Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
I
"Pagi ku cerah ku matahari bersinar. Ku gendong tas merah ku di pundak…"
Aku mengalunkan sepenggal lirik lagu anak-anak sembari memasukkan beberapa buku dan laptop ke tas hitam ku. Gak sesuai lagu, ya warna tasnya. Oke, gapapa.
Setelah beres berbenah diri dan segala macamnya, aku segera turun ke lantai dasar. Menemui mommy di ruang makan. Belum sampai sana saja aroma masakan mommy sudah tercium oleh hidungku. Masakannya seperti menguar ke mana-mana.
"Morning, Mom," sapaku.
"Morning too." Mommy membalas sapaanku di barengi senyum terindahnya.
Aku kemudian menarik kursi makan dan duduk dengan rapi.
"Kelihatannya mommy masak enak, nih."
"Betul sekali. Mommy masak pindang patin."
"Wah! My favorite food." Aku nampak bahagia mengetahuinya.
Setelah menyiapkan makanan, mommy lekas duduk di kursi makan. Seperti biasa kita hanya sarapan berdua saja. Ayah sudah berpulang ke Rahmatullah tiga tahun silam. Sedangkan, adik lelakiku memilih ngekos. Padahal dia masih kelas satu SMA. Alasannya, sih ingin mandiri.
Aku yakin itu bukan alasan utamanya. Meski, demikian mommy selalu menyempatkan waktu untuk mengunjungi sekaligus menengok Rafli, si anak bungsunya itu.
"Mommy hari ini mau ke tempat kos adikmu. Mumpung Sabtu libur dia. Sekalian mau ngajak ke pangkas rambut." Mommy lebih dulu mengawali topik pembicaraan.
"Napa dah tuh bocah. Males amat cukur rambut doang." Aku sedikit jengkel.
"Pas hari Jum'at ada razia. Dia kena hukum karena rambutnya gondrong sama kukunya panjang-panjang. Kayak gak pernah di urusin gitu sama orang tunya. Kan mommy jadi ngerasa gak becus jadi ibu," cerita mommy seraya mengupas kulit buah pir dengan pisau kecil.
"Mommy gak salah, kok. Selama ini mommy udah menjadi mommy yang terbaik buat aku sama Rafli. Dasar aja anaknya yang males parah," kejengkelanku pada adikku itu kian meningkat.
Pagi pagi udah bikin orang esmosi. Untung anaknya gak ada di sini.
"Gue geprek juga lu Rafli," batinku.
Pada suapan terakhir, ponselku bergetar di meja makan. Ku tengok beberapa detik, kemudian mengusap cepat ikon telepon.
"Lagi sarapan gue. Gak sabaran amat lu jadi manusia."
"Mana mungkin gue gak dateng. Tugas penting ini. Lagian gak ada gue gak bakalan kelar tuh makalah ampe gajah bisa naik motor juga."
"OTW gue. Udah, sih jangan rewel kek bayi."
Aku mengomeli Hilmi, kawan ku yang menyebalkan itu tepat di hadapan mommy. Meski begitu, mommy tidak menunjukkan ekspresi yang berarti. Wajah ayunya nampak tenang-tenang saja. Sudah hafal dengan sikap anaknya.
Klik!
Sambungan telepon langsung ku matikan tanpa persetujuan dari Hilmi.
"Mom, aku berangkat, ya," ucapku sembari mengenakan ransel.
"Egi, jangan emosian gitulah. Kasian kawanmu," tegur mommy, berniat baik.
"Habis ngeselin, Mom."
"Kontrol amarahmu."
"Iya," jawabku pelan.
"Oh, ya kamu mau minta berapa?" tanya mommy, bermaksud memberikanku uang saku. Maklum, aku masih anak kuliahan semester awal. Belum punya penghasilan sendiri.
"Masih ada, kok, Mom."
"Hm. Ya udah. Kalau kurang atau habis bilang aja."
"Oke," ujarku singkat. "Berangkat ya, Mom," sambungku, untuk kemudian menyalaminya.
"Hati-hati," pesan mommy.
Aku menyusul Hilmi ke kafe dengan kendaraan motor matic kesayanganku.
***
Kafe Sananta
"Harus, ya kita ngerjain tugas kuliah di kafe?" serangku tanpa basa basi.
"Iya. Biar keliatan keren gitu," balas Hilmi tertawa renyah.
"Buang-buang duit aja." Aku menggerutu.
"Gue denger, ya apa yang lu omong," kata Hilmi.
Aku tidak mengindahkannya. Lalu ku keluarkan laptop dari ransel.
Kafe Sananta adalah tempat nongkrong favorit anak-anak orkay alias orang kaya bin tajir. Otomatis harga makanan dan minuman yang tersedia sangat mahal.
Beberapa saat kemudian. Aku dan Hilmi melihat-lihat daftar menu.
"Njir, mahal amat. Roti panggang secuprit gini empat puluh ribu." Aku syok berat ketika mengetahuinya.
Wajar dong aku syok, karena aku bukan tipe orang yang demen nongkrong sana sini.
"Isiannya ada daging sama keju. Yang penting isinya. Bikin kenyang dan enak," oceh Hilmi.
"Udah, sih pesen aja. Banyak duit kan lu. Jangan kek orang syusyah, deh," lanjutnya seraya fokus matanya masih tertuju pada buku menu.
Pagiku mendadak mendung.
Sebagai kaum mendang-mending aku lebih memilih membeli roti bakar abang-abang pinggir jalan. Harga terjangkau. Satu box isinya pun banyak.
"Enteng bener tuh mulut ngomong." Aku merasa dongkol.
Hilmi menutup buku menu dan menatapku serius. "Bro, lu tau gak pengorbanan terbesar gue apa?" tanyanya.
Aku menggeleng malas.
"Gue sampe rela mecahin celengan ayam gue, demi bisa nongki di kafe ini," ungkap Hilmi yang menurutku tidaklah penting.
"Ya terus gue peduli gitu." Aku memasang muka bete.
"Besok-besok kalau mau ngerjain tugas bareng jangan di tempat kek gini lagi lah. Mending di rumah atau warung Mbak Anik yang deket kampus kita," omelku pada lelaki berambut keriting itu.
"Gak aestetok amat pilih tempat," balas Hilmi.
"Aestetik woi!" tegurku, berusaha sabar menghadapinya.
"Nah iya itu."
Ku akui dekorasi kafe ini sangat bagus, bikin nyaman nan sedap di pandang. Sepertinya si pemilik kafe memiliki jiwa seni tinggi.
"Yang penting itu tugas dari dosen beres sebelum DL."
"Iya gue tau. Tapi ngerjainnya juga di tempat yang bagus. Biar enak gitu."
"Pret lah."
Kami malah memperdebatkan sesuatu yang bisa di bilang sepele.
"Udah buruan pesen. Nih makalah kudu kelar hari ini juga," titahku pada Hilmi.
Semalam aku begadang sampai jam setengah dua dini hari demi merampungkan tugas dari dosen.
Hilmi tidak banyak membantu. Aku kasihan padanya karena anak lain tidak ada yang mau satu kelompok dengannya. Akhirnya aku mengajaknya menjadi partner tugas kelompok.
Singkat cerita, kami memesan makanan dan minuman. Ku lihat Hilmi memesan kue coklat yang di atasnya ada satu buah strawberry kecil.
Sebisa mungkin aku menghemat uang saku pemberian mommy.
Hilmi asyik memotret kudapan yang ia pesan. Di lanjut selfie selfie. Sedangkan, aku sibuk mengetik tugas di laptop.
"Lu mau sampe kapan jepret-jepretnya?" tanyaku dengan raut wajah kesal.
"Dua kali lagi. Soalnya nih foto mau gue post di Instagram sama status WA," jawab Hilmi sembari menentukan pose berikutnya.
"Norak banget," gumamku, nyaris tak terdengar.
"Lu mau ngetik gak, Mi?" tawarku, tak berapa lama.
"Mau lah. Kan, gue juga mau dapet nilai." Hilmi sadar diri.
Beberapa menit berlalu. Seusai sesi pemotretan Hilmi meminta tolong agar laptop milikku di hadapkan ke arahnya.
"Nih." Aku memenuhi permintaannya.
*****
Di sela-sela mengetik, Hilmi mengajakku berbincang. Hebat juga dia fokusnya bisa di bagi dua.
"Gi, gue ada cerita menyeramkan," katanya. Pandangan matanya masih tertuju ke layar laptop.
"Lagi males gue bahas gituan," tolakku sambil mengunyah roti panggang mehong. Kini, giliranku yang bersantai.
"Yee, dengerin dulu. Ini tuh kisah nyata yang di alami sendiri oleh sepupu gue sewaktu dia di rawat di rumah sakit ternama di daerah Bandung," papar Hilmi, sempat melirik beberapa detik kepadaku.
"Oke. Oke. Ceritain." Aku mengalah dan membiarkannya bercerita.
"Jadi gini ceritanya. Sepupu gue namanya Amira, dia di rawat tiga hari di RS karena sakit tipes. Lagian nyeblak mulu tiap hari. Di bilangin ortu ndableg. Akhirnya kena batunya," cerita Hilmi di iringi kekesalannya.
"Next," selaku, pura-pura antusias supaya Hilmi tidak ngambek.
"Pas tengah malem nyokapnya pergi mau cari nasi goreng yang mangkal depan RS. Ya akhirnya si Amira sendirian dong di kamar. Ada satu bed kosong di samping bed Amira," sambung Hilmi.
"Amira tiduran membelakangi. Dan gak lama dia dengar suara pintu kebuka. Di susul suara kedebuk kek orang jatuhin badannya ke kasur gitu loh."
Aku mengangguk-anggukkan kepala. "Hhmm begitu. Next."
"Amira pikir itu nyokapnya. Tapi anehnya kok gak ngucap salam atau apa. Main rebahan gitu aja."
"Terus. Terus."
"Ya udah Amira balik badan. Tapi posisi dia telentang."
"Wih hebat tidur sambil nelen tang," candaku, biar tidak tegang. Apalagi di dalam kafe masih terbilang sepi.
"Njir, sempet-sempetnya bercyanda lu, Hartanto," tutur Hilmi dengan muka agak bete.
"Haha. Lanjutlah, Surono," balasku dengan menyebut balik nama bapaknya Hilmi. Lagian siapa suruh bawa-bawa ortu.
"Hush! Malu gue, Njir. Gak aestetok amat nama bokap gue," bisik Hilmi, menahan malu.
"Lagian lu duluan yang mulai. Udah, ah lanjutin lagi ceritanya," pintaku, sepertinya aku mulai tertarik mendengar cerita yang di bawakan Hilmi.
"Lanjut, ya. Nah, posisi Amira tidur telentang, kan. Tiba-tiba dia merinding sekujur badan. Terus dia memberanikan diri melirik ke bed di sampingnya. Karena ngerasa janggal…"
Tiba-tiba saja Hilmi berhenti bicara. Ku tengok lelaki itu mengusap-usap belakang lehernya. Wah, mulai merinding nih hawa-hawanya. Tebakku.
"Gak usah di lanjut gapapa," ucapku santai. Karena aku sudah bisa menebak sendiri ending cerita tersebut.
"Gapapa, kok gapapa. Gue lanjut aja." Hilmi tampak memaksakan diri.
"Oke. Whatever," ujarku.
"Amira lihat sesuatu menyeramkan di bed samping. Sosok itu bukan ibunya, melainkan sosok berbalut kain kafan lusuh. Alias pocong." Hilmi meneruskan cerita. Ada rasa takut yang berusaha ia sembunyikan.
Aku memasang muka biasa saja.
"Pocong itu berbaring tapi badannya menghadap ke samping, tepat ke arah Amira yang juga lagi berbaring. Mana lampu ruangan tiba-tiba redup."
"Wow," ungkapku, takjub bukan main.
"Amira gak bisa berkutik. Mau nangis pun kayak susah banget. Mau jalan ya gak bisa juga. Akhirnya ya udah dia pasrah aja sambil baca-baca doa dalam hati. Berharap tuh demit buruan lenyap dari ruangan."
"Hhmm."
"Tapi untungnya momen menegangkan itu gak berlangsung lama. Tuh poci ngilang. Gak lama dari itu nyokapnya Amira dateng."
"Alhamdulillah." Aku mengucap syukur.
"Setelah kejadian itu, Amira merengek minta pulang. Tapi kata dokter belum boleh. Ya udah jalan tengahnya pindah kamar. Kejadian horor malam itu menjadi yang pertama dan selamanya akan membekas dalam ingatan Amira. Selesai."
Hilmi berhasil mengkhatamkan cerita horor sepupunya.
"Merinding gue, Njir," ungkapnya sesaat kemudian.
"Lagian siapa suruh cerita-cerita horor," tegurku secara baik-baik.
"Lah, daripada gibahin orang," jawaban yang jitu.
"Iya, sih." Aku membenarkan perkataannya.
Satu jam berlalu. Suasana kafe mulai ramai. Untungnya tugas makalah kami sudah beres.
"Gi, lu abis dari sini mau ke mana?" tanya Hilmi, lalu buru-buru meneguk habis milkshake miliknya.
"Mau ada perlu gue," jawabku singkat.
"Oh."
Setelah melakukan pembayaran kami keluar kafe. Lalu kami berpisah. Karena arah tujuan aku dan Hilmi berlawanan. Aku tidak tanya lelaki itu mau ke mana. Ah, biarlah.
***
II
Sekitar jam setengah sepuluh aku tiba di kediaman Mas Dani. Lelaki jangkung berkumis tipis itu adalah senior di kampusku.
"Ibu sama bapak mas ke mana?" tanyaku berbasa-basi.
"Lagi ke luar kota. Ada perlu. Biasalah orang sibuk," jawab Mas Dani sembari menaruh kaleng minuman dingin di meja ruang tamu.
"Wah, seger, nih," ungkapku. Tenggorokanku meronta-ronta.
"Minum aja."
"Oke. Saya minum ya, Mas." Ku raih kaleng minuman itu lalu meneguknya cepat. Sungguh nikmat nan menyegarkan tenggorokan.
"Mau langsung aja atau nanti?" tanya Mas Dani to the point.
"Langsung aja, deh," balasku.
Maksud kedatanganku ke rumah Mas Dani hendak belajar cara budidaya ikan lele. Aku mau seperti seniorku ini. Jadi pebisnis ternak ikan. Kalau bisa, sih lobster juga. Hehe.
"Yuk," ajak Mas Dani mulai berdiri dari duduknya.
Kami menuju belakang rumah. Ternyata luas juga. Lebih tepatnya belakang rumah berupa lahan kosong.
"Sebenernya bisa buat nanem-nanem apa aja di sini. Tapi gue gak minat. Lebih minat ternak lele," terang Mas Dani.
"Ortu juga sibuk terus di luar. Gak ada waktulah mikirin mau nanem pohon apa," sambungnya.
"Oh gitu ya, Mas," responku singkat.
Di tempat itu Mas Dani membuat kolam lele dari terpal. Masih seadanya. Karena baru merintis, jadi ukuran kolamnya belum begitu besar. Yang ku lihat ada dua kolam di sana.
"Nanti kalau udah gede-gede lelenya bisa di jual. Dapet cuan, dah," ucap Mas Dani.
"Selain lele, mau ternak ikan apalagi, Mas?" tanyaku seraya mengamati lele-lele di dalam sana.
"Rencana, sih maunya nila sama gurame."
"Wih, mantep. Kesukaan saya itu, Mas," kataku, membalas obrolan.
"Makanya ternak sendiri. Bisa makan sepuasnya," sahut Mas Dani di sertai tawa kecil.
"Betul, tuh," timpalku, setuju.
Setelah percakapan tadi aku dan Mas Dani mengamati pergerakan para lele yang terkesan aktif lagi agresif.
Tak cuma melihat-lihat, Mas Dani juga menjabarkan cara budidaya ikan lele bagi pemula sepertiku.
"Step-stepnya begini, Gi," ucap Mas Dani tanpa bertele-tele.
Cepat cepat ku keluarkan ponsel pintar milikku. Guna mengetik poin-poin penting yang di sebutkan oleh Mas Dani.
****
Ada banyak hal yang ku pelajari dari Mas Dani. Ah, beruntungnya punya senior sebaik dan sepintar pria itu.
"Kuncinya telaten biar hasil yang di dapat maksimal," ucap Mas Dani, usai menjelaskan.
Kriingg!!!
Ponsel Mas Dani berdering dari balik saku celananya. Pria itu menerima panggilan tersebut.
Iya, Lih. Ada apa?
Oh. Bisa-bisa. Lagi gak sibuk juga gue.
Oh, ya anak-anak pada iku? Gak seru, kan berdua doang.
Oke, deh. Nanti siang ya. Kumpul di rumah gue.
Ya udah. Wassalamu'alaikum.
Selagi Mas Dani mengangkat panggilan, aku mengamati lagi para ikan lele itu.
Ku lirik sebentar ke arah Mas Dani yang tengah memasukkan kembali ponselnya ke sakunya.
"Udahan, Mas telponannya?" tanyaku.
"Iya," jawab Mas Dani.
"Dari temen mas ya?" tanyaku lagi, sok deket.
"Iya. Namanya Galih. Satu kampus juga sama kita."
"Mmm.. gitu."
"Dia telfon gue mau ngajakin nonton di bioskop. Sekalian having fun."
"Di traktir nih mas ceritanya?"
"Iya. Kebanyakan duit dia jadi bingung mau ngehamburinnya." Mas Dani sedikit tertawa.
"Iya, ya, Mas," ujarku singkat.
"Eh, lu ikut aja, Gi. Lagian kita rame-rame, kok."
"Gak, ah, Mas. Malu saya ngumpul bareng senior," tolakku.
"Alah pake malu segala. Kayak sama siapa aja lu. Udah ikut aja. Temen-temen gue pada bae-bae. Gak akan macem-macemin lu," tutur Mas Dani masih berusaha membujukku supaya ikut serta.
Aku kebingungan. "Gimana, ya?"
"Buang jauh-jauh tuh rasa malu. Lu harusnya banyakin bergaul sama kating biar tambah relasi. Tambah luas lingkar pertemanannya. Siapa tahu suatu hari nanti mereka bisa bantu lu di saat lu lagi butuh pekerjaan atau hal lainnya," terang Mas Dani.
"Dan satu lagi. Terhindar dari yang namanya bullying," sambungnya.
Wah, bawa-bawa bullying. Ini sih yang paling di takuti dan di hindari para junior.
Aku tercenung. Memikirkan baik-baik ucapan Mas Dani.
"Udah yuk ikut aja. Daripada di rumah boring, gak ada kegiatan."
Betul juga kata Mas Dani. Lagipula tugas dari dosen sudah ku rampungkan. Dan lagi tidak ada yang di kerjakan.
"Oke deh mas saya ikut." Aku mengutarakan jawaban pasti.
"Nah, gitu, dong." Mas Dani nampak gembira.
Aku cuma senyum-senyum.
*****
III
Total ada tujuh orang yang ikut, termasuk diriku yang junior sendiri. Aku berkenalan serta beramah tamah dengan mereka. Mereka menyambutku dengan baik.
Kami semua berkumpul di rumah Mas Dani atas permintaannya. Mas Galih bawa kendaraan mobil punya bapaknya.
"Yuk buruan naik," suruh Mas Galih.
Kami berangkat tepat pukul dua siang. Singkat cerita, tibalah kami di mall ternama di Jakarta. Lalu kami menuju lantai atas tempat gedung bioskop berada.
"Mas, memang kita mau nonton film apa?" tanyaku pada Mas Dani. Sembari jalan, kita berdua ngobrol.
"Film horor," balas Mas Dani. Berani, kan lu ?" tanyanya.
"Tergantung, sih. Kalo film nya serem kebangetan, ya saya takut mas."
"Kayaknya, sih gak begitu horor. Lagian ini film horor Indonesia, kok." Mas Dani terlihat santai.
Ku tebak sepertinya Mas Dani sudah terbiasa nonton horor.
"Kan, karena Mas Dani suka horor."
"Emang lu gak suka genre horor?"
"Suka. Tapi gak suka-suka banget."
"Seru padahal. Udah nanti liat aja film nya."
"Iya, deh."
Mas Galih dan Mas Adam lekas memesan tiket. Sedangkan, aku bersama lainnya duduk menunggu. Ku perhatikan lantai ini sepi pengunjung. Padahal, kan weekend.
"Tumben, ya sepi. Apa filmya gak menarik?" heran Mas Heru yang duduk paling ujung.
"Gapapa. Di bayarin ini. Jadi gak rugi-rugi amat kalau film nya mengecewakan," kata Mas Zio.
Aku mendengar percakapan singkat keduanya.
Film baru akan di mulai sepuluh menit lagi. Selagi menunggu aku mau menelepon mommy. Memberitahu beliau bila aku pulang agak sore-an.
"Mas, saya mau nelpon ibu dulu," izinku pada Mas Dani.
"Oh, silakan," jawab Mas Dani sekilas menatapku, kemudian lanjut mengotak-atik ponselnya.
"Tunggu, Gi," cegah Mas Galih.
Aku menoleh padanya. "Kenapa, Mas?"
"Kita mau beli minuman dingin bersoda. Lu mau juga?" ujar Mas Galih.
"Nggak, deh, Mas. Saya tadi udah minum banyak di rumahnya Mas Dani."
"Terus maunya apa?"
"Air mineral botol aja."
"Hm. Oke."
"Saya permisi ya, mas."
"Monggo. Monggo."
Aku menelepon agak jauh dari mereka.
"Assalamu'alaikum, Mom."
"Wa'alaikumsalam."
"Mommy masih di kosannya Rafli?"
"Iya, nih. Kamu ada apa nelpon, Gi?"
"Cuma mau ngasih tau mommy aja kalau aku pulang terlambat."
"Memangnya tugas kamu belum kelar?"
"Udah, kok, Mom. Gini loh mom, sekarang aku lagi di mall. Mau nonton. Di ajakin sama kakak tingkat aku."
"Ya udah gapapa. Lagian besok juga hari Minggu. Mommy sih gak masalah kamu main sama mereka. Yang penting pulangnya jangan lewat dari jam sepuluh malam."
"Gak akan, Mom."
"Oh, ya nih adek kamu mau ngomong."
Kini, aku berbincang dengan adikku.
"Hello, Bro."
"Ape lu?"
"Asik nih ke bioskop. Emang mau nonton film apa, sih?"
"Nonton film horor."
"Widih! Hati-hati lu ada yang ikutan nonton."
"Gak usah nakutin deh lu."
"Peringatan aja."
"Udah ya."
"Wait!"
"Apa lagi?"
"Kak, ingat sebelum masuk rumah cuci kaki sama baca do'a dulu. Feeling gue mendadak gak enak."
"Mulai, deh. Daripada nakutin gue, mending urusin tuh penampilan lu yang urakan itu, kek berandalan aje lu. Bikin malu keluarga."
"Etdah. Nyambung-nyambung ke situ. Udah rapi gue sekarang. Berkat mommy tersayang."
"Awas lu cari gara-gara lagi di sekolah. Gue bakal suruh mommy ngurangin uang jajan lu."
"Cih. Ngancemnya gitu."
"Udah, ah. Bentar lagi film mau mulai."
"Ingat pesan gue. Pantang lu langgar pokoknya."
"Kalo gak lupa."
"Aish!"
Klik! Sambungan langsung ku putus saking sebalnya sama manusia satu ini.
"Indigo sih indigo. Tapi gak usah blak-blakan juga kali," gerutuku.
Sepuluh menit kemudian…
Kami berbondong-bondong masuk ke dalam bioskop. Namun sayangnya, jumlah penontonnya hanya sembilan orang saja. Yang dua itu ibu dan anak gadisnya. Ya syudahlah.
Film horor yang kami tonton berjudul 'Pocong Kesambet.' Etdah. Agak gimana gitu sutradaranya ngasih judul.
"Pasti lawak nih film," tebakku dalam hati.
Aku dan para kating duduk berderet di kursi penonton paling depan. Sedangkan, si ibu dan anak gadisnya berada di kursi baris ke tiga. Belakang kami.
Aku duduk di sebelah kanan paling ujung. Jadi gampang kalau mau keluar duluan. Kursi penonton di seberang sana kosong melompong.
Tak lama berselang film pun di putar. Seperti biasa lampu ruangan di matikan.
"Oi! Bagi gue pop corn nya," pinta Mas Heru, agak mengeraskan suara.
"Lu mau pop corn juga, Gi?" tawar Mas Dani yang duduk tepat di sampingku.
"Gak, Mas. Makasih." Aku menampik dengan sopan. Aku kurang suka makanan yang satu ini. Entahlah.
****
Limabelas menit berjalanannya durasi film, tiba-tiba saja bulu kudukku meremang hebat. Padahal ini baru permulaan, demitnya juga belum nongol. Yang ku rasa di dalam bioskop mendadak dingin sekali. Apa karena orangnya sedikit banget? Pikirku positif.
Para kating dan dua penonton di belakang tampak serius mengikuti alur cerita film tersebut. Ku perhatikan mata mereka tak berkedip. Seperti terhipnotis. Aneh, sih. Tetapi, mengapa hanya aku saja yang kelihatan gundah gulana?
Suasana hening sekali. Tapi bagiku terasa mencekam.
Perasaan ku kian tak tenteram. Pandangan ku alihkan lagi lurus ke depan layar. Sembari mengusap tengkuk leher berulangkali. Berharap sensasi merindingnya berkurang.
Sepersekian detik kemudian ekor mataku menangkap sesuatu yang tak lazim. Karena kepo ku beranikan diri melirik ke arah kursi penonton yang ada di seberangku.
Sangat jelas sekali ada sosok yang tengah duduk tepat di kursi barisan paling pertama. Jaraknya hanya beberapa meter dariku. Sosok itu berbalut kain kafan kecoklatan.
Deg!
Aku tahu siapa dia. Pelan-pelan ku tundukkan kepala dan memejamkan netra. Dengan maksud menghindari kontak mata dengan sosok tersebut. Ku atur napas sedemikian rupa, supaya tetap tenang. Meski, bukan kali pertama ini aku melihat penampakan, namun tetap saja membuatku takut sekaligus merinding.
Aku bukan indigo. Cuman peka tipis-tipis.
Sosok itu duduk santuy hanya selama beberapa menit saja. Walau sebentar, bagiku serasa satu abad. Mentang-mentang di film itu pemeran utama demitnya dia. Mungkin kepo pengen nyaksiin juga.
"Oi, Gi!" Mas Dani menepuk bahuku agak keras.
Aku terkaget bukan kepalang. Sebab, posisiku masih menunduk.
"Napa lu? Ngagetin aja." Rupanya Mas Dani ikutan kaget dengan reaksiku barusan.
"Mas Dani yang ngagetin saya," kataku.
"Lu nunduk aja habisnya. Takutnya kesambet."
"Gakpapa, Mas." bohongku.
"Bagus lah. Jangan bengong kalo lagi nonton horor."
"Iya, Mas. Maaf."
Ku perhatikan lagi mereka semua. Rupanya keadaan sudah kembali normal seperti sediakala.
Dan sosok itu telah menghilang dari pandangan. Syukur, deh. Hanya aku saja yang apes melihatnya. Namun, aku memilih untuk bungkam. Biarlah menjadi rahasia.
Satu jam berlalu. Film pun tamat. Kami semua lekas keluar dari bioskop.
"Laper cuy," ungkap Mas Bisma seraya memegangi perutnya yang bunyi terus.
"Gas lah ke food court. Ada yang traktir ini," ajak Mas Dani dengan entengnya.
"Yoi, Bro. Gue yang traktir. Makan dah kalian sepuasnya," seru Mas Galih.
Para kating bersorak gembira. Aku cuma tersenyum tipis.
"Yuk lah!" imbuh Mas Galih pada akhirnya.
Kami bersegera jalan menuju food court terdekat.
****
Aku sampai rumah pu kul tujuh malam. Mas Dani dan kawan-kawannya sungguh baik dan asyik. Mereka tidak ada capek-capeknya mampir ke sana ke mari. Lain halnya denganku yang intovert ini. Energi rasanya terkuras habis. Perlu di charger, nih seharian penuh. Untung besok hari Minggu. Akan ku gunakan waktu libur untuk mengistirahatkan tubuh.
"Hooaaamm." Aku menguap sangat lebar.
20.00 WIB. Usai makan malam, aku menemani mommy nonton sinetron di ruang keluarga. Kami duduk di sofa panjang.
"Kamu pasti capek banget seharian di luar. Kasian anak mommy," ucap mommy seraya mengusap-usap lenganku.
"Iya, nih, Mom," balasku.
"Ya udah tidur duluan aja, gih."
"Tapi mommy, kan masih nonton TV. Masa aku tinggal sendirian."
"It's okey. Udah biasa, kan. Lagian sinetronnya masih lama durasinya. Kasian kamunya."
"Ya udah aku ke kamar, ya, Mom."
"Iya, Nak."
Aku melangkah menaiki anak tangga. Hanya kamarku yang berada di lantai dua. Sementara, kamar mommy dan Rafli di lantai satu.
Jendela kamarku mengarah langsung ke tempat jemuran. Tempat di mana mommy biasa menjemur pakaian dan sebagainya.
Saat tiba di kamar segera ku hempaskan tubuh ini ke ranjang tidur yang empuk. Nyaman sekali rasanya. Apalagi kalau tidurnya sambil memeluk guling.
"Guling gue kemana, ya?" kataku seraya tangan meraba-raba sekitaran tempatku berbaring.
Ternyata guling kesayanganku tidak ada di tempat tidur.
"Apa di cuci ya sama mommy?" pikirku.
Lalu aku merangkak menghampiri jendela kamar yang terkunci. Ku sibak gorden untuk memastikan guling itu berada di jemuran atau tidak.
Jauh lurus di depan sana aku melihat guling putih tersampir di atas jemuran besi. Ternyata benar mommy mencucinya. Akan tetapi, tak ada sehelai pakaian pun di sana. Hanya ada guling saja.
"Mungkin pakaian-pakaian udah pada kering," pikirku lagi.
Aku terdiam sejenak seraya mengamati area tempat jemuran. Rupanya kalau malam seram juga, meskipun sudah di terangi oleh lampu.
Ku tutup lagi gorden kamar. Kemudian tidur memunggungi pintu kamar.
****
Tok.. Tok.. Tok..
Kriet!
Aku yang masih setengah sadar mendengar ketukan pintu, di susul suara pintu yang di buka. Pasti mommy, pikirku tanpa curiga sama sekali.
Jeda beberapa saat.
Brugh!
Sesuatu di lempar ke kasur tidurku. Sepertinya guling, pikirku, lagi masih menghadap tembok.
Kriet!
Pintu di tutup kembali.
Kemudian tanganku meraba-raba sesuatu di belakangku itu. Empuk dan berbentuk lonjong. Benar dugaanku.
Akan tetapi, ada yang aneh. Gulingku memancarkan aroma yang sungguh apek sekali. Jika habis di cuci harusnya harum pewangi pakaian. Tapi, ini tidak.
"Kurang lama jemurnya nih mommy," pikirku menjurus ke sana.
Mommy main angkat saja mungkin takut aku nyariin guling tersebut. Ya sudahlah. Besok bisa di jemur lagi.
Dengan mata yang masih menutup rapat, aku mengubah posisi tidurku menjadi menghadap guling. Lalu ku peluk erat guling tersebut. Meski, baunya sangat menyengat serta mengganggu. Ah, sudah kepalang ngantuk.
Beberapa menit berlalu, diri ini baru menyadari ada yang tidak beres pada guling yang sedang ku peluk itu.
Guling yang seharusnya empuk, tapi mengapa berubah. Aku seperti tengah memeluk jasad yang terbalut kain kafan. Atau jangan-jangan ini bukan guling sungguhan. Melainkan…
POCONG!
Pocong yang lagi cosplay jadi guling.
Aku tidak serta merta teriak atau menimbulkan kegaduhan apapun. Ku tenangkan diri ini, meski aslinya jantung ini berdegup kencang tidak karu-karuan.
Bayangkan saja saat ini aku sedang memeluk Pocong.
Tak ku biarkan netra ini membuka. Sebisa mungkin ku paksa tetap memejam. Karena aku yakin wajah pocong itu kini menghadap ke arahku. Tapi, anehnya tidak ku rasakan deru napasnya. Ah, bodo amat.
Lantas aku segera membuka bibir, mulai melantunkan ayat kursi, al ikhlas, an-nas dan al falaq. Terus-menerus tanpa jeda.
Ku rasakan ada pergerakan pada sosok menyebalkan itu. Ia menggeliat hebat, kepanasan. Adegan ini yang ku tunggu-tunggu.
Aku menguatkan dekapanku. Pocong itu semakin meronta hendak di bebaskan.
Tak lama berselang, huusshh…
Pocong itu terbang ke atas, menembus atap rumah. Tampak seperti asap yang membumbung tinggi, namun secepat kilat menghilang.
Saat itu, aku sempat membuka mata sedikit. Jadi, tahu, deh.
Sosok itu sudah tidak ada di kamar.
"Hufftt. Alhamdulillah." Aku terduduk sembari membasuh bulir-bulir keringat di dahi dan leher. Karena kamarku serasa pengap nan panas.
Setelah kejadian tak mengenakan itu, ku putuskan mengungsi tidur di kamar Rafli, adikku. Ini kali pertamanya aku di isengi permen sugus.
****
"Kenapa kamu, Nak kayak orang kurang tidur gitu?" tanya mommy di pagi hari.
"Habis mimpi buruk, Mom. Jadinya tidur keganggu," balasku tampak lesu.
"Hhmm, gitu. Makanya wudhu dan baca do'a sebelum tidur," nasihat mommy, lalu menuangkan susu full cream ke mangkuk sereal milikku.
Aku hanya diam saja. Efek kelelahan. Jadi semua itu tak ku lakukan. Main asal tidur.
Dan juga peringatan dari Rafli tak ku hiraukan. Seharusnya aku mencuci kaki dan berdo'a terlebih dahulu sebelum masuk rumah. Lagi, lagi efek kelelahan membuatku melupakan semuanya.
"Gak lagi lagi, deh. Bikin trauma," batinku.
"Oh, ya kemarin guling kamu mommy cuci. Terus semalam tuh hujan. Nanti siang paling udah kering," ucap mommy.
Sontak aku terkejut sejadi-jadinya.
"Astaghfirullah. Jadi tadi malam yang buka pintu bukan mommy." Aku membatin, mengingat kejadian semalam.
"Tadi malam mommy tidur jam berapa?" tanyaku seraya mengaduk sereal.
"Jam sembilan. Udah ngantuk banget mommy. Langsung ke kamar. Sampai lupa gak angkat guling kamu di jemuran," jawab mommy, sedikit terkekeh.
"Hehehehe," responku, terkesan di paksakan.
****
Dua bulan berikutnya, sosok itu mendatangi kamarku lagi. Berdiri di pojok almari pakaian. Dari atas sampai bawah terbalut kafan putih bersih. Wajahnya pun ikut tertutup kafan.
"Itu pocong ori, Kak," tutur Rafli setelah lewat tiga hari. Aku baru sempat menceritakannya.
Selagi sosok itu tidak mengusikku. Aku, abaikan saja. Seolah tak melihatnya.
***
END