 
				 
							Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Pasti kau tak tahu kalau kemarin Malin bilang cinta padaku. Aku kaget, Jang! Terlalu kaget sampai aku merutuknya diam-diam."
"Apa yang dia harap dengan mengatakan hal bodoh seperti cinta? Pacaran lalu menikah denganku, atau malah membuangku? "
"Mau saja ia bilang cinta padaku. Padahal ia tahu aku yatim piatu, adikku 6 dan masih kecil-kecil. Rumahku di belakang pasar, rumah peninggalan nenekku, kalau masih layak disebut rumah. Atapnya bocor di mana-mana. Lantainya tanah bumi yang sudah padat sekali karena dimakan usia. Dipan bambu tempatku tidur selalu meraung setiap kali aku bergeser. Aku tak yakin apakah dipan itu lebih tua dari nenekku yang sudah meninggal, atau nenek yang lebih tua daripadanya?"
"Tahun lalu nenek meninggal karena sudah terlalu tua umurnya, sembilan tujuh, Jang! Kau bayangkan itu! Aku tidak pernah bermimpi bisa melampaui umur nenek. Sepertinya sulit, Jang. Giziku buruk. Kau tahu aku kadang makan kadang tidak. Kalau ada yang kasihan padaku, mereka akan meninggalkan sebungkus gorengan di paku di samping pintu depan, untuk ku makan bersama adik-adikku. Kalau tidak, ya kami tidak makan. Dengan apa aku membeli makan, Jang? Aku tidak bekerja. Siapa yang menjaga adik-adikku kalau aku bekerja?”
“Aku tidak lagi percaya cinta, Jang. Ibu pergi meninggalkanku dan bapak demi pria kaya. Pria itu ternyata mengkhianati Ibu dengan pembantunya. Padahal, sebelum dengan Ibu, dia pun sudah beristeri. Lalu Bapak meninggal karena terlalu sakit hatinya.”
“Tetanggaku waktu itu hamil, pacarnya tak mau tanggung jawab, hilang seperti kesabaran waktu nungguin makanan di restoran. Cuih!”
“Masih lekat dalam ingatanku, Jang, waktu gang ini heboh karena si Slamet yang rumahnya di ujung sana cekcok sama Ani, istrinya. Konon Ani sering chat dengan cinta lamanya. Mereka tidak pacaran. Tapi Slamet murka. Padahal Ani cuma butuh teman bicara. Si Slamet ini tidak pernah mau mendengar dia bicara. Setiap pulang kerjanya cuma main hape. Ani ngomong, dia cuma iya-iya. Jadi siapa yang mau disalahkan, Jang? Bagaimana kalau nanti aku terima cintanya si Malin, trus aku kawin dengannya, aku jadi seperti si Slamet? Kasihan anak orang, Jang!”
“Doni, pegawai toko kasur di depan sana. Kau tahu, waktu itu aku sudah cerita. Dia pacaran sama bosnya. Tidak lama, meja kasir dikuras. Brankas dibobol. Rekening ludes. Pacarnya pula yang terlalu percaya sama Doni, sampai semua password aset pribadi diberikan begitu saja. Jangan-jangan dia diguna-gunai sama si Doni. Apa bagusnya Doni? Masihlah ganteng kau daripada si Doni itu, Jang!”
“Cinta itu sebetulnya gimana sih, Jang? Pernah tidak kau mendefinisikan cinta secara gamblang? Apa standar ketulusan cinta? Cinta tidak bisa ditera seperti timbangan. Hanya bisa dirasa. Masalahnya, perasaan tergantung kepada bodoh atau tidak manusianya. Nah, bodoh ini banyak lagi macamnya. Banyak orang yang pintar, sekolah tinggi, juara terus, tapi bodoh menilai cinta. Ada yang bodoh sekolahnya, tapi pintar soal cinta. Tapi rendem juga, Jang, gak selalu begitu. Kau tahu kan rendem, Jang? Tulisannya random. Jadi nasib cinta kita ini random, Jang. Tak ada kepastian kita bahagia atau tidak. Manusia papa macam aku pun tidak ada yang tahu, kalau menerima cinta si Malin bakal bahagia atau tidak.”
“Semua selalu indah di depan, Jang. Jantung berdetak kencang, pipi bersemu malu, maunya ketemu terus, takut terlihat jelek dan bau. Coba lama sedikit, mulai kelihatan buruknya, makin malas pula lihat mukanya. Aku penasaran, semua cinta begitu tidak sih, Jang?”
“Kalau menurut definisiku, cinta itu getaran hangat yang bikin kita peduli, rindu, takut dia kenapa-kenapa. Betul tidak, Jang? Cinta bikin dunia gelap jadi terang, langkah berat jadi ringan. Cinta bukan cuma soal dua orang, tapi juga tentang semesta dalam diri yang bergetar ketika menemukan rumah. Betul tidak, Jang? Cinta membuat kita melampaui ego, memberi makna pada penderitaan, dan menjembatani keterpisahan antar individu. Tanpa cinta, pengetahuan terasa kering, kekayaan terasa hampa, dan hidup kehilangan tujuan. Betul tidak, Jang? Cinta sering jadi alasan orang bertahan, berjuang, bahkan berubah menjadi lebih baik. Betul tidak, Jang?”
“Ada pula cinta yang mengguncang hati. Membawa gelisah karena tak kunjung berjumpa. Ketidak pastian apakah berbalas atau tidak. Gelisah itu bukanlah kelemahan, melainkan sesuatu yang membuat cinta terasa nyata. Kalau semuanya datar mungkin malah terasa hambar. Betul tidak, Jang?”
“Cinta menyusup ke sela-sela hati, meninggalkan tanda tanya, apakah aku dijaga atau dibiarkan? Rindu membuat malam jadi panjang, dan cemas membuat hati terasa asing. Namun justru di situlah cinta menunjukkan dirinya, bahwa ada sesuatu yang begitu berharga, sampai-sampai hati tak bisa tenang tanpanya. Rindu adalah gelisah yang manis, sakit namun tak ingin sembuh. Betul tidak, Jang?”
“Cinta adalah gelisah yang indah, membuat hati bergetar antara takut kehilangan dan berharap selalu dekat. Cinta selalu berdiri antara tenang dan resah. Dalam setiap resah itu, namanya yang berbisik paling nyaring. Betul tidak, Jang?”
“Cinta bukan sekedar kata-kata, tapi hadir. Hadir lewat perhatian kecil, kesetiaan dan kerelaan berkorban. Betul tidak, Jang? Kalau hadir tapi tidak sepenuhnya, macam si Slamet itu. Dia ada di sebelah isterinya tapi main hape, itu namanya tidak hadir. Betul tidak, Jang?”
“Kalau menghancurkan, itu bukan cinta, tapi nafsu yang menyamar, belenggu yang dipelihara, obsesi yang dibaluri madu, penguasaan, manipulasi yang menyaru kasih, api yang tak tahu arah, membakar tubuh dan jiwa. Cinta tidak begitu. Cinta sejati merawat, bukan meruntuhkan, menumbuhkan, bukan mengikis. Betul tidak, Jang?”
Aku masih berasyik masyuk dalam kisahku kepada Ujang, saat tiba-tiba, sebuah mobil minibus putih masuk ke dalam gang, lalu berhenti tepat di depan rumahku. Beberapa orang berseragam turun. Ada tulisan Dinas Sosial dicetak besar-besar di sisi badan mobil. Sebuah motor tua yang dikendarai pria beruban mengekor di belakang mereka. Pria di atas motor tua itu turun, berbicara kepada orang-orang itu, dan menunjuk-nunjuk ke arahku.
Sebuah peringatan untuk segera menyelamatkan diri menyala di kepalaku. Aku spontan berbalik dan berlari masuk ke dalam rumah. Pintu ku tutup rapat. Aku berlari ke arah pintu belakang, namun ternyata sudah ada beberapa warga yang menungguku di sana. Aku berusaha menutup pintu, namun mereka menghalangiku. Aku nekad menerobos kerumunan mereka, namun apa dayaku, aku hanyalah seekor nyamuk yang masuk perangkap predatornya.
Pintu depan yang tadi ku kunci ternyata berhasil didobrak. Seorang pria berseragam menghampiriku. Ia menyalamiku, namun aku hanya menatap tangan putih bersih itu. Sejenak aku ragu, apakah itu benar-benar sebuah salam, atau permulaan dari sesuatu yang lebih rumit.
“Pak Abu, perkenalkan saya Iwan dari dinas sosial. Kami ke sini atas permintaan pak RT.” Ia menunjuk pria beruban yang tadi naik motor tua. “Kami harus membawa pak Abu untuk kami rawat, bapak mau kan ikut bersama kami?”
Aku memandang berkeliling, mencari sosok Ujang. “Jang... Kau di mana? Tolong aku, Jang! Aku mau dibawa. Adik-adikku gimana, Jang?”
“Siapa Ujang? Adik-adiknya mana?” tanya Iwan kepada pak uban.
“Ujang itu sahabatnya dulu, yang membawa kabur isterinya, si Malin. Trus saat kabur mereka ditabrak bus hingga keduanya meninggal. Dia tidak punya adik, cuma anak-anak tetangga.”
“Bohong!” teriakku murka. Kurang ajar pria tua ini. Berani dia mengarang cerita. “Malin itu gadis muda yang jatuh cinta padaku tapi kutolak. Ujang sahabatku. Tadi baru saja kami duduk berdua di depan, sampai kalian semua datang dan merusak segalanya! Adikku ada 6, bukan anak tetangga. Janggg... Ujang!!”
“Bapak sabar dulu. Nanti kami bantu carikan Ujang ya. Adik-adik Bapak biar nanti kami juga yang urus.” Kutatap wajah orang bernama Iwan itu. Sepertinya ia tidak berbohong. Tapi entahlah, mungkin ia hanya ingin menipuku. Manusia memang seperti itu.
“Ujang sudah mati, Bu! Kawin lari sama binimu,” seseorang di kerumunan berseru padaku sambil terkekeh.
Aku mencari asal suara itu dengan emosi meledak. Aku berlari hendak mengambil batu sekepalan tangan yang biasa digunakan untuk menyangga pintu, namun mereka menghalangiku. Ku teriaki mereka dengan murka, “Siapa tadi berani bicara?”
Tapi orang-orang itu malah tertawa mengejekku.
“Kau saja yang bodoh. Tak tahu bini dan sahabatmu sendiri saling jatuh cinta,” seru salah satunya, yang diiyakan oleh yang lainnya.
Aku berteriak sekencang yang aku bisa. Beberapa diantara mereka tertawa semakin menjadi. Yang lain menatapku dengan sorot muka penuh kengerian.
Aku mendengar Iwan menyuruh orang-orangnya menahanku, dan menggiringku masuk ke mobil. Pak uban berusaha menenangkan warganya, dan tak berhasil. Mereka masih saja terus bising mengejekku.
“Berani kalian membuat cerita yang tidak-tidak! Jangggggg!!”
“Pak Abu sabar, nanti kita cari Ujang ya.”
“Mereka bohong, percaya sama saya.”
“Iya, kami percaya.”
Aku harus pergi mencari Ujang. Dia adalah buktiku bahwa semua yang dikatakan orang-orang itu tidak benar.
Akhirnya mereka berhasil menggiringku masuk ke mobil. Aku duduk diapit pria-pria itu, kiri kanan depan belakang. Tak ada celah untuk kabur. Aku mengintip ke luar jendela. Ujang berdiri di sana, menatapku dengan iba.
“Itu Ujang! Kalian lihat?” aku bertanya ke kiri dan kananku. Mereka cuma mengangguk-angguk.
Aku menoleh lagi ke arah Ujang. Malin berdiri di sebelahnya. Lalu Ujang meraih tangan Malin, menggenggamnya. Aku terkesima.
Mobil dinyalakan, lalu merangkak mundur untuk keluar dari gang sempit dan kumuh itu. Aku memutar kepalaku, tak mampu melepaskan pandanganku dari Ujang dan Malin. Mataku terasa hangat dan basah. Tangisku meledak. Aku yakin, aku tak lagi punya siapa-siapa, kecuali gelisah yang tak mau mati, sampai hanya aku yang mati.
Betul!!
Betul!!
Biar aku saja yang mati!
Gelisah tak mati.
Ujang tak mati.
Malin pun tak mati.
Biar aku saja yang mati!
Biar aku saja yang mati!
***********