Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Disinipun aku terluka.” Lirihku dalam hati.
Sadar? Ya, aku sadar telah membuat hatinya patah, namun seandainya dia pun tahu aku disini pun sangat terluka. Jangankan melihat dia meneteskan air mata, melihat matanya berkaca – kaca saja hatiku seolah teriris dan rasanya sangat perih.
Aku akan memilih dia mencaci maki ku, menendang bahkan memukul diriku, jika itu bisa mengembalikan senyumannya. Namun dia memilih pergi dengan membawa luka dan tangisan pilu. Pun aku tak mengejarnya, mungkin inilah yang terbaik.
“Ton..”
Aku menoleh saat ku dengar seseorang memanggil namaku di barengi dengan tepukan lembut di pundak.
“Ada apa?” Tanya ku dingin.
Entahlah semenjak peristiwa di hari itu aku menjadi bersikap dingin pada siapapun, kali ini Renita rekan kerjaku yang dapat keketusanku padahal dia mungkin hanya ingin sekedar menyapa.
“Lo kenapa sih, dari kemarin ditanya apapun jawabannya ketus banget. Gue kan Cuma mau nyapa aja, gue tuh ngeri udah Lo duduk dipojokan, nglamun terus kan ga lucu kalau tiba – tiba Lo kesambet. ” Jawab Renita lalu berjalan lagi kemejanya sambil mengelengkan kepalanya pelan.
Aku menghela nafas panjang, rasa bersalah dan sedikit rasa sesal pada apa yang aku lakukan pada Sefia seperti hantu yang datang tanpa diminta, tiba – tiba saja datang namun sulit sekali untuk menghilangkannya. Ya kali hantu di bacain Alfatikhah langsung kabur lah ini... entah lah bagai mana caraku mengusir rasa bersalah dan sesal yang telah berubah menjadi rasa sesak didada ini.
Sejenak perhatianku teralihkan pada benda pipih di atas meja kerja ku. Nama malaikat berstatus sebagai ibuku terlihat disertai dengan tampilan wajah cantik nan ayu. Aku sudah bisa menebak apa yang menjadi alasan ibuku menelpon, namun demi mendengar suaranya yang selalu membuat aku tenang, aku tetap mengangkat telpon itu.
“Assalamualaikum, Bu.” Sapa ku setelah tombol berwarna hijau ku geser ke atas.
“Waalaikumsalam, Nak.. kok tumben kamu lama angkat telpon dari Ibu? Atau kamu lagi sibuk banget ya, maaf ya Nak Ibu menganggu.”
“Tidak apa – apa, Bu. Ada apa Ibu menelpon?”
“Kamu bisa pulang cepat kan hari ini, malam ini kan kita mau ke rumah calon istri kakak kamu.”
Aku memejamkan mata sejenak mendengar kata calon istri, lagi – lagi rasa sesak itu menyusup kedalam hati bahkan mungkin merambah ke jantung. Aku berharap ga kena serangan jantung dadakan saat ini ataupun nanti malam.
“Inshaallah Bu, Anton akan pulang cepat.” Jawab ku.
“Ya sudah, Ibu tutup dulu telponnya ya, sampai ketemu nanti di rumah ya Nak, Ibu sudah siapkan baju kamu untuk nanti malam.”
“Ya Bu, terima kasih.”
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam warahmatullah.”
Ku letakkan lagi ponsel ku ke atas meja, ku raup wajahku dengan kasar. Mungkin Renita sejak tadi memperhatikan aku, terbukti Ia kembali menegurku setelah memutar kursinya mengarah padaku.
“Wudhu sana..” Kata Renita menyuruhku.
Aku mengerutkan dahi, dan sedetik kemudian aku beranjak dari kursi menuju ke musholla yang ada di sekitar ruang kerjaku. Aku bersukur bekerja di tempat yang ramah dan sarat akan toleransi beragama. Sebagai informasi bos ku adalah seorang muslim yang taat, dan Renita adalah sepupu dari bos ku itu, pantas saja kan kalau dia juga agamais, walau tidak bisa di bilang fanatik karena kerudung yang Ia kenakan juga wajar – wajar saja, bukan jenis kerudung yang lebar seperti ukhti – ukhti pada umumnya , mungkin karena itu juga para rekan kerja yang lain tidak terlalu cangung berinteraksi dengannya.
Setelah keluar dari area wudhu musholla, aku merasa lebih segar, mungkin karena setan – setan yang sedari tadi bergelayut di hatiku pergi setelah terkena siraman air wudhu, kini aku menjadi lebih santai dan bibir ku ini dengan mudah mengucapkan kalimat istighfar hingga berkali – kali.
Dari apa yang aku lakukan sudah bisa di tebakkan kalau aku bukan laki – laki brengsek yang suka mematahkan hati seseorang. Namun kali ini biarlah aku dikatakan brengsek, karena aku punya alasan mengapa aku melakukan itu.
“Sefia, dan jika esok kau telah bisa tersenyum dan melupakan perbuatanku ku, maafkanlah diriku. Dan andai saja kau tahu bahwa aku sama terlukanya denganmu, melupakanmu mungkin adalah sebuah kemustahilan untukku”
Lagi – lagi hati ku ini dengan kurang ajarnya mengingat tentang Sefia dan mengharapkan maaf darinya, karena mungkin itu adalah kemustahilan jika mengingat luka yang begitu dalam telah ku tancapkan di hatinya.
Saat tiba di meja kerjaku, aku melihat sebuat note yang tertempel didepan layar komputerku. Dan aku sudah tahu dan sangat yakin siapa yang telah menempelkan note itu, Renita.
“Hidup tak pernah lepas dari masalah, karena masalah adalah salah satu dari sekian banyak cara Allah menjadikanmu pribadi yang lebih kuat dan dewasa, dan tentunya supaya kamu juga selalu mengingat –Nya.Berserahlah padanya. Semangat!”
Kata – kata bijak sederhana namun sarat akan makna, terima kasih ya Allah telah memberiku teman yang baik yang selalu mengingatkan aku terhadap –Mu.
Aku menoleh menghadap Renita. Mungkin dia menyadari akan tatapanku padanya, kini Renita memutar kursinya untuk menghadapku. Senyum yang menenangkan satu hal yang dapat aku tangkap saat kami bertemu tatap. Beruntung sekali laki – laki yang kelak mendapatkannya, batinku.
“Thanks..”
“Your welcome, udah mendingan sekarang?” Tanya Renita walau aku yakin dia tak mengetahui apa masalahku. Tapi memang aku tidak pernah setidak profesional seperti hari ini, maka siapapun bisa menebak jika aku memang sedang tidak baik – baik saja.
“Alhamdulilah, Lo ga mau tahu masalah gue apa atau jangan – jangan Lo udah tahu?” Tanya ku.
Renita mengangkat bahunya sambil mencebikkan bibir pinknya yang justru menjadikan ia sangat lucu.
“Sepenting apa sampai gue harus tahu apa masalah Lo? Gue Cuma ga mau aja perusahaan ini manggaji orang galau kayak Lo. Bisa – bisa bangkrut perusahaan.”
Akhirnya aku bisa tersenyum setelah beberapa hari ini rasanya senyum ku susah sekali untuk tampil. Segalau itu aku karena berpisah dengan mu, Sef. Sialan lagi – lagi aku mengingatnya.
Tak terasa jam kerja sudah habis, suasana kantorpun sudah kian sepi, Renita pun sudah pulang dari beberapa menit yang lalu. Dan kini aku pun beranjak dari kursi kerjaku setelah aku menyelesaikan pekerjaanku yang sempat tertunda karena diriku yang sedang tidak fokus dan galau.
***
Jam tujuh malam semua keluarga sudah berkumpul di ruang tengah mereka tampak heboh menggoda kakakku yang akan bertemu dengan calonnya itu.
Lagi – lagi kata calon membuatku nyeri, namun sebisa mungkin aku kesampingkan demi bisa menampilkan senyum untuk semua anggota keluargaku.
“Anak bujang satu laginya baru turun rupanya.” Ujar Bude Mara saat melihatku turun dari lantai dua. Kakak ku dan semua keluargaku ikut menolehkan padangannya padaku.
Aku lihat senyum kakak ku sangat bahagia, dan aku bersukur akan hal itu.
“Selamat ya bang, bentar lagi ada yang selalu nemenin.” Ucapku pada kakakku satu – satunya sambil ku peluk dia.
“Kamu kapan mau ngenalin pacar kamu, setahu abang bukannya kamu udah lama banget pacarannya.” Ucap abang lalu melepaskan pelukannya dariku.
Ku tampil kan senyum palsu, “Nanti kalau sudah waktunya aku kenalkan pada abang.”
“Lah, kamu Cuma janji – janji terus dari dulu.”
Apa yang di katakan abang tidak lah berbohong, aku selalu mengulur waktu untuk mengenalkan Sefia pada abangku dan seluruh keluargaku, itu karena situasinya memang belum tepat. Sefia berada di luar negeri untuk melanjutkan studinya, namun setelah beberapa bulan dia kembali justru aku yang harus mematahkan hatinya. Maafkan aku Sefia.
“Ayo kita berangkat nanti kemalaman.” Kata Ayah mengajak kami semua untuk keluar rumah menuju kendaraan yang telah disiapkan.
Beberapa menit berkendara kami akhirnya sampai di sebuah rumah yang terlihat asri dari luar karena banyak tanaman hias dan beberapa pohon buah – buahan yang berdiri di sana. Hatiku kembali berdenyut mengingat siapa wanita yang akan di jodohkan dengan kakakku, dialah Sefia. Ya perempuan yang aku pacari hampir enam tahun lamanya.
Setelah mengucapkan salam semua keluarga di persilakan masuk duduk di ruang tamu beralaskan karpet tebal, mereka mulai berbincang – bincang ramah. Hingga waktunya acara pun dimulai.
Aku hanya menyimak apa yang para tetua sampaikan hingga saat dipanggilnya calon istri kakakku hatiku berdebar kian kencang, seiring dengan langkah beberapa orang perempuan yang keluar dari arah dalam.
Tatapanku mengarah pada gadis cantik yang menggunakan kebaya berwarna peach, terlihat manis namun sayang di wajahnya tak nampak senyuman. Lebih tepatnya senyuman itu bukan untukku, karena saat memandang pada orang lain maka senyumnya akan mengembang, walau ada luka tersirat diwajahnya.
Namun aku menangkap sedikit keanehan, kenapa kebaya yang digunakan kakak ku sama dengan yang digunakan oleh gadis disamping Sefia, Dan sebentar – sebentar, aku seperti mengenal gadis itu. Renita?
Belum sempat aku mencerna keadaan yang terjadi saat ini suara ibuku telah lebih dulu tertangkap gendang telinggaku, karena beliau menyebut namaku.
“Ton, ini lho calon kakak ipar kamu, cantikkan? Waktu itu kamu tiba – tiba pamit pergi karena mendadak sakit perut saat acara temu keluarga tempo hari.”
Dan kata – kata ibuku sukses membuatku tercengang, ternyata gadis yang ingin di jodohkan dengan kakakku bukanlah Sefia, tapi Renita. Tapi jelas – jelas waktu itu aku melihat Sefia datang bersama kedua orang tuanya.
Flashback On
“Itu mereka sudah sampai.” Ucap Ayah saat melihat satu keluarga masuk ke restoran yang sengaja di booking ayah untuk acara malam ini.
Dan saat itu wajahku kaku, pandanganku tertuju pada gadis yang sedang mencium tangan ibuku. Itu kah calon istri kakakku? Wanita yang selama ini berstatus sebagai kekasihku?
Aku mengurungkan niatku masuk ke dalam ruangan yang telah disiapkan untuk acara, berbalik pergi lewat pintu yang lain. Lalu memberi kabar pada kakakku jika aku tidak jadi datang karena mendadak sakit perut. Namun ternyata ada satu perempuan lagi yang hadir setelah aku pergi dari restoran.
Flashback Off
Karena aku mengira bahwa Sefia adalah calon istri kakakku maka aku mengambil keputusan untuk berpisah darinya. Aku sengaja meminta tolong adik sahabatku untuk berpura – pura menjadi selingkuhanku. Aku terpaksa melakukan itu, ya demi kakakku. Statusku adalah anak adopsi di keluarga yang membesarkan aku, jadi tak pantas rasanya jika harus bersaing dengan kakak yang telah memberikan segalanya untuk adik angkatnya ini.
“Sebenarnya malam hari ini kami dua keluarga memiliki dua kesepakatan, yang pertama yaitu untuk merencanakan pernikahan antara Zaki dan Sofia Renita, lalu kesepakatan yang kedua yaitu ingin menjodohkan anak bungsu saya dengan adik dari Renita, yaitu Sefia.” Ucap Ayahku yang membuat aku syok. Apa? Yang benar saja aku akan di jodohkan dengan Sefia, perempuan yang beberapa hari lalu aku patahkan hatinya.
Ya Allah apa yang harus aku lakukan?
Ku lihat tatapan Sefia begitu terluka, maafkan aku Sefia, maaf karena tindakan ku yang gegabah hingga membuatmu terluka..
Dan.. bila esok datang kembali seperti sedia kala dimana kau bercanda
Maaf kan aku Sefia.. maaf..
(Cerpen ini terinspirasi dari lagu berjudul Dan... milik Sheila On 7)