Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Dalam Sunyi Aku Mengejamu
4
Suka
1,025
Dibaca

Hujan turun pelan, seperti doa-doa yang tak pernah selesai dibisikkan langit. Di antara gemuruh mendung dan desir angin, di sanalah aku pertama kali melihatnya — seorang perempuan yang duduk di sudut perpustakaan tua, mengenakan sweater lusuh dan earphone di telinga, seolah dunia ini hanya milik dia dan sunyi yang dipeliharanya.

Namanya Lira. Seperti nama lagu yang tidak pernah selesai, nadanya menggantung di ujung harapan. Matanya teduh, suaranya pelan, dan langkahnya selalu setengah hati. Ia adalah puisi berjalan, dan aku — hanya pembaca setia yang tak pernah dia sadari.

Awalnya, aku tidak berniat jatuh cinta. Tapi bukankah cinta tidak pernah minta izin sebelum singgah?

Aku mulai datang lebih pagi ke perpustakaan, duduk beberapa meja darinya, pura-pura membaca sambil diam-diam mencuri pandang. Lira suka memandangi jendela, seolah ada sesuatu yang lebih penting di luar sana. Tangannya sering mencoret-coret halaman buku, bukan coretan keras, tapi garis-garis tipis seperti jejak ragu yang tak ingin terlalu terlihat.

Aku beranikan diri menyapa saat kami sama-sama mengambil kopi dari vending machine. Tangannya dingin saat tak sengaja menyentuh punyaku.

"Maaf," katanya pelan, tapi suaranya menyimpan ribuan musim gugur. Aku hanya mengangguk, tenggelam dalam jeda.

Sejak hari itu, kami mulai bicara — tentang buku, tentang hujan, tentang hidup yang rasanya terlalu penuh dengan yang tak selesai. Lira seperti bulan sabit: hanya sebagian yang bisa kulihat, selebihnya sembunyi di balik malamnya sendiri.

"Aku tak pandai mencintai," katanya suatu malam, ketika kami berjalan pulang di bawah pohon-pohon yang daunnya mulai gugur.

"Aku pun," jawabku. "Tapi aku bisa belajar."

Lira tersenyum, senyum yang tidak penuh. Separuh senyum, seperti hidupnya.

Kami tidak pernah menyebut ini cinta. Kami hanya saling hadir, dalam cara yang paling diam. Ia menulis puisi di punggung bukuku. Aku menggambar siluetnya di kertas-kertas kosong. Kami bertukar sunyi dan menukar pandang. Dan itu cukup — saat itu.

Semakin aku mengenalnya, semakin aku sadar, ia menyimpan banyak yang tak pernah ia bagi. Ia tak pernah benar-benar membuka dirinya sepenuhnya — seperti pintu tua yang hanya terbuka setengah, cukup untuk mengintip, tapi tak bisa dimasuki.

Pernah sekali aku bertanya, "Apa kamu bahagia, Lira?"

Ia terdiam lama. Lalu menjawab, "Aku tidak terbiasa menanyakan itu pada diri sendiri."

Seketika, aku ingin menjadi rumah untuknya. Tempat ia bisa bertanya dan menjawab, menangis dan tertawa, pulang dan pergi — tanpa takut kehilangan arti dari semuanya.

Namun pada suatu sore, Lira tak datang ke perpustakaan. Tidak juga esoknya. Atau lusa.

Aku menunggunya seperti seseorang menunggu surat balasan yang mungkin tak akan pernah dikirimkan. Hari-hari terasa menggantung. Aku kehilangan jejak di antara halaman-halaman yang dulu ia sentuh. Dalam diam, aku menulis surat-surat untuknya yang tak pernah terkirim, menuliskan puisi yang semoga ia baca dalam mimpinya.

Lira kembali seminggu kemudian. Wajahnya lebih pucat, tubuhnya lebih kurus. Tapi senyumnya tetap sama — senyum yang menutupi banyak hal.

"Maaf," katanya. "Aku pergi sebentar."

"Ke mana?"

Ia tidak menjawab. Hanya menatap jendela. Matanya lebih dalam dari biasanya. Dan di sana, aku melihat hujan yang belum reda.

Hari-hari berikutnya menjadi perlahan. Ia mulai bercerita tentang malam-malamnya yang panjang, tentang tubuhnya yang mudah lelah, tentang pusing yang datang tanpa aba-aba. Dan aku tahu, ada yang ia sembunyikan.

"Lira," kataku di suatu senja. "Jika aku boleh menjadi apa pun, aku ingin jadi payungmu, agar hujan tak menyentuhmu terlalu dalam."

Ia menoleh, lama sekali. Lalu berbisik, "Kamu terlalu indah untuk aku bawa ke dalam luka."

Dan di situ aku tahu: cinta yang paling menyakitkan bukanlah yang pergi, tapi yang tinggal dalam diam karena takut menyakitimu.

Beberapa minggu kemudian, Lira berhenti datang lagi. Kali ini lebih lama. Nomor ponselnya tak aktif. Aku mulai mencari, dan akhirnya menemukan alamatnya dari seorang petugas perpustakaan.

Rumahnya kecil di pinggiran kota. Ibunya yang membuka pintu — perempuan tua dengan mata sembab dan senyum letih.

“Lira di rumah sakit,” katanya. “Sudah sebulan.”

Aku datang dengan tangan gemetar. Menemukannya terbaring dengan kabel-kabel yang menempel di tubuhnya. Lira membuka mata perlahan saat mendengar namaku disebut. Senyumnya muncul — lemah, tapi hangat.

"Kamu datang juga..."

Aku duduk di samping ranjangnya, menggenggam jemarinya yang dingin.

"Kenapa tak bilang?"

"Aku tak ingin kamu melihat aku rapuh..."

"Tapi aku ingin melihatmu, utuh atau tidak. Bahkan jika kamu hilang, aku ingin mengingatmu lengkap."

Air matanya jatuh. Dan malam itu, kami bicara banyak. Tentang lagu-lagu yang tak selesai ia dengarkan. Tentang buku yang belum ia kembalikan. Tentang masa kecil dan masa depan yang tak sempat ia rencanakan.

"Aku ingin jadi daun," katanya. "Yang jatuh tanpa suara, tapi sempat melihat langit sebelum menyentuh tanah."

Aku tidak tahu harus berkata apa. Jadi aku hanya menggenggam tangannya lebih erat.

Hari-hari setelahnya, aku selalu datang. Membacakan puisi. Menyalakan lagu kesukaannya. Membawakan aroma hujan dari luar jendela. Ia tersenyum setiap kali aku datang. Katanya, aku adalah satu-satunya musim yang membuatnya lupa bahwa tubuhnya sedang rapuh.

Kadang, di sela-sela diam kami, aku membayangkan dunia di mana Lira sehat, tertawa keras, menari di bawah hujan tanpa takut jatuh. Aku membayangkan kami tua bersama, meminum kopi yang sama di bangku taman yang sama.

Tapi dunia yang aku bayangkan bukan dunia yang Lira tinggali. Dan aku harus menerima itu — seperti menerima bahwa pagi tak selamanya mendung.

Dan pada suatu pagi yang terlalu tenang, Lira pergi — seperti yang selalu ia inginkan. Diam. Tanpa gaduh. Seperti embun yang hilang sebelum disentuh matahari.

Kini, bertahun-tahun setelah kepergiannya, aku masih menyimpan payung merah yang tak pernah sempat kuberikan. Masih menyimpan semua puisi yang ia tulis di buku catatanku. Dan tiap kali hujan turun, aku memutar lagu-lagu sunyi yang dulu ia dengarkan sendirian.

Cinta, kadang datang bukan untuk menetap. Ia datang untuk mengajarkan kita cara kehilangan yang paling pelan.

Dan Lira… adalah kehilangan yang tak pernah benar-benar selesai.

Di perpustakaan yang sama, aku duduk sendiri. Bangku tempat Lira biasa duduk kini kosong, tapi tidak sunyi. Masih ada sisa langkah yang terdengar di antara lantai, dan bisik suaranya di antara lembaran buku.

Aku tahu, dia tak pernah benar-benar pergi. Ia tinggal — sebagai bayang, sebagai puisi yang tak selesai, sebagai sunyi yang selalu kunanti.

Kadang, cinta tidak perlu diakhiri dengan kata "selamat tinggal."

Karena kadang, cinta tidak butuh akhir yang bahagia.

Kadang, cinta cukup dengan menjadi kenangan yang harus terus bergerak,

bahkan setelah suara kita tak lagi terdengar.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)
Rekomendasi dari Romantis
Novel
Bronze
DANDELION: kisah Yang Tak Usai
Priki~
Cerpen
Bronze
Bintang
habsyi ²
Cerpen
Dalam Sunyi Aku Mengejamu
Baiq Nike Mulya Hartati
Novel
Bronze
Cinta 1000 Tahun Sang Pangeran
Apresia Ardina
Komik
It Was You
AmaySa
Cerpen
Bronze
Ada Cinta antara Pekayon dan London
Habel Rajavani
Novel
Bronze
MY TOXIC WEDDING
Times New Roman
Novel
Dear Husband
OKTAVIONA EFEL MALIK
Novel
Gold
PHP
Bentang Pustaka
Komik
Di rumah aja
Nur'aliza fitriani
Cerpen
Bronze
Rani & Jodi chapter 1
artabak
Cerpen
Saat Bersamamu di Surya Kencana
muhamad Rifki
Flash
Mahar Uang Digital
Dirman Rohani
Novel
Bronze
Rama's Story : Virgo Chapter 3 - Back In Time
Cancan Ramadhan
Flash
Bronze
Bidadari dan Puspawangi
Anjrah Lelono Broto
Rekomendasi
Cerpen
Dalam Sunyi Aku Mengejamu
Baiq Nike Mulya Hartati