Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
BULAN MADU KE ITALYDesakan dari Ibu
Namaku Ria. Usia dua puluh tujuh. Sudah cukup umur, kata orang-orang. Tapi aku belum siap untuk dinikahkan, apalagi dengan lelaki yang belum pernah kutatap sekalipun. Namanya Hapy—terdengar seperti nama yang dipaksakan agar terdengar ceria. Tapi justru kehadirannya ke dalam hidupku seperti badai yang menghapus semua rencana yang sudah lama kubangun.
Awalnya kupikir Ibu hanya bercanda. Saat beliau menyodorkan foto seorang pria berjas biru gelap dan dasi merah, aku tertawa. "Apa ini audisi presenter TV, Bu?"
Tapi wajah Ibu tak berubah. Serius. Dingin. Tak terbantahkan.
"Namanya Hapy. Dia manajer pemasaran di perusahaan besar di Jakarta. Umurnya tiga puluh dua. Sudah mapan. Orangtuanya juga kenalan lama Bapakmu sebelum beliau meninggal."
Aku menelan ludah. Jantungku seperti meloncat keluar. "Aku nggak kenal dia, Bu."
"Justru itu. Maka kenalilah. Lewat pernikahan."
Pernyataan Ibu membuatku seperti terseret pusaran air. Semalam suntuk aku menatap langit-langit kamar. Bertanya dalam hati: benarkah aku sudah sampai di titik ini? Dijodohkan?
Aku tidak membenci perjodohan. Tapi aku membenci ketergesaan. Aku bahkan belum menyukai siapa pun setelah hubunganku dua tahun lalu kandas. Tapi Ibu berbeda. Sejak aku lulus kuliah dan bekerja di kantor notaris, ia selalu mencari celah untuk mempertemukanku dengan pria-pria pilihan versinya. Dan Hapy adalah "kesempatan terbaik yang tak boleh disia-siakan," katanya.
Maka aku membuat syarat. Bukan sekadar syarat sepele, tapi sebuah syarat yang kurasa cukup mustahil untuk disetujui.
"Kalau memang Ibu ngotot, aku mau. Tapi bulan madunya harus ke Italia. Biar aku kenal dia lebih dalam, di tempat yang jauh, di antara sejarah dan romantisme, bukan di tengah tekanan keluarga."
Ibu terdiam. Mulutnya menganga sebentar. Lalu menyipit curiga. "Ke Italia? Kamu kira ini sinetron?"
Aku tersenyum kecut. "Kalau memang dia serius dan mapan, itu hal kecil, kan?"
Tiga hari kemudian, Ibu kembali ke kamarku. Membawa map berisi itinerary dari agen perjalanan. "Kalian akan ke Rome, Florence, Genoa, Milan, dan Verona. Termasuk Venice juga."
Aku terpaku. "Seriusan?"
"Pesawatmu dua minggu lagi."
Begitulah. Aku—Ria yang belum pernah naik pesawat lebih dari tiga jam—akan menikah dengan lelaki yang belum kukenal, lalu menghabiskan waktu sembilan hari bersamanya di negeri asing, Italia. Dan di sanalah, di salah satu titik perjalanan kami—di kota Verona—aku akan berdiri di balkon rumah Juliet. Tanpa tahu apakah aku Juliet... atau hanya turis biasa yang tersesat di antara cinta dan takdir.
**
Tiba di Roma, Awal yang CanggungPesawat mendarat di Bandara Fiumicino pada sore hari, langit Roma menyambut dengan jingga yang melukis bangunan-bangunan klasik di kejauhan. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan detak jantung yang sejak tadi tak karuan. Di se...