Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Coba Sekali Lagi
0
Suka
15
Dibaca

Sewaktu kecil, aku sering menjadi sasaran pertanyaan bagi orang dewasa. Entah mengapa, orang-orang dewasa begitu gemar bertanya kepada anak-anak tentang masa depan, seolah-olah jawaban kami akan menentukan kemana arah semesta. Saat itu, teman-teman sebayaku akan menjawab dengan percaya diri, seakan dunia benar- benar akan menggenggam mereka suatu saat nanti.

“Aku mau jadi tentara!”

“Aku ingin jadi pemain bola terkenal!”

“Aku bakal jadi pengusaha kaya raya!”

“Aku pengen jadi penyanyi!”

Semuanya terdengar megah, indah, dan penuh semangat. Tapi tidak denganku. Ketika pertanyaan itu dilontarkan, aku menjawab dengan lantang,

“Aku pengen jadi YouTuber gaming terkenal!”

Jawabanku membuat orang-orang terdiam sejenak. Beberapa tertawa, ada pula yang hanya saling pandang. Sebagian kecil tersenyum seolah menghargai keunikan impianku, namun jauh lebih banyak yang menanggapi dengan gelengan kepala dan senyuman miring.

Papah, yang sejak dulu paling keras kepala dalam rumah, hanya menatapku dengan mata yang sulit ditebak. Ia bukan tipe manusia yang gemar menyimpan kata. Seringkali mulutnya pun mengeluarkan kata-kata sakti seperti,

“Kamu ni ya, tiap hari main game mulu. Papah masukin barak ya kamu.”

Ancaman itu malah tidak membuatku semakin takut. Justru semakin mendorongku untuk membenamkan diri lebih dalam ke dunia game. Aku bermain seolah-olah itulah tempatku bernapas. Dan jika ada yang berani menggangguku saat bermain, bahkan Papah ku sendiri, maka suara rengek dan amarahku akan lebih keras dari suara senjata virtual yang sedang kugunakan.

“Tuh kan, Papah ganggu mulu sih. Aku jadi kalah kan!”

***

Sejak kecil aku memang sudah keras kepala. Dan seperti tanah yang terus dihujani air, sifat itu tumbuh menjadi kebiasaan, lalu kebiasaan menjadi watak.

Saat usia belasan menghampiri, aku tak hanya kecanduan bermain game. Aku mulai mengenal rokok dari tangan teman-teman di warnet. Kata mereka, rokok membuat pikiran lebih santai saat push rank. Lidahku juga mulai fasih melontarkan kata-kata kotor, lebih lancar dari pelajaran Bahasa Indonesia yang tak pernah kupahami makna dan isinya. Aku tumbuh menjadi anak yang pemalas. Malas sekolah, sering bolos, dan nilai-nilaiku jatuh bebas seperti karakter game yang gagal menyelesaikan sebuah misi.

Ketika SMA, semua semakin parah. Aku mulai ikut tawuran, mabuk-mabukan, tidur di kelas, dan pernah sekali digelandang ke kantor polisi karena ikut dalam keributan antar sekolah. Waktu Bapak datang menjemput, dia tak banyak melontarkan umpatan. Dia hanya diam. Namun bagiku, diamnya lebih menyakitkan daripada ribuan kalimat umpatan.

Setelah itu aku berhenti untuk bermain game. Ku pikir awalnya bakal selamanya, akan tetapi baru seminggu pasca kejadian, aku benar-benar sudah tidak kuat jika lepas dari game. Akhirnya aku melanjutkannya lagi sampai kedua orang tua ku diam, pertanda sudah dibatas bingung harus berkata apalagi.

Sementara itu, teman-temanku satu per satu mulai menemukan jalannya. Ada yang kuliah, ada yang kerja, ada yang daftar TNI, ada yang pergi merantau. Sedang aku, hanya menjaga sebuah warnet milik kakak kelasku. Bahkan lebih tepatnya, aku juga tinggal di sana.

Setelah pertengkaran hebat dengan Papah, aku memutuskan pergi dari rumah. Papah benar- benar mengancamku jika aku tidak kuliah, maka ia tidak akan memberikan uang bulanan lagi. Omelan itu malah membuat amarahku semakin naik pitam dan memutuskan aku untuk kabur dari rumah.

Aku tidur di bawah meja kasir, berselimut jaket bekas dan sarapan dengan mie instan setiap hari. Dari semua yang ku lakukan, aku hanya ingin satu hal, aku ingin bermain game sepuas dan sebebasnya. Karena itu satu-satunya hal di dunia ini yang membuatku merasa hidup.

Orang-orang mulai kehilangan kesabaran padaku. “Anak durhaka,” kata tetangga. “Gede nya mau jadi apa dia,” bisik yang lain “Nah gini nih kalo kebanyakan main game, jadinya malah goblok,” celetuk anak-anak muda yang dulu teman mainku.

Namun omongan itu justru tak membuatku gentar. Malah aku semakin terpacu untuk membuktikannya terus menerus. Aku tetap bertahan. Tidak karena ingin membuktikan mereka salah. Tapi karena aku percaya, aku hanya belum berada di tempat yang tepat untuk tumbuh. Seperti ikan yang dikurung di kolam sempit, aku hanya butuh lautku sendiri.

Hari-hariku diwarnai layar monitor, suara keyboard, dan koneksi internet yang naik turun. Tapi dari situ, tanpa sadar aku mulai mahir berbicara bahasa Inggris. Bahkan sedikit-sedikit bisa menyapa dalam bahasa Korea. Ya, semua itu berawal dari bermain bersama mereka.

Sampai pada suatu malam, saat sedang bermain serius, ada seseorang yang mengirimiku pesan pribadi.

“Your gameplay is sick. Wanna try for a Korean tournament?”

Awalnya kupikir itu spam. Tapi pesan itu disusul email, panggilan, hingga tawaran resmi bahwa aku diminta ikut Korea Grand Masters Invitational, salah satu turnamen e-sport paling bergengsi di Asia.

Orang itu bahkan bersedia menanggung semua biayaku.

Bahkan pemilik warnet tertawa keras waktu aku menceritakan itu. “Hah bener? Lu aja kerjaan tidur mulu, yakali ke Korea sih. Bangun lu. Hoaks kali!”

Aku tidak menjelaskan apa-apa lagi. Aku hanya diam, dan diam-diam mengurus paspor, visa, dan tiket serta kebutuhanku selama disana.

Pada suatu pagi, aku berangkat sendiri ke bandara, membawa satu ransel kecil dan menggenggam mimpi yang nyaris mati.

Sesampainya di Seoul, aku disambut oleh pemain legendaris dunia bernama Faker, salah satu ikon e-sport Korea. Dunia seperti berhenti sejenak waktu ia menjabat tanganku dan berkata, “We’ve seen your game. You have potential.”

Aku nyaris tak percaya. Tapi ternyata aku direkrut sementara oleh tim T1, tim e-sport papan atas Korea Selatan.

Aku berlatih seperti tak pernah kulakukan sebelumnya. Disiplin, strategi, dan fokus menjadi teman harianku. Dan saat turnamen digelar, aku tidak mendapatkan gelar juara. Kami kalah.

Kekalahan itu nyaris membuatku mengubur mimpi kecil itu. Tapi, yang ku percayai, dunia akan berpihak pada siapapun yang rela berjuang.

Dan ya, aku di nobatkan sebagai MVP pada turnamen itu.

Aku menangis malam itu. Bukan karena trofi. Tapi karena untuk pertama kalinya, aku merasa mimpi itu bisa aku rasakan secara nyata.

Begitu pulang ke Indonesia, aku kira semuanya akan berubah. Aku kira dunia akan berbalik memujiku. Tapi tak ada yang peduli. Tak ada yang tahu. Bahkan ketika aku cerita, semua mengira aku mengarang.

Tak ada satu pun orang yang percaya. Bahkan orang terdekatku hanya memberi apresiasi kecil yang aku sendiri tidak merasakan dukungan secara langsung.

Akhirnya, kekesalan itu membuat aku semakin haus validasi. Aku ingin dilihat. Aku ingin semua orang tau bahwa aku telah berjuang. Orang- orang yang dahulu mengejekku harus tau bahwa sekarang aku tidak mudah diremehkan.

Aku pun membuat video yang berisi curhatan di TikTok. Aku ceritakan semuanya. Kisah jatuh bangunku, cercaan orang-orang, perjalananku ke Korea. Video itu kuposting tengah malam. Dan pagi harinya… meledak.

Views menembus jutaan, komentar membanjir, media mulai meliput. Aku diundang ke Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia, diberi penghargaan dan diminta menjadi duta e-sport muda Indonesia.

Barulah setelah itu dunia menoleh. Tetangga mulai menyapa ramah. Guru-guru yang dulu mencibir mengundangku memberi apresiasi penuh. Anak-anak muda memanggilku “suhu” dan minta foton sebagai idola e-sport.

Aku tersenyum penuh kemenangan sambil berkata dalam hati,

“Dulu kalian bilang aku sampah. Sekarang kalian melihatku layaknya orang yang kalian idolakan di sosial media.”

Kini aku dikenal sebagai pro player dan YouTuber gaming yang kontennya ditonton jutaan orang. Aku mewakili Indonesia di SEA Esports Championship, dan hidupku penuh dengan undangan, endorsement, dan apresiasi.

Tapi bukan itu yang membuatku bangga. Yang paling membekas adalah hari ketika Bapak dan Ibu datang ke acara final turnamenku. Bapak berdiri, menatapku di panggung, dan kali ini, ia bertepuk tangan.

Ibu menangis.

Dan aku tahu akhirnya aku berhasil.

Sekarang, ketika aku duduk di depan kamera, menatap mata-mata muda yang penuh harap dari balik layar, aku hanya ingin bilang satu hal:

Kalau kau merasa dunia menertawakanmu, jangan buru-buru untuk menyerah. Kadang jalanmu memang berbeda. Kadang tempatmu bukan di jalur yang orang lain tempuh. Tapi bukan berarti kau salah.

Kalau kau keras kepala, jangan ubah itu jadi batu. Jadikan ia fondasi. Kalau semua suara terasa bising, jangan matikan telinga. Tapi dengarkan hatimu. Dan kalau semua jalan terasa buntu, coba sekali lagi.

Karena kadang… cuma satu langkah lagi yang memisahkan antara kegagalan dan keajaiban.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
Bronze
Jejak Kaki di Pasir yang Terhapus Angin
Rudi Ardi Hamzah
Cerpen
Coba Sekali Lagi
Rizki Mubarok
Novel
Bronze
DOSA YANG SALAH
Alda.
Novel
Endless Origami
dedanel
Novel
MAX. 25 TAHUN
Ara Segara
Skrip Film
Sesayat Munajat Cinta (Sebuah Skenario Film)
Imajinasiku
Flash
Bronze
PADA SEBUAH CAFE
Onet Adithia Rizlan
Flash
Indah Pada Waktunya
Wilis Juharini
Flash
Bronze
Don't Lose Yourself When You're Falling in Love
Silvarani
Novel
Selena Tsabina - I Just Believe You
Angela Ann
Flash
Bronze
Cilok Sepuluh Ribu
B12
Cerpen
Bronze
Farah
Artmeza
Novel
Bronze
Karir & Cinta
Lusi permata sari
Novel
Gold
I Love Cooking
Mizan Publishing
Novel
Bronze
SEBATAS FORMALITAS
Linda Fadilah
Rekomendasi
Cerpen
Coba Sekali Lagi
Rizki Mubarok
Cerpen
CIBIRU
Rizki Mubarok
Cerpen
Selepas Ayah Berpulang
Rizki Mubarok
Cerpen
Semua Butuh Waktu
Rizki Mubarok
Cerpen
Siapa Peduli
Rizki Mubarok
Cerpen
Catatan si Anak Emas
Rizki Mubarok
Cerpen
Jatuh dalam Pelukan
Rizki Mubarok
Flash
Senjata Terakhir
Rizki Mubarok
Cerpen
ARUNIKA
Rizki Mubarok
Cerpen
Gaun Putih
Rizki Mubarok
Cerpen
When Nation Falls
Rizki Mubarok
Cerpen
Cerita yang Tak Pernah Selesai
Rizki Mubarok
Cerpen
Tak Ada Lampu Merah di Bandung
Rizki Mubarok
Cerpen
Tia Monica Manis Sekali
Rizki Mubarok
Cerpen
Katanya sih Cinta
Rizki Mubarok