Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Langkah-langkah mungil menyelinap memasuki rumah lantai dua bercat krem yang sudah memudar warnanya. Bau asap rokok langsung menyeruak, meresap sampai menusuk lubang hidung mungil seorang gadis yang membuat napas tercekat meskipun sudah terbiasa menghirup aroma tak mengenakkan ini. Mata mungil Rora—gadis yang berusia 10 tahun langsung tertuju ke arah meja makan.
Selama seharian berada di bangku sekolah membuat perut Rora terasa keroncongan dan kakinya lemas. Dibukalah tutup saji yang tak layak digunakan lagi karena sudah bolong-bolong dan sering kemasukan cicak. Seulas senyum terbit di bibirnya. Ada sepiring nasi dan tahu bacem. Makanan yang menurut orang hanya menu biasa tapi menurutnya, itu sangat menggugah selera. Karena sering kali sepulang sekolah hanya tersisa nasi, kerupuk dan bubuk cabai meski setiap pagi ibunya masak makanan layak.
Sengaja belum melepaskan baju sekolah dan melepaskan tas karena rasa lapar mengalahkan semuanya. Rora bergegas mengambil piring plastik di rak yang sudah menguning tak hanya termakan usia, namun juga karena jarang dibersihkan. Mengambil centong nasi, menyendokkan nasi tersebut lalu mengambil satu dari tiga tahu yang tersisa. Duduk kembali, tanpa mencuci tangan langsung mencampurkan potongan tahu dan nasi.
“Ngapain kamu?!” Tapi tiba-tiba, ketika nasi dan tahu akan masuk ke dalam mulut, suara seorang lelaki yang tidak lain ayahnya membuat Rora terlonjak.
Rora langsung meletakkan kembali campuran tahu dan nasi tersebut.
“Ngapain kamu di sini?!” Pak Darmadi menyesap putung rokok, menghembuskan tepat di hadapan putri sulungnya.
“Uhuk-uhuk!” Rora batuk.
“Kamu itu kerjaannya cuman minta duit. Kamu nggak boleh makan tahu ini!” Pak Darmadi mengambil piring tersebut, menjauhkan dari Rora. “Ini buat Amar yang lagi kerja!” ketusnya. “Kamu makan bubuk cabe sama kerupuk aja tuh!” tunjuknya ke arah pojok dapur yang terdapat toples berisi kerupuk.
Rora menundukkan kepala. Khayalannya yang menginginkan makan sepiring nasi dengan lauk tahu bacem pupus seketika.
“Ada apa ini Yah?” Bu Laras, Ibu Rora datang sambil menenteng kresek.
“Itu sih Rora mau makan tahu yang buat Amar!”
Rora mengangkat kepalanya, menatap ibunya penuh harap.
Bu Laras menggeleng. “Benar kata Ayah, nurut. Itu buat Amar. Kamu makan seadanya aaja!” sahutnya sambil menuju ke almari. Mengeluarkan gula, garam, dan kopi bubuk dari kresek untuk dimasukkan ke dalam.
Rora menelan salivanya dalam-dalam. Mengambil piring lagi dan secentong nasi.
“Jangan kebanyakan.” Bu Laras mengingatkan.
Rora diam dan patuh. Dia pun mengurangi nasi dalam centong, mengambil satu kerupuk lalu menaburi di atasnya bubuk cabe.
“Bu, pijetin Ayah ya!” tutur Pak Darmadi sambil membuang sisa putung rokok ke sembarang arah.
Bu Laras tersenyum lalu mengangguk. “Iya Yah.”
“Rokok udah ada?” Pak Darmadi mengernyitkan kening.
“Udah Yah. Dikasih Mama tiga bungkus,” sahut Bu Laras sambil menunjukkan dua rokok bungkus hitam.
“Kalau tiga ya cuman buat tiga hari! Gimana sih, Mama ngasih anak kandungnya kok cuman tiga! Pelit amat!” Kesal Pak Darmadi sambil mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana. “Punya toko besar, paling tokony...