Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Cup Kopi Tak Bertuan
2
Suka
519
Dibaca

Kuinjak pedal gas dalam-dalam, dan secara bersamaan jantungku juga berdebar jauh lebih kencang. Namun, aku tidak sedang berpacu dengan mobil yang baru saja kusalip dan langsung kutinggalkan jauh di belakang.

Aku sedang berpacu dengan waktu.

Tatapanku beralih pada cup plastik berisi kopi susu di jok sebelah, ingin memastikan keadaannya tidak berdampak oleh caraku mengemudi kali ini. Meski hanya dengan kemasan plastik bening yang sederhana, kopi itu baru saja kubeli dengan sangat terburu-buru. Bahkan untuk membayarnya saja aku sempat hampir kehabisan waktu. Untungnya teman baristaku mengerti.

Ada seseorang yang harus segera kutemui.

Seseorang yang ingin kutemui.

Dan ia, teman baristaku itu, memperbolehkanku membayarnya nanti ketika aku kembali ke tempatnya lagi.

Sialnya, jalanan kota malam ini begitu padat. Meski jarak tujuanku terbilang cukup dekat berdasarkan titik pada Google Map yang kubuka, namun jumlah kendaraan yang berlimpah dan hujan yang turun tanpa henti membuatku terjebak di jalanan cukup lama. Dan seharusnya, lagu Ms. Cold dari Kings of Convenience yang sejak tadi mengalun dari pengeras suara kabin mobil bisa membuatku sedikit merasa tenang. Tapi nyatanya tidak. Hingga tiba di tempat tujuan, aku masih harus sedikit menahan emosi.

Dengan segera kubuka ponsel, mengetuk layarnya dan menghubungi sebuah nama.

“Aku di depan,” kataku tanpa basa-basi ketika panggilanku dijawab.

“Di depan mana?” suara dari seberang terdengar kaget.

Mengapa ia terkejut?

“Di luar, di tempat kamu meeting,” kujawab sambil mencoba mengatur nada suaraku.

“Loh? Kenapa kamu nggak konfirmasi?” tanyanya lagi. Namun, kali ini aku yang terkejut mendengar tanggapannya.

Kejutan macam apa yang harus dikonfirmasi dulu?

Meski ia tidak melihatnya, aku tetap tersenyum sambil menjawab, “Aku tunggu di depan, ya.”

Suara di seberang telepon mendadak hening.

Setelah beberapa detik, ia kembali berkata, “Tapi aku udah di jalan ke travel. Maaf ….”

Seketika tubuhku mendadak lemas. Selisih waktu yang kulihat pada pesan pendeknya hanya beberapa belas menit ketika ia memberitahu masih di pertengahan meeting beberapa saat lalu.

Apa ia sengaja menghindariku?

Wajahku? Entahlah, aku tidak tahu bagaimana raut muka yang kupasang sekarang. Kucoba untuk mengatur kembali pernapasan agar semuanya tampak baik-baik saja. Dan aku baru saja menyadari kalau kedua pipiku kini menegang karena aku mengatupkan gigiku rapat-rapat.

“Travel apa? Di mana?” tanyaku kemudian.

Ia menjawab, aku mengangguk.

Kemudian ia, perempuan itu, mengucap kalimat perpisahan seolah-olah ingin memastikan pertemuan kami tidak akan terjadi pada malam ini. Atau mungkin memang begitu cara halusnya menolak ajakanku untuk bertemu.

Mungkin ia enggan.

Atau mungkin ia terlampau sibuk seperti hari-hari sebelumnya.

Atau jangan-jangan ia bersama .…

Ah, sudahlah.

Panggilan telepon ditutup. Tanpa pikir panjang, aku langsung menancap gas menuju lokasi yang tadi ia sebutkan. Dengan kondisi jalanan seperti sekarang, tidak mungkin mobil travel yang akan menjemputnya tiba sesuai jadwal. Aku masih punya cukup waktu jika benar-benar bergegas. Setidaknya, begitu pikirku. Dalam kepalaku, aku hanya ingin segera bertemu dengannya dan menyerahkan bingkisan kecil ini sebelum ia pergi.

Kulirik lagi cup plastik berisi kopi susu di jok sebelah. Aku mulai membayangkan jika nanti kopi itu akan menemaninya sepanjang perjalanan. Memang tidak ada yang spesial dari kopi susu ini, sebenarnya. Seperti kebanyakan kopi susu yang dijual di coffe shop lainnya. Hanya saja, base kopi ini berjenis single origin yang menggunakan 100% arabica typica.

Namun yang aku tahu, ia begitu menyukai kopi susu gula aren racikan teman baristaku. Dan barangkali jika ia mengantuk dan menyeruput isinya walau sudah tak lagi dingin, ia akan mengerti jika ada seseorang yang benar-benar peduli kepadanya dan menunggunya kembali pulang.

Ah tidak, maksudku, aku hanya ingin memberinya “hadiah perpisahan” kecil-kecilan sebelum ia meninggalkan kota ini.

“Hai, aku udah di depan lagi, loh,” aku kembali memberitahunya ketika panggilan teleponku dijawab. Sengaja kuberi penekanan pada kata “lagi” barusan.

“Hah? Di depan mana?” Dan suaranya lagi-lagi terdengar kaget.

Aku tertawa renyah. “Di depan pool travel kamu, dong.”

“Yang benerrr?”

“Coba keluar, deh,” kataku sambil tersenyum. Setidaknya aku perlu menyiapkan diri untuk menyambutnya jika ia benar-benar keluar dan menemuiku.

Cup plastik berisi kopi susu sudah kusiapkan di tanganku yang satunya lagi. Jantungku berdebar hebat di tengah keheningan yang singgah dalam percakapan yang terasa berat sebelah ini.

“Maaf, aku ternyata salah melihat jadwal,” ia menjawab pelan. “Aku ini di pool yang satunya lagi ….” Dan baru kusadari jika suaranya terdengar sedikit menggema, seakan-akan ia berada di dalam ruangan kecil yang sempit untuk mengucilkan diri.

Mendadak kudengar seperti ada sesuatu yang meledak di dekatku. Aku tidak tahu itu apa, tapi sepertinya ledakan itu hanya terjadi dalam kepalaku.

Ledakan yang senyap.

Ledakan beruntun yang melumpuhkan persendian di sekujur tubuhku.

“Kamu bercanda, kan?” Aku tertawa kecil, berharap kalau aku hanya sedang dijahili atau semacamnya.

“Benerrran.” ia tertawa di ujung kalimatnya barusan.

Di sekitarku, suara lalu-lalang kendaraan menderu. Meski begitu, suasana percakapan di telepon ini entah mengapa terasa begitu hening.

“Jadi kita nggak ketemu, dong?” aku mencoba menyimpulkan. Sejujurnya, aku sedikit merasa kesal dengan situasiku sekarang.

“Sowryyy…” perempuan itu mengeluarkan nada manja untuk menggodaku.

Sialan.

Pandanganku beralih ke arah kendaraan yang sibuk lalu-lalang di jalanan. Sambil melangkah kembali ke dalam mobil, aku menjawab, “Ya udah, nggak apa-apa, kok. Kamu hati-hati di jalan, ya ….”

“Pakai hati, nggak?” candanya lagi. Dari suaranya, bisa kubayangkan kalau ia sedang tersenyum.

Aku sedikit berpikir sebelum akhirnya memutuskan untuk menjawab, “Kalau nggak pakai hati, jadinya cuma di jalan, dong?” sengaja kuberi penekanan pada kata “di jalan” barusan.

Suara di seberang tertawa. Keras sekali tertawanya.

Aku? Tentu saja aku ikut tertawa.

Menertawakan diriku sendiri lebih tepatnya.

Perempuan itu kemudian berkata, “Alright! See you again soon, ya!”

Aku tersenyum.

Panggilan ditutup.

 ***

Malam sudah cukup larut saat aku kembali lagi ke tempat kopi teman baristaku. Wajahnya tampak menyiratkan kecemasan, meski ia melakukannya sambil closing harian saat membalas tatapanku. Ah, tidak, lebih tepat jika kukatakan kalau ia tampak terkejut ketika melihatku kembali masih dengan cup plastik berisi kopi susu yang tadi kupesan.

“Nggak keburu, ya?” teman baristaku bertanya.

Aku menggeleng. Sengaja tidak kuceritakan lebih banyak supaya ia tidak menanyakan hal-hal yang aku sendiri tidak tahu jawabannya.

“Kau akan bertemu dengannya lagi?” pertanyaan itu justru keluar dari mulutnya.

Nah, kan.

Meski tidak kuceritakan, tetap saja akan ada rasa ingin tahunya yang harus kupuaskan, sedangkan aku sendiri tidak tahu harus bagaimana menjawab jenis pertanyaan yang seperti itu.

Aku mengedikkan bahu, lalu menjatuhkan diri pada salah satu kursi yang kosong. “Entahlah ....”

Temanku itu ikut duduk di depanku. Sambil tersenyum, ia berkata, “Kau itu udah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk bertemu perempuan yang sepertinya, nggak ada salahnya nunggu beberapa hari lagi, kan? Cuma beberapa hari.”

Aku tertawa, “Kau habis minum apa? Aku boleh minta?”

Teman baristaku tertawa, meski sebelumnya ia mengumpat “sialan” diam-diam ketika beranjak dari tempat duduk. Setelah melakukan pembayaran digital, aku meminta tolong temanku itu untuk menyimpankan cup plastik berisi kopi susunya ke dalam lemari pendingin. Setelah menutup mesin kasir dan memastikan tidak ada lagi yang memesan kopi, ia mengeluarkan sebotol anggur dari dalam lemari pendingin yang sama.

“Kopinya kapan mau diambil lagi?” ia bertanya setelah kembali duduk di tempat semula.

Aku meraih gelas yang baru saja ia tuangkan, menenggak habis isinya, lalu menuangkan isinya kembali. “Dalam beberapa hari, mungkin? Dua atau tiga hari lagi. Sekembalinya ia dari luar kota.”

Temanku menyambar gelas anggur dari tanganku, menenggak isinya sampai habis, lalu menuangkannya lagi. “Lewat dari itu, kopinya nggak akan bagus lagi, ya.”

Aku menyalakan sebatang rokok. Temanku menyalakan sebatang rokok.

“Simpan aja kalau begitu, nanti kupesan lagi kopi yang baru untuknya.” kataku setelah mengembuskan asap rokok.

Temanku mengiyakan, lalu mulai bercerita bagaimana keseruan liburannya ke pantai Pangandaran beberapa waktu lalu. Yang kulakukan hanya mengangguk kecil pada beberapa bagian cerita yang menurutnya seru, untuk menegaskan kalau aku masih ada di hadapannya dan mendengarkan seluruh ceritanya. Meski begitu, pikiranku sudah melayang entah ke mana.

Penyebabnya, katamu? Apalagi kalau bukan karena perkataan perempuan itu yang masih terngiang-ngiang di kepalaku.

Pakai hati, nggak?

***

Seminggu kemudian, aku kembali mendatangi tempat kopi teman baristaku. Begitu duduk di tempat biasa, temanku langsung menghampiri dan membawakan cup plastik berisi kopi susu yang selama ini tersimpan di lemari pendingin.

“Kubuatkan yang baru, ya?”

Aku melirik cup plastik yang ia letakkan di atas meja. Sambil menggeleng, aku berkata,

“Nggak perlu, nggak usah repot-repot ….”

“Tapi aku nggak yakin kalau kopinya masih bagus.”

Aku menyulut sebatang rokok sambil menjawab, “Biarin aja, simpan di sini buat kenang-kenangan...”

Teman baristaku tampak terkejut lalu bertanya, “Kenapa?”

Aku tidak langsung menjawab. Kuembuskan asap rokok secara perlahan.

“Jawab dong, nyet!” cecarnya

Aku tertawa melihat wajahnya yang kali ini benar-benar tampak cemas. “Kenapa kau kepo?” kujawab sambil menjentikkan abu rokok ke dalam asbak.

“Kita ini lagi bahas orang yang menolak minum kopi buatanku. Ya aku aku insecure, lah! Kenapa dia nggak mau kopinya? Nggak enak, atau dia nggak suka double shot ....”

Lagi-lagi aku dibuatnya tertawa. “Kalau ada yang nggak suka kopi buatanmu, berarti yang salah itu lidahnya. Ini bukan tentang kopimu, kok. Kopi yang kamu buat paling enak se-Jawa Barat.”

Teman baristaku menghela napas lega sambil tersipu. Tapi sebelum melakukan itu, ia sempat menampar lenganku terlebih dahulu. Sambil menyandarkan punggungnya kembali pada kursi, ia mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu mengembuskan asapnya perlahan.

“Lalu apa yang terjadi setelah malam itu?” kembali rasa ingin tahunya mencuat ke atas meja.

Aku menghela napas. Maksudku, aku enggan untuk menjelaskan. Tapi kalau tidak begitu, temanku ini pasti tidak akan pernah mau berhenti untuk menanyakan hal yang sama kepadaku.

Sialan.

Aku mengisap rokok dengan perlahan, lalu menjawab, “Dia nggak pernah ngabarin lagi. Beberapa kali aku coba chat, tapi dia nggak pernah balas pesanku. Dia menghilang.”

Teman baristaku bergeming.

Melihatnya seperti itu, aku justru tertawa. “Kau kenapa?”

“Mau kukeluarkan botol anggurnya sekarang?”

“Tapi ini masih pagi, nyet,” kujawab sambil mencoba menahan tawa. “Masih jam 10 dan kau masih bekerja.”

Temanku itu mengibaskan tangannya dan memberiku tatapan mengejek. Ia segera beranjak dari kursi dan bergegas ke arah lemari pendingin sambil berseru, “Untuk mengusir hantu gentayangan seperti itu, nggak peduli mau siang atau malam, ya!”

Aku malah bertambah ngakak.

Ngakak menertawai diri sendiri.

Aku mengeluarkan ponsel dari dalam saku, mengambil beberapa gambar di atas mejaku untuk mengabadikan beberapa gambar cup plastik berisi kopi susu yang kini telah tak memiliki tuannya lagi.

***

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Cerpen
Cup Kopi Tak Bertuan
Marino Gustomo
Novel
SCOMPARIRE
Cindy Permata
Novel
BYSTANDER
Ralali Sinaw
Novel
Papa dan Ayah
princess bermata biru
Novel
Bronze
Two Times
SADNESS SECRET
Novel
Bronze
Langit
Bagas
Novel
Bronze
Revanadya
Noranita Vinka
Novel
Gold
Sweet Misfortune
Mizan Publishing
Novel
Bronze
Injurious
Chairunnisamptr
Skrip Film
AFTER YOUR WEDDING DAY
Reiga Sanskara
Flash
My Lovely Friend
Mata Panda
Flash
Asa Tlah Usang
Didin Sastrawan Hebat
Novel
Harapan di Ujung Doa
Jihan Dyah
Flash
Miss Beautiful Vietnam
Luca Scofish
Novel
Gold
Starstruck Syndrome
Bentang Pustaka
Rekomendasi
Cerpen
Cup Kopi Tak Bertuan
Marino Gustomo
Cerpen
Menatap dan Menetap
Marino Gustomo
Novel
Jangan lucu-lucu, nanti aku sayang
Marino Gustomo