Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aroma kopi pagi yang kubuat sendiri kini terasa lebih getir dari biasanya, serupa getirnya kenyataan yang harus diterima setiap insan. Di balik uapnya yang mengepul, tersembunyi perenungan tentang arti menjadi pria di dunia yang seringkali menuntut kekuatan tanpa menawarkan kelembutan yang setara. Setiap tegukannya adalah ritual penerimaan diri, bahwa ketegasan bukan berarti kekerasan hati, dan ketersediaan yang tulus tak seharusnya dianggap sebagai kelemahan.
Di luar jendela, suara klakson kendaraan dan riuh rendah percakapan pagi menjadi latar, mengingatkanku bahwa hidup terus berjalan, terlepas dari riak-riak di dalam hati. Aku mencoba mengusir bayangmu yang masih menari di sudut-sudut ingatan, seperti debu yang enggan pergi dari celah jendela. Namun, percuma. Hati terlanjur menjadi sunyi dengan jejak langkahmu sebagai satu-satunya petunjuk arah yang menyesatkan. Pada akhirnya, doa menjadi satu-satunya jembatan rapuh yang bisa kurangkai untuk kebahagiaanmu, sebuah harapan yang kuantarkan dalam hening malam, seperti layangan yang kulepas menuju langit yang tak pasti.
Di kejauhan, sayup-sayup suara azan subuh berkumandang dari masjid di ujung gang, mengingatkanku bahwa tujuan akhir perjalanan ini bukanlah menemukan cinta di antara fana, melainkan meraih ridha dari Yang Maha Kekal, sebuah cinta yang tak pernah berkhianat.
Pagi ini, aku kembali mengayuh sepeda, membelah kabut tipis yang menyelimuti jalanan kota. Aroma aspal basah setelah gerimis semalam bercampur dengan bau asap knalpot yang menusuk hidung, sebuah ironi kehidupan yang selalu hadir. Di tengah hiruk pikuk para pekerja yang bergegas menuju tujuannya, aku merenungkan makna cinta.
Apakah cinta sejati adalah tentang saling memiliki, atau justru tentang kemampuan untuk melepaskan demi kebahagiaan orang lain? Apakah pengorbanan dalam cinta adalah tanda ketulusan, atau justru jebakan yang membuat salah satu pihak merasa berhutang rasa? Di tengah kesederhanaan dan ketidaksempurnaan ini, aku berusaha menerima diriku apa adanya, dengan segala kerentanan dan kekuatan yang kumiliki. Setiap putaran pedal adalah zikir yang tak terucap, setiap hembusan napas adalah syukur atas kesempatan untuk terus memperbaiki diri di hadapan-Nya, belajar dari setiap pertemuan dan perpisahan.
Di trotoar, seorang pengemis mengulurkan tangan, dan seorang pejalan kaki memberikan koin seadanya. Tindakan sederhana itu memunculkan pertanyaan: bukankah esensi cinta juga terletak pada memberi tanpa mengharap kembali?
Setiap perempuan yang pernah singgah di hatiku selalu menunjukkan keterkejutan yang sama. Mereka heran dengan caraku mencintai yang berbeda dari kebanyakan pria. Bukan dengan janji-janji manis yang mudah terucap, bukan pula dengan ketersediaan waktu yang tanpa batas, melainkan dengan ketegasan prinsip yang kujunjung tinggi dan kesetiaan yang kuanggap sebagai janji pada diri sendiri dan pada-Nya.
Tak jarang, di akhir sebuah perpisahan, terucap kata-kata lirih, "Semoga kita berdua menemukan kebahagiaan yang lebih baik di jalan yang berbeda." Bagiku, kalimat itu adalah penutup bab yang sederhana. Aku tidak terlalu larut dalam kesedihan atau penyesalan. Yang jauh lebih penting adalah hikmah dan hadiah tak terduga apa yang akan Tuhan berikan dari setiap pilihan dan kejadian yang kualami, baik itu diterima atau ditolak, bersama atau sendiri. Selama ini, aku hanya berusaha menikmati setiap alur takdir yang Dia gariskan, seperti menikmati secangkir kopi pahit di pagi hari, ada rasa yang tak bisa diungkapkan namun tetap bisa dinikmati.
Di sebuah taman kota yang mulai ramai, seorang bapak menggandeng tangan anaknya, senyum tulus terpancar dari wajah keduanya. Bagiku, kebahagiaan sederhana seperti itu adalah pengingat bahwa cinta sejati bersemayam dalam ketulusan, bukan hanya dalam hubungan romantis, melainkan dalam setiap interaksi yang dilandasi kasih sayang.
Aku harap kamu tidak pernah merasa bersalah atau menyesal karena tidak dapat membalas perasaanku. Ketahuilah, bagiku, urusan cinta bukanlah tragedi yang mampu meruntuhkan duniaku. Sejak dulu, perihal hati adalah hal yang biasa saja, sebuah warna dalam palet kehidupan. Yang kuinginkan hanyalah kedamaian di hatimu, agar kamu tidak merasa terbebani atau bahkan sakit karena tidak mengerti bagaimana seharusnya merespons perasaanku.
Sederhana saja, aku dengan perasaanku, dan kamu dengan perasaanmu. Kita berdua memiliki hak untuk memilih dan merasakan apa yang menurut hati kita benar. Di tengah ramainya warung nasi di pinggir jalan, orang-orang menikmati sarapan paginya. Aku merenung: bukankah cinta juga seperti makanan, ada yang cocok di lidah, ada pula yang tidak? Tidak ada paksaan, hanya preferensi rasa.
Mungkin bagimu, perasaanku adalah teka-teki yang sulit dipecahkan, atau mungkin juga kamu memiliki alasan tersendiri mengapa hatimu tidak tertambat padaku. Itu adalah hakmu sepenuhnya, dan aku menghargainya. Aku pun demikian, dengan segala keterbatasan dan keunikan diriku, memilih untuk merasakan apa yang kurasa.
Tidak ada yang salah atau benar dalam hal ini. Biarlah perasaan ini menjadi urusanku pribadi dengan Sang Pemilik Hati. Aku percaya, setiap rasa yang hadir memiliki tujuannya sendiri, entah untuk menguatkan, mengajarkan, atau mengantarkan pada sesuatu yang lebih baik. Di langit pagi yang semakin terang, awan-awan bergerak perlahan, mengikuti irama angin yang tak terlihat, persis seperti hatiku yang berusaha berdamai dengan setiap kenangan, seperti air sungai yang terus mengalir, tak pernah berhenti meratapi batu yang menghalanginya.
Penerimaan dan penolakan pada sebuah perasaan bukanlah sebuah tragedi yang abadi. Ketika hatiku menyampaikan getar rasa pada seseorang dan ternyata tidak berbalas, kekecewaan memang menyentuh. Namun, itu hanyalah tamu yang tidak berlama-lama. Mungkin hanya sepuluh menit aku membiarkannya berdiam diri, merasakan sedikit perihnya penolakan, seperti jeda sejenak dalam alunan musik kehidupan.
Setelah itu, aku akan menundukkan kepala dan berbisik pada Sang Pencipta, "Terima kasih atas takdir-Mu kali ini. Aku percaya bahwa rencana-Mu selalu yang terbaik, meskipun terkadang sulit kupahami." Aku meyakini bahwa setiap penolakan adalah pengalihan ke arah yang lebih baik, sebuah petunjuk bahwa hati ini mungkin lebih pantas berlabuh di tempat lain, atau mungkin memang saatnya untuk lebih fokus pada cinta yang tak pernah mengecewakan, cinta kepada-Nya.
Di sebuah halte bus yang ramai, orang-orang menunggu kedatangan kendaraan, masing-masing dengan tujuannya sendiri. Aku berpikir: bukankah cinta juga seperti perjalanan, ada yang searah, ada pula yang berlainan arah? Kita hanya bisa memilih jalan kita sendiri. Kecemasanku justru muncul ketika bayangan masa lalu kembali menghantui, ketika wanita yang pernah menolak cintaku tiba-tiba menyadari keberadaanku dan berharap untuk mengulang cerita yang telah usai. Saat itu, rasa di hatiku sudah mengering, bukan karena kesombongan, melainkan karena aku telah menerima bahwa apa yang telah berlalu adalah anugerah Tuhan yang membentukku menjadi pribadi yang lebih baik. Aku takut menyakiti hati yang pernah kurawat, namun aku juga tidak ingin mengkhianati kedamaian yang telah kutemukan dalam penerimaan, seperti memaksakan bunga yang layu untuk kembali mekar.
Aku sungguh berusaha untuk terus berjalan sendiri, menipu diri bahwa aku masih menyimpan ketertarikan pada hiruk pikuk percintaan duniawi. Namun, jauh di lubuk hati, aku semakin menikmati ketenangan jiwa yang hadir ketika aku mampu menerima bahwa tidak semua tujuanku harus tercapai sesuai dengan keinginanku. Bahwa ketetapan Tuhan adalah skenario terbaik, meskipun terkadang terasa pahit di awal, seperti obat yang pahit namun menyembuhkan.
Di sebuah warung kopi pinggir jalan, seorang pelayan wanita melayani pelanggan dengan senyum ramah. Bagiku, ketulusan dalam setiap tindakan adalah cerminan ibadah yang sesungguhnya, sebuah bahasa cinta yang universal.
Aku terus mengayuh sepeda di tengah ramainya lalu lintas. Aroma asap knalpot dan debu jalanan menjadi bagian dari rutinitas harianku. Setiap wajah yang kulihat adalah cerminan berbagai macam cerita dan pilihan hidup. Namun, hatiku tetap tertambat pada-Nya, seperti kompas yang selalu menunjuk ke utara.
Perkara cinta? Biarlah menjadi rahasia indah yang Dia bukakan di waktu yang paling tepat. Tujuan utamaku bukanlah mencari cinta yang fana, melainkan meraih cinta abadi dari Sang Pemilik Hati. Jika suatu saat nanti Dia mempertemukanku dengan seseorang yang tepat, biarlah itu menjadi bonus dari ketaatanku. Jika tidak, kesendirian ini pun adalah waktu yang berharga untuk lebih mendekatkan diri pada-Nya, seperti malam yang sunyi menjadi waktu terbaik untuk bermunajat.
Di ujung jalan sana, matahari semakin tinggi, menyinari setiap sudut kota. Aku menarik napas dalam-dalam. Bagiku, setiap hari adalah kesempatan baru untuk mencintai-Nya lebih dalam, dengan segala penerimaan dan keikhlasan. Cinta duniawi bisa datang dan pergi, namun cinta kepada-Nya adalah abadi. Dan itulah yang sebenarnya kuperjuangkan, sebuah perjalanan hati yang tak pernah berakhir.
-Tamat