Seriona. Aku bukan siapa-siapa, dan aku tahu itu. Aku bukan aktor utama, bukan pemeran pembantu, bahkan bukan figuran penting. Aku hanyalah pejalan kaki di kisah orang lain.
Sore itu aku pulang dari sekolah. Jalanan dipenuhi anak-anak kecil yang berlarian, pedagang kaki lima berteriak menawarkan gorengan, suara klakson kendaraan saling bersahutan. Debu jalan bercampur aroma minyak jelantah yang menyengat. Aku menapaki trotoar dengan langkah santai, mencoba meyakinkan diriku bahwa hidupku lumayan nyaman meski cuma pejalan kaki.
Lalu aku mulai bersenandung. Lagu yang belakangan sering kudengar, meski aku bukan penganutnya. Ada sesuatu yang aneh lagu ini menenangkan hatiku, membuatku seakan memiliki jiwa yang lebih bersih, walau aku tahu kenyataannya aku cuma pion kecil dalam novel murahan.
Aku menyanyikan bait itu pelan-pelan, sambil memejamkan mata.
طاهر القلب نقي
ذاكر لله المصطفى صفي
صلى عليه الله
Tohirul qolbi naqi
Zakiru lillah al-Musthofa shofi
Sholla ‘alaihilLah
Artinya: Suci hatinya, bersih jiwanya, selalu berzikir kepada Allah, Al-Musthofa yang terpilih, semoga Allah melimpahkan shalawat atasnya.
Entah kenapa lirik itu seakan menembus dadaku, seakan aku bukan lagi pejalan kaki yang murahan.
Namun, nasib sudah digariskan.
Dedeg dedeg punggung…
Aku terus melangkah, mataku terpejam, pikiranku larut dalam lagu. Angin sore berhembus lembut, tapi di balik kelembutan itu ada getaran asing yang merayap dari tanah.
Dari arah kanan, kereta api melaju kencang. Klaksonnya meraung panjang, menggetarkan udara.
TIIING… TIIING… TIIING!
Orang-orang di sekitar berteriak, panik, menunjuk ke arahku.
“WOY! MINGGIR!”
“ADA KERETA! GOBLOK!”
“MUNDUR! CEPET!!!”
Tapi aku tidak mendengar. Aku masih bernyanyi, larut dalam alunan, seakan dunia ini hanya aku dan lagu itu.
PUNG! PUNG! JUES! JUES!
Roda baja raksasa menghantam rel, memuntahkan percikan api. Getarannya membuat tanah bergetar di bawah kakiku. Tapi aku masih memejamkan mata.
Dedeg dedeg punggung…
Hingga akhirnya....
BRAK! CRESSSS!
Tubuhku terpental. Aku sempat membuka mata, dan yang kulihat hanyalah dunia berputar cepat. Lalu, suara hancur tulang dan daging bercampur dalam simfoni mengerikan.
CRUNCH! CRUNCH! CRUNCH!
Kepalaku terpisah dari tubuh. Darah menyembur deras, menari di udara seperti air mancur merah. Tubuhku jatuh ke bawah roda kereta. Kaki kiriku digilas hingga hancur, lengan terpotong, isi perutku terburai, tercecer di sepanjang rel.
Orang-orang berteriak histeris. Sebagian muntah di tempat, sebagian lain berlari panik. Kaca depan lokomotif berlumuran darah, potongan tubuhku menempel di sana seperti poster horor yang grotesk.
Kepalaku menggelinding, berhenti tepat di kaki seorang gadis. Dialah sang protagonis wanita. Matanya membesar, tubuhnya kaku. Ia gemetar hebat, lalu jatuh terduduk, tangannya menutup mulut yang berteriak tanpa suara. Air matanya menetes deras, wajahnya pucat pasi.
Aku masih sadar. Dari sudut pandang kepalaku yang terpisah, aku bisa melihat tubuhku yang terkoyak. Aku ingin menjerit, tapi hanya bisa bergumam.
Agh… sialan… ternyata aku bukan pejalan kaki biasa. Aku cuma batu loncatan! Cuma trauma murahan biar protagonis wanita ini bisa diselamatkan pria pujaan hatinya! Mereka akan jatuh cinta, mereka akan bahagia, dan aku? Aku cuma bangkai makanan anjing!
Aku menjerit dalam hati. Nafasku tersengal.
“Anjing sialan… FUCK YOU!!!”
Itulah kata terakhir yang keluar dari mulutku, diiringi darah yang meletup dari tenggorokan.
Dan di tengah suara raungan kereta, aku mendengar sesuatu yang ironis. Lagu lain, entah dari mana datangnya, menggema di dalam kepalaku.
مولاي صل وسلم دائما أبدا
على حبيبك خير الخلق كلهم
Mawlaya salli wa sallim da’iman abada
‘Ala habibika khayril khalqi kullihimi
Artinya: Wahai Tuhanku, limpahkanlah shalawat dan salam untuk selama-lamanya, kepada kekasih-Mu, sebaik-baik ciptaan seluruh manusia.
Sungguh ironis. Shalawat itu terdengar begitu suci, mengiringi kematianku yang kotor, penuh darah dan potongan daging.
Tubuhku terus digilas. Rodanya tak berhenti, menghancurkan setiap bagian, membuatku tak lebih dari bubur daging merah. Jalanan menjadi sungai darah, bercampur air hujan tipis yang turun entah dari mana.
Si protagonis wanita menjerit, air matanya bercucuran. Trauma itu jelas akan membekas. Laki-laki protagonis utama pasti akan datang, memeluknya, menyembuhkannya, hingga kisah cinta mereka berkembang.
Dan aku? Aku hanyalah darah yang menodai halaman novel. Serpihan tubuh yang akan dikenang hanya sebagai latar belakang.
Sebelum segalanya gelap, aku berbisik dalam hati:
Semoga kalian berdua bahagia di atas kematianku, dasar bajingan.
Lalu aku pun kehilangan kesadaran.
.........
"Akhirnya kamu sadar!" Aku membuka mata menutupnya kembali, hal ini terulang sampai beberapa kali. Aku terpesona sekarang, apa aku masih hidup?!
Kulihat seorang pria mencium diriku terlihat sangat saleh, kasar dan penuh obsesi kerakusan.
Aku hanya diam tidak menjawab panggilannya itu. Kuamati pria ini dari ujung kepala sampai ujung kaki, wajahnya terlihat jelas menumpahkan kebencian pada dirinya.
Gak mungkin aku masih hidup, sebenarnya aku dimana, dimana?!
Transmigrasi, kah? Jika ini benar terjadi padaku ini sungguh menyedihkan.
Hah sangat menyebabkan!
Padahal aku angkat suka hidup sebagai pejalan kaki. Kenapa peranku diubah seketika menjadi batu loncatan untuk hubungan protagonis.
Dan si pria yang mencium ku itu terus melakukan kegiatannya tanpa perduli pendapat atau keadaanku sekarang yang ganjil. Dia malah makin memperdalam ciumannya kemudian merana raba tubuhku sambil meremasnya penuh kekuatan jahat.
"Apa yang kau lakukan?! Melakukan ini hanya boleh untuk orang yang sudah menikah. Apa kita sudah menikah, belum bukan?"
Disarankan berhenti membaca novel, karena membaca novel itu si pembaca adalah orang yang ditipu tapi tidak mau menyadarinya.
"Apa kau lupa kita benar-benar sudah menikah."
"Eh..." Aku sedikit terkejut, benar hanya sedikit terkejut, aku tidak menyangka hubungan kita beneran suami istri bang.
Yang aku tau dari ingatan tubuh ini dia menyimpulkan jika pria ini memaksakan cinta sepihak.
Dan si pria itu menatapku dalam dalam, "Sejak kau berada dalam genggamanku tidak akan pernah ku lepaskan, kau mengerti!"
"Hal yang menjadi milikku tidak akan pernah kuberikan pada orang lain, lebih baik membakarnya daripada menyerahkan pada orang lain."
Oke pria tampan logika mu cukup ekstrim, hahaha. Aku tertawa canggung dalam hati.
'Aiyah...apa sekarang aku menjadi pemeran wanita yang menjadi obsesi protagonis atau batu loncatan untuk si tampan ini.' Aku menatap pria tampan ini dengan pandangan penuh arti kemudian menghela nafas, kenapa hidupku penuh masalah, bukannya aman tenang dan damai setelah mati, entah bagaiman aku malah diseret ke alam gaib ini.
"Wanita kau tidak terima menjadi istri ku, haha tapi sudah terlambat sekarang untuk menyesali nya karena kau milikku, ingat namaku baik baik. Saya adalah Asyad Yasin Kabir."
Setelah mengungkapkan aura dominasinya Asyad kembali melanjutkan mengegulen dan meremas dua gunungan dada itu sampai memerah, kemudian tangannya berganti haluan ke arah selangkangan si wanita yang berstatus menjadi istrinya ini.
Jari jarinya yang sedikit memiliki kapalan masuk ke dalam kemaluan wanita dan mengocoknya maju mundur.
Wajah Asyad muram saat menatap wanita yang berbaring di depannya, "Kau tidak suci lagi?!!!"
Kemudian wajahnya normal kembali dan menampakan senyum.
"Tidak masalah aku tetap menyukaimu istriku sayang, istri aku mencintaimu..."
Asyad memasukan tiga jarinya kelubang itu sampai keluhan putih muncrat dari dalam.
Aku terbatuk pelan,"Lepas!"
"Kenapa berhenti wanita, bukannya kau suka di permainkan pria!"
Aku menjawab tegas, "Aku bukan istri mu!" Kukatakan yang sebenarnya jika aku sekarang bukan istri nya, aku juga bingung kemana jiwa pemilik tubuh sebelumnya.
"...?!" Asyad.
Aku sedikit mendorong pria itu kemudian mundur sejauh mungkin kemudian melihat baju yang berserakan di lantai dan sepertinya pas dengan ukuran tubuh ini.
Bergegas mendekati dan memakainya.
"Jangan pergi..." Seru Asyad menangis.
Asyad memelukku dari belakang tubuh dan kembali mengangkatku ke atas ranjang. Menghempaskan tubuh ku diatas ranjang itu.
"Aku kira kau bersikap cuek padaku merupakan bukti penyerahan diri, ternyata aku salah paham, kau masih ingin kabur dariku. CK, kau masih keras kepala seperti sebelumnya!"
Kulihat pria yang menyebut dirinya Asyad itu mengeluarkan tanaman sulur dari udara tipis, mengikatnya dia kedua lengan dan kakiku.
"Lepaskan, aku tidak mau melakukan hubungan cinta sadomasokis bersamamu!"
"Wanita aku tidak mengerti apa yang kau katakan, tapi ini tidak bisa menghalangiku untuk mencumbu mu."
Asyad kemudian mengeluarkan pisau bedah dari meja dan kembali mendekati wanita yang terlilit erat di ranjang.
Asyad bergerak mendekat perut Ona kemudian menempelkan pisau bedah itu sambil membuat ukuran kepemilikan namanya di paha Ona.
"Ona kau harus mengingat ini. Tubuhmu hanya milik Asyad." Asyad meringis senang mengukir namanya di paha wanita ini, dia mengiris perlahan paha Ona. Asyad sedang membuat kaligrafi yang bertuliskan....
Ona hanya milik Asyad seorang.
Asyad menulisnya di berbagai tempat bukan hanya paha saja, leher pinggang, kaki dan lengan semuanya dia ukir.
"Ah...... Sakit, sakit lepas... Lepaskan." Aku meronta ronta sampai rasanya jiwa melayang dari tubuh, sangat sakit.
Tadi aku tidak panik saat pria ini mengeluarkan pisau bedah, tapi begitu pengukiran dilakuan aku tau apa itu menginjak ekor sendiri.
Sampai detik detik ini terasa sangat lambat bagiku, aku mencoba berontak tapi seolah-olah ada yang menghalagi persepsi ku pada tubuhku sendiri, aku tidak merasakan apapun.
"Ah......sakit!!!" Aku sangat kesakitan dari ujung kepala sampai ujung kaki.
"DIAM! Ona terlalu tangguh dan tidak patuh, Ona harus di hukum."
Asyad mengganti pisau bedahnya menjadi alat tatto kulit. Dia mentato Ona menggunakan tinta hitam dan merah.
"Bertahanlah Ona, aku suka rintihan mu."
Asyad menusukku dengan mesin tatao itu di telapak kaki sampai paha Ona, membuat Ona penuh cap dari Asyad.
Asyad tersenyum penuh kasih sayang pada Ona.
"Lihat sekarang tubuhmu penuh jejakku sekarang."
"Hah...hah....hah......"Aku yang sudah setengah sadar karena terlalu lelah menjerit oleh sayatan, dan kini memiliki pandangan yang kabur oleh air mata.
Melihat diriku sendiri yang seperti manusia berdarah merah hitam yang mengering sangat menakutkan. Aku mengutuki protagonis gila ini, aku hanya bisa pasrah pikiran ini terngiang ngiang dalam otakku sebelum pingsan.
"Kau sudah pingsan?!". Seru Asyad sinis dan kembali mengucapkan kalimat, "Padahal ini belum seberapa rasa sakit yang dilakukan olehmu dulu! Pelayanan urus dia."
Asyad berjalan pergi keluar, kini dia berjalan menuju ruangan tersembunyi.
Para dayang dan pembantu saling bergosip....
"Kasihan tuan."
"Em," yang lainnya mengangguk.
"Tuan sangat menyedihkan berjuang untuk Dinda Soriona yang terlalu cuek pada tuan. Padahal dari dulu maupun sekarang tuan selalu menyayangi Dinda."
"Sudah cepat lakukan pekerjaan kalian! Cepatlah bersihkan kamar tuan."
.........
Di ruang kerjanya Asyad mengatur urusan perbendaharaan sampai pagi.
"Tuan bagiamana?"
"Hapus semua jejak Dinda Ona dari dunia."
"Tapi..."
"Hah....apa?" Asyad menengok wajahnya terlihat sangat gelap.
Pelayan yang melihat wajah gelap tuannya langsung pucat pasi kemudian langsung berlutut.
"Baik tuan." Pelayan ini langsung menghilang.
Asyad bertanya pada pelayanan satunya lagi yang sejak tadi hanya diam, "Bagaimana? Apa dia sudah sadar?"
"Sudah siluman tuanku."
Mendengar itu Asyad langsung menghilang menuju cintanya.
.......
Apaan apaan pria gila itu! Cinta saling menyakiti, maaf aku gak berminat sama yang beginian. Pokoknya aku mau jadi pejalan kaki saja seperti dulu.
Setelah sadar dan melihat sekeliling, aku terpaku melihat bangunan yang sangat memanjakan mata, ternyata aku terlempar ke dunia fantasi.
Apa apaan juga sulur sur yang keluar dari udara tipis ini, ini sangat tidak ilmiah.
"Ah...kenapa masih sakit. Apa gak ada sihir penyembuh di sini, bukanya ini dunia fantasi?!" Aku kembali mengeluh dalam hati
"Ona selamat pagi." Asyad muncul dan wusss...
Dia langsung menanggalkan pakaiannya sendiri kemudian berguling ke arahku, memeluk.
"Melihat luka kering pada tubuhmu aku tidak menyukainya."
Aku yang masih diikat pun hanya bisa memutar mata tidak bisa berkata-kata ataupun merasakan tubuhku sendiri, padahal saat ini Asyad sedang menjilati sayatan di tubuhku.
Kemudian rasa geli mulai menjalar....
"Ah... Berhenti!"
"Luka ini terlalu jelek, aku tidak menyukainya." Asyad terus menjilatinya kemudian berguling guling, memeluk diriku sampai semua luka ku sembuh oleh jilatannya.
Dan terjadilah peristiwa 2000 andegan tersensor.
.........
Aku yang mengingat hubungan itu jadi malu sendiri, ternyata seks bisa senikmat itu, kalo jalan ceritanya begini, siapa yang gak mau coba.
Ditambah aku sangat kaget oleh tenaga kuda itu.
Kini aku merasa seperti rahimku akan pecah olehnya, penuh benih-benih miliknya.
Perutku menjulang seperti hamil 4 bulan.
Hei kapan aku akan berhenti menjadi budak seks miliknya, pikirku dalam hati. Sangat di cintai diranjang itu menggairahkan, tapi tanpa bisa bergerak satu inci pun dari ranjang ini sangat membosankan.
Semenjak hari itu Asyad terus mencumbui tanpa kenal lelah, mencumbuku setiap hari selama 6 jam penuh tanpa membuang benih yang ditumpahkannya padaku. CK, cek....cek, dia sangat mesum. Ini gak berhenti diisi setiap hari. Terlalu penuh sampai membuatku tidak nyaman.
Dan hari ini dia datang lagi.....
"Berhenti! Jangan membumbui ku lagi, kau mau perutku meledak?!"
"Tenang Ona sayang, aku tidak akan membumbui mu sampai tiga bulan ke depan. Setelah itu bersiap lah tidak ada ampun lagi. Kemudian kau akan mengandung anak kita bersama." Aku melotot mendengar ini.
"Cepat keluarkan! Kalo gak cari orang lain saja sana."
"Tidak mau, aku tidak mau melakukan ini pada orang lain, aku hanya melakukan ini saja bersamamu. Selain Dinda tidak ada orang lain." Asyad tersenyum.
"Ini tidak akan sia-sia, kerja kerasku pasti membuahkan hasil selam 40 hari ini, sayang."
Aku membuat ekspresi pasrah, orang gila mesum ini memang tidak bisa di tolong lagi.
Setelah 2 bulan absen, dia nekat melakukan seks lewat lubang belakang karena aku sedang hamil.
10 bulan kemudian aku melahirkan....
Dia memelukku sambil tersenyum dan berucap, "Aku mencintaimu."
Dan wajahnya tidak berubah sedikitpun saat menusukku menggunakan Mandau, dia menusukku tepat
di jantungku.
"Selamat tinggal Dinda."
Dan kali ini aku benar-benar mati tanpa kelanjutan cerita.
End.
Seperti pepatah :
DITIPU MALAH TERTAWA BAHAGIA, KALIAN TAU SIAPA?
YAITU ORANG YANG MEMBACA CERITA FIKSI YANG MENGHIBUR TANPA MANFAAT UNTUK HIDUPNYA,HANYA BAHAGIA MEMBACANYA. MEMBUANG WAKTU TANPA MANFAAT. JADI SEBELUM MATI AYO BERHENTI MENJADI MANUSIA YANG DITIPU DAN MEMBUANG BUANG WAKTU.
Terima kasih, sekian~
(?-'_-!)
°(^=^(°
(°∆°)/
(′∆')
@'-_-)/