Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Menurutmu mungkin aku pintar menulis, tapi tidak untuk menyatakan suara hati. Please bantu aku.
I carry your heart with me (I carry it in my heart)
I am never without it (anywhere I go you go, my dear;
and whatever is done by only me is your doing, my darling)
I fear no fate (for you are my fate, my sweet)
I want no world (for beautiful you are my world, my true)
and it’s you are whatever a moon has always meant
and whatever a sun will always sing is you.
Here is the deepest secret nobody knows
Here is the root of the root and the bud of the bud
and the sky of the sky of a tree called life; which grows
higher than soul can hope or mind can hide
and this is the wonder that’s keeping the stars apart.
I carry your heart (I carry it in my heart)
--"I Carry Your Heart with Me"--E.E. Cummings
Duduk dengan laptopnya, senja hari, disebuah kafe kecil yang tersembunyi di sudut kota di pinggiran pantai. Sorot matanya yang tajam menyapu layar, jemarinya menari di atas keyboard dengan ketukan yang ritmis.
Sebenarnya sebagai seorang jurnalis investigasi, menggali fakta dari balik selubung misteri sudah jadi makanannya sehari-hari. Tapi kali ini, ia bukan sedang menulis laporan. Ia sedang menulis surat cinta – surat yang berbeda dari yang pernah ia baca atau dengar.
Menurutnya ini benar-benar tantangan, dan ia merasa, ternyata super sulit untuk berterus terang, daripada membenam rasa rindu di hatinya yang terdalam.
“Kak, kelihatannya sibuk sekali, pasti tulisan sangat penting ya," suara lembut seorang wanita mengejutkan Damar. Ia mendongak dan melihat Senja, seorang barista di kafe itu. Rambutnya terurai seperti gelombang cahaya keemasan saat matahari terbenam.
Meski gugup, Damar berusaha mengendalikan gemetar tubuhnya, “Mungkin, lebih penting dari yang pernah kubayangkan,” jawab Damar sambil tersenyum tipis. Ia menutup laptopnya, menyembunyikan layar dari pandangan gadis itu.
Senja tertawa kecil, melangkah pergi untuk melayani pelanggan lain. Namun, ada sesuatu dalam senyumnya yang tertinggal di pikiran Damar, seperti bayang-bayang yang enggan pergi.
***
Selama berminggu-minggu, Damar terus datang ke kafe itu. Bukan hanya untuk menikmati kopi atau suasana, tapi untuk melihat Senja.
Ia menyadari bahwa perasaannya terhadap gadis itu mulai menjadi aneh. Bahkan, sebagai seseorang yang terbiasa menyembunyikan emosinya, tetap saja Damar merasa canggung untuk mengungkapkan perasaannya secara langsung.
Maka, Damar memutuskan untuk menulis sebuah artikel. Bukan artikel biasa, melainkan sebuah narasi cinta anonim yang mengisahkan perasaan mendalamnya terhadap seseorang yang ia temui secara kebetulan. Artikel itu diterbitkan di surat kabar tempatnya bekerja dengan judul: “Wanita di Balik Senja”.
Dalam tulisan itu, ia menggambarkan pertemuan mereka yang penuh kebetulan, tatapan mata yang seolah menyingkap rahasia hati, dan senyum yang menghidupkan kembali keyakinannya pada cinta.
Namun, ia tidak menyebutkan nama atau detail spesifik. Ia berharap Senja membaca artikel itu dan menyadari bahwa tulisan itu tentang dirinya.
“Damar, artikelmu kali ini menarik perhatian banyak orang,” kata Redaktur, Mbak Rima, sambil menepuk pundaknya. “Ada pembaca yang bahkan menulis surat balasan untukmu. Katanya, ia ingin tahu siapa ‘Wanita di Balik Senja’ itu.”
Damar nyaris tak bisa menahan gejolak dan hanya tersenyum kecil. “Kadang, misteri adalah bagian dari daya tariknya, Mbak.”
“Mungkin kamu benar, tapi ini spesial, sampai mengundang respon yang juga spesial. Apa ini sebuah permainan?”
“Maksud Mbak?”
“Kamu sedang menyasar seseorang,” kata-kata itu seolah menjadi tebakan jitu yang mematikan.
“Memang bisa, sedalam itu?”
“Nggak tau!, kan kamu yang menulisnya, jadi jawabannya ada disini,” kata Mbak Rima sambil menunjuk ke arah dadaku.
Damar tak percaya semudah itu, rencananya bisa dibaca redakturnya.
Tapi, tak lama setelah itu, sebuah notifikasi dari bagian redaksi diterimanya, sebuah surat balasan dengan bahasa yang halus:
Untuk penulis ‘Wanita di Balik Senja’,
Aku membaca tulisanmu dan merasa seolah kamu menulis tentangku. Tapi mungkinkah itu hanya kebetulan? Jika memang aku yang kau maksud, maka kita telah bertemu lebih dari sekadar di balik senja. Kita telah bertemu di antara cangkir kopi dan aroma harum biji yang baru digiling. Jika kau ingin aku percaya, buktikanlah.
Tidak ada nama, tapi Damar yakin surat itu berasal dari Senja. Hatinya berdebar. Ia menyadari bahwa ia harus melakukan sesuatu yang lebih berani.
Tapi Damar sendiri bisa merasakan jika ia sama sekali tak berdaya berhadapan dengan sebuah kekuatan bernama-cinta—lebih tepatnya rasa jatuh cinta.
***
Beberapa hari kemudian, Damar datang ke kafe dengan membawa sebuah buku yang ia tahu disukai Senja – sebuah kumpulan puisi karya E.E. Cummings. Di halaman pertama, ia menyelipkan sebuah catatan kecil.
Untuk Senja, yang telah menghidupkan kembali malam-malamku. Jika kau ingin tahu lebih banyak, bacalah puisi di halaman 45.
Senja yang tak biasa di beri kejutan menerimanya dengan senyum bingung. Ketika ia membuka halaman 45, ia menemukan sebuah puisi dan di bawahnya, Damar telah menulis.
Apakah kau percaya bahwa kata-kata bisa menjembatani dua hati? Jika ya, temui aku di taman di ujung jalan ini sore nanti.
Senja ragu-ragu, tetapi rasa penasarannya mengalahkan keraguannya. Di sana, ia menemukan Damar duduk di bangku, seperti sedang menunggu seseorang.
"Kakak?" ujar Senja dengan keterkejutan yang masih diredamnya.
"Kakak menunggu seseorang?"
Damar mengangguk.
“Kakak benar-benar serius dengan ini,” kata Senja sambil mendekat. Ada senyum di wajahnya, tetapi matanya penuh dengan pertanyaan.
Damar berdiri dan menyerahkan bunga itu. “Aku seorang jurnalis, Senja. Aku terbiasa menulis tentang dunia, tetapi untuk pertama kalinya, aku ingin menulis tentang perasaanku. Artikel itu tentangmu, dan surat balasanmu memberiku keberanian untuk mengatakannya langsung.”
Senja justru tertawa kecil, “Kakak benar-benar aneh. Tapi aku suka cara kakak mengungkapkan perasaan.”
***
Sayangnya, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Di tengah percakapan mereka, entah angin darimana, seorang pria mendekat dan memanggil nama Senja.
Dan sebuah kebetulan, ternyata ia tunangan Senja, seseorang yang telah lama bekerja di luar negeri dan baru kembali dari studi di Boston.
Damar terdiam, hatinya seperti dihantam gelombang besar. Ia tidak tahu bahwa Senja sudah bertunangan. Mereka menjadi canggung, apalagi Senja, tetapi Damar tak bisa mengabaikan kehadiran pria itu.
Bagi laki-laki itu kedatangan dan sambutan Senja sudah cukup untuk memberi pukulan kepada Damar. Tanpa perlu berdebat apalagi memainkan api.
***
Untuk pertama kalinya Damar merasakan bahwa sakit di dalam hati ternyata sesuatu yang nyaris tak bisa ditahannya.
Pada akhirnya Damar memilih berhenti datang ke kafe. Mencoba melupakan wanita pertama yang membuatnya jatuh cinta dan juga membuatnya terluka. Tapi bayangan itu terus menghantui pikirannya.
Hingga suatu hari, ia menerima surat lain di mejanya, setelah lama ia tak lagi mengunjungi kafe, dengan gadis barista yang pernah meluluhkan hatinya.
Damar,
Kak, aku tahu ini sulit, tapi aku ingin kakak tahu bahwa aku tidak pernah berpura-pura. Tunanganku itu bagian dari masa lalu yang aku pikir sudah selesai. Tapi, pertemuan denganmu ditaman itu membuatku sadar bahwa hatiku telah berubah. Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri – aku sangat mencintai kakak. Jika kakak masih ingin menemuiku, aku menunggu di tempat biasa.
Damar kembali ke kafe itu. Di sana, ia menemukan Senja duduk sendiri, memegang secangkir kopi. Ketika ia melihatnya, air mata mengalir di pipinya.
“Aku sudah memutuskan segalanya. Aku ingin memulai babak baru, denganmu,” kata Senja.
Damar menatapnya, hatinya dipenuhi dengan adukan emosi. “Senja. Jika menurutmu aku bisa membuatmu bahagia, maka aku akan melakukannya untukmu.”