Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Langit di atas Tokyo sore itu menyiratkan nuansa lukisan cat air yang basah. Semburat jingga dan magenta perlahan larut ke dalam warna nila yang pekat, menyerahkan dirinya pada malam yang sesaat kemudian datang. Dari balik jendela kereta jalur Chuo, Kana memandangi gedung-gedung yang menyala perlahan, ribuan jendela kecil bak lilin di tengah beton, masing-masing menyimpan seribu cerita. Namun, di dalam gerbong yang berguncang lembut bagaikan denyut jantung kota, ia menjadi satu-satunya orang di dunia ini yang ceritanya telah berakhir di halaman pertama.
Sembilan belas tahun. Usia di mana dunia seharusnya terbentang serupa peta harta karun yang mendebarkan. Bagi teman-temannya, masa depan merupakan serangkaian titik cerah yang bisa dihubungkan, kelulusan, pekerjaan di Marunouchi, apartemen pertama, cinta yang baru. Bagi Kana, hidup berputar seperti lingkaran. Setiap hari menjadi gema dari hari kemarin. Bangun di apartemennya yang sunyi di Nakano, menempuh perjalanan yang sama ke kampusnya di Shinjuku, duduk di kelas sosiologi sambil berpura-pura mencatat, lalu pulang. Baginya rutinitas yang presisi dan mematikan.
Tiga tahun lalu, Ren pergi. Kata ‘pergi’ terasa terlalu sederhana, terlalu jinak untuk menggambarkan lubang hitam yang ia tinggalkan. Ren tidak pindah kota. Ia tidak meninggal dalam kecelakaan tragis. Ia hanya… menghilang. Suatu hari ia ada di sana, tertawa di sampingnya sambil berbagi es krim rasa matcha, dan keesokan harinya ia lenyap. Tidak ada pesan, tidak ada telepon, tidak ada jejak. Seolah-olah alam semesta memutuskan untuk mengeditnya keluar dari eksistensi, dan hanya Kana yang masih memegang naskah aslinya.
Angin musim gugur menyambutnya saat ia melangkah keluar dari stasiun. Dinginnya menembus mantel tipisnya, membuatnya merapatkan syal di leher. Daun-daun ginkgo keemasan menari-nari di trotoar seperti kunang-kunang yang sekarat. Ia melihat sepasang kekasih di depannya, berbagi satu payung meskipun hujan hanya gerimis tipis, jari-jari mereka bertautan. Sebuah pemandangan yang begitu biasa, namun bagi Kana, itu menjadi tusukan kecil yang tajam. Ia menunduk, mempercepat langkahnya, berharap bisa berjalan lebih cepat dari bayangannya sendiri.
Hari ini, sesuatu dalam dirinya memberontak. Menyerupai dorongan yang impulsif, seperti kompas yang jarumnya tiba-tiba berputar liar. Alih-alih berbelok ke kiri menuju jalan utama yang ramai, kakinya membawanya ke kanan, menyusuri gang sempit yang terjepit di antara toko ramen tua dan gedung perkantoran kusam. Gang itu seperti retakan dalam realitas, membawanya menjauh dari hiruk pikuk kota. Udaranya berubah, menjadi lebih lembap, berbau tanah basah dan dedaunan yang membusuk.
Di ujung gang, terbentang pemandangan yang di luar nalarnya. Padang ilalang yang luas, pulau pedesaan yang terlupakan di tengah lautan beton dan baja. Rumput-rumput tinggi berwarna gandum bergoyang serempak ditiup angin, menciptakan ombak senyap di bawah langit yang meredup. Tempat itu seharusnya tidak ada, ia menjadi anomali geografis, kantung waktu yang telah bocor.
Dan di tengah-tengahnya, berdiri sesuatu yang lebih tak masuk akal lagi. Sebuah kotak pos.
Bukan kotak pos modern dari Japan Post. Ini adalah artefak dari zaman lain. Warnanya merah pekat yang telah memudar karena matahari dan hujan, catnya mengelupas di beberapa bagian seperti kulit yang terbakar, memperlihatkan lapisan karat berwarna tembaga. Kotak itu berdiri sendirian dengan kesunyian yang angkuh, tidak terhubung ke jalan atau trotoar mana pun. Ia tidak melayani rumah siapa pun. Ia hanya ada di sana, menatap langit, seolah sedang menunggu surat dari bintang-bintang.
Kana mendekat, langkahnya pelan dan ragu-ragu di atas tanah yang lembut. Ia merasakan tarikan aneh, seolah medan magnet tak kasat mata memancar dari benda itu. Ia menyentuh permukaannya yang dingin dan sedikit kasar. Tidak ada jadwal pengambilan, tidak ada logo, hanya sebuah slot gelap untuk memasukkan surat, seperti mulut yang diam.
Sebuah ide yang tidak masuk akal, lahir dari keputusasaan yang telah lama mengendap, mekar di dalam benaknya. Ini gila. Ini konyol. Tapi rasa sesak di dadanya, beban tak bernama yang telah ia pikul selama 1.095 hari, tiba-tiba terasa terlalu berat untuk ditanggung sendirian.
Ia duduk bersila di atas rumput, tidak peduli pada dingin yang merayap naik. Dari dalam tas ranselnya, ia mengeluarkan buku catatan spiral dan pulpen. Cahaya terakhir dari matahari terbenam menjadi lampunya. Tangannya sedikit gemetar saat ia mulai menulis, membiarkan semua yang terpendam mengalir keluar melalui ujung pulpen.
Untuk Ren,
Di mana pun semesta menyembunyikanmu.
Aku tidak tahu kenapa aku menulis ini. Mungkin karena aku baru saja melihat sepasang kekasih, dan aku teringat cara kau selalu menggenggam tanganku di saku mantelmu saat musim dingin, menjadikannya tempat paling aman di dunia. Apakah kau ingat? Tanganmu selalu lebih hangat dariku.
Tiga tahun. Rasanya seperti seabad dan sedetik pada saat yang bersamaan. Orang-orang di sekitarku terus bergerak. Mereka mengubah gaya rambut, mendapatkan pekerjaan paruh waktu, merencanakan liburan. Sementara aku, aku masih terjebak di hari itu. Hari terakhir aku melihatmu. Kau melambaikan tangan dari seberang peron stasiun, tersenyum, dan berkata, ‘Sampai besok.’ Besok tidak pernah datang, Ren.
Kadang aku marah padamu. Kenapa kau pergi tanpa sepatah kata pun? Apakah aku melakukan kesalahan? Apakah aku tidak cukup baik? Lalu kemarahan itu berubah menjadi kesedihan, dan kesedihan itu berubah menjadi kehampaan yang dingin. Aku lebih suka marah. Setidaknya saat marah, aku merasakan sesuatu.
Aku hanya... aku hanya merindukanmu. Aku merindukan hal-hal konyol. Cara kau salah menyanyikan lirik lagu. Baumu yang seperti campuran kopi dan buku-buku tua. Aku merindukan sahabatku.
Hidupku seperti berjalan di tempat. Aku takut, Ren. Aku takut aku akan selamanya menjadi gadis 19 tahun yang menunggu seseorang yang tidak akan pernah kembali.
Setetes air mata jatuh ke atas kertas, membuat tinta biru pada kata ‘takut’ sedikit menyebar. Ia tidak membacanya kembali. Ini bukanlah esai yang butuh revisi. Ini hanya kapitulasi, pengakuan kalah pada kesedihan.
Ia melipat surat itu menjadi tiga bagian yang rapi. Berdiri, ia mendekati kotak pos itu lagi. Dengan napas tertahan, ia mendorong surat itu masuk ke dalam slot yang gelap. Tidak ada suara kertas jatuh yang ringan dan bergetak seperti pada kotak pos biasa. Yang terdengar hanya dentuman pelan, dalam, dan bergema—thunk—seolah surat itu telah jatuh ke tempat yang sangat, sangat jauh.
Kana berdiri mematung untuk waktu yang lama, menatap kotak pos itu saat kegelapan menelannya sepenuhnya. Ia tidak mengharapkan balasan. Ia tidak percaya pada sihir. Ini hanyalah ritual pelepasan, doa yang ia lempar ke dalam sumur harapan yang kering.
Saat ia akhirnya berbalik untuk pulang, angin bertiup sekali lagi, namun kali ini terasa berbeda. Lebih lembut. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, langkahnya terasa lebih ringan. Seolah sebagian dari beban berat yang membebani jiwanya telah ia titipkan pada penjaga merah bisu di tengah padang kosong itu.
Dua hari berlalu dalam kabut kelabu yang sama. Selasa berganti menjadi Rabu, kelas pagi berganti menjadi kelas sore. Kana mencoba mengubur insiden di padang ilalang itu dalam-dalam, menganggapnya sebagai momen kelemahan sesaat, sebuah penyimpangan emosional. Namun, ingatan akan dentuman pelan dari kotak pos itu terus bergema di benaknya, menjelma bagai not bass yang menolak untuk memudar.
Pada Kamis pagi, dunianya terbelah menjadi dua.
Ia terbangun karena alarm ponselnya, lalu melakukan rutinitas paginya dengan gerakan otomatis: mematikan alarm, meregangkan tubuh, menyeret kaki ke dapur kecil untuk membuat kopi instan. Apartemennya selalu terasa terlalu besar untuk satu orang, dipenuhi oleh keheningan yang tebal. Setelah mandi dan berpakaian, ia pergi ke genkan, pintu masuk kecil tempat ia biasa meletakkan sepatunya.
Saat ia membungkuk untuk mengenakan sepatu ketsnya yang sudah usang, matanya menangkap sesuatu yang tidak seharusnya ada di sana. Terselip dengan rapi di rak sepatu teratas, di antara sepasang sepatu bot musim dingin yang sudah lama tidak dipakai, ada selembar amplop.
Amplop berwarna gading pucat, sederhana, tanpa prangko, tanpa alamat. Hanya namanya, "Kana," tertulis di bagian depan.
Jantung Kana berhenti berdetak sejenak, lalu mulai berpacu dengan kecepatan yang menyakitkan. Tangannya gemetar hebat saat ia mengambil amplop itu. Bagaimana ini bisa ada di sini? Pintu apartemennya selalu terkunci. Tidak ada yang punya kunci cadangan. Ia tinggal sendirian.
Gemetar, ia merobek segelnya. Di dalamnya ada selembar kertas surat yang serasi. Dan di atas kertas itu, ada tulisan tangan yang membuat lututnya lemas.
Setiap lengkungan, setiap goresan, setiap tekanan pulpen yang sedikit lebih kuat pada huruf 'R'. Ia akan mengenali tulisan tangan itu di mana saja, bahkan dalam kegelapan total. Itu adalah tulisan tangan Ren. Persis, tanpa cela.
Ia terduduk di lantai dingin genkan, napasnya tersengal-sengal. Dengan mata yang mulai basah, ia membaca.
Untuk Kana-ku,
Tanganmu selalu lebih hangat dariku. Karena kau membawa semua kehangatan untuk kita berdua. Aku yang selalu kedinginan, ingat?
Aku senang kau akhirnya menulis. Aku sudah menunggumu. Di sini, ‘besok’ selalu datang. Kemarin kita baru saja pergi ke festival kembang api di tepi sungai, dan kau mengeluh karena aku menghabiskan semua takoyaki-mu. Kau terlihat sangat lucu saat cemberut.
Jangan marah padaku. Aku tidak pernah pergi. Aku di sini. Selalu di sini, di sisimu. Mungkin kau hanya perlu melihat ke arah yang sedikit berbeda untuk menemukanku.
Aku juga merindukanmu, meskipun kau ada di sini bersamaku sekarang, tertidur di sofa sambil memeluk bantal mochi itu. Aku merindukan bagian dirimu yang merasa telah kehilanganku.
Kau bukan gadis yang menunggu, Kana. Kau adalah mercusuar. Bahkan saat kau pikir cahayamu redup, kau tetap bersinar dalam kegelapanku.
Selalu milikmu,
Ren
Kana membaca surat itu tiga kali. Empat kali. Kata-katanya menari-nari di depan matanya, indah dan aneh. Logika di otaknya berteriak bahwa ini lelucon yang kejam dan rumit. Seseorang telah menemukan suratnya, meniru tulisan tangan Ren dengan sempurna, dan entah bagaimana menyelinap ke apartemennya. Teori itu terdengar lebih gila daripada alternatifnya.
Alternatifnya mengatakan bahwa surat ini nyata. Bahwa di suatu tempat, di satu dunia yang berjalan paralel dengan dunianya, Ren masih ada. Dunia di mana ia tidak pernah menghilang. Dunia di mana mereka masih bersama, menjalani kenangan-kenangan yang di dunia ini hanya menjadi fantasi menyakitkan. Festival kembang api. Takoyaki. Bantal mochi. Semua itu menjadi rencana yang pernah mereka buat, mimpi-mimpi kecil yang tidak pernah terwujud.
Air mata yang ia tahan akhirnya jatuh, membasahi surat itu. Tapi ini bukan air mata kesedihan murni. Ada kebingungan, kelegaan, dan secercah harapan yang menakutkan di dalamnya. Harapan adalah hal yang berbahaya. Ia telah belajar itu dengan cara yang sulit.
Namun ia tidak bisa mengabaikannya.
Hari itu, ia membolos kuliah. Ia kembali ke padang ilalang di bawah langit biru yang cerah. Jantungnya berdebar kencang saat ia mendekat. Apakah kotak pos itu masih ada?
Masih ada. Berdiri dengan tenang di tempat yang sama, seolah tidak terjadi apa-apa.
Kana duduk di tempat yang sama seperti beberapa hari yang lalu. Kali ini, ia tidak menulis karena putus asa. Ia menulis karena pertanyaan yang membara.
Ren?
Jika ini benar-benar kau, bagaimana ini mungkin? Suratmu... ada di rak sepatuku pagi ini. Kau menulis tentang hal-hal yang tidak pernah terjadi. Festival itu... kita seharusnya pergi, tapi kau menghilang seminggu sebelumnya.
Aku bingung. Aku takut. Tapi sebagian kecil dari diriku, bagian yang paling bodoh dan paling keras kepala, merasa bahagia membaca kata-katamu. Rasanya seperti mendengar suaramu setelah keheningan yang begitu lama.
Di duniamu... apakah kita bahagia?
Ceritakan padaku tentang dunia itu. Ceritakan semua yang aku lewatkan.
Kana
Ia melipat surat itu, tangannya lebih mantap kali ini. Saat ia memasukkannya ke dalam kotak pos, dentuman yang sama terdengar lagi. Thunk. Suara jembatan yang diturunkan di atas jurang yang tak terpahami.
Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi. Ia tidak tahu apakah ia sedang kehilangan akal sehatnya. Tapi untuk pertama kalinya dalam tiga tahun, ia merasa tidak sendirian dalam kesepiannya. Dan itu sudah lebih dari cukup.
Korespondensi itu menjadi napas barunya. Hidup Kana kini memiliki dua jalur yang berjalan sejajar: dunia nyata yang pucat dan sunyi, dan dunia surat yang penuh warna dan kehangatan. Setiap dua atau tiga hari, selembar amplop berwarna gading akan muncul secara ajaib di apartemennya—terkadang di atas meja dapur, di lain waktu terselip di antara halaman buku yang sedang ia baca, atau bahkan di dalam kotak sereal. Setiap kemunculannya bagai keajaiban kecil yang membuat jantungnya berdebar.
Surat-surat dari Ren, jendela ke dalam kehidupan yang seharusnya ia miliki.
“Hari ini salju pertama turun,” tulis Ren di salah satu suratnya. “Kau menyeretku keluar hanya untuk membuat malaikat salju, dan akhirnya kita berdua basah kuyup dan kedinginan. Aku membuatkanmu cokelat panas dengan terlalu banyak marshmallow, seperti yang kau suka. Sekarang kau sedang bersin-bersin di balik selimut.”
Kana membaca surat itu sambil duduk di dekat jendela, memandangi hujan musim gugur yang tak kunjung reda di dunianya. Tidak ada salju. Hanya hawa dingin yang lembap. Tapi ia bisa merasakannya—kehangatan cokelat panas, dinginnya salju di kulitnya, suara bersinnya sendiri. Dunia surat terasa lebih nyata daripada dunia di luar jendelanya.
Ketergantungan itu tumbuh secara diam-diam, seperti tanaman rambat yang kuat. Ia mulai menolak ajakan teman-temannya. "Maaf, aku harus belajar," katanya, padahal sebenarnya ia hanya ingin berada di apartemennya, menunggu kedatangan surat berikutnya. Di kelas, pikirannya melayang, membayangkan apa yang sedang dilakukan Ren di dunianya pada saat itu. Apakah ia sedang di perpustakaan? Apakah ia sedang memikirkannya juga?
Interaksi dengan orang-orang di sekitarnya menjadi seperti menonton film dengan suara yang dimatikan. Kata-kata mereka sampai ke telinganya, tetapi tidak mencapai pikirannya. Satu-satunya suara yang bergema adalah suara Ren, yang ia baca dari kertas.
Flashback, yang dulu merupakan penyergapan menyakitkan, kini menjadi harta karun. Setiap kalimat dalam surat Ren memicu kenangan yang telah lama terkubur, memberinya kehidupan baru.
Suatu kali, Ren menulis: “Aku menemukan kembali payung biru tua yang kita pakai waktu itu. Ingat saat kita terjebak hujan badai setelah menonton film di Shibuya? Kita berlari dan berteduh di bawah atap kuil kecil itu selama hampir satu jam.”
Membaca itu, Kana menutup matanya dan ia kembali ke sana. Ia bisa mencium bau aspal yang basah dan dupa dari kuil. Ia bisa merasakan getaran dari lengan Ren saat mereka berdiri berdekatan, bahu mereka bersentuhan. Ia ingat bagaimana mereka berbagi satu set earphone, mendengarkan lagu dari band indie favorit mereka, sementara dunia luar hanyalah tirai air dan deru lalu lintas yang samar. Saat itu, di bawah atap kuil, ia merasa telah menemukan pusat alam semesta.
"Aku janji," bisik Ren saat itu, suaranya samar di antara deru hujan, "suatu hari nanti, aku akan membawamu ke tempat di mana kita tidak perlu berlindung dari hujan."
Janji yang tidak pernah sempat ditepati.
Di surat lain, Ren menyinggung tentang malam kelulusan SMP mereka. “Aku masih menyimpan foto dari malam itu. Kau terlihat sangat canggung dengan gaunmu. Aku ingin mengatakan sesuatu padamu malam itu, tapi aku terlalu pengecut.”
Kana tersenyum getir. Ia ingat malam itu dengan sangat jelas. Mereka duduk di ayunan di taman yang sepi, bintang-bintang berkelip di atas. Suasananya begitu tegang, dipenuhi oleh hal-hal yang tak terucapkan. Ren menatapnya, bibirnya sedikit terbuka seolah ingin berbicara, lalu ia hanya tersenyum dan mengalihkan pandangan. Kana selalu bertanya-tanya apa yang ingin ia katakan.
Ia membalas surat itu. “Ciuman pertama yang cuma separuh,” tulisnya. “Begitulah aku mengingatnya. Rasanya seperti kita berdua menahan napas terlalu lama.”
Balasan Ren datang keesokan harinya, lebih cepat dari biasanya. Amplop itu ada di atas bantalnya saat ia bangun.
“Di duniaku, aku tidak menahan napas. Aku menciummu. Itu bukan ciuman yang hebat, sedikit canggung dan terlalu cepat. Tapi itu nyata. Dan setelah itu, tidak ada lagi keheningan di antara kita.”
Membaca kalimat itu, Kana merasakan kebahagiaan dan kesedihan yang begitu hebat hingga terasa seperti belati yang terbuat dari kaca. Ia bahagia untuk versi dirinya yang ada di dunia itu. Versi dirinya yang dicium, yang tidak perlu bertanya-tanya. Tapi ia juga berduka untuk dirinya sendiri, yang hanya bisa mengalami momen itu melalui kata-kata di atas kertas.
Ia hidup di antara dua dunia, tidak sepenuhnya menjadi milik salah satunya. Di dunia nyata, ia adalah hantu yang berjalan melewati hari-harinya. Di dunia surat, jiwanya hidup, tetapi terperangkap di balik kaca. Ia lebih hidup dari sebelumnya, sekaligus lebih terisolasi dari sebelumnya. Kotak pos merah itu telah menjadi jembatan, tetapi juga penjara yang indah. Dan ia tidak yakin lagi apakah ia ingin melarikan diri.
Musim gugur mulai kehilangan warnanya, berganti menjadi palet abu-abu dan cokelat kusam yang menandakan kedatangan musim dingin. Udara menjadi lebih tajam, angin terasa lebih menggigit. Perubahan musim di dunia nyata terasa semakin kontras dengan kehangatan abadi dalam surat-surat Ren.
Ketergantungan Kana telah mencapai puncaknya. Ia tidak lagi hanya menunggu surat; ia hidup untuk surat. Dunianya telah menyusut menjadi jarak antara apartemennya dan padang ilalang. Setiap momen di luar siklus itu terasa seperti interupsi yang tidak diinginkan.
Suatu malam, setelah membaca surat Ren yang menceritakan tentang perjalanan berkemah akhir pekan mereka di tepi Danau Kawaguchi, dengan Gunung Fuji sebagai latar belakangnya—menjadi perjalanan lain yang hanya ada dalam daftar "suatu hari nanti" mereka—sesuatu dalam diri Kana retak.
Kisah itu terlalu indah, terlalu sempurna. Ia bisa membayangkan semuanya: api unggun yang berderak, bayangan mereka yang menari-nari, langit malam yang dipenuhi bintang lebih banyak daripada yang pernah ia lihat di Tokyo. Dan kenyataan bahwa ia tidak ada di sana, bahwa ia hanya bisa membacanya, tiba-tiba terasa tak tertahankan. Ini bukan lagi penghiburan. Ini siksaan yang manis.
Malam itu, ia tidak tidur. Ditemani secangkir teh yang sudah dingin, di bawah cahaya lampu mejanya yang redup, ia menulis surat terpanjang dan paling jujur yang pernah ia tulis. Ia menuangkan semua keraguan, ketakutan, dan keputusasaan yang telah ia coba tekan.
Ren,
Aku tidak tahu harus memulainya dari mana. Setiap suratmu menjadi hadiah sekaligus kutukan. Kau memberiku kehangatan, kau memberiku tawa, kau memberiku kembali kenangan-kenangan kita. Tapi kau memberikannya kepadaku melalui jeruji penjara. Aku bisa melihat, tapi aku tidak bisa menyentuh.
Aku membaca tentang perjalanan berkemah kita. Aku bahkan bisa mencium bau pinus dan asap api unggun. Aku bahagia untuk ‘kita’ yang ada di duniamu. Sungguh. Tapi bagaimana denganku? Bagaimana dengan Kana yang ada di sini, di ruangan yang dingin ini, sendirian?
Setiap hari aku bertanya pada diriku sendiri. Apa tujuan dari semua ini? Kau membangun dunia yang indah untukku, surga yang terbuat dari kertas dan tinta, tapi kau tahu aku tidak akan pernah bisa memasukinya. Kau memberiku peta ke pulau harta karun yang tidak akan pernah bisa aku capai.
Jadi, aku harus bertanya padamu, Ren. Pertanyaan yang paling penting.
Kalau dunia kita tidak akan pernah bertemu, kalau tangan kita tidak akan pernah bisa bersentuhan lagi, kalau aku ditakdirkan untuk selamanya menjadi penonton dalam kebahagiaan kita sendiri... kenapa kau tetap membalas? Kenapa kau memberiku harapan ini, jika harapan ini hanya akan menyakitiku pada akhirnya?
Tolong, jawab aku dengan jujur.
Kana
Ia melipat surat itu dengan perasaan berat. Ini terasa seperti sebuah ultimatum, pertaruhan. Keesokan paginya, ia pergi ke padang ilalang dan memasukkannya ke dalam kotak pos. Dentuman itu terdengar lebih jelas dari biasanya.
Lalu, penantian dimulai.
Satu hari berlalu. Tidak ada surat. Biasanya balasan datang dalam satu atau dua hari. Mungkin dia butuh waktu untuk berpikir, kata Kana pada dirinya sendiri.
Dua hari. Rak sepatunya kosong. Tidak ada yang terselip di buku-bukunya. Keheningan mulai terasa berat.
Tiga hari. Ia mulai panik. Ia bolak-balik memeriksa setiap sudut apartemennya, berharap ia melewatkannya. Tidak ada apa-apa.
Seminggu kemudian, padang ilalang itu terasa berbeda. Kotak pos merah itu masih berdiri di sana, diam dan tak acuh di bawah langit kelabu. Tapi auranya telah berubah. Ia tidak lagi terasa seperti jembatan; ia terasa seperti monumen untuk sesuatu yang telah berakhir. Setiap hari Kana datang, membuka pintu kecilnya dengan harapan yang semakin menipis, dan setiap hari ia hanya menemukan kekosongan yang dingin.
Keheningan itu lebih keras daripada surat mana pun. Tidak adanya jawaban menjadi jawaban itu sendiri.
Dalam keheningan yang memekakkan telinga itu, Kana dipaksa untuk melihat ke dalam dirinya sendiri, bukan ke dalam surat. Ia berjalan tanpa tujuan mengelilingi Tokyo, bukan lagi untuk melarikan diri dari pikirannya, tetapi untuk menghadapinya. Ia duduk di taman, memperhatikan anak-anak bermain. Ia pergi ke kedai kopi, memperhatikan orang-orang berbicara dan tertawa.
Hidup terus berjalan, dengan atau tanpa surat dari Ren.
Perlahan, pemahaman mulai terbentuk di benaknya, setenang salju yang turun. Mungkin Ren—Ren-nya, Ren dari dunia surat—tidak pernah bermaksud menyiksanya. Mungkin ia tidak memberinya harapan untuk bertemu kembali.
Mungkin ia memberinya sesuatu yang lain.
Ia memberinya kenangan yang utuh, menutup lingkaran-lingkaran yang terbuka. Ia memberinya kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal yang tidak pernah ia dapatkan. Ia meminjamkan kebahagiaannya agar Kana bisa mengingat bagaimana rasanya bahagia.
“Mungkin ini bukan tentang cinta yang harus bertemu,” bisiknya pada angin dingin di Taman Yoyogi. “Mungkin ini tentang cinta yang cukup kuat untuk mengizinkan seseorang terus berjalan. Bahkan jika itu berarti berjalan sendirian.”
Cinta sebagai bentuk pelepasan, bukan genggaman. Pelukan hangat sebelum mendorongmu dengan lembut ke depan.
Surat terakhir Ren bukanlah surat yang tidak dibalas. Keheningan itulah surat terakhirnya. Pesannya jelas: Sekarang giliranmu untuk menulis ceritamu sendiri, Kana. Di duniamu.
Pencerahan itu tidak datang seperti kilat yang menyambar, melainkan seperti fajar yang merekah perlahan. Butuh beberapa minggu bagi Kana untuk sepenuhnya mencerna keheningan dari kotak pos itu. Rasa panik dan kehilangan perlahan-lahan surut, digantikan oleh kesedihan yang tenang dan penerimaan yang rapuh. Ia berhenti mengunjungi padang ilalang setiap hari. Siklus obsesif itu telah rusak.
Suatu pagi di awal musim dingin, saat embun beku pertama melapisi jendela apartemennya seperti gula bubuk, sebuah dorongan membawanya kembali. Ia tidak tahu kenapa. Bukan untuk mencari surat, bukan untuk berharap. Mungkin hanya untuk mengucapkan selamat tinggal yang pantas.
Ia mengenakan mantel tebal dan syal yang ia rajut sendiri—warnanya biru langit, bukan biru norak seperti yang pernah ia berikan pada Ren. Saat ia tiba di ujung gang, ia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, mempersiapkan diri untuk pemandangan yang sudah dikenalnya.
Namun, pemandangan itu tidak ada.
Padang ilalang itu terhampar di hadapannya, rumput-rumputnya kaku dan pucat karena embun beku, berkilauan di bawah matahari musim dingin yang pucat. Tapi di tengah-tengahnya, di tempat di mana kotak pos merah itu seharusnya berdiri dengan angkuh, tidak ada apa-apa.
Hanya rumput yang bergoyang pelan ditiup angin.
Kana berjalan melintasi padang, kakinya membuat jejak gelap di atas rumput beku. Ia sampai di tempat itu. Ia berjongkok, menyentuh tanah. Tidak ada lubang, tidak ada tanda-tanda bahwa sesuatu pernah dicabut dari sana. Seolah-olah kotak pos itu hanyalah halusinasi massal yang hanya ia yang mengalaminya. Seolah-olah padang itu telah menarik kembali rahasianya, menutup retakan antar dunia selamanya.
Ia tidak terkejut. Anehnya, ia merasa damai. Ini adalah konfirmasi terakhir. Bab itu telah benar-benar ditutup.
Ia kembali ke apartemennya dan duduk di mejanya. Ia mengeluarkan selembar kertas surat terakhir dari set yang ia beli saat korespondensi mereka dimulai. Ia ingin menulis surat terakhir, bukan karena ia pikir surat itu akan sampai, tetapi karena ia perlu menuliskannya. Sebagai penutup untuk dirinya sendiri.
Untuk Ren,
Baik Ren-ku yang dulu, maupun Ren dari dunia surat.
Kotak pos itu sudah hilang pagi ini. Aku rasa aku tahu kenapa. Tugasnya sudah selesai.
Terima kasih. Terima kasih telah membalas surat pertamaku yang konyol. Terima kasih telah menunjukkan kepadaku sebuah dunia di mana kita baik-baik saja. Kau tidak memberiku harapan palsu. Kau memberiku jangkar saat aku tenggelam dalam badai. Kau mengingatkanku pada versi diriku yang bisa bahagia, yang bisa tertawa, yang bisa mencintai tanpa rasa takut.
Aku mengerti sekarang. Keheninganmu adalah hadiah perpisahan. Itu adalah cara lembutmu untuk mengatakan, ‘Lepaskan aku. Hiduplah.’
Aku belum sepenuhnya baik-baik saja. Mungkin aku tidak akan pernah sama lagi. Tapi aku tidak lagi merasa berjalan di tempat. Aku mulai melangkah, Ren. Perlahan, tapi pasti. Aku akan membawa kenangan kita—baik yang nyata maupun yang dari surat—bukan sebagai beban, tapi sebagai kompas.
Aku tidak akan melupakanmu. Tapi aku akan terus hidup.
Selamat tinggal, Ren. Berbahagialah di duniamu.
Dengan cinta yang tak akan pernah sampai,
Kana
Ia melipat surat itu dengan hati-hati dan memasukkannya ke dalam amplop. Ia menulis "Untuk Ren" di bagian depan. Lalu ia meletakkannya di dalam tasnya. Tidak ada tempat untuk mengirimkannya. Surat itu akan menjadi miliknya untuk disimpan.
Waktu terus berjalan, tanpa peduli pada luka yang belum sepenuhnya kering. Musim dingin mencengkeram Tokyo. Salju turun, kali ini di dunia nyata, menyelimuti kota dalam keheningan yang putih dan lembut. Kana tidak membuat malaikat salju. Tapi ia berjalan di bawah salju yang turun, merasakan kepingan dingin di wajahnya, dan untuk pertama kalinya, ia tersenyum.
Ia kembali fokus pada kuliahnya. Ia mulai menghabiskan waktu dengan teman-temannya lagi, pergi ke bioskop, minum kopi, berbicara tentang hal-hal yang tidak penting. Tawa mereka terasa nyata. Kehangatan secangkir kopi di tangannya terasa nyata. Ia mendapatkan pekerjaan paruh waktu di sebuah toko buku bekas di Jimbocho, dikelilingi oleh bau kertas tua yang selalu mengingatkannya pada Ren dengan cara yang menenangkan, bukan menyakitkan.
Surat terakhir itu selalu ada di dalam tasnya. Sebuah pengingat bisu dari perjalanan yang telah ia lalui. Ia tidak lagi membacanya, tetapi ia tahu surat itu ada di sana. Sebagai jimat. Bukti bahwa ia pernah mencintai begitu dalam hingga bisa menjangkau dunia lain, dan bahwa ia selamat untuk menceritakan kisahnya.
Musim semi datang dengan keraguan, seperti tamu yang malu-malu. Kuncup-kuncup sakura mulai mekar di sepanjang Sungai Meguro, menjanjikan lautan merah muda yang akan segera tiba. Udara tidak lagi menggigit, hanya sejuk dan penuh dengan aroma kehidupan baru.
Kana telah berubah. Perubahan itu tidak drastis, tidak seperti transformasi dalam film. Itu adalah pergeseran yang halus dan internal. Masih ada gema kesedihan di sudut-sudut hatinya, tetapi ia telah belajar untuk hidup di sekitarnya. Ia tidak lagi didefinisikan oleh kehilangan; ia dibentuk olehnya.
Pagi itu, ia sedang dalam perjalanan ke pekerjaan paruh waktunya di toko buku. Langit sedikit berkabut, menciptakan filter lembut yang membuat cahaya matahari pagi menembus dengan cara yang puitis, persis seperti dalam adegan film favoritnya. Ia berdiri di halte bus yang tidak terlalu ramai, mendengarkan musik melalui earphone-nya, memandangi kelopak bunga pertama yang gugur dan menari-nari di aspal.
Busnya sedikit terlambat. Ia bersandar di tiang halte, merasakan kehangatan matahari yang samar di punggungnya. Seseorang datang dan berdiri di sampingnya, tetapi ia tidak terlalu memperhatikan, terlalu tenggelam dalam lagunya.
Lalu, sebuah suara memotong keheningannya. Suara yang tenang dan sedikit rendah.
"Maaf."
Kana melepas satu earphone-nya dan menoleh. Seorang pemuda seusianya berdiri di sampingnya. Ia mengenakan jaket denim sederhana dan membawa tas selempang kanvas. Wajahnya... wajahnya membuat Kana menahan napas.
Ia bukan Ren. Tidak persis. Garis rahangnya sedikit lebih lembut, matanya sedikit lebih sipit. Tapi ada sesuatu di sana—cara rambutnya yang sedikit berantakan jatuh di dahinya, sorot matanya yang tenang dan penuh perhatian, lekukan kecil di bibirnya saat ia tersenyum ragu-ragu. Itu adalah gema. Gema yang sangat kuat dari Ren.
Namun, bukan kemiripan wajahnya yang membuat dunia Kana berhenti berputar.
Melainkan apa yang ada di tangannya.
Pemuda itu memegang selembar amplop berwarna gading yang sudah sedikit lecek. Surat terakhir yang Kana tulis. Surat yang seharusnya ada dengan aman di dalam tasnya.
Jantungnya berdebar begitu kencang hingga ia bisa mendengarnya di telinganya. "Bagaimana..." bisiknya, kata-kata tercekat di tenggorokannya.
Pemuda itu menatap surat di tangannya, lalu kembali menatap Kana. Matanya dipenuhi oleh emosi yang tak terbaca—kelegaan, kesedihan, dan kerinduan yang sangat dalam. Ia tidak menjawab pertanyaan Kana secara langsung. Sebaliknya, dengan suara pelan yang hampir tertelan oleh suara lalu lintas, ia membaca sebaris kalimat dari surat itu.
"...Aku akan membawa kenangan kita... bukan sebagai beban, tapi sebagai kompas."
Suaranya bergetar sedikit saat mengucapkan kata-kata itu. Kata-kata Kana sendiri.
Kana hanya bisa menatapnya, pikirannya kosong karena syok dan keajaiban. Siapa dia? Bagaimana ini mungkin? Apakah ia hantu? Apakah ia Ren yang berhasil menyeberang? Apakah ia sedang bermimpi?
Pemuda itu melipat surat itu dengan sangat hati-hati, seolah benda paling berharga di dunia. Ia menatap langsung ke mata Kana, dan dalam tatapannya, Kana melihat perjalanan yang sama panjangnya dengan perjalanannya sendiri.
"Kau tidak tahu," katanya, suaranya kini lebih jelas, lebih mantap. "Kau tidak tahu betapa lama aku menunggu hari ini."
Bus datang dan berhenti di depan mereka dengan desisan rem angin, pintunya terbuka. Beberapa orang naik dan turun. Tapi Kana dan pemuda itu tidak bergerak. Mereka berdiri di pulau waktu mereka sendiri, di tengah pagi Tokyo yang berkabut.
Semua pertanyaan yang berputar di kepala Kana—siapa dia, dari mana asalnya, bagaimana ia mendapatkan surat itu—tiba-tiba terasa tidak penting. Logika tidak memiliki tempat di sini. Inilah babak terakhir dari dongeng yang ia jalani, epilog yang tidak pernah berani ia harapkan.
Cinta, ia menyadari, mungkin tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya berubah bentuk. Ia bisa menjadi kenangan, bisa menjadi surat yang melintasi dunia, atau bisa muncul kembali di wajah orang asing di halte bus pada suatu pagi di musim semi.
Pemuda itu mengulurkan tangannya, masih memegang surat itu.
Kana menatap tangannya, lalu ke matanya. Ia melihat awal dari sebuah cerita baru, yang lahir dari abu cerita lama. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia mengulurkan tangannya sendiri dan menerima surat itu kembali. Jari-jari mereka bersentuhan hanya sesaat, tetapi sengatan listrik kecil yang akrab menjalari lengannya.
Ia tidak mendapatkan Ren kembali. Ia tahu itu. Ia mendapatkan sesuatu yang lain. Sesuatu yang mungkin lebih baik. Kesempatan kedua.
"Namaku Kana," katanya, suaranya lebih kuat dari yang ia duga.
Pemuda itu tersenyum, senyum pertama yang tulus. Dan dalam senyum itu, Kana melihat semua kemungkinan di dunia.
"Aku tahu," jawabnya lembut. "Namaku Kaito."
Bus itu pergi, meninggalkan mereka berdua di halte, di bawah cahaya matahari yang akhirnya berhasil menembus kabut, menjanjikan hari yang cerah.