Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Horor
Danau di Belakang Kampus
0
Suka
12
Dibaca

Angin malam membelai lembut rambut Afika yang tergerai. Gadis cantik berwajah oriental itu berdiri di tepi danau sendirian. Permukaan air itu tampak tenang, namun hitam dan sunyi. Tubuh Afika berdiri menggigil, tapi bukan karena dingin. Netra mahasiswi semester dua itu kosong, menatap riak air yang begitu menggoda—seolah memanggilnya untuk menyatu dan lenyap.

Malam ini Afika tidak makan apa pun. Perutnya kosong, tetapi pikirannya lebih berisik dari biasanya. Ia minggat diam-diam dari rumahnya. 

Papa dan Mama Afika tahunya anak mereka belajar di kamarnya. Jika pintu kamar sudah keadaan terkunci, itu pertanda Afika sedang serius dan tidak ingin diganggu. Sebegitu mudahnya bagi Afika untuk meloloskan diri—keluar melalui jendela kamarnya.

Pun ia sengaja meninggalkan ponsel dan dompetnya di kamar. Tidak ada catatan, tidak ada pesan terakhir. Tidak mau ada yang tahu. Ia hanya ingin pergi diam-diam. Mati diam-diam tanpa keributan.

Kepalanya penuh suara orang tuanya—tentang harapan, tentang kebanggaan, tentang masa depan yang tidak boleh gagal. Papa yang keras dan Mama yang selalu menuntut lebih. 

Ia harus jadi nomor satu. Harus jadi yang terbaik. Harus sempurna. Harus berhasil. Tidak boleh lelah. Tidak boleh gagal. Tidak boleh lemah. Pokoknya harus! harus! harus!

"Tolong diam!" Afika memerintah pada dirinya sendiri.

"Aku capek," ungkapnya, merasa tertekan dengan kehidupan yang dijalaninya.

Afika menangis sejadi-jadinya. Menumpahkan sesak yang sedari tadi memenuhi rongga dada. Meski, tak ada seorang pun yang mendengar.

Papa dan Mama Afika menerapkan pola pengasuhan tiger parenting. Imbasnya, Afika merasa tertekan dan kehilangan kebebasan mengekspresikan diri.

"Kalau kamu lompat sekarang, kamu akan menyesal seumur hidupmu."

Sebuah suara muncul tiba-tiba dan membuat Afika tersentak. Suara itu datang dari belakang. Laki-laki. Terdengar lembut, tetapi terasa dingin di telinga. Siapa gerangan?

Afika berbalik dengan cepat. Di sana, seorang laki-laki berdiri tak jauh darinya. Jaket abu-abu membalut tubuhnya yang agak kurus. Wajahnya teduh, matanya sayu. Tapi kulitnya—pucat, terlalu pucat. Seperti kertas basah.

"Kamu siapa?" Suara Afika gemetar. Bulu romanya meremang seketika.

Lelaki itu tersenyum tipis lalu mulai melangkah mendekati Afika.

"Namaku Arkana." Ia memperkenalkan dirinya. "Dulu aku kuliah di sini juga dan menjadi mahasiswa terbaik," imbuhnya.

Afika melangkah ke samping, mencoba menghindari lelaki berwajah sangat pucat itu.

"Kamu…bukan manusia, ya?" curiga Afika, mengingat saat ini pukul satu malam.

Pikirnya mana mungkin ada mahasiswa maupun mahasiswi berkeliaran bebas di jam-jam segini. Kecuali, ada hal yang harus di selesaikan atau ada kepentingan lainnya.

Arkana terdiam. Senyum tipis masih menghiasi wajahnya yang tampak tenang.

Lelaki itu kembali bersuara. "Sudah lama tidak ada yang menyapaku di sini. Biasanya mereka cuma lewat, atau pacaran di dekat danau. Tapi kamu—kamu malah mau mati. Mau menyusulku, ya?"

Arkana menoleh cepat ke arah kiri—di situlah Afika berada. Kali ini ia tidak tersenyum.

Afika tercekat. "Jadi, kamu benar-benar…udah mati?" tanyanya.

"Sudah. Sepuluh tahun yang lalu," jawab Arkana datar dengan pandangan tertuju ke danau.

Afika nyaris mau pingsan usai mendengar lontaran jawaban lelaki itu. 

Ini kali pertama ia melihat sosok tak kasat mata. Untungnya Arkana muncul dengan wujud yang bagus. Ya meskipun wajah pucatnya itu sejujurnya sudah menakutkan. Tidak perlu aneh-aneh lagi.

"Tapi semua orang percaya aku bunuh diri. Padahal bukan itu yang sebenarnya," ungkap Arkana lebih lanjut. Netranya masih memandangi air danau yang bergelombang lembut.

Afika masih terdiam di tempatnya. Tanpa beranjak sejengkalpun.

"Mau dengar ceritanya?" Arkana menoleh lagi ke arah Afika.

"Boleh." balas Afika sedikit terbata dan takut.

Meski, kini yang hadir menemaninya adalah sesosok makhlus halus, namun ia sangat ingin tahu kronologi kematian sosok itu. Ia kumpulkan sedikit keberanian, perlahan mendekatinya—masih menjaga jarak.

Arkana lalu duduk santai di atas hamparan rerumputan hijau nan subur yang tumbuh di sana. 

Arkana mengawali ceritanya. "Aku mahasiswa jurusan Biologi. Semester tiga. Aku sangat menyukai Sains. Sains adalah bagian dari hidupku, masa depanku. Sejak kecil aku di gembleng agar rajin belajar dan mengikuti berbagai macam les. Serta tidak boleh melanggar aturan yang di tetapkan orang tuaku. Aku si perfeksionis. Susah diajak kompromi, kata mereka. Aku suka mengatur dan selalu menginginkan hasil terbaik di setiap tugas yang aku kerjakan. Semua harus berjalan sesuai harapanku."

Arkana menunduk. Tangan pucatnya meremas rumput, keras.

"Tapi sikapku dan ambisiusku itu, membuat aku dibenci oleh mereka," ungkapnya kemudian.

"Maksudmu 'mereka' itu teman-temanmu?" Afika memberanikan diri bertanya.

"Ya," balas Arkana singkat.

Hening menjeda.

"Kami dapat tugas akhir dari dosen. Penting sekali. Aku menegaskan kepada keenam teman satu kelompokku agar tugas dari dosen dirampungkan secepatnya." Arkana meneruskan ceritanya.

"Lalu malam itu, pukul sembilan, kami sepakat berkumpul di salah satu ruang kelas, lantai empat. Tapi kenyataannya…teman-temanku malah bermalas-malasan. Mereka main games di ponsel masing-masing, nyantai sambil merokok, dan menyerahkan semua tugas padaku. Aku benci kerja kelompok yang seperti ini. Hanya nongkrong-nongkrong tak jelas di dalam kelas. Ketika aku protes, mereka bilang aku lebay, egois, terlalu serius. Aku marah besar. Tapi mereka tidak terima. Lalu mereka beramai-ramai memukuliku, menendangku. Aku meringkuk berusaha melindungi diriku. Aku sendirian. Aku ketakutan. Malam itu hanya ada kami bertujuh di gedung kampus."

Afika menutup mulutnya saking syoknya. 

Netra Arkana kini memandang Afika, tajam.

"Aku kesakitan setelah menerima pukulan bertubi-bertubi. Setelah puas menghajarku sampai babak belur, mereka membiarkanku tersungkur tak berdaya di depan kelas. Lalu mereka berenam berdiskusi, merencanakan sesuatu. Aku sedikit mendengar perbincangan mereka. Mau tahu?"

Afika mengangguk cepat. Teramat penasaran.

Arkana menatap lagi ke arah danau. "Mereka berencana melenyapkanku. Mereka ingin aku mati. Karena mereka takut aku melaporkan hal ini ke pihak kampus atas tindakan penganiayaan berat. Hukumannya tidak main-main. Bisa sampai di DO," ungkapnya.

"Tanpa pikir panjang dua orang keluar lebih dulu dari ruangan. Sisanya, mereka berempat menggotong tubuhku menuju keluar gedung. Sampai di halaman depan gedung kampus aku digeletakkan begitu saja. Aku benar-benar tak punya tenaga. Aku butuh pertolongan. Seharusnya mereka membawaku ke rumah sakit."

"Lalu?"

"Saat itu hujan turun cukup deras. Tubuhku diseret kasar oleh kedua temanku, hingga ke danau ini. Dua lainnya memantau keadaan sekitar. Ujung sepatuku sampai robek. Air hujan membasuh wajahku yang penuh luka dan darah."

Afika membelalak, tak menyangka. Jantungnya berdegup tak menentu. Rentetan demi rentetan cerita yang Arkana sampaikan menimbulkan ketegangan dan juga rasa penasaran.

"Tibalah kami di danau ini. Rupanya dua temanku yang keluar lebih dulu, sudah menunggu di dekat danau. Kemudian mereka dengan gerak cepat memasukkan beberapa batu ukuran cukup besar ke ranselku. Lalu mengikat ransel ke tubuhku. Dan juga tangan serta kakiku diikat kencang. Setelahnya, mereka melempar tubuhku ke danau. Mereka sebenarnya tahu aku masih hidup. Mereka tega sekali membiarkanku mati pelan-pelan. Tanpa rasa berdosa mereka pergi meninggalkan danau."

Afika membeku. Rasa dingin menjalari seluruh tubuhnya. 

"Tubuhku tenggelam di sana." Arkana menunjuk danau yang membentang di hadapannya.

"Baru tiga hari kemudian jasadku muncul. Sudah membusuk dan hampir tak dikenali," sambungnya.

Tubuh Arkana terangkat perlahan ke permukaan danau, seolah air sedang menyerahkannya kembali. Tak ada ransel, tak ada ikatan. Hanya tubuh yang habis dipinjam kegelapan.

Air mata Arkana mengalir—anehnya, air itu justru menguap begitu menyentuh pipinya.

"Mereka masuk ke kamar kos ku menggunakan kunci cadangan yang diberikan oleh pemilik kos. Kali ini jumlah mereka lebih banyak. Mereka membobol laptopku, fokus mencari tahu isi di dalamnya. Dua lainnya menulis surat perpisahan, seolah aku menyerah karena tekanan hidup." Arkana masih sanggup melanjutkan ceritanya.

"Mereka tahu orang tuaku keras dan menuntut. Mereka juga tahu aku sedang stres karena nilaiku ada yang turun. Di tambah lagi, aku gagal meraih juara pertama di ONMIPA-PT," sambungnya.

Afika terdiam. Sesak di dadanya seperti bergema dalam cerita Arkana. Ia bisa melihat potongan-potongan hidupnya dalam kehidupan Arkana—ambisi yang dipaksa, nilai yang harus sempurna, kebanggaan yang semu.

"Polisi tidak menyelidiki lebih dalam. Tidak ada saksi. Tidak ada kamera pengawas. Semua percaya aku bunuh diri karena depresi. Dan surat perpisahan itu jadi bukti kuat," terang Arkana lebih lanjut.

Afika seketika duduk terjatuh di rumput. Lemas. Kisah kematian Arkana sangat tragis, memilukan, bikin emosi, semua membaur jadi satu. Teman-temannya itu lebih pantas disebut iblis ketimbang manusia. 

"Kamu tahu apa yang lebih menyakitkan?" tanya Arkana, lirih. 

Afika menggeleng lemah.

"Bukan kematianku. Tapi bahwa orang tuaku tidak bertanya dan menyelidiki lebih jauh. Mereka berdua terlalu sibuk berduka atas kegagalanku menjadi sempurna. Mereka tidak pernah menyalahkan sistem, menyalahkan pihak manapun, atau bertanya kenapa aku benar-benar menyerah," ungkap Arkana dengan sorot marah.

Marah karena orang tuanya bersedih bukan atas dasar kehilangan anaknya.

"Aku tahu rasanya," ucap Afika pada akhirnya. "Selalu dituntut jadi yang terbaik. Tapi gak pernah ditanya… kamu capek gak?"

Malam semakin sunyi. Semilir angin sejuk menyentuh wajah dan rambut Afika. Danau yang berada di belakang kampus itu tampak hitam pekat, menelan segala cahaya.

Afika memejamkan netranya yang perlahan basah. "Aku… hampir jadi kayak kamu," ucapnya pelan.

"Tapi kamu belum terlambat," jawab Arkana.

"Aku tidak bisa hidup lagi," imbuhnya.

"Pikirkan matang-matang. Jangan jadi korban seperti aku." Arkana sedikit memberikan pencerahan.

Afika menatap lelaki itu dengan berlinangan air mata. "Tapi aku capek banget," keluhnya seperti bocah.

Arkana tersenyum kecil. "Capek itu wajar, manusiawi. Jangan nyerah gitu aja. Jangan mati sia-sia. Hidupmu masih jauh lebih beruntung, dari sekian banyak orang di luar sana," nasihatnya.

Arkana berdiri. Perlahan, tubuhnya mulai memudar seperti kabut yang tertiup angin.

"Aku sudah menceritakan semuanya padamu. Mungkin suatu hari kamu bisa membantuku. Entah dengan menyuarakan kebenaran, atau cukup dengan tidak menjadi seperti mereka—mereka yang diam atau ikut mendorong orang lain ke jurang."

Afika mengangguk pelan. "Terima kasih… Arkana," ungkapnya.

Arkana merasakan kelegaan di hatinya usai membagikan kisahnya kepada Afika. Meski, itu bukan kisah yang berakhir bahagia. 

"Jaga dirimu baik-baik, Afika," pesan Arkana. Senyum bahagia terpancar di wajahnya.

Pada akhirnya Arkana pergi dengan lebih tenang. Menghilang seperti embun yang lenyap oleh matahari pagi.

***

Keesokan harinya, Afika kembali ke danau itu, berdiri di tepi—bukan untuk mati. Tapi untuk meletakkan sehelai bunga kamboja putih di atas air.

Ia membungkuk sedikit, lalu berbisik, "Untukmu, Arkana. Aku akan terus hidup. Untuk diriku sendiri. Bukan untuk ekspektasi siapa pun."

Afika tahu hidupnya mungkin tetap berat. Tapi untuk pertama kali, ia ingin menjalaninya bukan untuk trofi, bukan untuk tepuk tangan—melainkan untuk napasnya sendiri.

Dan mungkin, suatu hari… ia akan menuliskan kisah Arkana. Agar dunia tahu, bahwa tidak semua luka terlihat. Dan tidak semua kematian adalah karena lemah. Kadang, mereka hanya terlalu lama berjuang sendirian.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Horor
Flash
Hanya Ingin Pulang
Amelia Purnomo
Cerpen
Danau di Belakang Kampus
Amelia Purnomo
Flash
Ingatan Pertama
Panca Lotus
Cerpen
Sendang Jantur
Noctis Reverie
Cerpen
Bronze
Jalan Melati Nomor 12
Farlan Nuhril
Flash
PEREMPUAN YANG BERSAMAKU
Embart nugroho
Novel
Bronze
PELUKAN
Akira Ken Yuri
Novel
Gold
Misteri Sanggar Cinta
Mizan Publishing
Novel
Bronze
Hizib
Topan We
Cerpen
Bronze
19:00
Christian Shonda Benyamin
Skrip Film
R. 508
Kinanti Atmarandy
Novel
siAnak Indigo
syifa siswanto
Cerpen
Bronze
Mawar untuk Emily karya William Faulkner penerjemah : ahmad muhaimin
Ahmad Muhaimin
Novel
Last Kiss from a Vampire
Roy Rolland
Cerpen
Bronze
Losmen Berdarah
Christian Shonda Benyamin
Rekomendasi
Flash
Hanya Ingin Pulang
Amelia Purnomo
Cerpen
Danau di Belakang Kampus
Amelia Purnomo
Flash
Rumah Mbakku
Amelia Purnomo
Cerpen
Dendam Arwah
Amelia Purnomo
Cerpen
Pengajian
Amelia Purnomo
Cerpen
Numpang Ke Kamar Mandi
Amelia Purnomo
Cerpen
Salah Asuh, Salah Arah
Amelia Purnomo
Cerpen
Video Call
Amelia Purnomo
Cerpen
Boneka Terkutuk
Amelia Purnomo
Cerpen
Langkah Sepatu Bot
Amelia Purnomo
Cerpen
Dendam Barbie
Amelia Purnomo
Cerpen
Terror Anggia
Amelia Purnomo
Cerpen
Cosplay Jadi Guling
Amelia Purnomo
Cerpen
Ulang Tahun
Amelia Purnomo
Cerpen
Besuk
Amelia Purnomo