Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
SETELAH ENGKU DEN sang Kepala Sekolah bicara panjang lebar, saya serasa ditinju sedemikian kerasnya sampai-sampai saya hampir saja pingsan, rasa-rasanya saya akan tersungkur jatuh dari kursi. Saya terkejut bukan main dan mata saya langsung berair. Saya ingin menangis, tapi saya menggigit lidah sekuat-kuatnya agar saya tak menangis di depan Engku Den.
Sejenak lalu, saya mengangkat kepala, menatap langit-langit supaya genangan air di mata saya tak tumpah.
Barangkali paham dengan perasaan saya atau mungkin mengasihani saya, Engku Den berdiri, beranjak ke samping saya dan memegang pundak saya, lalu berkata, “Maafkan saya. Saya sudah berusaha agar Anda bisa tetap mengajar di sini tapi kami tak punya dana lagi untuk bisa membayar guru honorer. Anda tahu kondisi sekolah ini, bupati menghentikan segala bantuan ke kampung ini karena pemilihan lalu dia cuma dapat 19 suara di sini.”
Saya menjawab perkataan Engku Den dengan anggukan lalu menutup mata.
Tangan Engku Den tetap di pundak saya dan perlahan-lahan mulai mengelusnya. “Anda guru yang baik. Ayah Anda pasti bangga.”
Saya mengangguk lagi untuk menjawab kata-kata Engku Den. Namun, hati kecil saya berkata lain: saya merasa Ayah saya belum sempat bangga pada saya. Hati kecil saya juga berharap, agar yang berdiri di samping saya sekarang, memegang pundak dan menguatkan saya adalah ayah. Sayangnya, Kepala Sekolah yang sekarang berdiri di samping saya bukan lagi ayah saya. Sudah sejak belasan tahun lalu ayah saya melepas jabatannya sebagai Kepala Sekolah di SD ini.
Beberapa menit kemudian, meski saya masih merasa tanpa tenaga, saya berusaha sekuatnya agar bangkit dari kursi, lalu sempat sejenak menatap ke sekeliling ruangan yang dulu milik ayah sambil menarik satu napas panjang, dan saya tersenyum. “Terima kasih,” kata saya menjulurkan tangan kepada Kepala Sekolah yang berdiri di hadapan saya, Kepala Sekolah yang bukan lagi ayah saya.
“Terima kasih. Terima kasih,” kata Engku Den. “Ini gaji Anda. Terima kasih. Terima kasih untuk pengabdian Anda di sini.”
Saya menerima amplop dari Engku Den dengan berat hati, kemudian saya keluar dari ruangan kepala sekolah itu dengan separuh pikiran.
Seharusnya saya bahagia karena kemarin Engku Den berjanji bahwa hari ini saya akan menerima gaji yang sudah enam bulan ditunggak. Janji itu benar-benar ditepati, sekarang ada amplop di tangan saya, tapi saya sedih.
Ada dua alasan mengapa saya sedih.
Pertama, saya sudah berjanji pada Kori istri saya bahwa saya akan mengajaknya ke kabupaten hari Sabtu nanti. Sebentar lagi tahun baru dan sudah tiga tahun baru berturut-turut dia tak punya baju baru. Saya tak mungkin membiarkan dia memakai baju yang sama pada empat natal dan empat tahun baru berturut-turut. Terlebih, satu-satunya baju bagus yang dia punya hanyalah blus coklat itu, yang warnanya telah memudar menjadi kuning karena setiap minggu dipakai ke gereja. Saya ingin membelikan blus baru untuknya di pasar kabupaten, saya ingin membuatnya bahagia. Hanya sekali setahun saya punya kesempatan membuatnya bahagia.
O, Tuhan, andaikata saya sampai di rumah nanti, dan bilang kepada Kori saya sudah tak mengajar lagi, dia pasti menolak untuk pergi ke kabupaten. Saya tahu wataknya, dia pasti meminta uang itu agar disimpan saja untuk beli ikan selama beberapa bulan ke depan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, dia pasti bilang, “Blus ini masih bisa dipakai setiap minggu. Tahun depan saja kalau kita dapat uang lebih baru kita pergi ke kabupaten.” Setiap kali dia bilang begitu, saya selalu merasa gagal sebagai suami, saya tak bisa membelikan baju baru setiap bulan Desember. Saya tahu, Kori pasti paham dengan keadaan saya, tapi saya tak ingin membuat dia kecewa lagi. Saya hanya ingin membuatnya bahagia, tapi sulitnya bukan main.
Memikirkan Kori saja, perjalanan saya dari ruangan kepala sekolah sampai ke kelas lima, tempat saya harus mengajar untuk terakhir kalinya siang itu, serasa setengah jam lamanya. Dan ketika tiba di depan kelas lima, saya memutuskan duduk sebentar di kursi dekat pintu masuk kelas. Saya harus mengatur kata-kata selamat tinggal yang tepat untuk siswa-siswa saya. Sesudah duduk, saya meletakkan buku Ilmu Pengetahuan Alam bersampul hijau di lutut lalu menatap buku itu, dan seketika saya teringat ayah lagi. Apakah saya sudah berhasil mewujudkan cita-cita beliau? Apakah beliau bangga terhadap saya?
Hati kecil saya berkata, “Tidak.” Saya belum menjadi Kepala Sekolah seperti beliau.
Ayah adalah alasan kedua saya teramat sedih siang itu: saya merasa gagal menjadi anak.
DULU, AYAH SAYA Kepala Sekolah di SD ini. Beliau adalah alasan saya menjadi guru. Beliau ingin agar saya menjadi penggantinya suatu saat nanti. Keinginan itu, beliau sampaikan cuma satu kali, saat saya masih kelas tiga SMP. Suatu sore, ayah menghampiri saya yang sedang makan di dipan belakang rumah. Ayah mengajak saya berbincang soal pelajaran sekolah, ayah banyak bertanya, saya sedikit menjawab. Saat itu saya tak suka ditanya-tanya.
Sesudah membahas tentang SMP dan rencana saya ke depannya, kemudian ayah bertanya soal cita-cita saya. Saya diam, saya emoh menjawabnya. Ayah pun bicara panjang lebar tentang harapannya pada masa depan saya. Kata-kata ayah terekam jelas sampai detik ini, air muka, intonasi suara, bahkan setiap jeda kata dengan titik komanya bisa saya reka ulang: “Saya mau kamu jadi guru ilmu pasti, mengabdi di kampung ini, berbagi dasar bagi anak petani di sini agar bisa sekolah tinggi. Sampai tibanya nanti, rambut kamu putih, kamu jadi guru tertinggi seperti ayah ini.”
Ucapan ayah itu saya anggap angin lalu, saya tak pernah bercita-cita menjadi guru dan menurut pemahaman saya saat itu, menjadi guru bukanlah pekerjaan untuk anak muda seperti saya. Saya bercita-cita menjadi pegawai negeri di kantor kecamatan atau kabupaten.
Alasan saya tak mau jadi guru saat itu adalah guru sulit makmur, saya menyaksikan kehidupan ayah sebagai guru yang jauh dari cukup. Gaji ayah sangat kecil, itu pun diterima beberapa bulan sekali, tergantung tukang pos datang atau tidak bulan itu. Kampung kami di pedalaman, sulit dijangkau. Kalaupun ada yang pergi ke kabupaten dan ayah minta tolong untuk diambilkan gajinya di kantor pos, yang dimintai tolong pasti meminta ‘uang jalan’, artinya gaji yang kecil itu semakin kecil.
Guru beda nasib dengan pegawai kecamatan, jika baju safari para guru biasanya sudah menguning dan lusuh karena terlalu sering dipakai, pegawai kecamatan selalu necis setiap saat dengan safari yang benar-benar warna coklat, safari yang selalu dilicinkan dengan setrika bara. Dapur para guru dan dapur pegawai kecamatan pun berbeda. Sampai ada ungkapan ketika saya masih kecil bahwa jika di meja makan ada nasi, maka seseorang akan berkata, “Wuih, ada makanan camat.” Saat itu, makanan utama kebanyakan masyarakat di kampung kami adalah pisang rebus atau sagu. Nasi adalah makanan orang makmur, dan mereka yang makmur adalah camat dan para pegawainya.
Karena itu, sesudah lulus perguruan tinggi di Provinsi, saya pulang kampung, saya langsung melamar jadi honorer di kantor kecamatan agar ayah tak memaksa saya jadi guru. Dan selama itu, saya tak pernah alpa mengikuti tes pegawai negeri setiap tahun, mengajukan diri sebagai pegawai negeri di kecamatan, bukan guru. Malangnya saya, saya selalu gagal.
Saya berulang kali bertengkar dengan ayah karena keputusan saya itu. Beliau berkali-kali meminta saya mengubah pandangan saya dan menyarankan saya untuk menjadi guru SD di kampung saya, lalu ikut tes menjadi guru pemerintah atau berkebun saja kalau perlu. Menurut beliau, menjadi pegawai kecamatan adalah pekerjaan hina. Beliau adalah orang kolot yang memegang prinsip: “Orang-orang di kecamatan itu tahunya memeras masyarakat, kamu jangan jadi seperti mereka. Saya tidak sudi anak saya jadi penjahat.”
Saat itu, saya terlalu angkuh, sehingga saya tak acuh pada kata-kata ayah. Menurut saya, pemikiran beliau adalah pemikiran budak-budak Jepang, dan saya bertekad untuk membuktikan kepada ayah bahwa saya bisa menjadi orang jujur di kecamatan andaikata saya bisa menjadi pegawai resmi pemerintah. Lebih-lebih, sebagai sarjana pertama di kampung kami, saya tak sudi menjadi guru apalagi memanggul cangkul sementara saya punya ijazah tinggi.
Perbedaan pandangan saya dengan ayah sempat membuat saya memutuskan untuk meninggalkan rumah lalu tinggal di kantor kecamatan. Saya rangkap jabatan, petugas keamanan kantor saat malam, bekerja sebagai tukang suruh berijazah saat siang. Saya senang, meski gaji saya dibayar menurut keikhlasan camat.
Saat ibu sakit, terbaring tak berdaya di ranjang, ibu meminta saya dan ayah untuk berdamai agar ibu bisa meninggal dengan tenang. Saya dan ayah menuruti ibu, kami berdamai, dan saya kembali ke rumah, meski hubungan saya dan ayah tetap dingin. Kami nyaris tak pernah bicara setelah kematian ibu.
Sampai suatu sore ketika saya sedang mencuci piring di dapur, ayah berteriak dari dalam kamarnya. Saya menghampirinya dengan tergesa-gesa. Di kamar, ayah sudah terbaring di lantai. Sesudah saya mengangkatnya ke atas ranjang, beliau langsung memegang tangan saya, dan berkata, “Ma ... maafkan saya, Anak, saya selalu me ... memaksakan kehendak saya.” Sesudah ayah menyelesaikan kalimatnya dengan terbata-bata, ayah menarik satu napas panjang dan meninggal di tangan saya. Masih dapat saya rasakan sampai detik ini betapa eratnya tangan beliau menggenggam tangan saya sampai genggamannya mengendur setelah napas terakhirnya itu.
Saya tersungkur di dada ayah saya dan saya menangis selama satu jam tanpa putus di kamar ayah, berdua dengan ayah yang tinggal tubuh dan nama saja di kamar itu. Dan saat itu, saya teringat percakapan kami di dipan belakang rumah bertahun-tahun lalu, tentang harapan dan cita-cita beliau untuk saya. Saya menyesal. Dan hari itu, di depan jenazah ayah, cita-cita saya berubah: saya ingin menjadi guru, bukan lagi menjadi pegawai negeri di kantor kecamatan. Sulit saya jelaskan perubahan cita-cita itu. Itu terjadi begitu saja, ketika saya melihat mata ayah yang tertutup dan kerutan pada wajahnya dan telapak tangannya yang tergeletak tak bertenaga di atas tangan saya.
Sayangnya, tahun kematian ayah adalah tahun terakhir saya bisa mengikuti tes pegawai negeri karena umur saya sudah 35 tahun. Saat itu, sudah lebih dari sepuluh kali saya mengikuti tes itu, sejak lulus perguruan tinggi sampai umur saya 35 tahun. Pada tahun kematian ayah, untuk terakhir kalinya, saya mengikuti tes pegawai negeri. Tahun itu, saya mengikuti keinginan almarhum ayah: saya mengajukan diri sebagai guru pemerintah.
Akan tetapi, takdir tak menyetujui proposal saya. Saya gagal pada tahun terakhir saya diizinkan mengikuti tes pegawai negeri. Dan setelah tahu bahwa saya gagal menjadi guru pemerintah serta tak bisa lagi mengikuti tes pegawai negeri pada tahun mendatang. Hal pertama yang saya lakukan ketika tiba di rumah setelah pulang dari kabupaten adalah masuk kamar, menatap cermin, lalu saya menangis sejadi-jadinya. Entah bagaimana, sedang saya menangis, wajah di dalam cermin itu berubah, saya melihat potongan wajah ayah pada diri saya. Saya melihat ayah saya menangis dalam cermin itu.
Saya menangis bukan karena gagal tes pegawai negeri, tapi karena saya gagal sebagai anak.
Beberapa minggu setelah kematian ayah saya, takdir agak berbaik hati. Saya diundang mengajar di SD kampung kami untuk menggantikan ayah.
Ayah memang telah pensiun sejak saya masih di perguruan tinggi tapi karena guru di SD cuma ada lima orang maka ayah diminta mengajar lagi sampai beliau akhirnya mangkat.
Kebanyakan guru pemerintah yang ditempatkan di SD kampung kami tak pernah betah dan tak pernah menetap lama. Barangkali alasannya adalah kampung kami yang amat sulit dijangkau dan tiang listrik yang belum masuk sampai ke kampung kami. Jadinya, ayah saya yang seharusnya sudah beristirahat di rumah malah harus tetap mengajar sampai beliau wafat.
Saya memenuhi permintaan dari SD saya itu, dan saya mengajar sampai siang ini, sampai umur saya empat puluh lima. Namun, di ruang kepala sekolah tadi, saya diberi tahu, siang ini adalah hari terakhir saya mengajar.
DI DEPAN KELAS lima, duduk di bangku dengan buku Ilmu Pengetahuan Alam di lutut saya, sementara suara siswa-siswa saya yang sedang bercanda terdengar dari dalam kelas, kesedihan saya semakin menjadi-jadi. Rasanya menyakitkan, membayangkan besok saya tidak bisa mengajari mereka lagi. Dan saat ini baru saya rasakan betapa nikmatnya menjadi guru. Saya merasakannya baru pada hari terakhir saya mengajar. Saya baru sadar, mengapa ayah begitu bangga menjadi seorang guru sejak dulu. Seketika itu juga saya takut, bagaimana nanti bila guru yang menjadi pengganti saya tak mampu mengemban tanggung jawabnya?
Saya tak menganggap diri saya sebagai guru terbaik tapi saya tak rela siswa-siswa saya menerima pengajaran Ilmu Pengetahuan Alam dari guru lain. Rasanya seperti membayangkan perceraian saya dengan Kori, kemudian Kori menikah lagi. Sangat menyakitkan.
Saya menatap lurus ke depan, kepada pekarangan sekolah, dan apa yang ada di depan saya saat itu hanya hamparan rumput liar yang menguning karena matahari sedang terik-teriknya beberapa hari terakhir. Rumput-rumput itu sedang dibakar terik dan gersang, persis sekujur tubuh saya sekarang yang seakan-akan sedang mendidih.
Saya meraih sapu tangan dari saku celana, mengelap keringat yang terus mengucur pada wajah saya, lalu saya menarik satu napas panjang agar tidak meneteskan air mata. Mata saya terus-terusan berair sejak di ruang kepala sekolah, tapi terus-terusan juga saya berusaha agar tak menangis di sekolah. Dulu ayah pernah bilang, “Seorang guru harus terlihat sempurna di mata siswa-siswanya. Sebagaimana pun risau hatimu. Seberapa berat pun masalahmu di rumah. Jangan bawa ke dalam kelas!”
Sebentar berpikir, saya lalu masuk ke dalam kelas lima itu, sekejap kelas diam, semua murid merapikan duduk menghadap ke depan dengan tangan terlipat di atas meja.
Into sang ketua kelas sigap berdiri, lalu berkata, “Berdiri!”
Semua murid menurut.
Into berteriak lagi, “Beri hormat!”
Satu kelas kompak berteriak, “Selamat siang, Engkuuuu ...”
Saya membalas salam itu, lalu duduk.
Saya tak langsung mulai bicara seperti biasanya. Saya terdiam menatap murid-murid dengan sungguh-sungguh. Mereka sedang sibuk dengan urusan masing-masing. Into yang paling dekat dari saya di bagian kiri depan sedang bercanda dengan teman sebangkunya, Tino. Di belakang mereka, Andi sedang melipat-lipat kertas, entah untuk apa. Di bagian paling belakang ada Yustus yang mencoret-coret meja dengan pensil, di sampingnya ada Enas. Di ujung kanan depan, Wati sedang menatap saya dengan penuh perhatian sambil melipat tangannya, saya tersenyum; gadis berumur sebelas tahun itu membalas senyuman saya. Wati adalah murid paling cerdas di kelas ini.
Seharusnya siang ini saya mengajar tentang planet-planet di tata surya. Namun, rencana itu tak bisa terlaksana.
“Anak-anak, tolong perhatian! Engku mau bicara.”
Kebanyakan murid langsung menaruh perhatian kepada saya.
Setelah semua murid menatap saya, saya berkata, “Siang ini Engku mau tahu, apa cita-cita kalian. Mulai dari Wati.”
Wati ingin menjadi pegawai negeri. Into ingin menjadi pegawai negeri. Wiwin ingin menjadi pegawai negeri. Hampir semua anak bercita-cita menjadi pegawai negeri.
Saya paham mengapa mereka begitu ingin menjadi pegawai negeri. Saat itu, sudah banyak sarjana di kampung kami sehingga pegawai negeri di kabupaten dan kecamatan sudah tak dianggap pekerjaan penjahat lagi. Pegawai negeri sudah menjadi pekerjaan suci dengan kasta paling tinggi di kampung kami.
Akan tetapi, saat menatap wajah siswa-siswa saya, saya risau. Saya risau karena siswa-siswa di hadapan saya menyampaikan cita-cita mereka dengan wajah riang gembira, seolah-olah cita-cita mereka itu benar-benar akan tercapai.
Enas—anak terakhir—yang duduk di pojok kanan paling belakang, hanya diam ketika saya tanya.
“Enas mau jadi petani, Pak,” seseorang berkata, mendahului Enas yang tak kunjung bicara.
Semua anak tertawa seketika.
“Tenang,” kata saya mengheningkan kelas.
Kelas hening.
“Enas, apa cita-citamu?”
“Saya ... Saya ingin menjadi seperti ayah,” Enas menjawab dengan ragu-ragu.
Semua anak tertawa lagi.
“Tenang!” Kata saya kedua kalinya.
Kelas hening lagi.
“Pekerjaan ayahmu apa, Enas?”
“Petani,” jawab Enas.
Di depan kelas untuk terakhir kalinya, menghadap siswa-siswa saya, saya tersenyum sembari menatap setiap wajah yang ada di hadapan saya. Setiap wajah mereka saya perhatikan dengan sungguh-sungguh. Sementara itu, pikiran saya terbang menuju tahun-tahun mendatang, dan hati kecil saya bertanya: “Siapa yang akan memberi tahu anak-anak ini nanti jika takdir tak sejalan? Siapa yang akan memberi tahu anak-anak ini bahwa cita-cita hanyalah gula-gula penyedap angan? Siapa yang akan memberi tahu anak-anak ini nanti bahwa hidup bukan saja soal mengejar cita-cita?” Saat yang sama, saya teringat ayah lagi. Lalu, saya menatap Enas, dan setitik air mata mengalir di pipi kanan saya.
Selesai.