Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Sejujurnya, baru kali ini aku merasakan udara yang begitu keparat. Panasnya membuat kulitku serasa dicubiti. Padahal, kakiku baru dua menit menginjak lagi Medan. Namun setiap bagian tubuhku sudah tidak bisa lagi menyesuaikan suhu di sini. Saat kuturuni tangga keluar pesawat, baru kusadari udara di sini sudah jauh berbeda. Tenggorokanku seperti menghirup asap bara. Rasanya sesak. Apalagi dua koper yang kubawa di perjalanan, membuat nafasku sering terengah-engah. Gerah membara di sudut-sudut lekukan badanku. Keringat lembab yang membasahi gaunku semakin mengganggu langkahku, seperti seekor semut yang terjebak dalam air gula, begitu lengket dan sempit.
Memasuki lobi bandara, keluhanku agak mereda. Walau tertutup oleh kaca bening, namun kibasan pendingin udara sedikit mengurai keringatku. Setelah mendapat lemparan senyum seorang aparat pengamanan bandara, aku disilakan untuk beristirahat di kursi panjang dekat jendela. Kuputuskan tidak dulu mengontrak taxi cepat-cepat. Ingin rasanya aku menyelami momen-momen kerinduan ini.
“Fiuh,” kulepas nafas panjang. Bokongku sedikit kumiringkan pada pemandangan di balik jendela tembus pandang. “Tanjungbalai, sebentar lagi aku pulang,” pikirku menerawang kaca setebal 5 mm di sampingku. “Sudah hampir 2 tahun sejak kepergianku. Kini aku kembali, ke tanah di mana aku dilahirkan.”
Suasana di lobi bandara riuh dengan hilir mudik orang-orang. Yang kusaksikan, banyak di antara mereka terlalu sibuk dengan waktu. Seolah-olah laron-laron yang mencari sumber cahaya setelah rimis sore, berebut cahaya segera setelah itu punah.
Tiba-tiba kesibukan lobi bandara di siang itu pecah oleh sekelompok orang yang berteriak-teriak lantang. Beberapa orang dari mereka memaksa masuk lobi bandara sambil mendorong keras penjagaan bandara. Sejenak, dua orang keamanan bandara tersungkur dan mengerucut, orang-orang yang urat kepalanya menonjol tadi kemudian sudah berada di dalam bandara.
Aku pun terhenyak. Pandanganku yang beberapa waktu lalu menuju lamur, mendadak kembali fokus. Badanku hilang rasa lelahnya. Kedua tanganku sudah lupa untuk memegang pegangan koper bawaanku. Posisi dudukku segera kuluruskan, inginnya kuberdiri cepat tapi takberani. Tanganku menurun-nurunkan rok dari kedua sisi pahaku. Dudukku tak lagi nyaman. Aku jadi kembali gerah. “Mungkinkah kejadian itu kembali terulang,” bayangan gelap itu menyergap benakku tiba-tiba.
Di depanku, dua orang berambut kacau membentangkan sebuah baliho panjang. Ukurannya sepanjang empat kali kursi yang kududuki. Mereka tempelkan di kaca jendela sehingga pencahayaan dalam bandara menjadi teduh. Namun tidak dengan suasananya, seorang yang mengaku aktivis lembaga swadaya masyarakat berkoar-koar dengan pelantang merk TOA. Dari yang kutangkap, mereka berpesan tentang harkat hidup yang berubah dan biaya hidup. Sementara dari tulisan-tulisan dalam karton yang mereka bentangkan banyak yang menyumpah Kenaikan Harga Bahan-bahan Pokok. Matamata yang melotot ketika beraksi menyuarakan keinginan mereka itu, seperti sekawanan singa-singa yang lapar. Setidaknya menurutku.
Bandara bertambah riuh. Kebanyakan panik. Barisan keamanan didatangkan mengawal aksi pendemo yang tiba-tiba itu. Begitu pun diriku, kegaduhan yang terjadi memaksaku menyudut ke koridor belakang. Ketakutan semakin menerkamku. Kucoba pejamkan mata untuk menenangkan diri. Tetapi justru keringat dingin semakin mengalir. Berbeda dengan keringat yang kukeluarkan tadi saat turun dari pesawat, keringatku saat ini disertai perasaan menggigil. Lututku lemas. Kelelahanku bertambah. Ini bukan Jetlag. Justru, kantuk yang sangat.
Mendadak, bayangan masa lalu berpendaran di ingatanku.
***
Juli 2016. Aku masih gadis delapan belas tahun. Baru selesai Ujuan Nasional SMA di Sekolah khusus perempuan. Hampir semua penghuni Sekolah Penginjil ini, berkulit putih dan bermata sipit. Jelas, kami bukan ras asli Tanjungbalai. Namun, kami tetap bagian dari Indonesia. Nenek moyang kami sudah bayar pajak, begitu pun diriku semenjak dilahirkan kami sudah berlisensi WNI. Bahkan, aku tidak terlalu fasih bahasa Tiongkok. Di rumah atau di pergaulan, bahasa Indonesia dengan dialek Batak lebih sering kami pakai. Apalagi, orang tuaku punya toko kelontong di dekat Sungai Asahan. Sudah barang tentu, mereka pakai bahasa lokal sebagai alat komunikasi.
Akan tetapi, memang aku tidak punya teman sebaya di kampungku. Masalahnya, ibu melarang aku bermain dengan anak-anak kampung di sekitar rumah. Ibu bilang warga sekitar masih sering berbisik bahwa kami berbeda. Seringkali, saat berdagang mereka para pelanggan meminta diberi lebih. Semisal, meminta bonus Lebaran. Alasannya, mereka adalah kaum pribumi asli. Padahal, yang kami tahu mereka pun imigran dari luar Jawa. Ditambah banyak pula yang kutahu mereka tidak berpuasa saat ramadhan, tapi kenapa malah minta uang THR pada kami. Apa daya, kami harus mengabulkan keinginan mereka.
Walau begitu, aku pernah punya hubungan baik dengan seorang pemuda tetanggaku. Namanya, Yusuf. Dia seorang santri yang taat. Kami bertemu saat aku sedang melayaninya belanja di toko kami. Yang kuingat, dia sedang disuruh guru pesantrennya membeli perkakas dapur untuk asrama laki-laki. Entah bagaimana kisahnya, aku jadi sedemikian dekat dengannya. Terkadang, yang membuatku merasa nyaman adalah caranya menghiburku sebelum tidur dengan status banyolan yang dia klaim sebagai ciri khas anak pondok.
Yang selalu kuingat dan tak bisa kuenyahkan dari ingatanku adalah sikapnya. Dia tidak seperti warga lain yang memandang berbeda terhadap kami. Yusuf, sering mengajakku berkeliling kota kecamatan dengan sepeda motornya, meski ibu tidak pernah tahu kejadian waktu itu. Kami memang sangat berbeda dari segi apapun, namun kami saling menghargai perbedaan kami. Aku Protestan, dia muslim. Namun, saat jam-jam shalat wajib, aku sering kirimkan pesan singkat sekadar mengingatkan kewajiban shalatnya. Begitupun, saat aku merayakan hari-hari besarku bersama keluarga. Dia mengusahakan untuk mengirim kado status yang berisikan ucapan selamat. “Agama tidak mengajarkan penghinaan terhadap pemeluk lain. Justru perbedaan adalah indah dalam kitab suci apa pun.” Terangnya kala itu padaku.
Sampai suatu ketika, dia nyatakan perasaan itu padaku. Perasaan yang sebetulnya sama kurasakan di dalam sanubariku. Perasaan yang mengganggu jam tidur dan makanku. Bahkan, perasaan yang mengusik waktu belajarku saat akan Ujian sekolah. Hingga akhirnya, aku putuskan menerima keputusan kami untuk menjalani hubungan kami.
“Sapu tangan ini kuberikan sebagai pengusap rasa sendu dan sunyimu, Viona!” ujar yusuf. Lalu, dia arahkan benda itu ke jemariku. Keberanian yang sungguh berbeda dari pria berusia belasan tahun di zaman serba internet seperti sekarang. Kuterima dengan kedua tanganku. Aku membisu. Namun, kuyakin dialah cinta pertamaku.
Entah berapa lama kami menjalin hubungan tanpa sepengetahuan orang tua. Ibu dan ayah tidak tahu kisah cintaku dengan Yusuf. Hingga, hujan sore itu membuyarkan kisah kami. Kisah dua insan yang berbeda dalam satu rasa yang sama.
***
Sore itu hujan begitu lebat. Anehnya, air yang masuk selokan berwarna pekat. Riak air yang menuju gorong-gorong kota agak mengental oleh abu pembakaran. Pecahan-pecahan kaca yang berserakan di pinggir jalan membuat langit semakin bersedih. Semakin sore, kota kecil kami semakin membara. Ulah segelintir orang yang memperkeruh suasana di hujan sore itu menambah cekam.
Orang-orang semakin menggila. Setan-setan semakin menyeringai. Manusia-manusia berprilaku anjing, menunggu berkelompok di sudut-sudut ibukota. Jalanan sepi. Yang ada, satu dua orang berpakaian loreng loreng yang memanggul Maverick, berlari sambil siaga. Namun, justru sepi itu yang mematikan.
Esoknya, kembali riuh. Kini, orang-orang berjiwa monster itu menyalahkan kami. Mereka mendatangi rumah-rumah kami. Selain menjarah toko-toko kami, jiwa kami pun mereka rampas.
“Ada China.. Bunuh!,” begitu setiap saat.
Perempuan hamil yang kebetulan bermata sipit dan berkulit putih diperkosa di sisi jalan. Seolah anjing rabies, liur mereka bercucuran sesaat menurunkan celana dalam mereka. Setelah puas menghabiskan nafsu najis itu, mereka bunuh pula perempuan itu.
Cerita itu semakin ramai terjadi. Kami, para etnis tionghoa terdesak. Petang itu pula, bandara penuh oleh destinasi luar negara. Pokoknya kami ingin lepas dari kejahatan massal ini. Dari kejahatan demokrasi yang menjadi fitnah luar biasa.
***
Juni 1998. Singapura, negara yang dijadikan tujuan suakaku. Aku memang lepas dari neraka Jakarta. Tetapi aku telah kehilangan semuanya. Orang tuaku tewas terbakar bersama ruko kami. Aku selamat setelah diselamatkan bibiku yang kebetulan bersuamikan orang Singapura. Aku pun telah kehilangan cintaku. Cintaku pada Yusuf. Bahkan, cintaku pada negaraku.
Aku berusaha melupakan semuanya. Tapi, bayangan kerusuhan itu seolah borok tetanus yang bisa kapan saja meledak dalam ingatanku. Aku coba untuk berkonsentrasi di kuliahku. Aku diterima di jurusan bonafid di Universitas terkemuka di Singapura. Semoga kesibukanku di sini dapat sejenak mengalihkan kelukaanku.
Seandainya dapat kuenyahkan kenangan tentang kisahku dulu. Namun, saat kulihat sapu tanga pemberiannya, hatiku selalu tak menentu. Aku tak bisa membuang sapu tangan itu. Dan aku pun tak bisa menemukan kembali pemilik sapu tangan itu. “Sepertinya sapu tangan itu sangat berarti bagimu?” tanya bibi tiba-tiba. Kemudian aku hanya bisa menerawang kelu tanpa bisa menjawab pertanyaan bibi padaku.
***
Awal triwulan 2012. Sebuah berita internasional ditayangkan di jaringan televisi internasional. Indonesia mengirimkan wakilnya di ajang internasional Kompetisi Ilmuwan muda. Aku terkejut. Negara yang dulu terpuruk itu bisa menemukkan wakil terbaiknya, dan memenangkan lomba itu dengan predikat terbaik. Aku pun tidak mengira lomba itu digelar di Singapura.
“Kurasa, Indonesia kini sudah menemukan wajah baru yang lebih positif,” pikirku saat itu.
Kebetulan, pimpinanku sedang melakukan perjanjian bisnis baru dengan seorang pengusaha asal Indonesia. Dia mengirimku untuk melakukan lobi-lobi bisnis. Menurutnya, aku pernah tinggal di Indonesia, maka aku bisa mengenal karakter orang-orang Indonesia. Jadilah, awal Maret itu aku dikirim untuk kembali ke Indonesia setelah hampir 12 tahun aku meninggalkan tanah penuh kenangan itu.
Baru dua menit, kaki ini menginjak lagi Jakarta. Namun setiap bagian tubuhku sudah tidak bisa lagi menyesuaikan suhu di sini. Ketika kuturuni tangga keluar pesawat, baru kusadari udara di sini sudah jauh berbeda. Tenggorokanku seperti menghirup asap bara. Rasanya sesak. Apalagi dua koper yang kubawa di perjalanan, membuat nafasku sering terengah-engah. Gerah membara di sudut-sudut lekukan badanku. Ada pula, sedikit bara yang terpercik di sudut hatiku.
Kusandarkan kedua koper bawaanku. Kududuk di sebelah jendela yang langsung menghadap lapangan aspal tempat pesawat melakukan aktivitas landasan. Aku sempat teralihkan dari lamunanku saat seorang lelaki bertopi Adidas memasuki lobi bandara. Wajahnya tidak terlalu kelihatan, tapi badannya bagus. Sikapnya manis. Kulihat beberapa kali dia membantu seorang nenek yang turun bersamaan dari pesawat yang sama dengan dirinya. Aku tidak terlalu mengikuti kemana dia berjalan. Tubuhku masih kumiringkan ke depan pintu keluar bandara. Namun, kudengar langkah sepatunya berhenti. “Dia pun pasti duduk melepas lelah jetlag dulu,” pikirku.
***
Besi pembatas portable itu terguling. Sekelompok orang memaksa masuk ke dalam bandara. Mereka menyumpahi foto presiden yang mereka telah gambari sambil bersungut-sungut.
“Turunkan Presiden.. Tolak Kenaikan BBM..” teriak mereka.
Calon penumpang dan penumpang lain yang baru sampai Jakarta ikut panik. Banyak dari mereka berhamburan ke luar bandara. Mereka takut demo berujung anarkis, seperti yang dilaporkan berita kilat di tivi bandara. Aku pun semakin syok. Saat kuberlari ke ujung pintu koridor, kurasakan pikiranku kosong. Aku tak ingat di mana koperku, siapa namaku, atau ke mana aku akan berlindung. Aku jatuh pingsan. Namun, sebelum kupejamkan mata, kulihat sesosok pria manis itu membopongku.
***
Lampu-lampu bandara Soekarno-hatta sudah dinyalakan. Penumpang kembali normal. Demo tidak meluas menjadi kerusuhan. Pihak keamanan telah berhasil menyuruh pendemo untuk keluar bandara. Diplomasi berhasil. Pendemo negara ini semakin dewasa. Mereka sempat merusak fasilitas bandara, tetapi tidak dipermasalahkan otoritas bandara.
Sesaat mataku bersirobok dengan mata lelaki yang menolongku. Aku terhenyak. Lelaki manis itu menawarkan sebuah sapu tangan padaku. Di tubuhnya tercium bau kedamaian. Lalu tanpa kusadari aku tersenyum kepadanya. Sekilas, kukira dia membalas senyumku.
“Cinta memberikan jembatan kesempatan kedua kepada hal atau orang yang kita yakini. Cinta keduaku baginya. Cinta keduaku bagi negara ini.”***