Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Cinta kucing
2
Suka
501
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Matahari terik menyinari lapangan sepak bola yang berdebu, udara dipenuhi aroma rumput dan keringat. Andi, remaja kurus dengan baju yang sedikit kebesaran, duduk di pinggir lapangan, matanya tertuju pada para pemain. Sekelompok kucing liar mengelilinginya, bulunya beraneka warna coklat, hitam, dan putih. Mereka menggosok-gosokkan tubuhnya ke kaki Andi, mendengkur pelan. "Kalian satu-satunya yang ngerti gue, ya," bisik Andi pelan, tangannya mengelus lembut bulu kucing-kucing itu.

Dia dikenal sebagai "Anak Kucing," julukan yang lebih menyakitkan daripada lucu. Dia adalah bayangan, tak terlihat bagi kebanyakan orang, kecuali para kucing yang sepertinya merasakan kesedihannya yang terpendam. Dia mengamati anak-anak lain, tubuh mereka kekar hasil latihan bertahun-tahun, dengan mudah menggocek bola, tawa mereka bergema di lapangan. "Kapan gue bisa kayak mereka, ya?" gumam Andi, matanya berkaca-kaca. "Kapan gue bisa ngerasain sensasi ngegolin?"

Nama lengkapnya Andi, dan dia adalah pengamat yang pendiam, saksi bisu dari kisah hidup yang penuh warna di sekelilingnya. Dia merasa nyaman dalam kesendiriannya, menemukan ketenangan dalam teman-teman kucing liar yang sepertinya tertarik pada jiwanya yang lembut. Mereka adalah teman curhatnya, sahabatnya, satu-satunya yang benar-benar mengerti kerinduannya yang tak terucapkan.

"Kok gue sendirian terus, ya?" batin Andi, mengamati Intan, gadis yang diam-diam dia kagumi, tertawa bersama teman-temannya, senyumnya seperti suar yang mempesona. "Gue iri sama dia, punya banyak temen, selalu ceria. Kapan gue bisa ngerasain punya temen yang bener-bener peduli?"

Intan adalah perwujudan dari semua yang tidak dimiliki Andi. Dia ceria, ramah, dan populer, dikelilingi teman-teman yang mengaguminya. Mereka sudah saling kenal sejak SD, jalan mereka kadang-kadang bersinggungan, tetapi interaksi mereka terbatas pada anggukan sopan dan senyum malu-malu. "Dia cantik banget, ya," gumam Andi, matanya tak lepas dari Intan. "Gue suka ngeliat dia ketawa, tapi gue takut ngedeketin dia. Ntar dia malah ilfil."

Suatu sore, saat dia pulang, hujan deras mulai turun. Dia disuruh membeli kopi dari warung dekat rumah, tetapi pikirannya melayang ke dunia sendiri, dan dia lupa. "Eh, kopi! Lupa lagi gue," gumam Andi, baru tersadar saat melihat anak kucing putih kecil, bulunya basah kuyup, pincang karena kakinya terkilir. "Kasian banget, nih kucing," kata Andi, hati-hati mengangkat anak kucing itu. "Gue bawa pulang aja, ya."

Dia membawa anak kucing itu pulang, lupa membeli kopi, amarah ayahnya terdengar samar. "Andi! Kenapa lu lama banget sih? Kopi mana, kopinya?" bentak ayahnya. "Eh, iya, Pa. Tadi ketemu kucing, jadi lupa," jawab Andi, sedikit takut. Anak kucing itu, sekarang aman dan hangat, meringkuk di dekatnya, mendengkur pelan. "Lu lucu banget sih, Dek. Gue kasih nama Luna aja, ya," kata Andi, mengelus kepala anak kucing itu.

Keesokan paginya, dia menemukan Luna hilang. "Luna! Mana Luna?" teriak Andi, panik mencari di seluruh rumah. "Luna! Kemana sih lu?" Akhirnya, dia menemukan Luna di dekat selokan, kakinya terjebak di genangan air, sebuah mobil telah menyiramnya dengan air berlumpur. "Luna! Kenapa lu di sini, Dek? Kasian banget," kata Andi, hati-hati mengangkat Luna. "Untung gue nemu lu."

Dia mendengar kabar bahwa Intan sakit, penyakit tiba-tiba yang membuatnya terbaring di tempat tidur. "Intan sakit? Kok bisa?" tanya Andi, khawatir. "Gue pengen jenguk dia, tapi gue gak tau rumahnya di mana," gumam Andi. Akhirnya, dia menemukan alamat Intan dan mengayuh sepedanya selama berjam-jam, hujan seperti tirai dingin di wajahnya.

Dia menemukan rumahnya, bangunan sederhana dua lantai, tetapi Intan tidak ada di sana. "Intan mana, Bu?" tanya Andi, sedikit gugup. Ibunya, matanya merah dan bengkak, mengatakan bahwa Intan telah menghilang. "Intan hilang? Kok bisa?" tanya Andi, panik. "Kemana dia, Bu?" Ibunya Intan hanya menggeleng, matanya berkaca-kaca. "Gak tau, Dek. Intan tiba-tiba hilang," jawabnya. Andi pergi, hatinya berat, bayangan senyum Intan memudar di ingatannya.

Dia pulang, Luna meringkuk di pelukannya, kakinya dibalut perban dan mulai sembuh. "Luna, kamu udah sehat, nih? Makasih ya, udah mau nemenin gue," kata Andi, mengelus kepala Luna. Saat dia berbaring di tempat tidur, Luna menyenggol wajahnya, bulu halusnya menempel di pipinya. "Lu lucu banget sih, Luna," kata Andi, tersenyum. Dia mencium kepalanya, lagi dan lagi, sampai Luna mendorongnya menjauh, dengkurnya adalah teguran lembut. "Udah, Dek. Jangan manja-manja," kata Andi, tertawa.

Dia tertidur, Luna meringkuk di sampingnya. Saat dia bangun, dia melihat wajah ibunya, senyum lembut menghiasi bibirnya. "Ma, kok lu di sini?" tanya Andi, terkejut. "Kan Mama udah gak ada?" Ibunya hanya tersenyum, matanya berkaca-kaca. "Mama selalu ada buat kamu, Dek," jawabnya.

Dia menyalakan lampu, dan napasnya terengah-engah. "Intan? Kok lu di sini?" tanya Andi, kaget. "Ini mimpi, ya?" Intan hanya tersenyum, matanya berkaca-kaca. "Ini bukan mimpi, Andi," jawabnya. "Aku dikutuk, Andi. Aku jadi kucing."

"Jadi, selama ini kamu kucing?" tanya Andi, tak percaya. "Iya, Andi. Aku jadi kucing selama dua tahun," jawab Intan, suaranya bergetar. "Aku dikutuk oleh Mamaku karena aku malas dan gak nurut."

"Kenapa kamu jadi kucing?" tanya Andi, penasaran. "Mamaku marah karena aku gak mau bantuin dia kerjaan rumah. Aku malah sibuk main HP," jawab Intan, suaranya berbisik. "Mamaku bilang, 'Kamu kayak kucing, cuma bisa bermalas-malasan!' Aku tertidur malam itu, dan saat bangun, aku sudah jadi kucing."

Andi mendengarkan, hatinya sakit untuknya, untuk rasa sakit yang dia alami. "Kasian banget, kamu," kata Andi, memeluk Intan. "Gue ngerti banget rasanya kehilangan, rasanya sendirian. Gue juga pernah ngerasain itu."

"Kamu baik banget, Andi," kata Intan, matanya berkaca-kaca. "Terima kasih udah mau ngerti aku."

"Gak usah sedih, Intan," kata Andi, mengelus rambut Intan. "Gue akan bantu kamu."

Saat dia mengantarnya pulang, dia berganti-ganti antara manusia dan kucing, transformasinya adalah pengingat konstan dari kutukan yang mengikatnya. "Andi, aku gak bisa berhenti jadi kucing," kata Intan, suaranya bergetar. "Aku takut, Andi. Aku gak mau jadi kucing lagi."

"Tenang aja, Intan," kata Andi, menggenggam tangan Intan. "Gue akan bantu kamu. Kita akan cari cara buat ngebatalin kutukan ini."

Dia berlari pulang, Luna di pelukannya, dan memanggil ibunya. "Ma, tolong Intan," kata Andi, memohon. "Intan dikutuk jadi kucing. Tolong maafin dia, Ma."

Ibunya, matanya dipenuhi pengertian, berkata, "Aku memaafkannya."

Anak kucing putih di pelukannya, Luna, berubah kembali menjadi Intan. "Intan!" teriak ibunya, berlari menghampiri Intan. "Sayang, Mama kangen banget sama kamu!" Ibunya memeluk Intan erat-erat, air mata mengalir di wajahnya. "Mama minta maaf, sayang. Mama gak bermaksud ngutuk kamu."

"Mama, aku juga minta maaf," kata Intan, memeluk ibunya erat-erat. "Aku janji, aku gak akan malas-malasan lagi."

Andi mengamati mereka, pengamat yang pendiam, hatinya dipenuhi dengan kegembiraan yang pahit. "Seneng banget, ya, liat mereka ketemu lagi," batin Andi. "Tapi, gue juga sedih. Kenapa gue harus ngerasain semua ini?"

Dia meninggalkan mereka, hatinya lebih ringan daripada sebelumnya. Dia kembali ke lapangan sepak bola, matahari masih tinggi di langit. Anak-anak lelaki masih bermain, tawa mereka bergema di udara. "Gue pengen bisa ngerasain kayak mereka, ya," batin Andi, sambil tersenyum. "Tapi, sekarang gue udah punya Intan. Gue gak sendirian lagi."

Dia duduk, Luna meringkuk di pangkuannya, dan mengamati mereka, senyum tenang menghiasi wajahnya. "Gue gak lagi sendirian," batin Andi, matanya berkaca-kaca. "Gue punya luna eh ..Gue punya Intan. Gue punya kucing-kucing ini. Gue gak sendirian lagi."

Dia tahu bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Intan, gadis yang dia kagumi dari kejauhan, sekarang menjadi bagian dari dunianya, suar harapan di tengah keberadaannya yang tenang. "Intan, gue sayang banget sama kamu," batin Andi, matanya berkaca-kaca. "Gue gak akan pernah nyia-nyiain kamu."

Dia telah menemukan cinta di tempat yang paling tidak terduga, cinta yang telah mekar dari rasa sakit yang mereka bagikan, cinta yang berbisik tentang masa depan yang penuh dengan kemungkinan. "Gue yakin, kita bisa ngelewatin semua rintangan bareng-bareng," batin Andi, matanya berkaca-kaca. "Gue yakin, kita bisa bahagia bareng-bareng."

Dia menatap Luna, sekarang Intan, matanya bersinar dengan harapan baru. "Gue akan selalu ada buat kamu, Intan," batin Andi, matanya berkaca-kaca. "Gue akan selalu jagain kamu." Dia tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai, perjalanan yang akan membawa mereka melalui tawa dan air mata, melalui tantangan dan kemenangan, perjalanan yang akan selamanya mengikat mereka bersama. "Kita akan selalu bersama, Intan," batin Andi, matanya berkaca-kaca. "Selamanya."

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Novel
Safis
Shin-Shin
Cerpen
Cinta kucing
Taufik reja waluya
Flash
Sebuah Usaha Meluk Mantan
Ifa Alif
Novel
Bab Sebelumnya
Yulia Handayani
Novel
PIGEON
Kaviiaaa
Novel
Bronze
PLAGUE OF LOVE
Aria Adi Winata
Novel
Bronze
Anti Cancer
zee astri
Novel
Gold
Habibie Ya Nour El Ain
Bentang Pustaka
Novel
The Partner Next Door
Tia Givanka
Cerpen
Bronze
Soulmate Game
Nuel Lubis
Flash
Marsha
Faristama Aldrich
Novel
Bronze
Pelangi Meet Awan
Senandung
Novel
They said it perfect
QQ
Novel
Gold
Seven Days
Mizan Publishing
Flash
Bronze
Persepsi
Ronshopian
Rekomendasi
Cerpen
Cinta kucing
Taufik reja waluya
Cerpen
Bronze
kutukan Bulan
Taufik reja waluya
Cerpen
Introvert me
Taufik reja waluya
Cerpen
Penyihir bulan dan kucing ajaib
Taufik reja waluya
Cerpen
Cahaya di Balik Ranting
Taufik reja waluya
Novel
Avicenna : The alchemist of knowledge
Taufik reja waluya