Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hai. Aku Elisa.
Pengantin baru yang gak baru-baru amat, sih. Aku menikah dengan seorang laki-laki yang sejak lahir tinggal di kota. Saking kotanya, dia nggak hafal nama tetangga kanan-kirinya siapa aja. Hampir semua rumah di sana memiliki pagar tinggi dan mereka sunyi dengan kehidupannya masing-masing. Setelah menikah denganku, dia harus tinggal di desa bersamaku dan menemaniku mengurus ibuku yang sakit, otomatis dia harus beradaptasi dengan segala ragam budaya dan aneka tetangga baru yang tentu sangat berbeda dengan kehidupannya dulu. Sehingga dia ... terserang penyakit ... culture shock !
Terhitung saat aku menuliskan unek unek ini, ada 8 moment yang membuat dia shock karna harus beradaptasi, dan membuat aku lebih shock lagi karna harus mengajarinya dan bertebal muka menerima komplenan dari para tetangga yang selalu benar.
###
Moment ke-1
Menyapa dengan Basa-basi.
Ketika kami sedang berjalan kemudian melewati seseorang yang lebih tua, apa yang seharusnya dilakukan? Yap. Menyapa dengan basa-basi.
Suamiku hanya tersenyum sekedarnya. Membuatku panik dan segera menyenggolnya. "Mas, Ayo disapa ! Jangan senyum doang" Bisikku dengan penekanan yang lumayan tegas.
Suamiku kemudian dengan lantang mengucapakan 'Assalamu'alaikum!' dan melambaikan tangan ala Ryan D'Massiv.
Tetanggaku tampak terkejut sejenak, lalu menjawab salamnya. Kemudian kikuk.
Mau tidak mau aku mengcover apa yang seharusnya suamiku lakukan. Ya, menyakan hal-hal tidak penting.
"Sedang nyapu ya, Bu?"
Barulah ekspresi wajahnya sumringah dan menjawab, "Oh, iya. Jalan-jalan pagi Mba?"
"Iya." Jawabku.
Sudah, selesai. Suamiku keheranan melihatku menanyakan sesuatu yang sudah bisa dilihat sendiri jawabannya. Jelas-jelas si Ibu itu memang sedang nyapu, kok masih ditanya. Eh, si Ibu juga sama saja.
Tapi memang begitu aturan mainnya. Dia hanya perlu adaptasi.
###
Moment ke-2
Saat ditanya, "Kok ngga berangkat kerja?"
Aku dan suamiku kebetulan sama-sama freelancer. Aku sebagai ghost lecturer alisan asisten dosen yang ngajarnya via Google meet, sedangkan suamiku adalah YouTuber akun musik yang tiap hari kerjaannya optimasi untuk ngumpulin dollar. Artinya, di antara kita berdua tidak ada satupun yang rutin setiap pagi keluar rumah pakai seragam dinas.
Hampir setiap hari tetangga yang lewat akan bertanya, "Libur dinas ya mas?" Tanyanya pada suamiku.
Sebuah pertanyaan ambigu, antara bertanya karena tidak tau, atau menyindir karna pandemi sudah berakhir tapi kita masih di rumah aja. Tapi asumsiku cenderung pada alasan yang kedua, sih. Fix.
Sangat disayangkan, suamiku justru menjawab dengan polosnya. "Iya, Libur terus. Kan ngga kerja."
Seketika jantungku jedag-jedug, nafasku naik turun, hidungku kembang-kempis. 'KENAPA JAWABNYA GITU?'
Sudah dipastikan si tetangga tadi akan mengantongi sebuah informasi bahwa suamiku adalah pengangguran, dan dia numpang hidup di rumah mertua dengan gaji pensiunan tiap bulan.
Dan ini terbukti betul saat tetangga lain tanpa angin tanpa mendung tiba-tiba hujan badai menyinggung soal uang gajian Ibuku tiap bulan sebagai PNS. Padahal uang Ibu jarang banget bisa bertahan melebihi tanggal 15. Karna banyak tetangga yang pinjem uang, dan yang pinjem ya padahal mereka-mereka juga.
Andai suamiku bisa menjawab lebih detail lagi, kira-kira seperti ini: "Ngga libur sih Bu, tapi kan saya kerjanya online, freelance, jadi ngga harus capek-capek pulang pergi pake seragam. Gajian masuknya ke e-wallet. Gajinya dollar loh, Bu. Gimana? Mantulity kan?"
Ah, lagi-lagi dia ngga tau aturan mainnya dan terkena jebakan bad-man.
###
Moment ke-3
Kerja Bakti
Hal yang seringkali membuatku emosi adalah perihal kerja bakti.
Saat Pak RT mengeluarkan perintah untuk kerja bakti, saat itulah aku dan suamiku akan mengangkat senjata, berlanjut dengan perang panas-dingin yang selalu terjadi berulang-ulang.
Sebenarnya aku paham betul, bahwa meskipun fisiknya di rumah, suamiku sejatinya sedang fokus bekerja, dan setiap menit baginya adalah uang. Tapi, tetangga mana yang akan memahami hal semacam itu?
Jika di perumahan, di kota, akan lebih mudah karena biasanya warga diberi dua pilihan: kerja bakti, atau iuran. Tapi di desa, gotong royong adalah prinsip pertama dan yang paling utama dalam kehidupan bertetangga. Tidak ada opsi.
Okelah, suamiku pada akhirnya akan kalah denganku dan mengibarkan bendera putih. Lalu dengan sangat tampak tidak ikhlas dia mendatangi tempat kerja bakti dan membantu sekedarnya.
Apakah kemudian semua baik-baik saja? Ah, tidak semulus itu, ferguso !
Setelahnya aku akan mendapat komplenan dari tetangga, "Ih, suamimu. Kerja baktinya kaya ngga niat banget. Cuma ikut-ikutan aja biar dapet bagian snack."
NANIIII ??!!!!
###
Moment ke-4
Saat ditanya: "Kok Elisa belum hamil?"
Sudah kusebutkan tadi di awal, kalau kami adalah pengantin baru yang nggak baru-baru amat. Alias kami baru saja menapaki tahun ke-2 pernikahan. Dan qodarulloh, aku memang belum hamil.
Sudah bisa ditebak dong, pasti tetangga akan rajin bertanya "Sudah hamil belum?" Seakan mereka petugas posyandu yang diberi mandat untuk mengawasi update harian seputar perkembangan reproduski para warganya.
Pertanyaan yang selalu berulang seperti itu seharusnya tidak perlu lagi diambil hati. Hanya cukup dijawab, "Minta doanya, ya."
Sayangnya, lagi-lagi suamiku tidak begitu. Dia merasa kasihan dengan orang yang memberikan pertanyaan yang sama berulang-ulang, hingga akhirnya dia menjawab "Iya, Bu.. nanti kalo udah hamil saya kabarin ya."
Oh ... Tidak ...
Andai ada Dilan Cepmek pasti dia akan jawab, "kamu nanyea? Kamu bertanyea-tanyea?"
###
Moment ke-5
Ikut Begadang Saat Tetangga Meninggal Dunia
Saat itu kami sedang di rumah Simbah di Bantul, tak kalah kampungnya dengan rumah yang kami tempati sekarang. Kebetulan tetangga depan rumah meninggal dunia. Sebagai tetangga, suamiku sigap untuk datang melayat. Setelahnya dia pulang lagi.
Tak disangka, di rumah, Simbah sudah misah-misuh melihat cucunya pulang.
"Kok ngga sampe malem sih? Kok cepet banget pulangnya?" protesnya dengan ekspresi kecewa level 50.
"Loh, aku disuruh ngapain lagi, Mbah?" tanya suamiku, masih kebingungan.
"Yo ngga usah ngapa-ngapain. Cukup duduk aja di sana, sampe malem, sampe liat ada orang lain yang pulang, baru kamu ikutan pulang." Terang Simbah, nadanya mulai naik.
"Simbah malu... Kalo ada tetangga yang liat kamu pulang gasik." Tambahnya. "Sana, berangkat lagi !." Perintah Simbah keras, yang artinya, benar-benar harus dilaksanakan. Tidak ada dispensasi.
Suamiku hanya menurut dan kembali ke rumah duka dengan ekspresi bingung. Mungkin dia tidak mengerti, apa sebenernya fungsinya dia begadang sampai malam di sana tanpa melakukan apapun? Untuk apa? Ada yang bisa dibantu?
###
Moment ke-6
Tetangga Harus Peka
Suatu hari, talang air atap rumah kami bocor, sehingga kami harus membeli talang air yang baru dan memanggil tukang bangunan untuk memasang talang air yang baru.
Sebagai orang yang merasa memanggil jasa tukang, maka, suamiku hanya sekedar memantau sesekali dan menanyakan material apa saja yang perlu dibeli? Setelah semua beres, dia kembali pada aktivitasnya.
Tiba-tiba tetangga datang tanpa diundang, dan ikut membantu pekerjaan si tukang. Tidak hanya itu, dia juga menemani si tukang tersebut dari awal hingga akhir, ngajakin ngobrol dan lain sebagainya hinggal pekerjaan benar-benar selesai.
Suamiku bingung mondar-mandir dan bertanya padaku, "harusnya dia dikasih bayaran juga ngga ya? Kayanya dia cape juga deh." Tanyanya, lagi-lagi dengan ekspresi bingung. Karna jujur saja, keuangan kami saat itu terbatas dan hanya ada dana untuk membayar satu tukang saja.
Kujawab, "ngga lah mas, dia lakuin itu sukarela. Kalo dibayar malah jadinya nggak sopan."
Seketika raut bingung berubah menjadi sumringah, "ada yaaa tetangga baik kaya gitu. Trus gimana dong aku balas kebaikannya dia?"
"Caranya, kalo dia lagi renovasi rumah, mas juga bantuin, sama seperti apa yang dia lakuin tadi." Jawabku.
Dan seketika wajah sumringahnya berubah menjadi lebih suram, gelap, mendung.
"Mending bayar aja ngga sih?" Tanyanya lemas.
###
Moment ke-7
Saat ada anggota keluarga yang sakit
Aturan lainnya yang belum dia tau adalah: ketika ada anggota keluarga sedang sakit dan butuh bedrest, jangan biarkan tetangga tau.
Dia pikir, seorang tetangga ketika mendengar kabar kalau ada tetangganya yang sakit, pasti dia akan mendoakan kesembuhannya. Itu saja.
Tapi aturan main tetangga desa itu berbeda. Mereka akan segera datang berbondong-bondong untuk berkunjung. Bahkan pernah suatu hari, satu ruangan kamar rawat inap penuh dengan tetangga yang datang bebarengan mengunjungi ibuku, hingga akhirnya kami gelar tiker dan satu persatu dari mereka pun bergantian menyanyakan perihal sakitnya ibuku. Sehingga, boro-boro istirahat, ibuku malah dijadikan bahan tontonan, dan mereka menonton sambil duduk di atas tiker. Vibesnya kaya nobar deh.
Suamiku hanya cengar-cengir melihat dampak dari ulahnya yang telah membocorkan rahasia sakitnya Ibu.
Tapi, meksipun secara teori kedatangan mereka akan membuat ibuku capek dan makin drop kesehatannya, justru, ajaibnya kedatangan mereka membuat ibuku lebih ceria, doyan makan, dan tak lama setelahnya diperbolehkan pulang.
Kali ini, dia ada benernya juga.
###
Moment ke-8
Tetangga yang tiba-tiba masuk rumah
Rumahnya orang di desa itu seperti rumah bersama, siapapun boleh masuk dan keluar tanpa izin. Selama pintu bisa dibuka (tidak dikunci), artinya rumah itu halal dimasuki siapa saja. Meskipun dalam kondisi tertutup pintunya.
Suatu hari pernah ada tetangga yang masuk untuk mengganti gas yang kosong dengan yang baru, Karna dia memang penjual gas.
Suamiku yang baru pulang belanja tiba-tiba kaget liat ada tetangga di dalam rumah, dan spontan tanya "Loh, kok masuk rumah sih?"
Dan aku juga sama kagetnya karena suamiku bereaksi demikian.
Kemudian si tetangga hanya menjawab sekedarnya kemudian pergi.
Sudah ketebak bagaimana isi hati si tetangga yang tampak kaget dan bingung dengan reaksi suamiku.
Dan tugasku selanjutnya adalah.. "Klarifikasi !"
"Maaf, ya.. suamiku di rumahnya sejak kecil tidak terlalu banyak interaksi dengan tetangga, jadi mungkin kaget aja. Karna ngga biasa."
Ya, kira-kira itu lah, rerangkaian culture shock yang dialami suamiku, yang bikin aku juga ikut-ikutan shock karna harus menjadi penengah di antara dua manusia dengan latar belakang yang sangat berbeda.
Tampilkan kutipan teks