Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Tokyo, kota yang tak pernah benar-benar tidur. Di sinilah langkah-langkah dua hati dari negeri yang sama akan saling bersinggungan. Di tengah keramaian kereta, rimbunnya bunga sakura, daun maple yang berguguran, hingga putihnya salju, cinta yang tak terduga tumbuh dengan cara yang pelan namun mendalam.
Bagian 1: Pertemuan di Tengah Keramaian
Tokyo pada musim semi adalah pemandangan yang memukau. Pohon-pohon sakura bermekaran, mewarnai jalanan dengan nuansa merah muda yang lembut. Namun, bagi Nadia Prameswari, keindahan itu masih terasa seperti latar belakang yang jauh. Perjalanan pertamanya ke stasiun Shinjuku, stasiun tersibuk di dunia, membuatnya kewalahan. Keramaian yang tidak berhenti, papan petunjuk penuh huruf kanji, dan arus manusia yang seolah tak peduli membuat Nadia merasa terasing.
Sambil menggenggam peta kecil, Nadia berdiri di depan papan informasi elektronik. Matanya bergerak cepat membaca nama-nama stasiun dalam romaji, namun kepanikan mulai menyelimuti pikirannya. Kereta menuju Meguro akan tiba dalam waktu lima menit, dan dia belum tahu di mana jalur yang benar.
“Kok bisa sesulit ini…” gumam Nadia dalam bahasa Indonesia, sambil menatap peta yang mulai lecek di tangannya.
Sebuah senggolan dari arah kanan membuat peta itu terjatuh. Nadia terkejut, refleks berjongkok untuk mengambilnya. Namun, sebelum tangannya sempat meraih kertas tersebut, tangan lain sudah lebih dulu mengambilnya.
“Ini,” suara rendah namun hangat menyapa. Nadia mendongak, dan pandangannya bertemu dengan seorang pria muda.
Ia mengenakan jas abu-abu dengan dasi yang sedikit longgar, seperti baru saja keluar dari pertemuan bisnis. Wajahnya bersih, dengan rahang tegas yang membuatnya terlihat serius. Namun, ada kelembutan dalam sorot matanya.
“Maaf, tadi saya nggak sengaja nyenggol,” katanya dengan logat Indonesia yang jelas.
Nadia sedikit terkejut, lalu mengambil kertas itu dengan ragu. “Terima kasih. Kamu… orang Indonesia juga?”
“Iya,” jawabnya singkat. “Kelihatan jelas dari wajahmu kalau kamu juga. Lagi cari jalur ke mana?”
“Ke Meguro. Tokyo University,” jawab Nadia, suaranya agak gemetar karena gugup. Ia tidak menyangka bertemu sesama orang Indonesia di tengah keramaian Tokyo.
Pria itu melirik papan elektronik di atas mereka. “Kebetulan, saya lewat jalur itu. Kalau mau, ikut saya saja.”
Nadia menatapnya dengan ragu sejenak. Ia tidak mengenalnya, tapi ada sesuatu dalam cara pria itu berbicara yang membuatnya merasa aman. Akhirnya, ia mengangguk pelan. “Baiklah. Terima kasih.”
Mereka berjalan beriringan menuju peron. Pria itu bergerak dengan percaya diri, seolah sudah hapal seluk-beluk stasiun ini. Nadia mengikuti di belakang, mencoba menenangkan pikirannya.
“Baru di Tokyo, ya?” tanyanya tanpa menoleh.
“Iya,” jawab Nadia singkat. “Baru dua hari.”
Pria itu tersenyum tipis, hampir tak terlihat. “Wajar kalau masih bingung. Tokyo memang bisa membingungkan di awal. Tapi lama-lama kamu akan terbiasa.”
Nadia hanya mengangguk, tidak tahu harus mengatakan apa. Mereka menaiki eskalator menuju peron yang ramai. Saat kereta datang, mereka masuk bersama-sama, dan pria itu memastikan Nadia mendapat tempat berdiri yang nyaman di dekat pintu.
“Kuliah, ya?” tanya pria itu lagi.
“Iya. S2 Sastra Jepang,” jawab Nadia, kini mulai merasa sedikit lebih santai. “Kamu?”
“Saya kerja di sini, di sebuah perusahaan energi. Sudah tiga tahun tinggal di Tokyo.”
“Oh…” Nadia mengangguk pelan. “Pasti seru, ya, kerja di luar negeri?”
“Kadang seru, kadang melelahkan. Apalagi kalau kamu nggak punya banyak teman,” jawabnya sambil tersenyum tipis.
Obrolan mereka terhenti sejenak. Nadia melirik pria itu dengan penasaran. Ada kesan yang berbeda darinya—tenang, tetapi tidak dingin. Saat kereta berhenti di stasiun berikutnya, ia berbicara lagi.
“Stasiun berikutnya stasiunmu,” katanya. “Hati-hati saat keluar. Dan kalau ada masalah, ini kartu nama saya.”
Pria itu menyerahkan sebuah kartu nama kecil. Nadia menerimanya, membaca tulisan di atasnya: Arjuna Raditya, Project Engineer. Dia menyimpan kartu itu di dalam dompet tanpa banyak berpikir.
“Terima kasih banyak, Arjuna. Kalau bukan karena kamu, mungkin aku sudah tersesat sekarang.”
Arjuna tersenyum kecil. “Sama-sama. Selamat menikmati Tokyo, Nadia.”
Kereta berhenti, dan Nadia keluar dengan langkah ragu. Ia melirik ke belakang, melihat Arjuna melambaikan tangan singkat sebelum kereta melaju lagi.
Hari itu, Nadia merasa pertemuan singkat itu aneh sekaligus menenangkan. Dia tidak menyangka bahwa di tengah keramaian Tokyo, ada seseorang yang membuat kota ini terasa sedikit lebih akrab.
Bagian 2: Suara yang Sama di KBRI
Tokyo memasuki puncak musim panas. Suhu yang lembap membuat udara terasa berat, dan langit biru tanpa awan menjadi latar bagi gedung-gedung pencakar langit. Nadia Prameswari mengipas-ngipas wajahnya dengan map dokumen beasiswa yang harus segera ia urus di KBRI Jepang.
Lobi KBRI dipenuhi oleh sesama warga Indonesia dengan berbagai keperluan: perpanjangan paspor, pengurusan visa, dan legalisasi dokumen. Nadia duduk di deretan kursi tunggu, mencoba melawan kantuk yang menyerang akibat pendingin ruangan yang terlalu dingin. Di tengah keramaian itu, sebuah suara yang familiar memanggil namanya.
“Nadia?”
Ia menoleh. Sosok yang berdiri di hadapannya membuatnya terkejut. “Arjuna?”
Arjuna Raditya mengenakan kemeja putih lengan panjang yang digulung rapi, dengan map dokumen tebal di tangannya. Rambutnya masih tampak sedikit berantakan, memberikan kesan kasual yang kontras dengan pembawaan seriusnya.
“Kok bisa di sini?” tanya Nadia sambil berdiri, senyumnya melintas di wajah.
“Kerja. Lagi urus izin usaha untuk perusahaan,” jawab Arjuna santai. "Kamu?"
“Beasiswa. Lagi ngurus dokumen perpanjangan visa.”
Obrolan mereka berhenti sesaat saat Nadia harus kembali fokus pada antreannya. Ketika ia selesai menyerahkan dokumen, ia keluar dari lobi dan mendapati Arjuna masih berdiri di sana, tampaknya sedang menunggunya.
“Udah selesai?” tanya Arjuna.
“Iya. Tapi aku masih harus menunggu konfirmasi. Kamu sendiri?”
“Baru mulai urus. Prosesnya pasti lama. Ada waktu makan siang?” tanya Arjuna tiba-tiba, membuat Nadia sedikit terkejut.
Nadia mengangguk, bingung apakah harus merasa canggung atau senang dengan tawaran itu. Mereka berjalan keluar KBRI menuju sebuah restoran kecil tak jauh dari sana, yang menurut Arjuna menyajikan ramen halal terbaik di Tokyo.
Di restoran kecil itu, aroma kaldu ramen menyelimuti udara. Nadia dan Arjuna duduk berhadapan di sebuah meja kecil di sudut. Nadia melirik ke sekeliling, melihat banyak pelanggan yang tampaknya warga lokal.
“Jadi, gimana kehidupan kuliahmu?” tanya Arjuna sambil menyeruput teh hangatnya. Suaranya lembut, nyaris seperti sapuan angin musim panas yang menenangkan.
“Cukup menantang,” jawab Nadia, sambil mengaduk-aduk ramennya. “Kadang aku merasa belum cukup baik. Bahasa Jepangku masih sering salah, dan mereka di sini sangat detail. Tapi… aku harus tetap berusaha.”
Arjuna menatapnya sejenak, lalu tersenyum kecil. “Tokyo memang kota besar, penuh persaingan. Tapi aku yakin, kalau kamu bisa sampai di sini, kamu pasti bisa melewati semuanya.”
Nadia terdiam. Kata-kata itu sederhana, tapi cara Arjuna mengatakannya terasa tulus, seperti memberi energi baru di tengah keraguannya.
“Kalau kamu sendiri?” tanya Nadia akhirnya. “Kerja di sini kelihatannya juga nggak mudah.”
Arjuna menghela napas panjang. “Awalnya berat. Budaya kerja di Jepang itu keras, dan kadang aku merasa seperti harus terus membuktikan diri. Tapi… aku suka tantangannya. Di sini, aku merasa aku bisa tumbuh.”
“Kamu kelihatan sangat tenang,” ujar Nadia pelan, sambil memandang Arjuna. “Tapi aku yakin, pasti ada saat-saat kamu merasa lelah.”
Arjuna tersenyum kecil, matanya menatap Nadia dengan lembut. “Semua orang lelah, Nadia. Tapi aku belajar, hidup itu bukan tentang menghindari rasa lelah, melainkan tentang bagaimana kita membuatnya berarti.”
Kata-katanya membuat Nadia terdiam lagi. Ia memikirkan perjuangannya selama ini—meninggalkan keluarga, menyesuaikan diri dengan kota yang asing, dan melawan keraguan yang terus menghantuinya. Dalam satu percakapan singkat, Arjuna seperti memahami semua itu.
“Makasih, Arjuna,” ujar Nadia tiba-tiba.
Arjuna mengangkat alis. “Untuk apa?”
“Untuk… membuatku merasa nggak sendirian di sini.”
Arjuna hanya tersenyum, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang tak bisa ia katakan dengan kata-kata.
Setelah makan siang, mereka berjalan beriringan menuju stasiun kereta. Jalanan Tokyo dipenuhi manusia yang bergerak seperti arus sungai, tapi bagi Nadia, momen itu terasa tenang. Mereka berbicara tentang hal-hal kecil—tentang film favorit, makanan khas Indonesia yang mereka rindukan, hingga obrolan ringan tentang musim yang akan datang.
Saat mereka tiba di peron, kereta Nadia datang lebih dulu. Ia melangkah masuk, lalu menoleh ke arah Arjuna yang masih berdiri di peron.
“Arjuna,” panggil Nadia sebelum pintu kereta tertutup.
“Ya?” jawabnya.
“Semoga harimu menyenangkan,” ujar Nadia dengan senyum kecil.
Arjuna membalas senyumnya. “Kamu juga, Nadia.”
Pintu kereta tertutup, dan kereta perlahan bergerak. Dari balik kaca, Nadia melihat sosok Arjuna yang semakin menjauh. Hatinya terasa hangat, meski ia tak tahu kenapa. Mungkin, untuk pertama kalinya sejak ia tiba di Tokyo, ia merasa ada seseorang yang benar-benar mengerti dirinya.
Di dalam kereta, Nadia mengeluarkan kartu nama Arjuna dari dompetnya. Ia membaca nama itu lagi—Arjuna Raditya, Project Engineer. Nama itu, entah kenapa, kini terasa lebih dari sekadar tulisan di selembar kertas.
Hari itu, Tokyo terasa lebih manusiawi bagi Nadia. Di tengah hiruk-pikuknya, ia menemukan sebuah hubungan kecil yang membuat kota itu terasa lebih hangat. Arjuna adalah seseorang yang tidak ia duga akan menjadi penting, tapi dalam hati kecilnya, ia merasa bahwa pertemuan mereka bukanlah kebetulan.
Bagian 3: Kehangatan di Musim Gugur
Tokyo berubah warna saat musim gugur tiba. Jalanan yang sebelumnya dihiasi bunga sakura kini berganti dengan daun-daun maple yang berwarna merah, jingga, dan kuning. Udara menjadi lebih sejuk, dan langkah-langkah orang-orang Tokyo terasa sedikit lebih santai dibandingkan musim panas yang penuh hiruk-pikuk.
Nadia duduk di bangku taman Ueno, memeluk secangkir kopi hangat yang ia beli dari kafe kecil dekat pintu masuk taman. Taman itu seperti lukisan hidup—pepohonan maple menggugurkan daunnya dengan lembut, menciptakan karpet alami yang berwarna-warni. Suara gesekan angin yang menggoyangkan dedaunan terasa seperti bisikan halus di telinganya.
Dia menunggu seseorang, seseorang yang belakangan ini sering menjadi bagian dari harinya. Arjuna.
Langkah kaki yang dikenalnya menyapa keheningan. Arjuna datang dengan mantel panjang hitam, membawa sekantong roti kecil yang ia beli dari sebuah toko roti lokal.
“Maaf lama. Jalanan agak ramai tadi,” katanya sambil duduk di sebelah Nadia. Ia menyerahkan sekantong roti itu. “Coba. Ini favoritku.”
Nadia mengambil roti itu dan mencicipinya. “Hmm… enak. Ada aroma mentega yang lembut. Apa ini dari toko kecil dekat Shibuya?”
“Betul. Aku suka pergi ke sana kalau lagi ada waktu luang. Tempatnya kecil, tapi rotinya selalu segar,” jawab Arjuna sambil membuka kopinya sendiri.
Mereka menikmati pemandangan taman Ueno yang penuh dengan pengunjung. Suara anak-anak yang bermain bercampur dengan langkah-langkah pasangan yang berjalan santai, menjadikan taman itu seperti ruang melodi kehidupan. Nadia menatap ke arah danau kecil di tengah taman, yang permukaannya memantulkan cahaya matahari sore.
“Arjuna, kenapa kamu suka Tokyo?” tanyanya tiba-tiba, suaranya terdengar lembut.
Arjuna mengangkat bahu, lalu menatap langit biru di atas mereka. “Awalnya aku nggak suka. Tokyo terasa terlalu sibuk, terlalu individualis. Tapi lama-kelamaan, aku menemukan keindahannya. Kota ini mengajarkan aku untuk berdiri sendiri, untuk menghargai waktu, dan untuk tidak terlalu terikat pada masa lalu.”
“Puitis sekali,” ujar Nadia sambil tersenyum kecil. “Tapi… apa kamu nggak pernah merasa rindu pulang?”
Arjuna terdiam sejenak, lalu menyesap kopinya. “Rindu itu ada. Tapi kadang, aku takut kalau pulang terlalu cepat, aku tidak akan punya sesuatu yang bisa kubanggakan.”
Kata-katanya menyentuh hati Nadia. Ia tahu betul bagaimana rasanya ingin pulang, tapi juga merasa belum cukup layak untuk kembali.
“Bagaimana denganmu, Nadia? Apa yang membuatmu bertahan di sini?” tanya Arjuna, matanya memandang langsung ke arah Nadia.
Nadia tertegun. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Awalnya, karena aku merasa ini adalah jalan menuju impianku. Tapi sekarang… aku rasa aku bertahan karena aku ingin membuktikan sesuatu pada diriku sendiri. Aku ingin tahu sampai sejauh mana aku bisa melangkah.”
Arjuna tersenyum kecil, lalu mengulurkan tangannya untuk menyentuh daun maple yang jatuh di bangku di sebelahnya. “Kamu tahu, Nadia, aku selalu percaya kalau orang-orang yang berani meninggalkan zona nyamannya adalah orang-orang yang luar biasa. Kamu adalah salah satunya.”
Wajah Nadia memerah. Ia tidak tahu apakah udara dingin atau kata-kata Arjuna yang membuatnya begitu.
Langit sore mulai berwarna oranye keemasan ketika mereka memutuskan untuk berjalan di sepanjang jalan setapak taman. Dedaunan berguguran, seperti melukiskan keindahan yang hanya bisa dilihat di musim gugur. Nadia dan Arjuna melangkah berdampingan, membiarkan obrolan ringan mengisi keheningan.
Namun, langkah mereka terhenti ketika seorang wanita Jepang dengan pakaian kasual mendekati Arjuna.
“Arjuna-san,” panggilnya, suaranya terdengar penuh percaya diri.
Nadia menoleh, melihat wanita itu dengan rasa penasaran. Rambut hitamnya tergerai rapi, dan senyumnya mengembang saat ia menatap Arjuna. “Maaf mengganggu, tapi saya baru saja menyelesaikan dokumen itu. Kalau ada waktu, mungkin kita bisa membahasnya lagi besok?”
Arjuna tampak sedikit terkejut, tapi kemudian tersenyum tipis. “Tentu, Ayaka-san. Besok saya akan menghubungimu.”
Wanita itu mengangguk, melirik Nadia sekilas sebelum pergi. Setelah dia menghilang di antara keramaian, Nadia menatap Arjuna dengan ekspresi ingin tahu.
“Siapa dia?” tanya Nadia, suaranya terdengar santai, meski ada nada kecil ketertarikan.
“Rekan kerja,” jawab Arjuna sambil memasukkan tangan ke saku mantelnya. “Kami sedang mengerjakan proyek bersama.”
“Oh,” balas Nadia pendek. Ia tidak tahu kenapa, tapi ada sedikit perasaan aneh di dadanya. Seperti ada sesuatu yang mulai mengganggunya.
Arjuna, yang tampaknya menyadari perubahan sikap Nadia, tersenyum kecil. “Kenapa? Kamu cemburu?”
Nadia tertawa, meski tidak sepenuhnya tulus. “Cemburu? Kenapa aku harus cemburu?”
“Aku nggak tahu. Tapi wajahmu bilang sebaliknya,” kata Arjuna sambil tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana.
Malam semakin larut saat mereka akhirnya sampai di ujung taman. Lampu-lampu kecil yang menggantung di sepanjang jalan setapak mulai menyala, menciptakan suasana yang hampir magis.
“Kadang aku merasa takut,” ujar Nadia tiba-tiba, memecah keheningan.
Arjuna menoleh, matanya penuh perhatian. “Takut apa?”
“Takut… kehilangan arah. Aku sudah sejauh ini, tapi aku masih sering bertanya-tanya apakah aku benar-benar tahu apa yang aku inginkan,” jawab Nadia pelan. “Aku takut kalau akhirnya aku mengecewakan diriku sendiri.”
Arjuna berhenti melangkah, memandangi Nadia dengan tatapan lembut. “Nadia, kamu tahu? Semua orang merasa seperti itu. Aku juga. Tapi aku belajar bahwa keberanian bukan berarti kamu tidak takut. Keberanian adalah melangkah meski kamu takut.”
Kata-kata itu terasa seperti pelukan hangat di tengah dinginnya malam. Nadia menatap Arjuna, dan dalam diam, ia menyadari betapa besar pengaruh pria ini dalam hidupnya. Di tengah ketidakpastian Tokyo, Arjuna adalah satu-satunya yang terasa pasti.
Saat mereka berpisah malam itu, hati Nadia terasa lebih ringan, meski ia tidak sepenuhnya mengerti kenapa. Namun, ia tahu bahwa pertemuan ini adalah salah satu momen yang akan terus ia ingat, bukan hanya karena keindahan taman Ueno di musim gugur, tetapi karena percakapan yang telah mengubah cara ia memandang dirinya sendiri.
Bagian 4: Pengakuan di Tengah Salju
Tokyo berselimut salju di malam itu, menutupi jalan-jalan dengan keheningan yang lembut. Taman Shinjuku Gyoen, yang biasanya penuh dengan pengunjung, kini terasa sunyi. Nadia berdiri di tengah taman, mengenakan mantel tebal dan syal merah yang melilit lehernya. Udara dingin menggigit kulitnya, tapi kegelisahan di dadanya jauh lebih tajam.
Ia melirik arlojinya. Lima menit berlalu sejak ia tiba, namun Arjuna belum juga muncul. Ia menunduk, mengatur napasnya yang keluar seperti kabut tipis di udara. Di kejauhan, ia mendengar langkah kaki seseorang yang mendekat.
Arjuna muncul dari balik pepohonan, mengenakan mantel hitam panjang yang kontras dengan salju putih di sekitarnya. Langkahnya tenang, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang berbeda—lebih lembut, lebih mendalam. Nadia merasakan detak jantungnya semakin cepat.
“Nadia,” panggil Arjuna pelan, suaranya seperti pecahan keheningan.
“Ya?” jawab Nadia, mencoba menyembunyikan gugupnya.
Arjuna menghela napas panjang, lalu melangkah lebih dekat. Salju di bawah sepatunya mengeluarkan suara berderit pelan. “Ada sesuatu yang sudah lama ingin aku katakan, tapi aku selalu ragu.”
Nadia menatapnya, merasa dadanya semakin berat. “Apa itu?” tanyanya, meski hatinya sudah meraba-raba jawaban yang akan keluar.
“Sejak pertama kali aku bertemu kamu di stasiun itu, aku merasa ada sesuatu yang berbeda,” ujar Arjuna, suaranya rendah namun tegas. “Dan semakin aku mengenalmu, semakin aku tahu bahwa perasaan itu bukan kebetulan.”
Namun, sebelum Nadia sempat merespons, sebuah suara lain memecah momen itu.
“Arjuna-san!” panggil seseorang dari belakang.
Nadia dan Arjuna sama-sama menoleh. Seorang wanita berdiri beberapa meter dari mereka, mengenakan mantel putih dan sepatu bot berlapis bulu. Rambut hitamnya tergerai, dan wajahnya menyiratkan ekspresi antara lega dan gugup. Nadia mengenalinya. Itu Ayaka—wanita yang pernah ia temui di taman Ueno, rekan kerja Arjuna.
“Ayaka?” tanya Arjuna, jelas terkejut.
Ayaka berjalan mendekat, mengabaikan tatapan bingung Nadia. “Aku minta maaf kalau aku mengganggu. Tapi aku benar-benar harus bicara denganmu sekarang.”
Arjuna mengerutkan kening, sementara Nadia merasakan hatinya tenggelam perlahan. Ayaka melirik Nadia sejenak, lalu kembali fokus pada Arjuna. “Ada sesuatu yang harus kamu tahu, sesuatu yang aku pendam terlalu lama.”
“Ayaka, ini bukan waktu yang tepat,” kata Arjuna tegas, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang.
“Tapi aku nggak bisa menunggu lagi,” balas Ayaka, suaranya bergetar. “Arjuna-san, aku menyukaimu.”
Nadia merasakan dunia di sekitarnya membeku, bukan karena dinginnya udara, tetapi karena kata-kata yang baru saja ia dengar. Ia menunduk, mencoba menghindari pandangan siapa pun.
“Maaf,” lanjut Ayaka, dengan nada lebih rendah. “Aku tahu kamu mungkin tidak merasakan hal yang sama. Tapi aku harus mengatakannya.”
Arjuna menarik napas dalam, lalu menatap Ayaka. “Ayaka, aku menghargai keberanianmu. Tapi aku nggak bisa membalas perasaan itu.”
Ayaka terdiam. Raut wajahnya berubah, seolah ia sudah menduga jawaban itu, tetapi tetap saja menyakitkan mendengarnya.
“Aku sudah menyukai orang lain,” lanjut Arjuna, suaranya lembut tetapi tegas.
Ayaka menunduk, lalu mengangguk kecil. Ia melirik Nadia sekilas sebelum berkata, “Aku harap kamu bahagia, Arjuna-san.” Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan jejak di atas salju putih.
Keheningan kembali menyelimuti taman. Nadia menatap ke tanah, tidak tahu harus berkata apa. Namun, Arjuna melangkah mendekatinya, berdiri tepat di depannya.
“Nadia,” katanya, memanggil namanya dengan suara yang hangat.
Nadia mendongak perlahan, matanya bertemu dengan tatapan Arjuna yang kini lebih serius. “Aku ingin kamu tahu,” ujar Arjuna, “bahwa aku memilih untuk ada di sini, bersamamu, bukan karena kebetulan. Tapi karena aku yakin.”
Air mata Nadia jatuh tanpa bisa ia tahan. “Arjuna… aku… aku nggak tahu harus bilang apa.”
“Kamu nggak perlu bilang apa-apa,” jawab Arjuna pelan. Ia meraih tangan Nadia, menggenggamnya dengan hangat meski udara di sekitar mereka dingin membekukan. “Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini, untukmu. Melewati semua musim ini bersama.”
“Kenapa baru sekarang kamu bilang?” Nadia akhirnya berkata, suaranya bergetar.
“Karena aku butuh waktu untuk yakin,” jawab Arjuna dengan tenang. “Tapi sekarang aku tahu. Kamu adalah rumah yang selama ini aku cari.”
Nadia tersenyum di sela air matanya. Ia melangkah maju, membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan Arjuna. Kehangatan tubuhnya adalah jawaban yang tak butuh kata-kata.
Bagian 5: Perpisahan di Antara Salju
Tokyo masih berselimut salju, namun kehangatan pelukan Arjuna dan Nadia di taman Shinjuku Gyoen menciptakan suasana yang lebih manusiawi di tengah malam dingin itu. Namun, momen itu tidak berlangsung lama. Arjuna melepaskan pelukannya, memandangi Nadia dengan tatapan yang bercampur antara kebahagiaan dan sesuatu yang sulit dijelaskan.
“Nadia, ada satu hal lagi yang harus aku katakan,” ujar Arjuna, suaranya terdengar lebih berat.
“Apa?” tanya Nadia, senyum kecil masih terpancar di wajahnya.
Arjuna menghela napas, lalu menunduk sejenak sebelum menatap Nadia lagi. “Aku akan meninggalkan Tokyo bulan depan.”
Nadia tertegun. Senyumnya memudar, dan hatinya seolah berhenti berdetak untuk beberapa detik. “Meninggalkan Tokyo? Apa maksudmu?”
“Aku dipindahkan ke cabang perusahaan di Oslo, Norwegia. Itu bagian dari promosi yang sudah aku tunggu sejak lama,” jawab Arjuna pelan.
“Oslo?” ulang Nadia, suaranya terdengar patah. “Jadi… kita hanya punya waktu satu bulan?”
Arjuna mengangguk, wajahnya penuh rasa bersalah. “Aku ingin memberi tahu lebih awal, tapi aku ragu. Aku tidak ingin hubungan kita dimulai dengan bayang-bayang perpisahan.”
“Lalu kenapa kamu mengatakannya sekarang?” tanya Nadia, suaranya meninggi. Ia berusaha menahan air matanya yang kembali mengalir. “Kenapa kamu bilang kamu ingin melewati semua musim ini bersamaku, padahal kamu akan pergi?”
Arjuna mendekat, memegang kedua tangan Nadia. “Karena aku ingin jujur, Nadia. Aku ingin kita memutuskan ini bersama.”
Sebelum Nadia bisa menjawab, suara langkah kaki terdengar mendekat. Mereka menoleh dan melihat Ayaka kembali, kali ini dengan seorang pria Jepang yang mengenakan mantel tebal. Wajah Ayaka terlihat tegang, dan pria di sampingnya menatap tajam ke arah Arjuna.
“Arjuna-san,” panggil Ayaka, suaranya tegas. “Aku tahu aku tidak punya hak untuk mengatakan ini, tapi aku harus melakukannya.”
“Ada apa lagi, Ayaka?” tanya Arjuna, nada suaranya datar.
Pria di sebelah Ayaka melangkah maju. “Nama saya Hiroshi, tunangan Ayaka,” katanya dengan nada yang dalam. Ia menatap Arjuna tajam. “Dan aku ingin tahu apa hubunganmu dengan tunanganku.”
Nadia terkejut, begitu pula Arjuna. Ayaka menunduk, suaranya bergetar saat berkata, “Aku tidak pernah memberitahumu tentang Hiroshi karena… aku tidak ingin dia tahu perasaanku terhadapmu.”
Hiroshi menatap Ayaka dengan ekspresi tidak percaya. “Jadi, kamu mendekati pria lain di belakangku? Setelah semua yang kita rencanakan bersama?”
“Aku minta maaf,” jawab Ayaka, matanya berkaca-kaca. “Aku hanya ingin jujur pada diriku sendiri.”
Hiroshi menghela napas panjang, lalu menoleh ke Arjuna. “Aku tidak menyalahkanmu, Arjuna-san. Tapi aku harap ini tidak membuat semuanya semakin rumit.”
Arjuna menatap Nadia, yang masih berdiri diam di sampingnya. Lalu ia menjawab, “Aku tidak pernah bermaksud untuk terlibat dalam hubungan kalian. Dan sekarang, aku hanya ingin memperjelas segalanya.”
Ayaka menarik napas dalam, lalu berkata kepada Hiroshi, “Aku akan pergi. Kita butuh waktu untuk berpikir tentang ini.”
Hiroshi mengangguk, lalu melangkah menjauh, meninggalkan Ayaka di tempat itu bersama Arjuna dan Nadia. Ayaka memandang Arjuna, senyum kecil muncul di wajahnya meski matanya masih basah.
“Maafkan aku, Arjuna-san. Dan maaf untukmu juga, Nadia,” katanya. “Aku harap kalian berdua menemukan kebahagiaan, meski aku bukan bagian darinya.”
Ayaka berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan jejak di atas salju. Keheningan kembali menyelimuti taman.
Arjuna menatap Nadia, wajahnya penuh dengan rasa bersalah dan ketidakpastian. “Nadia, aku tahu ini semua terlalu mendadak. Aku tahu aku sudah membuatmu bingung dan terluka. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku serius tentang perasaan ini.”
Nadia menggeleng pelan, air matanya kembali mengalir. “Bagaimana aku bisa percaya, Arjuna? Kamu akan pergi. Dan aku akan tetap di sini, mencoba mengisi kekosongan yang kamu tinggalkan.”
“Kalau kamu mau, kita bisa mencoba,” kata Arjuna, suaranya memohon. “Aku tidak ingin kehilanganmu, Nadia.”
“Tapi kamu akan pergi,” balas Nadia, suaranya hampir berbisik. “Bagaimana kalau jarak itu terlalu sulit untuk kita lalui? Bagaimana kalau kita kehilangan apa yang kita punya sekarang?”
Arjuna menunduk, tidak tahu harus menjawab apa. Ia tahu Nadia benar. Jarak bukanlah hal yang mudah, dan hubungan mereka baru saja dimulai.
Setelah beberapa saat, Nadia menghela napas panjang. Ia menatap Arjuna, mencoba menahan emosi yang berkecamuk di dalam dirinya. “Aku butuh waktu,” katanya akhirnya. “Aku butuh waktu untuk memutuskan apakah aku bisa menjalani ini.”
Arjuna mengangguk pelan, meski matanya menyiratkan rasa kecewa. “Aku akan menunggumu, Nadia. Sampai kapan pun.”
Nadia tersenyum kecil, lalu melangkah menjauh, meninggalkan Arjuna di tengah salju yang terus turun. Ia tahu bahwa perasaan ini nyata, tetapi ia juga tahu bahwa cinta saja tidak selalu cukup. Di dalam hatinya, ia berharap bahwa keputusan yang akan ia buat nanti adalah keputusan yang tepat—untuknya, untuk Arjuna, dan untuk mereka berdua.
Bagian 6: Menjembatani Jarak
Tokyo dan Oslo berada di dua ujung benua, tetapi Nadia dan Arjuna memutuskan untuk mencoba. Setelah malam itu di taman Shinjuku Gyoen, mereka bersepakat untuk tidak menyerah. Meski jarak ribuan kilometer membentang, teknologi memberi mereka cara untuk tetap terhubung.
Namun, kenyataan tidak selalu seindah harapan.
Hari keberangkatan Arjuna tiba. Nadia menemaninya di bandara Narita, berusaha menyembunyikan kesedihan di balik senyumnya. Arjuna membawa koper besar, sementara Nadia hanya membawa dirinya sendiri, mencoba mengumpulkan keberanian untuk melepas pria yang baru saja menjadi bagian penting dalam hidupnya.
“Kamu yakin kita bisa melalui ini?” tanya Nadia, suaranya pelan namun jelas.
Arjuna tersenyum, meski matanya menyiratkan kesedihan. “Aku nggak tahu, Nadia. Tapi aku tahu satu hal. Aku ingin mencoba. Untuk kita.”
Nadia mengangguk, menahan air matanya. “Aku akan merindukanmu.”
“Aku juga,” jawab Arjuna, langkahnya mendekat. Ia memeluk Nadia erat, seolah ingin membawa kehangatan itu bersamanya ke Oslo.
Suaranya terdengar seperti bisikan di telinga Nadia. “Aku nggak akan lupa. Aku nggak akan pernah lupa.”
Minggu-minggu pertama LDR berjalan penuh semangat. Mereka rutin berbicara melalui panggilan video, saling bertukar kabar tentang pekerjaan Arjuna dan kehidupan kuliah Nadia. Bahkan di tengah jadwal sibuk, Arjuna selalu memastikan ada waktu untuk Nadia, meski hanya beberapa menit sebelum tidur.
“Di sini dingin sekali,” ujar Arjuna suatu malam, mengenakan sweater tebal. “Salju di Oslo lebih tebal dari Tokyo.”
“Di sini juga dingin,” balas Nadia sambil memeluk bantal. “Tapi rasanya lebih dingin tanpa kamu.”
Arjuna tersenyum. “Aku juga merasa begitu. Tapi, aku janji. Aku akan kembali.”
Namun, seiring berjalannya waktu, jadwal sibuk mulai menggerogoti waktu mereka. Proyek besar di Oslo membuat Arjuna harus bekerja hingga larut malam, sementara Nadia tenggelam dalam tumpukan tugas akhir dan penelitian untuk beasiswanya. Komunikasi mereka semakin jarang, hingga panggilan video berubah menjadi pesan singkat yang hanya berisi “Selamat pagi” atau “Selamat malam.”
Suatu malam, setelah hari yang panjang, Nadia mencoba menghubungi Arjuna, tetapi panggilannya tidak dijawab. Ia menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk-antara khawatir dan kecewa.
“Arjuna, kamu sibuk, ya?” tulisnya dalam pesan singkat.
Beberapa jam kemudian, balasan datang. “Maaf, tadi ada rapat. Aku capek banget. Besok aku hubungi kamu, ya.”
Namun, panggilan yang dijanjikan tidak pernah datang. Hari-hari berlalu, dan Nadia mulai merasa seperti seseorang yang berdiri di tengah jalan, menunggu tanpa arah.
Di lain sisi, Arjuna juga merasakan tekanan yang sama. Proyeknya di Oslo menyita hampir seluruh waktunya, dan ia tahu bahwa ia mengecewakan Nadia. Malam-malamnya sering dihabiskan dengan menatap ponsel, berharap bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk mengatakan betapa ia merindukannya.
“Maaf, Nad. Aku nggak ingin kamu merasa seperti ini,” bisiknya pada layar ponselnya yang gelap.
Di Tokyo, Nadia menatap foto Arjuna yang terpajang di mejanya. Kerinduannya semakin dalam, tapi ia juga mulai bertanya-tanya apakah semua ini layak diperjuangkan. Ia mencintai Arjuna, tetapi jarak dan waktu membuat cinta itu terasa semakin jauh.
Suatu hari, Nadia bertemu dengan Sayuri, teman sekamarnya yang ceria. Sayuri yang peka langsung menyadari perubahan dalam diri Nadia.
“Kamu kelihatan lelah akhir-akhir ini,” kata Sayuri, menyodorkan secangkir teh hijau.
“Aku baik-baik saja,” jawab Nadia singkat.
Sayuri menatapnya dengan tajam. “Jangan bohong. Kamu kangen dia, kan?”
Nadia terdiam, air matanya mengalir tanpa bisa ia tahan. “Aku kangen, Sayuri. Tapi aku nggak tahu apakah aku kuat untuk terus seperti ini.”
Sayuri meraih tangan Nadia, memberikan senyuman lembut. “Cinta itu bukan hanya tentang bertahan, Nadia. Kadang cinta juga tentang menerima bahwa jarak bisa menjadi bagian dari perjalanan kalian.”
Malam itu, Nadia memutuskan untuk menulis email panjang kepada Arjuna. Ia mencurahkan semua perasaannya, kerinduannya, rasa sakitnya, tetapi juga harapannya.
“Arjuna,
Aku tahu jarak ini tidak mudah untuk kita. Aku tahu kita berdua sibuk mengejar mimpi masing-masing. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku bangga padamu, meski kadang aku merasa jauh darimu.
Aku tidak akan menyerah pada kita. Tapi aku ingin kita menemukan cara untuk menjembatani jarak ini, bersama. Tidak perlu terburu-buru. Aku hanya ingin tahu bahwa kamu ada, di mana pun itu.”
Arjuna membaca email itu dengan hati yang berat. Ia tahu bahwa ia telah mengabaikan Nadia di saat ia seharusnya hadir. Malam itu, ia menelepon Nadia, suaranya terdengar lebih hangat dari biasanya.
“Nadia, maaf aku sudah membuatmu merasa seperti ini,” katanya. “Aku janji, aku akan mencoba lebih baik. Bukan hanya untukmu, tapi untuk kita.”
Nadia tersenyum meski air matanya kembali mengalir. “Aku tahu kamu sibuk, Arjuna. Aku nggak butuh janji besar. Aku cuma butuh tahu bahwa aku masih ada di hatimu.”
“Kamu selalu ada, Nadia,” jawab Arjuna. “Dan aku nggak akan membiarkan jarak ini mengambil itu dariku.”
Meski jarak tetap ada, mereka menemukan cara untuk saling mendukung di tengah kesibukan masing-masing. Kerinduan itu tetap ada, tetapi kini terasa lebih seperti pengingat akan cinta yang mereka bagi—cinta yang meski diuji oleh waktu dan jarak, terus berusaha menemukan jalannya.
Bagian 7: Ujian Terbesar
Waktu terus berlalu, dan musim semi kembali menyelimuti Tokyo. Nadia sibuk menyelesaikan tesisnya, sementara Arjuna semakin tenggelam dalam proyek besar di Oslo yang memaksanya bekerja hingga dini hari hampir setiap malam. Hubungan mereka, meskipun masih ada, mulai terasa seperti tali yang ditarik dari dua arah-terlalu tegang untuk bertahan lama.
Suatu hari, saat Nadia sedang duduk di kafe favoritnya dekat kampus, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Sayuri muncul, mengabarkan bahwa ada seorang pria Jepang yang mencarinya di kampus.
“Dia bilang dia temanmu dari Oslo,” tulis Sayuri.
Nadia mengerutkan dahi, kebingungan. “Dari Oslo?” gumamnya.
Ketika ia kembali ke kampus, seorang pria asing berdiri di lobi. Dia mengenakan setelan jas hitam, dengan ekspresi tegas namun ramah. Begitu melihat Nadia, dia tersenyum dan melangkah mendekat.
“Kamu Nadia, kan?” tanyanya dalam bahasa Inggris yang fasih. “Saya Hiro, rekan kerja Arjuna.”
Nadia mengangguk, masih bingung. “Iya, saya Nadia. Ada apa?”
Hiro menghela napas panjang, lalu berkata, “Arjuna sedang menghadapi masalah besar di Oslo. Saya diminta datang ke Tokyo untuk membantu menjelaskan situasinya padamu.”
“Maksudnya apa?” tanya Nadia, suaranya bergetar.
Hiro menatapnya dengan penuh rasa iba. “Perusahaannya sedang menghadapi krisis finansial. Proyek yang dia pimpin gagal mendapatkan investor, dan sekarang dia sedang menghadapi tekanan besar dari manajemen.”
Di Oslo, Arjuna duduk di ruang kantornya yang kosong, menatap laptop yang penuh dengan dokumen-dokumen laporan. Wajahnya terlihat lelah, dan matanya menyiratkan kebingungan.
Telepon berdering. Ia melihat nama Nadia muncul di layar. Sejenak, ia ragu untuk menjawab, tetapi akhirnya ia mengangkatnya.
“Nadia,” panggilnya, suaranya rendah.
“Kenapa kamu nggak bilang apa-apa?” tanya Nadia langsung, nadanya terdengar marah dan sedih sekaligus. “Kenapa aku harus tahu dari orang lain?”
Arjuna terdiam. Ia tahu bahwa Nadia berhak marah, tetapi ia juga tidak tahu bagaimana menjelaskan semuanya. “Aku nggak ingin membebanimu, Nadia. Aku pikir aku bisa menyelesaikan ini sendiri.”
“Kamu pikir aku nggak cukup kuat untuk menghadapi ini bersamamu?” balas Nadia, suaranya mulai bergetar. “Arjuna, kita memutuskan untuk mencoba hubungan ini karena kita percaya bisa saling mendukung, bukan saling menyembunyikan.”
Arjuna menunduk, menekan rasa bersalah yang semakin membebaninya. “Aku minta maaf. Aku hanya takut…”
“Takut apa?” potong Nadia.
“Takut mengecewakanmu,” jawab Arjuna akhirnya. “Aku takut kamu akan berpikir bahwa aku bukan pria yang cukup baik untukmu.”
Kata-kata itu membuat Nadia terdiam. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. “Arjuna, aku nggak butuh kamu sempurna. Aku cuma butuh kamu jujur.”
Beberapa minggu kemudian, Nadia menerima kabar dari Hiro bahwa Arjuna akan kembali ke Tokyo untuk menghadiri pertemuan dengan mitra bisnis Jepang. Kabar itu membuat hati Nadia campur aduk—antara lega karena akan bertemu lagi, tetapi juga gugup menghadapi situasi mereka yang belum sepenuhnya pulih.
Hari itu, mereka bertemu di sebuah restoran kecil di dekat stasiun Shinjuku. Arjuna tampak lebih kurus, tetapi matanya kembali memancarkan semangat yang pernah membuat Nadia jatuh cinta.
“Maaf aku sudah mengecewakanmu,” kata Arjuna begitu mereka duduk.
“Aku nggak kecewa,” jawab Nadia pelan. “Aku hanya ingin kita belajar dari ini.”
Mereka berbicara panjang lebar malam itu, membuka semua rasa takut dan ragu yang selama ini mereka simpan. Arjuna menceritakan tekanan yang ia rasakan di Oslo, sementara Nadia berbagi tentang kesepiannya di Tokyo. Dalam percakapan itu, mereka menemukan kembali rasa saling percaya yang hampir hilang.
Namun, momen itu tidak berlangsung lama. Arjuna menerima tawaran baru dari perusahaannya, posisi di Oslo akan diperpanjang hingga dua tahun lagi. Ini adalah kesempatan besar untuk kariernya, tetapi juga berarti memperpanjang jarak di antara mereka.
“Aku nggak tahu apakah aku bisa melanjutkan ini,” kata Arjuna suatu malam, saat mereka berbicara di sebuah taman kecil.
“Apa maksudmu?” tanya Nadia, suaranya bergetar.
“Aku takut kita hanya akan semakin jauh,” jawab Arjuna. “Aku tidak ingin kita saling melukai hanya karena kita mencoba bertahan.”
“Jadi, kamu ingin menyerah?” tanya Nadia, air matanya mulai mengalir.
Arjuna menatapnya dengan rasa sakit yang jelas di wajahnya. “Aku nggak ingin menyerah, Nadia. Tapi aku juga nggak ingin membuatmu terus menunggu tanpa kepastian.”
Keheningan menyelimuti mereka. Salju tipis mulai turun, seolah-olah menambah beban suasana. Nadia menghapus air matanya, lalu berkata, “Kalau begitu, beri aku waktu untuk memikirkan ini.”
Arjuna mengangguk. “Aku akan menunggumu. Apa pun keputusanmu.”
Hubungan mereka kini di persimpangan jalan. Nadia dan Arjuna tahu bahwa mereka mencintai satu sama lain, tetapi cinta itu diuji oleh jarak, waktu, dan ambisi mereka masing-masing. Meski berat, mereka berdua menyadari bahwa terkadang, cinta bukan hanya tentang bertahan, tetapi juga tentang mengetahui kapan harus melepaskan.
Bagian 8: Refleksi di Persimpangan Jalan
Musim semi tiba lagi di Tokyo. Pohon-pohon sakura mulai bermekaran, menghias jalanan dengan warna merah muda yang lembut. Nadia berjalan perlahan di sekitar kampusnya, mengingat hari-hari pertamanya di Tokyo—kebingungan di stasiun Shinjuku, pelajaran bahasa Jepang yang rumit, dan momen-momen kecil yang membuatnya jatuh cinta pada kota ini.
Namun, hari ini berbeda. Hari ini adalah hari kelulusannya.
Ia mengenakan toga sederhana, berdiri di antara teman-temannya yang lain. Semua orang tersenyum, tertawa, dan berfoto. Tapi di sudut hatinya, ada kekosongan yang tak bisa ia isi. Meski hari ini seharusnya menjadi hari bahagia, pikirannya terus kembali kepada Arjuna.
Setelah upacara kelulusan selesai, Nadia duduk di taman kampus, memandangi sertifikat kelulusannya. Sayuri mendekat, membawa dua gelas kopi. “Kamu kelihatan seperti seseorang yang baru saja selesai maraton,” kata Sayuri sambil tersenyum.
Nadia tertawa kecil. “Rasanya seperti itu.”
Sayuri menyerahkan kopi padanya. “Kamu nggak akan menghubungi dia?”
“Siapa?” Nadia berpura-pura tidak mengerti, meski hatinya tahu siapa yang dimaksud.
“Arjuna,” jawab Sayuri langsung. “Kamu tahu dia ingin ada di sini untukmu, kan?”
Nadia menunduk, menggenggam cangkir kopi itu erat. “Aku nggak tahu, Sayuri. Aku nggak tahu apakah aku cukup kuat untuk bertahan dalam hubungan ini. Jarak itu terlalu sulit. Dan aku takut aku akan terus merasa seperti ini-sendiri.”
Sayuri menatap Nadia, wajahnya serius. “Kamu tahu, Nadia. Cinta itu bukan hanya tentang perasaan. Cinta itu juga tentang pilihan. Kalau kamu mencintainya, kamu harus memutuskan apakah dia layak diperjuangkan. Kalau tidak, lepaskan dia. Tapi jangan biarkan dirimu terus terjebak di antara keduanya.”
Kata-kata Sayuri itu terus terngiang di kepala Nadia. Malam itu, Nadia menulis sebuah email kepada Arjuna, mencoba mencari jawabannya.
“Arjuna,
Hari ini aku resmi lulus dari program S2-ku. Aku seharusnya bahagia, tetapi rasanya ada yang kurang. Aku berharap kamu ada di sini, merayakan ini bersamaku.
Aku memikirkan hubungan kita setiap hari. Dan aku menyadari sesuatu: aku tidak pernah menyesal memilih untuk mencoba. Aku tahu jarak ini sulit, dan aku tahu kita berdua memiliki beban masing-masing. Tapi aku juga tahu, aku mencintaimu.
Jadi aku memutuskan, aku ingin terus bertahan. Aku tidak tahu bagaimana caranya, tapi aku ingin kita menemukan jalan untuk bersama. Bukan karena aku takut kehilanganmu, tapi karena aku yakin kamu adalah bagian penting dari hidupku.
Kalau kamu merasa yang sama, aku akan menunggumu. Tapi kalau kamu merasa bahwa ini bukan jalan yang tepat untuk kita, aku akan mengerti.”
Di Oslo, Arjuna duduk di meja kantornya, menatap layar laptop yang penuh dengan grafik dan laporan. Proyek besar yang ia pimpin akhirnya mendapatkan investor baru, tetapi tekanan untuk menyelesaikan semuanya tetap besar. Ia bekerja hingga larut malam setiap hari, tetapi pikirannya selalu kembali kepada Nadia.
Ketika ia menerima email dari Nadia, ia membacanya perlahan, kata demi kata, hingga ia merasa dadanya sesak oleh emosi. Ia menutup email itu, lalu menatap ke luar jendela kantornya, di mana salju masih turun.
Malam itu, Arjuna berbicara dengan Hiro, rekan kerjanya. Hiro yang peka segera menangkap keresahan di wajah Arjuna.
“Kamu kelihatan seperti seseorang yang sedang dihadapkan pada pilihan besar,” kata Hiro sambil menyalakan rokoknya.
Arjuna mengangguk. “Aku merasa seperti kehilangan arah. Di satu sisi, aku tahu bahwa pekerjaanku di sini penting. Tapi di sisi lain, aku merasa aku meninggalkan sesuatu yang jauh lebih penting di Tokyo.”
Hiro menghela napas panjang. “Arjuna, aku sudah lama bekerja di dunia ini, dan aku belajar satu hal. Kesuksesan itu penting, tetapi tidak ada gunanya kalau kamu tidak punya seseorang untuk membaginya.”
Kata-kata Hiro itu menggema di kepala Arjuna. Malam itu, ia membuat keputusan.
Beberapa minggu kemudian, Nadia berjalan pulang dari perpustakaan di dekat kampusnya. Angin musim semi meniup lembut rambutnya, membawa aroma bunga sakura. Ketika ia sampai di depan apartemennya, ia melihat seseorang berdiri di sana, mengenakan jaket tebal.
Nadia berhenti, merasa jantungnya berdegup kencang. Orang itu menoleh, dan matanya bertemu dengan mata Arjuna.
“Arjuna?” Nadia hampir tidak percaya.
Arjuna tersenyum, langkahnya mendekat. “Hai, Nadia.”
“Kamu… kamu di sini? Bagaimana mungkin?” tanya Nadia, suaranya bergetar.
“Aku meminta cuti dari pekerjaanku,” jawab Arjuna. “Aku tahu kita punya banyak hal untuk dibicarakan, jadi aku memutuskan untuk datang.”
Nadia tidak bisa berkata apa-apa. Air matanya mulai mengalir, tetapi ia tersenyum. “Aku nggak percaya kamu di sini.”
Arjuna mendekat, menggenggam tangan Nadia. “Aku tahu ini tidak akan mudah. Tapi aku ingin kita menemukan jalan. Bersama.”
Hubungan mereka masih menghadapi banyak tantangan, tetapi kehadiran Arjuna di Tokyo memberikan harapan baru. Mereka tahu bahwa cinta bukan hanya tentang perasaan, tetapi juga tentang keberanian untuk bertahan dan menemukan jalan di tengah semua rintangan.
Tokyo yang bermekaran menjadi saksi perjalanan mereka - dua hati yang mencoba menjembatani jarak, menemukan cara untuk tetap bersama meski dunia terus bergerak.
Bagian 9: Menemukan Jalan di Tengah Kerumitan
Setelah pertemuan mereka di Tokyo, Nadia dan Arjuna mulai mencoba membangun kembali hubungan mereka. Waktu-waktu bersama di kota yang bermekaran bunga sakura itu terasa manis, tetapi mereka tahu bahwa realitas tidak bisa diabaikan begitu saja.
“Aku harus kembali ke Oslo minggu depan,” kata Arjuna suatu malam, saat mereka duduk di sebuah kafe kecil. Matanya menatap lurus ke arah Nadia, mencoba membaca reaksinya.
Nadia terdiam, menatap cangkir tehnya yang sudah mendingin. “Aku tahu. Aku hanya berharap… kali ini kita benar-benar bisa melewati semuanya.”
“Aku juga berharap begitu,” jawab Arjuna, suaranya lembut namun penuh rasa bersalah.
Namun, di tengah kebahagiaan mereka yang baru ditemukan, sebuah kabar tak terduga datang. Arjuna menerima panggilan telepon dari Oslo. Salah satu proyek besar yang ia tinggalkan sementara mengalami masalah besar, dan ia diminta segera kembali untuk menyelesaikannya.
“Aku nggak bisa meninggalkan ini, Nadia,” kata Arjuna dengan nada putus asa. “Tapi aku juga nggak ingin meninggalkanmu lagi.”
“Kamu harus pergi, Arjuna,” jawab Nadia, meski hatinya terasa berat. “Aku tidak ingin kamu kehilangan apa yang sudah kamu bangun.”
“Tapi aku takut kita akan kembali ke situasi yang sama,” balas Arjuna.
Nadia mencoba tersenyum, meski air matanya mengalir. “Kita harus percaya bahwa kita bisa melewati ini. Kalau kita tidak mencoba, kita tidak akan pernah tahu.”
Setelah Arjuna kembali ke Oslo, mereka mencoba menjaga hubungan melalui panggilan video dan pesan singkat. Namun, seperti sebelumnya, jarak dan kesibukan mulai menjadi tembok besar di antara mereka. Kali ini, konflik bukan hanya tentang kurangnya waktu, tetapi juga tentang masa depan mereka yang tidak pasti.
Suatu malam, Nadia berbicara dengan Sayuri, mencoba mencari jawaban atas keraguannya.
“Apa menurutmu aku terlalu bodoh untuk terus bertahan?” tanya Nadia, suaranya penuh keraguan.
Sayuri menggeleng. “Tidak ada yang bodoh tentang cinta, Nadia. Tapi kamu harus bertanya pada dirimu sendiri, apakah perjuangan ini sepadan dengan apa yang kamu inginkan?”
Pertanyaan itu menghantui Nadia selama berhari-hari. Ia mencintai Arjuna, tetapi ia juga lelah dengan ketidakpastian yang terus membayangi hubungan mereka.
Di sisi lain, di Oslo, Arjuna mulai merasakan tekanan yang sama. Ia mencintai Nadia, tetapi ia tahu bahwa hubungan ini tidak akan bertahan tanpa keputusan besar. Suatu malam, ia memutuskan untuk berbicara dengan Hiro.
“Hiro, aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan,” katanya sambil menatap meja kantornya yang penuh dokumen. “Aku ingin tetap di sini dan menyelesaikan semuanya, tetapi aku juga ingin bersama Nadia.”
Hiro menghela napas panjang. “Arjuna, kamu harus memilih. Kamu tidak bisa terus mencoba menjalani dua dunia sekaligus.”
Beberapa minggu setelah percakapan itu, Nadia menerima sebuah email dari Arjuna. Di dalamnya hanya ada satu baris:
“Nadia, tunggu aku di taman tempat kita pertama kali bicara tentang impian kita.”
Nadia terkejut. Ia membaca ulang email itu, mencoba memastikan bahwa ia tidak salah memahami. Hatinya berdebar kencang saat ia memutuskan untuk pergi ke taman Ueno pada hari yang ditentukan.
Saat ia tiba di taman, bunga-bunga sakura mulai berguguran, menciptakan pemandangan seperti hujan merah muda. Nadia berdiri di bawah pohon yang mereka duduki dulu, mencoba menenangkan pikirannya.
Langkah kaki mendekat. Ia menoleh, dan matanya langsung bertemu dengan mata Arjuna. Pria itu berdiri di sana, mengenakan mantel hitam, dengan sebuah koper kecil di sampingnya.
“Kamu di sini,” kata Nadia, suaranya bergetar.
“Aku di sini,” jawab Arjuna. Ia mendekat, menggenggam tangan Nadia. “Aku sudah membuat keputusan.”
Nadia menatapnya, matanya penuh pertanyaan. “Apa itu?”
“Aku mengundurkan diri dari pekerjaanku di Oslo,” kata Arjuna, suaranya tegas namun lembut. “Aku akan mencari pekerjaan baru di Tokyo, atau di mana pun kamu berada.”
Nadia terdiam. Air matanya mengalir, tetapi kali ini bukan karena kesedihan. “Kenapa?” tanyanya, hampir tidak percaya.
“Karena aku sadar,” jawab Arjuna. “Aku bisa mencari pekerjaan baru, tetapi aku tidak bisa mencari orang lain sepertimu.”
Beberapa bulan kemudian, Arjuna mendapatkan pekerjaan baru di sebuah perusahaan energi Jepang, memungkinkan dia untuk menetap di Tokyo. Nadia, yang baru saja menerima tawaran untuk melanjutkan pendidikan doktoralnya, merasa bahwa hidupnya kini memiliki kejelasan yang ia cari.
Di bawah langit Tokyo yang bermekaran, mereka merayakan awal baru bersama. Hubungan mereka, meski diuji oleh waktu dan jarak, akhirnya menemukan jalannya.
“Kita berhasil,” bisik Nadia di telinga Arjuna saat mereka duduk di bawah pohon sakura, menikmati sore yang tenang.
Arjuna tersenyum, menggenggam tangannya erat. “Karena kita percaya, Nadia. Dan aku tidak akan pernah melepaskan itu lagi.”
Saat mereka berjalan menyusuri taman di malam hari, Arjuna berhenti sejenak dan berbisik kepada Nadia, “Aku punya sesuatu untukmu.”
Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sakunya. Di dalamnya ada cincin sederhana dengan ukiran bunga sakura di bagian dalamnya.
“Ini adalah janji,” kata Arjuna. “Bahwa aku akan selalu ada untukmu, di mana pun kita berada.”
Nadia tersenyum, air matanya mengalir lagi. “Aku juga berjanji, Arjuna. Bahwa aku akan selalu percaya pada kita.”
Di bawah langit Tokyo yang berkilauan, dua hati yang pernah terpisah kini bersatu kembali, membawa harapan dan cinta yang lebih kuat dari sebelumnya.
Epilog: Di Bawah Langit Tokyo
Beberapa tahun kemudian, musim semi kembali menghiasi Tokyo. Udara sejuk membawa aroma bunga sakura yang mekar, menutupi jalanan dengan hamparan merah muda lembut. Di sebuah aula kecil dekat taman Shinjuku Gyoen, suasana penuh kehangatan dan cinta menyelimuti upacara pernikahan sederhana antara Nadia dan Arjuna.
Nadia mengenakan kebaya putih modern dengan sentuhan renda lembut, rambutnya disanggul rapi dengan beberapa bunga sakura menghiasi. Senyumnya cerah, meskipun matanya berkaca-kaca karena haru. Di sisinya, Arjuna berdiri mengenakan setelan jas hitam klasik. Wajahnya terlihat tenang, namun sorot matanya menyiratkan kebahagiaan yang tak bisa disembunyikan.
Hanya keluarga dan sahabat terdekat yang hadir. Di sudut ruangan, Sayuri melambaikan tangan kepada Nadia, memberikan senyuman penuh kebanggaan. Di sisi lain, Hiro, rekan Arjuna dari Oslo, tampak berbicara hangat dengan Ayaka yang kini menjadi teman baik Nadia.
Saat acara berlangsung, Nadia dan Arjuna saling menggenggam tangan, mengucapkan janji suci mereka.
“Nadia,” ujar Arjuna, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya. “Aku bukan orang yang sempurna, dan aku tahu aku sering membuatmu menunggu. Tapi hari ini, aku berjanji bahwa aku tidak akan pernah membuatmu menunggu lagi.”
Air mata Nadia jatuh, tetapi ia tersenyum. “Arjuna, aku juga bukan orang yang sempurna. Tapi aku tahu, kamu adalah satu-satunya yang membuatku merasa utuh. Dan aku berjanji untuk selalu percaya pada kita.”
Arjuna mengangkat tangan Nadia, mengecupnya dengan lembut. “Aku mencintaimu, Nadia. Dan aku akan mencintaimu setiap hari, di setiap musim yang kita lewati bersama.”
“Aku juga mencintaimu,” balas Nadia, suaranya penuh kejujuran. “Di mana pun kita berada, kamu akan selalu menjadi rumahku.”
Setelah upacara selesai, mereka melangkah keluar dari aula menuju taman Shinjuku Gyoen, di mana pohon-pohon sakura bermekaran penuh. Para tamu mengikuti mereka, tertawa dan berbicara hangat. Angin sepoi-sepoi membawa kelopak-kelopak bunga sakura yang berjatuhan, menciptakan pemandangan seperti hujan merah muda.
Arjuna memegang tangan Nadia erat-erat saat mereka berjalan di bawah lengkungan bunga sakura. Ia menoleh ke arah Nadia, menatapnya dengan mata yang penuh cinta. “Kamu tahu,” katanya pelan, “aku pernah berpikir Tokyo terlalu sibuk, terlalu dingin. Tapi sejak kamu hadir, kota ini menjadi tempat terindah di dunia.”
Nadia tersenyum, wajahnya merona. “Tokyo juga mengajarkan aku banyak hal, Arjuna. Tapi yang paling penting, Tokyo mempertemukan aku denganmu.”
Sayuri mendekat bersama beberapa teman mereka, membawa beberapa payung transparan untuk melindungi mereka dari kelopak bunga yang terus berjatuhan. “Ayo, foto keluarga!” seru Sayuri dengan semangat.
Hiro mengambil kamera dari fotografer dan berkata, “Aku akan mengabadikan ini. Senyum semuanya!”
Nadia dan Arjuna berdiri di tengah, dikelilingi oleh keluarga dan sahabat yang telah menjadi bagian dari perjalanan mereka. Dalam sekejap, kamera menangkap momen penuh cinta itu, yang akan mereka kenang seumur hidup.
Malam itu, setelah tamu terakhir pergi, Nadia dan Arjuna berjalan-jalan berdua di taman yang mulai sepi. Lampu-lampu kecil menerangi jalan setapak, menciptakan suasana yang tenang dan romantis.
“Apa kamu bahagia?” tanya Arjuna, menghentikan langkah mereka di bawah pohon sakura besar.
Nadia menatapnya, senyum kecil menghiasi wajahnya. “Lebih dari apa pun yang pernah aku bayangkan.”
Arjuna mengangguk pelan, lalu meraih sebuah kotak kecil dari saku jasnya. “Aku punya sesuatu untukmu.”
Nadia terkejut, tetapi ia mengambil kotak itu. Saat ia membukanya, ia menemukan kalung sederhana dengan liontin berbentuk bunga sakura.
“Arjuna…” Nadia kehabisan kata-kata.
“Ini bukan hanya kalung,” kata Arjuna, mengenakannya di leher Nadia. “Ini adalah pengingat bahwa apa pun yang terjadi, aku akan selalu ada untukmu, di setiap musim yang kita lewati bersama.”
Nadia tersenyum, matanya berkaca-kaca lagi. “Kamu benar-benar terlalu baik untukku.”
Arjuna menggeleng. “Aku hanya seseorang yang cukup beruntung mencintai orang yang tepat.”
Mereka berdiri di bawah pohon itu, saling memandang dengan penuh cinta. Kelopak-kelopak sakura berjatuhan di sekitar mereka, menyelimuti malam itu dengan keindahan yang sempurna. Dan di tengah-tengah Tokyo yang tak pernah tidur, mereka menemukan kedamaian dalam pelukan satu sama lain.
Cinta Nadia dan Arjuna adalah bukti bahwa hubungan yang diuji oleh jarak dan waktu bisa bertahan jika ada kepercayaan, kesabaran, dan keberanian untuk berjuang bersama. Tokyo, kota yang pernah terasa asing, kini menjadi tempat mereka memulai babak baru dalam hidup mereka, bersama, untuk selamanya.
Saat mereka berjalan pulang dari perayaan pernikahan, Nadia menarik amplop kecil dari tasnya dan menyerahkannya kepada Arjuna.
“Apa ini?” tanya Arjuna, menerima amplop itu dengan penasaran.
“Buka saja,” jawab Nadia, senyum kecil tersungging di wajahnya.
Arjuna membuka amplop itu dan menemukan dua tiket Shinkansen menuju Kyoto. Ia tertegun, lalu menatap Nadia dengan penuh kebingungan dan rasa haru.
“Kita belum sempat kembali ke tempat yang mengajarkan kita arti melambat,” kata Nadia pelan. “Aku pikir, ini saatnya kita meluangkan waktu hanya untuk kita, tanpa distraksi apa pun.”
Arjuna tersenyum, lalu menggenggam tangan Nadia. “Aku rasa, ini ide terbaik yang pernah kamu buat."
Di bawah langit Tokyo yang cerah, mereka melangkah maju, membawa cinta yang telah mereka perjuangkan menuju masa depan yang penuh harapan.
Dalam perjalanan ke rumah mereka, mereka merencanakan perjalanan sederhana itu, bukan hanya sebagai bulan madu, tetapi sebagai kesempatan untuk kembali ke tempat yang pernah menguatkan cinta mereka.