Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Crown Thieves
1
Suka
1,279
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Sebuah limosin hitam berukuran sedang terparkir sederet dengan mobil mewah lain. Pesta dalam istana terlihat meriah, meski malam baru saja dimulai. Seluruh keluarga kalangan atas dan orang-orang berpengaruh akan meramaikan aula besar itu, menikmati setiap suguhan yang diberikan sang penguasa, Raja Phillips.

“Periksa alat komunikasi,” Jayden yang duduk di kursi kemudi memulai persiapan mereka.

“Dengar.” “Jelas,” ucap kedelapan rekannya bergantian, memastikan alat yang terpasang di salah satu telinga masing-masing.

“Dimengerti,” Jayden menerima jawaban mereka. “Tujuan malam ini, mencuri mahkota raja. Setelah dapat, kita akan minta imbalan untuk mengembalikan benda itu.”

“Ucapanmu seakan ini pekerjaan merebut permen dari seorang bocah,” komentar Davina.

“Bukankah seperti itu?” Naomi menyeringai.

Rekan lain turut memasang ekspresi serupa Naomi, tanda sependapat dengannya.

Davina tidak mengelak, menerima dan turut dalam satu ekspresi dengan rekan-rekannya itu.

“Baiklah. Alvin, ambil alih properti. Laura dan Selena, siapkan hadiah beliau. Emma, Davina, awasi santapan sang Raja. Naomi, cari tempat pengawasan terbaik dan siapkan keahlian make up-mu. Nissa, Finley, siapkan pengalih perhatian. Aku akan membantu tugas pengawasan setelah menyapa beliau lebih dulu,” ujar Jayden yang mengulangi rencana mereka.

“Siap!” “Oke!” jawab mereka nyaris bersamaan.

Jayden mengangguk. “Kita bergerak sekarang.”

Satu anggukan serempak saling menjawab dan memperlihatkan kesiapan masing-masing. Tanpa buang waktu lagi, mereka membuka pintu mobil dan keluar melaksanakan aksi malam itu. 9 orang masuk dengan undangan yang ditunjukkan Jayden sebagai tiket mereka. Tidak sulit untuk menyamarkan kehadiran mereka, mengingat sikap para undangan yang selalu memikirkan—dan memperlihatkan—kehebatan diri sendiri. Mereka hanya perlu berlagak layaknya undangan kerajaan dan menyebar begitu masuk area pesta, berbaur tanpa menunjukkan kehadiran masing-masing.

Sama seperti para undangan lain, mereka mengenakan pakaian formal—gaun dan jas—yang justru memudahkan mereka untuk menyamarkan keberadaan. Berbagai gaya pakaian—terutama gaun—terpajang pada masing-masing tamu, seraya menunjukkan kehebatan pemiliknya. Berbeda dengan para tamu petinggi kerajaan yang menonjolkan diri, kesembilan orang itu mengutamakan kenyamanan dan kemudahan dalam pergerakan. Berkat keahlian jahit Laura, kesan elegan dan fleksibel dalam beraksi tercipta dalam masing-masing pakaian mereka.

Area pesta berlangsung di dalam istana, dengan kemewahan yang disuguhkan aula kerajaan. Ruangan luas dengan lantai dua melingkar membentuk tapal kuda, agar para undangan lantai atas tetap dapat memandang singgasana sang Raja. Masing-masing lantai juga memiliki beranda di tepi dinding, dengan sejumlah penjaga keamanan.

Laura sempat terhenti sejenak ketika hadiah yang ia bawa harus diperiksa lebih dulu. Namun tidak rasa khawatir akan tindakan itu, sebab standard keamanan kerajaan sudah masuk perhitungan rencana mereka. Alvin menghilang di balik petugas keamanan yang berjaga sepanjang aula. Emma dan Davina menuju ke pastri, mengamati sekitar, dan berbaur dengan tamu lain. Naomi menuju ke lantai atas, menjadi mata aksi mereka. Nissa dan Finley berjalan di dinding tepi, mencari bahan tugas. Sedangkan Selena menunggu Laura di salah satu sisi aula. Semua telah siap dan menunggu tanda dari ketua mereka.

“Raja Phillips,” sapa Jayden saat menuju ke panggung singgasana.

Seorang pengawal pribadi bertubuh besar langsung menahan langkah sang penyapa. Tatapannya yang tajam tak segan untuk menelusuri tamu di hadapannya tanpa menanyakan apapun lebih dulu.

“Jayden, dari institusi kesehatan nasional,” Jayden memperkenalkan diri.

“Tunggu sebentar,” pengawal yang menghadangnya langsung membuka ponsel dan mencari nama orang di depannya itu.

Di saat Jayden menunggu konfirmasi dirinya, rekan lainnya tersenyum mendengar percakapan yang terjadi melalui alat komunikasi masing-masing. Kini, komunikasi kesembilan orang itu sebagian besar akan terhubung melalui alat di telinga mereka.

“Saya hanya menyapa pemimpin kita. Kenapa Anda khawatir sekali?” komentar Jayden yang belum dibolehkan melangkah lebih dekat.

“Ini standard keamanan kami,” si pria pengawal itu menjawab dingin. Jemarinya menggeser layar ponselnya cepat, sembari sesekali melirik ke wajah Jayden.

“Tawarkan dia minuman agar sikapnya lebih ramah,” komentar Nissa.

“Boleh saja. Tapi dia akan menolak karena standard keamanan,” jawab Naomi, menyindir kalimat si pengawal terdekat raja itu.

Tawa kecil terdengar dari mereka, kecuali Jayden yang harus menjaga sikapnya.

“Institusi kesehatan nasional,” si pengawal memperlihatkan layar ponsel yang menunjukkan beberapa foto Jayden.

“Ya,” Jayden sedikit kesal karena menunggu. Namun kemudian pandangannya berubah, “ya, itu saya,” ia melirik ke area aula sebelum kembali ke tugasnya.

“Silahkan,” pengawal itu akhirnya memberi izin. Ia menggeser badannya, memberi ruang untuk Jayden menuju ke dekat singgasana.

“Terima kasih,” Jayden berjalan menuju ke dekat sang Raja bersama si pengawal yang mengiringi langkahnya. “Yang Mulia Raja Phillips,” ia membungkuk, memberi hormat. “Bagaimana kabar Anda?”

“Seperti yang kau lihat, Tuan Jayden. Pesta kerajaan tidak pernah sepi,” jawab Sang Raja dengan penuh kebanggaan melihat aulanya, baik lantai dasar dan lantai atas bergantian.

“Itu benar. Tetapi yang saya maksud adalah kabar Anda, Yang Mulia,” Jayden menatap pemimpin itu penuh perhatian. “Maaf jika kurang sopan, boleh saya bersalaman dengan Anda?”

Raja Phillips memandang penasaran. Namun akhirnya beliau mengulurkan tangannya.

Jayden segera menjabat tangan beliau, terhenti sejenak, memperhatikan tangan sang Raja begitu dalam. “Sebaiknya Anda tidak terlalu banyak berpikir, Yang Mulia. Detak jantung Anda memang teratur, tetapi saya juga merasakan sesuatu seperti stress. Lalu, perhatikan makanan Anda. Perbanyak serat, seperti roti gandum dan buah-buahan segar.”

Raja Phillips hanya diam, namun beliau tidak membantah apapun.

“Maaf,” Jayden tersenyum dan melepas tangannya. “Mungkin tidak sopan mengatakan semua itu. Saya hanya mengatakan apa yang saya amati. Tentu saja Anda sering merasa stress karena pengabdian Anda pada negeri ini. Tetapi sebagai warga yang Anda pikirkan, saya juga mengkhawatirkan pemimpin saya, Yang Mulia.”

“Benar juga,” sang Raja membalas senyum Jayden dengan ekspresi serupa.

“Sekali lagi maaf jika saya melewati batas. Terima kasih sudah mengizinkan saya menyapa Anda,” Jayden kembali membungkuk, memberi penghormatan terdalam.

“Tidak masalah, Tuan Jayden. Terima kasih juga atas perhatianmu. Nikmatilah pesta ini,” jawab sang Raja.

“Dengan senang hati, Yang Mulia. Kalau begitu, saya permisi,” pamit Jayden sebelum melangkah meninggalkan panggung singgasana.

Raja Phillips mengangguk ringan, membiarkan Jayden turun dan kembali ke area pesta.

“Umpan sudah dipasang. Selanjutnya, berikan hadiah beliau,” ucap Jayden begitu jauh dari kursi kekuasaan pemimpin itu.

“Siap!” jawab Laura yang juga mewakili Selena.

“Sepertinya beliau cukup mendengarkanmu,” Naomi menerima segelas jus dari Jayden yang turut menjadi pengamat di sampingnya. Ia lebih dulu mengawasi sekitar melalui lantai dua.

“Harusnya begitu. Kita hanya perlu sedikit dorongan lagi,” kata Jayden yang menikmati minumannya. “Emma, Davina, Finley, Nissa, siapkan tugas kalian.”

“Siap,” jawab keempatnya hampir bersamaan.

“Semua petugas keamanan hanya menggunakan senjata pedang,” kata Naomi. “Kurasa setelah pengamanan ala bandara di pintu masuk aula, mereka cukup yakin tidak ada hal berbahaya dari para tamu. Tapi tetap hati-hati. Kita tidak tahu apakah mereka menyembunyikan senjata lain di luar penglihatan,” pesannya.

“Dimengerti,” jawab mereka.

Dengan hasil pengamatan Naomi dan situasi masing-masing, kesembilan sosok itu tetap bergerak dalam skala tugas mereka.

“Selena dan Laura, dari penjahit Golden String,” Selena memperkenalkan diri pada pengawal yang menahan Jayden sebelumnya.

Sama seperti Jayden, pengawal itu juga memeriksa identitas mereka.

“Bicara tentang identitas, kenapa wajah bersinku masuk ke deretan foto utama?” protes Jayden yang sempat terkejut dengan gambar itu saat si pengawal memperlihatkan identitasnya tadi. “Laura, Finley?”

“Jangan salahkan aku. Tugasku hanya membuat identitasmu. Davina yang memilih fotonya,” sahut Finley tidak ingin disalahkan.

“Ehem—setuju,” deham Laura yang menjawab diam-diam di belakang Selena.

“Menurutku itu bagus. Lebih terlihat natural!” Davina membela pendapatnya.

“Aku setuju,” Emma mendukung.

“Aku juga setuju,” tambah Nissa.

Jayden menghela nafas, sudah tidak bisa berkomentar lagi. “Lain kali, aku akan ikut memilih fotoku,” ucapnya. “Alvin, bagaimana keadaanmu?”

“Aku sibuk! Tapi aku mendengarkan kalian semua. Jangan khawatir,” jawab Alvin cepat.

“Baiklah. Kalian berempat, segera bersiap. Selena dan Laura sudah dibolehkan melangkah,” Jayden memberikan gambaran situasi.

“Kami sudah siap,” kata Davina.

“Kami sedang melaksanakannya,” tambah Nissa yang juga mewakili Finley.

“Yang Mulia Raja Phillips,” sapa Selena sambil membungkuk, begitupun dengan Laura di belakangnya. “Kami dari penjahit Golden String ingin memberikan hadiah untuk Anda.”

“Kalian? Memberi hadiah padaku?” wajah Sang Raja terlihat ragu dengan tas yang dibawa Laura.

“Ini adalah rasa terima kasih kami atas kerja keras Anda selama ini,” Selena berkata penuh penghormatan. “Izinkan kami memperlihatkan hadiah untuk Anda, Yang Mulia.”

Raja Phillips memandang keduanya, mempertimbangkan sejenak. “Baiklah. Perlihatkan.”

Laura dengan sopan berdiri di samping Selena, lalu membuka sebuah kotak besar yang ia bawa. “Ini adalah jubah kebesaran sang Raja. Kami menjahitnya dengan bulu beruang asli dan beludru kualitas terbaik. Sebagai tambahan, kami juga menambahkan fosfor dalam seratnya, sehingga Anda akan terlihat bersinar saat cahaya sekitar menghilang.”

“Dalam arti lain, menyala dalam gelap?” sang Raja memastikan.

“Benar, Yang Mulia,” Laura mengangguk sopan. “Jika Anda bersedia mencobanya, saya bisa memperbaiki ukurannya agar pas hanya pada badan Anda,” ia menawarkan.

Raja Phillips terlihat berbinar melihat jubah yang terlipat rapi dalam kotak hadiah itu. warna merah elegan dan juga kelebihan lain cukup membuatnya tergiur. “Baiklah. Mari kita coba,” ucapnya. Tidak sulit untuk memutuskan mencobanya, terlebih beliau tahu jika setiap benda yang masuk pasti sudah diperiksa.

Laura kembali mengangguk sopan. “Izinkan saya, Yang Mulia,” ia mulai maju. Dibantu Selena, mereka berdua memakaikan jubah megah itu pada sang Raja. “Sepertinya sedikit kebesaran di beberapa sisi. Izinkan saya memperbaikinya, Yang Mulia.”

“Lakukan yang terbaik,” perintah pemilik singgasana itu.

“Suatu kehormatan bagi kami,” jawab Laura sebelum mengambil alat jahitnya.

Selena dengan cekatan membantunya, mengepas dan menandai beberapa sisi yang perlu perbaikan.

“Orang-orang terlihat mengagumi jubah itu. Lanjutkan,” kata Naomi dari pengamatannya.

“Kulit Anda terlihat bagus Yang Mulia. Tapi sedikit kering. Apakah Anda baik-baik saja? Apakah jadwal makan Anda kurang teratur?” tanya Selena. “Maaf, jika saya kurang sopan. Tapi saya juga biasa melihat keadaan para klien saat mengukur badan mereka.”

“Kau bukan orang pertama yang mengatakannya. Sepertinya wargaku sangat memperhatikan Raja-nya, ya,” beliau menyeringai.

“Dengan segala hormat, Yang Mulia, Anda pemimpin terbaik kami,” kata Selena penuh kesopanan.

“Hahaha! Kau membuatku sangat tersanjung, Nona Selena.”

“Suatu kehormatan bagi saya,” jawab Selena.

“Sepertinya Anda perlu sesuatu untuk dimakan, Yang Mulia,” Laura turut berkomentar. “Maaf, jika melewati batas, saya melihat beberapa garis kerutan. Kebanyakan klien kami mengalaminya karena makan yang kurang teratur.”

“Begitu, ya?” beliau terlihat mempertimbangkan ucapan keduanya. “Hei! Antarkan roti gandum segar dan buah-buahan untukku,” pintanya pada salah seorang pengawal di dekatnya.

“Siap, Yang Mulia!” sang pengawal langsung pergi melaksanakan tugasnya.

“Dapat!” Jayden bersemangat.

“Finley, Nissa, bagaimana dengan kalian?” tanya Naomi yang tidak melihat keduanya.

“Sedang kami lakukan sekarang,” jawab Nissa.

“Oke. Sepertinya giliran tugasku juga,” kata Naomi yang meninggalkan tempat pengawasannya.

Nissa menuju ke Finley yang berdiri beberapa langkah darinya. “Bagaimana?” tanyanya pada rekan satu tugasnya itu.

“Satu petugas itu lebih aman untuk aksi kita,” Finley menunjuk seorang petugas keamanan yang berdiri, sedikit jauh dari petugas lainnya.

“Baiklah. Aku hanya mengajaknya, selebihnya kau yang atur.”

“Tentu saja.”

Nissa merapikan bajunya, lalu mulai melangkah ke target mereka. “Pak,” panggilnya lirih. “Maaf, tapi bisa minta tolong? Teman saya,..” ia ketakutan, terisak, “maaf, bisa tolong teman saya? Tapi rahasiakan ini. Demi nama baik keluarganya,” wajahnya memelas dan memohon.

“Nona, jika situasi sangat gawat, sebaiknya—“

“Saya hanya meminta tolong pada Anda, Pak. Saya rasa, Anda bisa dipercaya dan menolong saya,” potong Nissa, masih dengan wajah memelas. “Saya akan berikan uang tutup mulut berapapun. Saya mohon, bantu saya,” ia mulai mendesak penuh isakan.

Sang petugas itu melihat sekitar, mempertimbangkan dengan cepat. “Baiklah. Tapi saya tidak bisa terlalu lama.”

“Tentu saja,” sahut Nissa, langsung mengarahkannya.

Petugas itu mengikuti langkah Nissa, di pinggiran aula, menuju ke salah satu sisi arah toilet.

“Makanan sang Raja mulai di siapkan di nampan,” kata Emma.

“Nissa, Finley, segera siapkan pengalihan perhatian!” kata Jayden.

“Perjalanan,” bisik Nissa yang mendekati area toilet, terlepas dari pengawasan petugas lain.

“Fin, Nissa mulai mendekati toilet. Cepat beraksi!” kata Jayden yang menjadi mata pengawas jarak jauh.

“Sebentar lagi,” kata Finley.

“Tidak ada waktu lagi! Finley! Pingsan!” instruksi Jayden.

Bruk!

“Ou,” Naomi yang baru datang mendapati aksi mereka. “Aku harus membuatnya terlihat pucat?”

“Sekarat,” koreksi Jayden. “Kalian sudah melakukannya?”

“Mudah saja,” kata Naomi. Ia memberikan sedikit olesan make up, membuat wajah yang ia rias pucat pasi nyaris terlihat tak bernyawa. “Oke, tugasku selesai. Aku akan kembali ke menara pengawas,” ucapnya yang langsung pergi meninggalkan mereka dan kembali ke pos jaganya di lantai dua bersama Jayden.

“Sekarang kau harus menyeretnya keluar toilet,” kata Nissa pada rekan di sebelahnya.

“Aku?” Finley memandang protes.

“Kau yang membuatnya pingsan!” Nissa balik memprotes. “Sudahlah. Seret saja. waktu kita tidak banyak,” lanjutnya sambil menuju ke pintu dan mengawasi sekitar.

Sedangkan Finley tidak dapat membantah lebih jauh. Ia menyeret petugas yang pingsan itu ke luar toilet.

“Sekarang atau tidak sama sekali,” Jayden mendesak keduanya.

Finley mengatur posisi petugas itu agar terlihat jatuh sempurna. “Selesai. Sekarang giliranmu.”

“Aku tahu,” Nissa menepuk wajah, mengatur ekspresinya, bersiap dengan aksi mereka selanjutnya. Ia berdeham beberapa kali, menata suara.

Finley segera beranjak, menyelinap di tepi ruangan sebelum rekannya beraksi.

“Aaaaa!!! Tolong!! Tolong!!” Nissa mulai berteriak dengan suara kecilnya.

Seketika, semua orang yang berpesta menoleh ke sumber teriakan. Bahkan orang-orang yang berada di seberang, turut penasaran karena teriakan Nissa menggema di seluruh ruangan.

“Pak, tolong dia! Petugas itu tiba-tiba pingsan. Dan wajahnya sangat pucat! Saya khawatir terjadi sesuatu padanya,” ucap Nissa cepat, penuh khawatir, simpati, dan drama.

Sejumlah orang yang berkerumun memperhatikan, turut khawatir, meski sebagian lain langsung mengabaikannya.

Beberapa petugas langsung menolong rekannya itu, menggotongnya menjauh dari area pesta.

“Tidak apa. Kami pastikan semua baik-baik saja,” salah seorang petugas keamanan menenangkan keadaan para tamu undangan pesta.

“Apakah dia baik-baik saja, Pak? Saya merasa kasihan dengannya,” Nissa masih memasang wajah khawatirnya yang dalam.

“Kami akan pastikan dia mendapat perawatan dengan baik, Nona. Tidak perlu khawatir,” si petugas di dekat Nissa menjawab.

“Baiklah,” Nissa menghela nafas lega.

“Silahkan kembali menikmati pesta Anda, Nona. Kami pastikan semua akan baik-baik saja,” petugas itu kembali memberikan jaminan.

Nissa mengangguk, lalu berbalik badan, mulai berbaur lagi dengan orang-orang yang sudah lebih dulu kembali menikmati pesta mereka.

“Astaga,” Jayden menghela nafas, melihat bagaimana aksi keduanya.

“Mereka berhasil. Tenang saja,” kata Naomi yang sudah kembali ke samping ketua kelompok mereka itu. “Bagaimana dengan Emma dan Davina?”

“Lancar,” jawab kedua pemilik nama itu serempak.

“Makanannya sudah tiba,” tambah Emma.

“Baik. Lanjutkan,” kata Jayden, kembali fokus pada tugasnya.

“Yang Mulia, roti gandum dan buah Anda,” kata seorang pelayan, yang juga mewakili satu rekan di belakangnya.

“Terima kasih,” Sang Raja mengambil roti yang masih hangat itu. “Kuharap kalian tidak keberatan jika aku makan sambil membenahi jubahku.”

“Sama sekali tidak masalah, Yang Mulia,” jawab Laura. “Sebentar lagi saya akan selesai. Anda dapat menikmati makanan Anda tanpa menghiraukan kami.”

“Benar-benar profesional,” kata Raja Phillips yang telah menghabiskan setengah rotinya. Kemudian beliau beralih ke irisan buah segar dan menikmatinya.

“Entah karena ingin menjaga ketenangan para tamu undangan atau beliau tidak peduli, pemimpin kerajaan itu nampak tidak menghiraukan keributan yang dibuat Nissa,” komentar Naomi datar pada sikap sang Raja.

“Atau mungkin keduanya,” Emma menanggapi ringan.

“Itu tidak menutup kemungkinan,” Davina sependapat.

“Apapun itu, tidak ada pengaruhnya dengan misi kita,” Jayden menengahi. “Baiklah. Sepertinya aksi kita sudah mulai selesai. Aku akan menghampiri singgasana lagi,” ia berdiri, mulai melangkah sesuai ucapannya.

“Jayden dalam perjalanan. Laura, bagaimana?” Naomi mengambil alih pengawasan.

“Selesai,” kata Laura yang juga pada sang Raja. “Sudah sesuai dengan ukuran Anda, Yang Mulia,” ia tersenyum memandang karya di badan sang penguasa itu.

Raja Phillips meletakkan santapannya, mengelap tangan dengan sapu tangan yang disediakan pelayannya, lalu berdiri untuk melihat reaksi para tamu undangan.

Seluruh tamu pesta langsung memandang sang Raja, berdecak kagum dengan penampilan beliau. Mata berbinar mereka tertuju ke arah singgasana, memberi dukungan baik pada tampilan baru sang Raja.

“Hahahaha! Hadiah kalian sangat menakjubkan!” komentar sang Raja pada Laura dan Selena. “Aku terkesan!”

“Suatu kehormatan, Yang Mulia,” Laura membungkuk, penuh rasa hormat.

Raja Phillips kembali duduk, menikmati tatapan terpukau para tamu sambil menikmati makanannya. Wajahnya penuh keangkuhan, seakan tidak ada yang dapat menyamai derajatnya.

Blam! Tiba-tiba suasana menjadi gelap gulita. Aula yang semula terang penuh cahaya lampu kini seakan lenyap tak bersisa. Para tamu mulai panik dan bertanya-tanya pada sekitar, sekaligus cemas akan keselamatan diri sendiri.

“Tenang semua!” teriak salah seorang petugas mencoba meredakankan situasi yang perlahan kacau.

Tindakan petugas itu diikuti oleh rekan-rekannya, saling menenangkan para tamu kehormatan.

“Lindungi Sang Raja!” teriak petugas lain yang terdengar dekat dengan kursi sang Raja.

Belum sampai mereka bergerak lebih jauh, sebuah lampu sorot menyinari arah singgasana. Atau lebih tepatnya tengah panggung, sedikit di sisi kanan tahta sang Raja. Lampu itu mengarah tepat pada seseorang yang berdiri dengan mahkota sang Raja.

“Selamat malam, Tuan dan Nyonya sekalian!” sapa pria yang menjadi sorotan utama cahaya lampu itu.

Serentak perhatian semua orang tertuju pada sumber suara. Terlebih karena mahkota kebanggaan sang Raja sudah berpindah kepala.

“Perkenalkan, saya Jayden, perwakilan dari rekan-rekan pencuri mahkota,” Jayden dengan bangga memperkenalkan diri, meski kata ‘pencuri’ menjadi poin utamanya. “Jangan ada yang bergerak sedikitpun atau Raja kalian akan menjadi korbannya,” ancamnya.

Kini pandangan mereka beralih ke sang Raja yang terduduk tak berkutik dengan sebuah pedang menyilang di badannya. Tak lama kemudian, perhatian kembali ke Jayden dalam sorotan lampu yang telah diatur oleh Alvin.

“Anda sebaiknya tidak mencoba beraksi, Yang Mulia. Meski cahaya ke kursi Anda hanya remang-remang, tapi dengan jubah menyala Anda, rekan saya tidak akan meleset melukai badan Anda,” ujar Jayden penuh kuasa. “Seharusnya Anda berhati-hati dengan menjadi pusat perhatian dalam gelap.”

“Kau!” geram Raja Phillips.

“Percuma. Anda juga kesulitan bergerak,” kata Selena yang mengatahui keadaan sang Raja. “Roti dan camilan Anda barusan sudah diberi obat pelumpuh dosis ringan oleh rekan kami yang lain. Anda akan baik-baik saja setelah satu jam nanti. Tapi untuk sekarang, Anda hanya bisa duduk diam di sana.”

"Mungkin 2 jam," koreksi Emma cepat melalui alat komunikasi mereka.

"Ya, karena kita memberikan beberapa semprot untuk memastikan khasiatnya," lanjut Davina.

Dengan kompak keduanya memukulkan kotak semprot saku berisi obat yang dimaksud seakan bersulang akan aksi mereka.

“Mungkin dua jam,” Selena akhirnya mengatakan penjelasan keduanya. “Yang jelas, Anda tidak bisa bergerak sekarang,” ia segera menekan poin utamanya.

“Dan jangan mencoba memerintahkan apapun,” tambah Laura.

Jayden menjentikkan jarinya.

Seketika, sejumlah laser mengarah pada para penjaga Raja—terutama pengawal terdekatnya—sebagai penjelas maksud Laura barusan. Lebih tepatnya 8 sinar laser. Ini cukup membuat suasana menjadi lebih tegang dan mengunci pergerakan para keamanan pemimpin itu.

“Bidikan laser itu bisa berpindah dari pengawal Anda ke tamu undangan. Jadi, bertindaklah dengan bijak, Yang Mulia,” Selena menguatkan posisi mereka.

Seketika, para tamu terlihat waspada, khawatir, dan takut mendengar kalimat Selena.

“Jika Anda masih nekat, saya ingatkan, rekan kami ini tidak akan ragu untuk melukai Anda hingga sekarat,” lanjut Laura, menambah ancamannya.

Rekan yang mereka maksud itu menekan sedikit pedangnya. “Jika Anda macam-macam, saya pastikan masa depan Anda akan berakhir.”

“Fin,” tegur Jayden.

“Mengerikan, Fin,” sambung Alvin.

“Astaga, Finley,” Selena memiringkan kepalanya.

“Lehernya putus. Dia tidak akan punya masa depan jika lehernya putus, kan?” jelas Finley menanggapi ketiganya.

“Benar juga, sih,” Naomi lebih dulu memberi tanggapan dari penjelasan Finley.

“Lanjutkan!” Emma mengembalikan situasi utama mereka.

“Ehem,” Jayden kembali menghadap ke depan, ke arah para undangan. “Seperti yang saya katakan tadi, kami adalah pencuri mahkota. Tapi bukan berarti kami tidak ingin mengembalikannya!”

Gemuruh bisikan terdengar dari para tamu, di tengah cahaya remang-remang aula pesta kerajaan.

“Kami akan berikan kesepakatan. Mahkota ini ditukar dengan 5% harta kerajaan,” Jayden membuka negosiasi.

“Ini perampokan!” sahut Raja Phillips.

“Memang,” Finley membenarkan ucapan sang Raja.

“Perbaiki nadamu, Fin,” tegur Selena.

Pandangan datar Finley membalas komentar rekannya itu.

“Pikirkan, Yang Mulia. Sebagian harta demi mahkota, keselamatan para tamu undangan, kekuasaan Anda, atau—“ Jayden mengedikkan bahu santai, “—kami ambil alih seluruh kerajaan,” ia menyamankan posisi mahkota di kepalanya untuk memperjelas maksud penuturannya.

Wajah Raja Phillips menegang, geram dengan permainan yang terpaksa ia ikuti ini. “Ini gila! Kita tidak akan bernegosiasi dengan para perampok!”

“Itu terserah Anda,” balas Jayden.

Perlahan, setengah bidikan laser mengarah ke para tamu. Serentak, teriakan panik terdengar, menggema dalam aula gelap, membuat suasana lebih mencekam. Beberapa langsung meminta agar sang Raja menerima permintaan Jayden, demi keselamatan mereka.

“Bagi para tamu yang berkorban demi awal kekuasaan baru, saya ucapkan terima kasih yang terdalam atas peran Anda. Saya pastikan untuk memanfaatkan warisan Anda sebaik mungkin,” Jayden menatap angkuh barisan wajah para tamu undangan.

Teriakan peserta pesta itu kembali menggema, mendesak sang pemimpin untuk segera menyelesaikan situasi. Tidak peduli dengan situasi sekitar ataupun dampak kerajaan kedepannya, mereka hanya berpikir demi keselamatan diri. Raut ketakutan dan keserakahan yang menyatu dalam satu pancaran.

“Saya hitung mundur sampai nol, sebagai tanda peralihan kekuasaan Anda kepada saya,” Jayden kembali menguasai negosiasi. “Lima.”

Para tamu semakin keras memohon pada sang Raja, lebih banyak dari sebelumnya. Terlebih laser-laser itu bergerak di sekitar mereka tanpa pandang bulu siapa yang menjadi sasarannya.

“Empat,” Jayden melanjutkan hitungannya.

“Kalian tidak bisa melakukannya!” teriak sang Raja yang masih tak dapat bergerak.

Jayden tidak terpengaruh dengan seruan sang pemimpin itu. “Tiga.”

“Jangan panik! Ini hanya ancaman kosong!” Raja itu masih mencoba menghindari tawaran Jayden.

Dar! Dar! Dar! Tiba lampu di salah satu sisi aula meledak berurutan.

Gema teriakan terhenti sejenak, terkejut dengan apa yang terjadi, sekaligus menjadi penegas ancaman sang perebut mahkota di hadapan mereka.

“Dua,” Jayden kembali menghitung, tak membiarkan keheningan berlangsung lama.

Kepanikan semakin menjadi, teriakan para tamu saling bersautan.

“Satu.”

“Baiklah! Kita sepakat!” teriak Sang Raja, akhirnya menyerah. “Saya akan berikan 5% harta kerajaan ini pada kalian. Tolong lepaskan ancaman para tamu!”

Jayden tersenyum mendengarnya. Dengan satu jentikan jari, laser-laser yang mengarah pada para undangan kembali ke para pengawal yang sudah bergerak lebih dekat di tengah kepanikan tadi. “Seperti yang kami dengar dari kerajaan tetangga, Anda selalu mempertimbangkan rakyat lebih dulu dibanding apapun.”

“Sudah cukup! Hentikan semuanya!” geram Raja Phillips.

“Kalau begitu, siapkan pertukarannya,” Selena mengambil alih, melanjutkan rencana mereka.

Pandangan Raja Phillips mengarah ke salah satu pengawalnya, lalu mengangguk memberi isyarat.

Pengawal itu balas mengangguk dan segera mengambil sebuah koper tersembunyi di balik salah satu pilar singgasana. Tak lama kemudian, ia kembali dengan sebuah pena dan buku cek.

“Bagi menjadi 10. Jumlah itu akan terlihat wajar dalam transaksi Anda, sekaligus untuk menyamarkan jejak kami,” Selena memberi arahan.

Sang Raja kembali mengangguk, membiarkan pengawalnya melakukan apa yang diminta pengancamnya itu. Tak lama kemudian sang pengawal memberikan pena padanya agar beliau memberi tanda tangan pada 10 lembar cek itu.

Sang pengawal memberikan tebusan itu pada Selena yang sudah menunggu dengan tatapan lebih lekat dari mata Jayden.

Dengan cepat, Selena memeriksa cek yang ia dapat, memastikan semua asli dan tanpa jejak. Lalu ia mengangguk, memberi tanda selesainya negosiasi mereka.

Jayden melangkah menuju ke kursi sang Raja, diikuti oleh sorotan lampu yang semakin jelas memperlihatkan wajah—dan ancaman—sang Raja. “Terima kasih atas kerjasama Anda, Yang Mulia. Dengan ini, kami pamit,” ia mengembalikan mahkota ke kepala pemimpin itu.

Blam! Seketika, suasana gelap gulita untuk yang kedua kalinya. Tiga puluh detik kemudian, lampu utama dan seluruh lampu aula menyala, kecuali tiga lampu yang meledak di tengah negosiasi tadi. Semua orang mengerjapkan mata, menerima cahaya terang yang tiba-tiba itu. Setelah beberapa saat, mereka memandang ke sang Raja yang sudah mengenakan mahkotanya kembali dan memberi tepuk tangan atas keputusan beliau. Terlihat wajah lega, bangga, bahagia, dari mereka. Sang Raja sendiri tersenyum, mengangguk, mencoba merendah di hadapan para undangan.

Di tengah tepuk tangan itu, sebuah limosin meninggalkan area kerajaan. Kendaraan itu melaju tanpa hambatan mengingat para penjaga sedang fokus di sekitar aula. Mereka lolos dengan mudah karena mengetahui rute yang harus dilalui. Namun di balik itu semua, tentu ada campur tangan pihak yang memastikan semua berjalan lancar.

“Bersulang!” Nissa memimpin sorakan mereka. “Ternyata semudah ini.”

“Wajar, kan? Karena Sang Raja sendiri yang memintanya,” kata Selena sembari mengipaskan cek yang mereka dapat.

“Demi mengangkat citra baik yang tercemar karena skandal asmaranya, beliau meminta kita untuk menjadi pengancamnya. Semua bertujuan hanya agar beliau terlihat baik dan merakyat di hadapan para warganya,” jelas Laura.

“Setidaknya semua bayaran itu menutupi semua properti yang kita pakai,” kata Alvin yang duduk di samping kemudi.

“Kau juga mengatasi CCTV-nya?” Jayden memastikan.

“Semua kamera tidak berfungsi sejak pemadaman lampu pertama. Pengalih sinyal juga sudah berfungsi sebelum itu. Meski ada yang mencoba merekam aksi kalian di atas panggung, minimnya cahaya akan mengaburkan wajah kalian. Sama seperti apa yang mata mereka lihat secara langsung, tampang kalian sepenuhnya tertutup oleh bayang-bayang,” ujar Alvin.

“Sesusai perkiraan. Ini akan nampak seperti perbuatan kriminal kelas kakap,” Jayden menimpali.

“Bahkan obat yang kita gunakan juga asli. Jika diperiksa, maka aksi kita akan semakin terlihat nyata dan sang Raja mendapat lebih banyak simpati dari rakyatnya. Mengesankan,” ujar Emma.

“Sebenarnya, aku sempat khawatir pada para penjaganya,” Naomi mengerutkan kening. “Mereka tentu bisa bergerak sendiri dan menargetkan salah satu dari empat orang di area singgasana.”

“Untuk masalah itu, kau tidak perlu khawatir,” sahut Davina. “Emma sudah berinisiatif untuk mencegahnya.”

Pandangan mereka—kecuali Jayden yang menyetir—mengarah pada Emma, meminta penjelasan lebih lanjut.

“Aku sempat menyemprotkan obat pada para penjaga sekitar singgasana. Memang khasiatnya lebih lama dibanding dimakan langsung, tapi kalian lihat bagaimana mereka tadi kesulitan bergerak saat kita mengarahkan laser ke para tamu,” tutur Emma.

“Dia lebih lihai dari kelihatannya. Bahkan seperti melakukan semprotan parfum biasa tanpa mereka sadari efek sesungguhnya,” komentar Davina. “Dia melakukannya sebelum dan sesudah menargetkan makanan sang Raja, tugas utama kami.”

“Aksi yang bagus, Em!” puji Alvin.

“Inisiatif yang sangat baik, Em!” tambah Jayden.

“Terima kasih,” Emma tersenyum bangga.

“Mereka juga cukup terancam dengan laser ini,” Naomi menyeringai, mengangkat laser mainan yang mereka gunakan untuk mengancam seraya melancarkan negosiasi.

8 bidikan laser, 2 bidikan masing-masing dari Emma, Davina, dan Nissa yang bersembunyi di tepi aula, dalam bayang-bayang pilar. Sedangkan dua lain dari Naomi dan Alvin yang juga membagi fokus untuk tugas utama sebagai pengawas sekitar dan pengendali properti.

“Intinya, rencana dan aksi kita berhasil!” Davina menyimpulkan.

“Sukses besar!” tambah Nissa.

Mereka saling tertawa bangga, mendapati keberhasilan malam itu.

“Bicara tentang aksi,” Jayden menengahi. “Petugas keamanan yang dibawa Nissa tadi pingsan?” ia memastikan.

“Ya. Finley menghantam kepalanya hingga pingsan. Lalu Naomi dengan lihai membuatnya seperti sekarat,” Nissa membenarkan.

“Kenapa dia yang pingsan?” Jayden bertanya dengan nada yang lebih serius. “Fin?” ia mengarahkan ke pihak yang harus menjawabnya.

“Bukankah kau yang mengatakannya? Cari pengalih perhatian, pingsan. Petugas keamanan itu pingsan dan terlihat parah. Sesuai rencana,” ujar Finley polos.

“Astaga, Fin. Yang kumaksud pingsan,.. adalah dirimu!” kata Jayden kesal. “Kau yang seharusnya pingsan untuk mengecoh petugas keamanan itu!”

“Aku juga berpikir seperti itu,” kata Selena.

“Awalnya aku juga. Tapi karena rencana berjalan lancar, aku tidak keberatan,” Nissa mengangkat bahu santai.

“Kenapa aku harus pingsan?” protes Finley.

“Untuk menarik perhatian! Kau pingsan, Nissa mencari bantuan, lalu terkejut melihat keadaanmu, yang juga menjadi pengalihan fokus sekitar. Naomi yang panik membantu dirimu sekaligus membuatmu semakin pucat. Keadaan akan semakin mendesak agar tidak ada waktu bagi petugas itu berpikir lebih lama. Kau digotong oleh si petugas keamanan setelahnya. Saat petugas itu menenangkanmu, kau mencuri senjatanya dan diam-diam menyelinap ke dekat singgasana. Selanjutnya, seperti aksi kita tadi,” jelas Jayden cepat dengan nada yang sama. “Bukan membuat pingsan si petugas!”

Sejenak, semua terdiam, mendengar pemaparan ketua mereka itu.

“Itu ribet,” komentar Emma.

“Rumit,” tambah Davina.

“Cara Finley lebih praktis,” Laura turut sependapat.

“Aku tidak keberatan selama semua berjalan sesuai hasil,” Alvin mengabaikan perbedaan pendapat rekan-rekannya.

“Bahkan tidak ada yang menyadari saat Finley membawa senjata si petugas hingga menghunuskan ke badan sang Raja,” Naomi tak kalah tanggap. “Itu bukan masalah.”

Sedangkan Finley hanya menunjuk rekan-rekan yang secara tak langsung mendukung aksinya itu, isyarat bahwa ia tidak merasa salah.

“Sudahlah,” Jayden menghela nafas, tahu jika percuma untuk membahasnya. “Seharusnya—tidak,” ia mengoreksi ucapannya sendiri, “lain kali, perjelas rencanamu pada kami sebelum melaksanakannya. Dan aku juga harus memeriksa biodataku sebelum kalian unggah!” ia mengingat foto yang terpajang sebagai biodata palsunya tadi.

“Tapi itu bagus, kok!” komentar Davina menanggapi protes sang ketua.

“Sependapat,” Emma langsung menambahkan.

“Setuju,” Finley tak mau ketinggalan.

Dan beberapa yang lain mengikuti pendapat ketiganya.

“Astaga, kalian!” protes Jayden tanpa bisa mengelak atau bergerak dari kursi kemudinya.

Mereka hanya tertawa, selalu dapat memberi kejahilan pada sang ketua kelompok. Malam itu adalah waktu penuh kebahagiaan, seperti hari-hari aksi lain mereka yang berakhir dengan keberhasilan.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Novel
Gold
KKPK Menari di Pelangi
Mizan Publishing
Cerpen
Crown Thieves
FS Author
Novel
I'm a Writter, Not an Actress
meoteaas
Novel
JENDELA KACA
Meria Agustiana
Novel
Bronze
PSIKOSIS
Indah Nur Aini
Flash
Hanya Angin yang Datang
Sulistiyo Suparno
Novel
Gold
Perjalanan Mengalahkan Waktu
Mizan Publishing
Novel
Gold
The Magic Library
Mizan Publishing
Novel
Bronze
Tentangmu Ibu
Rosidawati
Flash
SUATU HARI NANTI
Neng Neng
Cerpen
Bronze
Cinta Gawat Darurat
Safitri
Novel
DUA JIWA
Masda Raimunda
Flash
RONI PULANG KAMPUNG
Sahrun Rojikin
Novel
Bronze
Cinta Yang Terenggut
Sofia Grace
Novel
- REDLINE -
Sf_Anastasia
Rekomendasi
Cerpen
Crown Thieves
FS Author
Novel
Remarkable 2: Special Bonus Prize
FS Author
Flash
Bronze
No Way Out
FS Author
Flash
Bronze
Sandaran
FS Author
Flash
Bronze
Revenge
FS Author
Novel
Remarkable
FS Author
Novel
Godwin Agency
FS Author
Skrip Film
Godwin Agency (script)
FS Author
Novel
Godwin Agency 2: Reunion
FS Author
Flash
Bronze
Genre
FS Author