Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Tolong katakan pada dirinya
Lagu ini kutuliskan untuknya
Namanya selalu kusebut dalam doa
Sampai aku mampu
Ucap, "Maukah denganku?"
Di panggung pentas seni dan bazar SMP MBM siang terik itu, Tania menyanyikan lagu “Tolong” karya Budi Doremi. Merdu suaranya seakan menyejukkan sengat matahari. Saat dia naik panggung tadi, tak satu pun pengunjung bazar peduli. Sampai mereka saksikan gadis itu piawai mainkan ukulele sambil bernyanyi. Dalam hitungan detik kemudian, menyemut penonton mengerumuni panggung.
Selesai satu lagu, penonton bergemuruh minta tambah. Tania tersenyum menggoda, “Berani nyawer berapa?” Kontan ramai penonton melambaikan lembaran merah Soekarno-Hatta. Makin lebar senyum Tania, “Eh, aku jualan kaus juga loh, kuuy nyawer-nya langsung beli kaus aja! Di situ stand-nya” Dia menunjuk kios bazar di seberang panggung, lalu melambaikan tangan mohon diri.
Seperti tersihir, penonton ikut beranjak dari depan panggung membuntuti Tania. Kemudian antusias mereka menyerbu stand kaus yang dijaga Pram, teman Tania. Keduanya sampai kewalahan melayani. Alhamdulillah, laris manis tanjung kimpul, dagangan habis uang kumpul. Alhamdulillah lagi, kaus sudah ludes pun, mereka rela antre pesan dan bayar di muka. Mau harus mau, keduanya meladeni permintaan mereka. Kesempatan langka ini tidak terjadi setiap hari.
Dalam antrean pemesan itu, Tania melihat Cheppy, kakak kelas IX yang sudah lama membuatnya mabuk kepayang. Saat berhadapan langsung, mendadak gagu Tania, harus bilang apa? Gugup dia, harus berbuat apa?
“Suaramu keren,” puji Cheppy.
Melayang Tania rasanya. Warna wajahnya berubah merah kuning hijau di langit yang biru. Untung segera sadar diri, dengan suara tercekat di tenggorokan, Tania berterima kasih, lalu mencatat pesanan Cheppy.
“Datanglah ke downhill event kami, sebulan sekali, weekend pertama. Kamu bisa jualan kaus dan menyanyi juga di sana.” Cheppy menambahkan.
Tania mengangguk, mati gaya. Tangannya juga gemetar kala menyerahkan bukti pesan dan pembayaran. Sementara Cheppy menerimanya dengan tersenyum, mengedipkan sebelah mata, kemudian pamit berlalu. Membuat Tania takjup melongo, “Mimpikah aku?” Dicubit lengannya sendiri, sakit! Berarti ini nyata, bukan mimpi, dan terlambat dia, tinggal punggung lelaki itu terlihat di kejauhan.
“Woi,” teriak seseorang dalam antrean, “Gue juga mau pesen nih.”
“Oh, maaf Kak,” Tergagap Tania melayani pengantre berikutnya. ”Mau pesan yang mana?”
Sebelum bazar, Pram dan Tania sudah sering belajar bersama, memecahkan soal matematika, mengerjakan PR ilmu alam, menghafal tenses bahasa inggris, dan lainnya. Keduanya sekelas, pelajar SMP Maju Bangsa Merdeka, kelas VII.
Sepintas, raut wajah mereka mirip. Rambut sama-sama keriting, warna kulit mereka gradasi sawo matang dengan marun kulit manggis. Keduanya memiliki mata bundar, ujung hidung bulat, bibir tebal sensual dan gigi putih berderet rapi. Sungguh ke-eksotikan Papua ini terpancar paripurna dari casing mereka berdua. Padahal Pram urang awak Minang asli, dan Tania dari keluarga Jawa totok.
“Bantuin gue jualan kaus, Tania,” pinta Pram satu hari waktu istirahat.
“Buat bazar? Wani piro? Pipis aja bayar! Eh, sorry Pram, gue udah daftar ngisi panggung.” Tania tak menoleh, matanya asyik menonton kelincahan Cheppy berlari men-dribble bola di lapangan. Zig-zag ia menghindari lawan, passing bola dengan teman-teman satu tim. Lalu saat berada di lengkung three point dia menangkap umpan bola, melompat dan mulus melemparkannya dalam keranjang. Sorak riang terdengar di sekeliling lapangan, Tania bertepuk tangan.
“Elu nanti nyanyi, yah nyanyi aja,” kesal Pram melihat kelakuan Tania yang lekat memandangi Cheppy, “Abis itu bantuin gue jaga stand.” Dia berusaha mengalihkan perhatian gadis itu. “Nih, liat kerjaan gue, keren kan?” Pram menunjukkan foto-foto di layar ponselnya.
Ada sekitar dua puluh desain kaus dalam berbagai warna dan model. Selusin setiap jenisnya. Melihat jumlah sebanyak itu, grogi juga Tania,
“Anjrit, semua ini bisa laku dalam sehari?”
“Ya, elu bantu ngiklanin di panggunglah. ‘El que no llora no mama’. Bayi harus teriak supaya dapat perhatian Mamanya. Nanti elu nyanyi di panggung itu seperti teriak caper teman-teman. Ajak mereka beli kaus kita! Jadi tandem strateginya, buka stand sekaligus ngisi pentas,” penuh percaya diri Pram menjelaskan. “Juga jangan takut gak laku, Tania, gak bakal busuk kausnya.”
Terbukti, strategi Pram ‘teriak, caper’ berhasil. Setelah sukses di bazar, pelan-pelan berkembanglah bisnis kecil-kecilan mereka, merambat ke gelang kulit, gelang silicon, tas belanja pakai ulang, tas selempang, topi, dan lainnya.
Pelan-pelan pula berkembang perasaan Pram pada Tania. Mulai dirasanya debaran aneh, kala menatap gadis itu lebih dari tiga hitungan. Sampai lalai dia akan pesan Ibunya,
“Hindari menatap perempuan lebih dari tiga detik, Pram! Kau akan terbuai, dari situ nanti dosa bermula.”
“Adem rasanya menatap Tania, masa itu dosa, sih?” protes Pram dalam hati. “Lagi pula, dia beda dengan perempuan lain, yang biasanya malu-malu, salah tingkah atau sebaliknya jual mahal kalau didekati.”
Tania santai saja menghadapi semua teman. Tak pilih-pilih dia, laki atau perempuan. Sultan atau sarit, jamet atau jaim, semua ditemani. Senyumnya alami seperti magnet, yang melihat pasti lengket.
Ingin rasanya Pram bawakan sebuket mawar merah dan sekotak coklat, lalu mengecup bibir Tania. Halaah, mendadak ngeri Pram membayangkan ditonjok, atau di-bal chagi gadis itu. Walau dari luar tampak ramah dan rapuh, Tania pemegang sabuk hitam tae-kwon-do dengan tiga strip putih! Berani mencolek dirinya, seperti yang pernah iseng Jonas lakukan, langsung babak belur Tania menghajarnya. Sehingga Jonas harus menginap seminggu di rumah sakit, dengan gips pada kaki dan tangannya.
Selain itu, sesak hati Pram mendapati Tania sering mengamati Cheppy. Dia tahu gadis ini diam-diam memuja kapten basket sekolah mereka. Sebalnya lagi, si kapten ini pesepeda downhill pula. Makin-makin terpananya Tania. Walaupun begitu, Cheppy tetap ada sisi baiknya, atau mungkin ada udang di balik bakwan. Kapten inilah yang mengajak Pram dan Tania buka stand kaus pada setiap downhill event bulanan. Beberapa kali pula dia pesan kaus seragam tim basket dan jersey grup sepeda. Wajarlah Tania terpesona, Cheppy ini sudah sportsman, sultan pula. Selalu lunas dia membayar pesanan tanpa menawar. Pening Pram dihadapkan dilema, menerima tawaran sultan, berarti kian mendekatkan si kapten dengan Tania. Menolaknya, berarti membuang rezeki.
“Ngeselinnya lagi, Cheppy selalu juara umum di sekolah!” gerutu Pram dalam hati. “Sudah padat tegap atletis badannya, padat uang dalam dompetnya, padat pintar pula isi kepalanya.”
Namun Pram tak patah semangat. Pernah satu kali usai kejuaraan downhill, dilihatnya Cheppy mesra menggandeng Tania ke panggung. Serta merta penonton bersiul usil menggoda. Panas dingin Pram melihatnya,
“Anjiir, sok mesra, tapi gak berani nembak, deklarasikan, miliki! Sekarang sertifikat kepemilikan itu penting, Bro!” Pram memaki dalam hati. Meskipun Pram urang awak, paham dia falsafah keluarga Tania, witing tresna jalaran seka kulina. Pram akan terus mendekati gadis itu, dan menempelnya dekat, sampai tergerak hati Tania untuk menerimanya.
Pada sisi yang lain, beberapa kali bertemu saat downhill event, membuka peluang Cheppy mengenal Tania lebih dekat. Gadis itu nyaman diajak diskusi, menarik pula penampilannya di panggung maupun dalam keseharian. Berdekatan dengannya membuat Cheppy tenang, sekaligus penyemangat untuk tuntaskan etape-etape sirkuit dengan cepat dan presisi. Namun untuk buru-buru memintanya jadi pacar, sulit Cheppy mengatur waktu. Perhatiannya tersita oleh latihan basket dan persiapan kejuaraan sepeda. Tambah lagi, tahun ini dia harus ujian SMP, lalu test masuk SMA dan berpisah sekolah dengan gadis itu. Cheppy pernah mengeluhkan masalah ini, minta Tania mengerti. Bersyukur dia, gadis itu tidak memaksanya untuk memilih, atau mengurangi kegiatannya. Tania paham dan bersedia menunggu sampai tiba waktunya.
“Terima kasih Uti, udah bolehin Pram nginep di sini.” Tania memeluk neneknya dengan suka cita.
Sekolah libur seminggu karena seluruh kelas dipakai untuk ujian akhir. Orangtua Tania sedang berdinas ke luar kota. Seperti biasa, Tania ditemani Uti dan Akung. Kadang mereka ke Jakarta, atau Tania datang menginap di rumah nenek kakek ini, di daerah Gunung Geulis, sekitar satu jam berkendara dari Jakarta. Tadi siang Pram mengantarnya naik taxi online. Karena macet di jalan, baru maghrib mereka sampai.
“Kasihan kalau dia harus pulang sendiri malam ini. Dia pacarmu ya?” Uti mengelus rambut cucunya.
“Pram gak pernah bilang apa-apa, Uti. Perasaanku ke dia, juga biasa aja. Sama seperti perasaanku pada teman-teman yang lain. Sebetulnya, Uti, aku suka sama Cheppy, kakak kelas kami.”
“Apa kelebihan Cheppy dari Pram?”
“Cheppy cool, Uti. Dia kapten basket, juara downhill, pintar lagi, selalu juara umum.”
“Pram juga pintar, Tania,” sela Uti. “Kalian sering belajar bersama, kan? Untuk seumuran kalian, Pram sudah pandai bagi waktu sekolah dan ngatur bisnis kausnya. Apa Cheppy pernah ngajarin kamu matematika? Atau ngajak nyari duit?”
“Belum pernah, Uti. Tapi Cheppy ngasih kami peluang untuk jualan di event bulanannya. Dia juga sering beli kaus kami.”
“Apa Cheppy sudah bilang dia naksir kamu?”
“Sudah, Uti. Tapi dia minta waktu, karena banyak sekali kesibukannya, dan aku siap menunggu.”
“Duuh, gimana dengan Pram?” Wajah perempuan paruh baya itu seketika berubah murung, “Uti rasa, dia juga suka sama kamu, lho Tania. Tolong jangan sakiti hatinya ya. Perjalanan hidupmu masih panjang. Jangan buru-buru ikat hatimu terlalu erat pada seseorang. Nikmati masa mudamu, banyaklah berteman dengan siapa pun. Tapi tetap hati-hati jaga diri. Uti tahu kamu pernah hajar siapa itu… sampai patah tulang, karena dia kurang ajar. Lain kali, tolong jangan kelewatan ngelabraknya.”
Tania mengangguk.
Pagi belum sempurna terangnya. Pram dan Tania sudah berkeringat membantu Uti dan Akung panen sayur di kebun. Lalu mengumpulkan telur ayam dari kandang, kemudian memerah susu kambing. Selesai semua, mereka bergantian mandi, sementara Mbak Jumilah, asisten Uti, menyiapkan sarapan pagi.
Menunggu Uti dan Akung selesai berpakaian, duduk bersebelahan di ruang makan, Pram memasangkan gelang kulit pada pergelangan tangan Tania, bercetak-timbul nama mereka berdua,
"Tania, maukah kami jadi pacarku?"
***
Bumi Biru, 23 Jan 2022
Catatan:
kuuy: yuuk
caper: cari perhatian
sultan: orang berada
sarit: orang tak berpunya (KBBI)
jamet: jajan metal
jaim: jaga image
witing tresna jalaran seka kulina: jatuh cinta karena terbiasa