Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Dalam Sepasang Langkah
0
Suka
671
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Pagi menetes perlahan dari pucuk langit yang kelabu. Kabut menggantung seperti bisikan yang enggan pergi, menari pelan di atas hamparan padi yang merunduk, seolah tunduk pada beban hidup yang tak pernah tuntas. Di ujung petak sawah, berdirilah dua sosok gadis muda, mirip dalam raut dan gerak, namun tak selalu serupa dalam isi hati.

Lalla dan Lilly, mereka kembar, tapi waktu telah membuat keduanya berbeda. Tanah telah mencetak telapak kaki mereka berulang kali, namun arah langkah mereka perlahan tak lagi sama.

Bapak dan Ibu telah berangkat lebih pagi, menyelinap keluar rumah seperti embun yang menghilang dari daun. Mereka tak pernah pamit. Rumah ini dan ladang itu tak mengenal upacara kata. Yang ada hanya kerja, kerja, dan diam. Kata-kata di tempat ini seperti burung yang enggan hinggap, terlalu lelah untuk tinggal.

“Langit seperti tidur hari ini,” gumam Lalla, menggenggam sabit yang gagangnya mulai retak. Suaranya lebih ditujukan kepada udara daripada pada saudara kembarnya.

Lilly hanya menyipitkan mata, mengamati horizon di mana pagi dan ladang bertemu dalam kabut. “Atau mungkin kita yang terlalu bangun,” katanya lirih.

Mereka mulai bekerja. Jemari mereka menyentuh tanah seperti menyentuh wajah seseorang yang pernah mereka kenal akrab namun asing. Tanah ini menyimpan terlalu banyak kisah bisu. Tanah yang telah mencuri masa kanak-kanak mereka, menggantinya dengan baris-baris padi yang harus dijaga seperti harapan yang rapuh.

Tak ada cerita tentang sekolah. Tak ada canda tentang cinta pertama. Yang ada hanya tanya-tanya yang tak pernah sempat diajukan, takut membebani udara yang sudah padat oleh kelelahan.

Sebuah burung kecil terbang melintas. Lilly mendongak, mengikutinya dengan mata. “Kadang aku berpikir, kita lebih sering berbicara dengan tanah daripada dengan Bapak atau Ibu.”

Lalla diam. Ia tahu itu benar. Di rumah, mereka makan bersama tapi tidak benar-benar hadir. Kata-kata di meja makan hanyalah pengingat tentang hari esok yang sama. Tentang kapan menanam, kapan memanen. Tidak pernah: Bagaimana perasaanmu hari ini, Nak?

Lilly memungut bunga liar di sela-sela padi, memeluknya sejenak. “Lucu ya, bunga bisa tumbuh di antara beban seperti ini.”

“Karena dia tidak tahu dia seharusnya lelah,” jawab Lalla, separuh tersenyum.

Tiba-tiba, suara Ibu memanggil dari kejauhan. Wajahnya, seperti ladang itu sendiri: keras, tabah, dan lelah. “Lalla, Lilly. Cukup. Hari ini sudah cukup.”

Mereka melangkah pulang, menyusuri pematang sawah dengan kaki yang selalu basah. Rumah itu menunggu dalam diam, seperti mulut yang telah terlalu lama terkatup. Di dalamnya, wajan mendesis, nasi menghangat, dan keheningan kembali memeluk mereka semua.

Saat malam menggulung langit, suara jangkrik mengisi kekosongan yang tidak berani diisi manusia. Di kamar sempit, mereka berbaring berdampingan di bawah selimut tua. Jarak antara mereka lebih panjang dari ukuran ranjang itu.

“Lilly…” bisik Lalla, “kalau kita pergi suatu hari nanti, kau pikir Ibu dan Bapak akan merindukan kita?”

Lilly berpikir lama. “Mungkin tidak dengan kata-kata. Tapi dengan ladang yang lebih sunyi dari biasanya.”

Lalu mereka terdiam, lagi.

Bintang-bintang berserakan di langit. Lalla menatapnya seperti membaca buku yang tak ia mengerti bahasanya. Tapi ia percaya, suatu saat, huruf-huruf di langit itu akan menyusun jalan. Bukan untuk lari, tapi untuk mengerti.

Dan sampai hari itu tiba, mereka tetap di sini berdua, bersama tanah, di antara padi yang terus menguning, dan sunyi yang menua bersama mereka.

Malam itu, angin menyelinap lewat celah-celah dinding papan, membawa aroma tanah yang baru ditinggalkan matahari. Di luar, suara malam terus menyanyikan lagu-lagu lama yang biasa, namun di dalam dada Lalla, ada nada baru yang mengusik: keresahan yang tumbuh perlahan, seperti kecambah di musim kemarau.

Ia terbangun sebelum fajar. Dunianya masih gelap, tapi pikirannya telah berjalan lebih jauh dari biasanya. Lilly masih terlelap di sisinya, napasnya tenang, seperti gadis yang tak dibebani pertanyaan. Namun Lalla tahu, saudarinya hanya pandai menyembunyikan tanya di balik kelopak mata.

Dengan langkah pelan, Lalla keluar. Ia berjalan menyusuri pematang, menyapa dingin tanah yang masih berembun. Langit mulai membuka matanya, tapi belum sepenuhnya jernih.

Di tengah ladang, ia berdiri. Menghadap dunia yang selama ini hanya ia jalani, bukan ia pilih.

Tiba-tiba suara itu datang dari belakang. “Kau mencari sesuatu yang tidak kau tahu namanya, bukan?”

Lalla menoleh. Pak Arje, tetangga tua yang tinggal di ujung dusun, berdiri dengan tongkat dan keriput yang dalam. Matanya tajam meski tubuhnya renta.

“Mungkin,” jawab Lalla hati-hati. “Atau mungkin aku hanya ingin tahu... apakah ada dunia di luar sawah ini.”

Pak Arje tertawa kecil. “Dunia bukan soal tempat. Dunia adalah tentang keberanian. Kau bisa berdiri di ladang yang sama, tapi melihat langit yang berbeda.”

Lalla menunduk. Kata-kata itu menancap diam-diam.

“Kau harus tahu satu hal, Nak,” lanjut Pak Arje. “Ibu dan Bapakmu bukan tak punya impian. Mereka hanya memilih untuk menyimpannya agar kalian bisa hidup. Mereka menanam impian itu di tanah ini, berharap suatu hari kalian memanennya.”

Lalla menatap lelaki tua itu. Tiba-tiba ladang tak lagi terasa begitu sepi.

Hari demi hari berlalu, dan sesuatu mulai berubah dalam cara Lalla dan Lilly memandang pagi. Bukan karena ladang menjadi lebih indah, tetapi karena ada tanya yang kini berani tumbuh.

Lilly mulai mencoret-coret di lembar bekas karung beras membuat puisi, entah untuk siapa. Lalla mulai menulis surat-surat yang tak pernah dikirim, bercerita tentang langit, tentang mimpi, dan tentang keinginan untuk belajar, meski hanya lewat buku-buku tua di rumah Pak Arje.

Suatu malam, ketika suara jangkrik lagi-lagi menyelimuti rumah kecil mereka, Lalla membuka pembicaraan yang lama tertunda.

“Lilly, kalau kita tetap di sini, apakah itu salah?”

Lilly menatap api di tungku. “Tidak. Tapi kalau kita pergi, itu juga bukan salah.”

Diam. Lalu mereka saling pandang. Mata mereka, meski terlahir dari rahim yang sama, kini memantulkan cahaya yang berbeda.

Pagi berikutnya, saat Ibu dan Bapak hendak berangkat, Lilly memanggil.

“Bu, bolehkah aku belajar menjahit dari Bu Atar?”

Ibu menoleh, wajahnya menyimpan kaget kecil. Tapi tak ada penolakan, hanya anggukan pelan.

Dan Lalla, dengan suara yang masih gemetar namun penuh nyala, berkata, “Aku ingin bantu Pak Arje di perpustakaan dusun. Boleh, Pak?”

Bapak tak menjawab langsung. Tapi tangannya, yang selama ini hanya menggarap tanah, kini menyentuh pundak Lalla. Itu cukup.

Langit pagi itu tetap mendung. Kabut tetap datang. Tapi untuk pertama kalinya, mereka melihat sesuatu di balik kabut itu: kemungkinan.

Di ladang, padi tetap menguning. Tanah tetap menuntut kerja. Tapi kini, Lalla dan Lilly tahu, mereka tak hanya bekerja untuk tanah. Mereka juga mulai menanam diri mereka sendiri di tempat yang lebih luas dari ladang, lebih dalam dari sumur tua di halaman, dan lebih hidup dari diam yang dulu mereka warisi.

Karena suatu hari nanti, ketika panen datang, mereka akan menuai lebih dari sekadar beras.

Mereka akan menuai jalan pulang yang baru bukan untuk lari, tapi untuk memilih.

Dan ketika musim benar-benar berganti, saat angin tak lagi hanya membawa debu dari ladang tapi juga wangi dari arah yang belum pernah mereka datangi, Lalla dan Lilly berdiri kembali di pematang yang sama tempat di mana dulu mereka hanya tahu diam.

Tapi kini, di dada mereka, tumbuh suara. Suara yang belum lantang, tapi cukup untuk memanggil langkah pertama. Suara yang bukan sekadar ingin pergi, tapi ingin kembali dengan sesuatu yang bisa mereka bagi.

Di belakang mereka, rumah kecil itu tetap berdiri, setia dan sunyi seperti selalu. Tapi di dalamnya, seorang ibu sedang menyiapkan sarapan dengan sedikit lebih pelan, dan seorang bapak duduk lebih lama di bangku bambu, menunggu pagi yang tidak sama.

Karena mereka tahu anak-anaknya sedang belajar terbang bukan untuk meninggalkan tanah, tapi agar kelak, ketika pulang, mereka bisa membacakan cerita tentang langit.

 

 

 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Dalam Sepasang Langkah
Puan Maha Rana
Cerpen
Bronze
Perjalanan
Fatimah Ar-Rahma
Cerpen
Bronze
Bacaan untuk Seb
Amarta Shandy
Cerpen
Rumah Tangga Tetangga
Priy Ant
Cerpen
Entitas
Oscar Zkye
Cerpen
Bronze
Hanya Untukmu
mareta amelia
Cerpen
Dia Bukan Dia
Samanta Radisti
Cerpen
Bronze
ANTIMA
glowedy
Cerpen
Ruang Temu
Lail Arahma
Cerpen
Elegi Rinjani
Dini Apriani
Cerpen
Dua Wanita yang Berteduh
anjel
Cerpen
Bronze
Musthofa
Sri Wintala Achmad
Cerpen
KABULKU
Racelis Iskandar
Cerpen
Staf Admin (gak) Support
Maya Suci Ramadhani
Cerpen
Bronze
Koridor-koridor yang Diisi Nyanyian Murai
Jie Jian
Rekomendasi
Cerpen
Dalam Sepasang Langkah
Puan Maha Rana